Kamis, 30 Desember 2010

Wanita Penggenggam Bara Api

Oleh: Maulida Laila Anggraini Rahmawati

Sebagai seorang istri, tentu terasa menyakitkan jika harus mencicipi kegagalan dalam berumah tangga. Salamah salah satunya. Seumur hidup ia tak pernah menyangka bahwa ia akan menjadi salah satu pelakon amalan yang dibolehkan namun amat dibenci Tuhan ini. Perceraian. Sebuah proses yang mau tak mau harus ia jalani karena itu adalah satu-satunya pilihan yang ia miliki.

Mulanya, kehidupan rumah tangga Salamah dan suaminya baik-baik saja. Harmonis dan bahagia seperti keluarga ideal pada umunya. Secara finansial, bahtera keluarga kecil itu termasuk mampu dan cukup karena Salamah dan suaminya sama-sama bekerja. Selain sibuk menjadi seorang istri dan ibu dalam keluarganya, Salamah juga berprofesi sebagai seorang guru SD yang gajinya bisa untuk tambah-tambah penghasilan suaminya.

Namun, seiring berjalannya waktu, riak-riak yang mengganjal perjalanan bahtera keluarga itu mulai meninggi, sesekali membesar bak gelombang pasang di laut lepas. Selama berumah tangga dan menjalani kewajibannya sebagai seorang istri, ibu, dan guru SD, Salamah juga mulai aktif mengikuti kajian-kajian di lingkungannya. Hingga, di sebuah kajian ia mendapati setetes siraman cahaya kalam tentang perintah berjilbab bagi seorang muslimah.

Ternyata, selama ini Allah telah memerintahkan para wanita muslim untuk menutup aurat dengan mengenakan jilbab. Dan ternyata, Salamah baru tahu bahwa hukum berjilbab itu wajib bagi seorang muslimah, seperti wajibnya seorang muslim melaksanakan sholat lima waktu. Barangsiapa tidak memenuhi kewajiban itu maka ia telah berdosa. Terhenyak, Salamah mendapati kenyataan itu. Ia gamang, menyisiri sisi-sisi masa lalunya yang jauh dari cahaya keimanan. Bahkan, hingga ia telah bersuami dan memiliki anak, ia belum pernah mengenakan apa yang disebut jilbab itu.

Perlahan namun pasti, hidayah itu makin subur bersemi dalam hati Salamah. Mengetahui bahwa jilbab itu hukumnya wajib, tidak malah membuat Salamah menjauh dari belajar Islam. Ia malah semakin ingin tahu untuk mempelajari ilmu dien dengan semangat yang kian menggelegak. Namun, kesungguhan seorang hamba, sebesar apapun itu, tak akan lepas dari yang namanya ujian. Pun Salamah. Dan ujian yang menghambat perjuangannya mempelajari Islam justru bukan berasal dari orang lain, tetapi sang pengganjal itu adalah orang dalam keluarganya sendiri, yakni sang suami!

Sakit, hati Salamah, ketika melihat sang suami berwajah masam ketika ia akan pamit keluar rumah untuk mengaji ilmu Allah, padahal mencari ilmu agama itu hukumnya wajib bagi setiap insan. Pedih, hati Salamah, ketika mengetahui sang suami mencibir rutinitasnya untuk pergi mengaji. Dan yang paling dahsyat adalah penolakan keras sang suami ketika Salamah menggumpalkan tekadnya untuk berjilbab. Suaminya marah buka kepalang mengetahui niat istrinya tersebut. Pertengkaran dan perselisihan pun kerap mengisi hari-hari mereka. Dan ujung-ujungnya, Salamah tak bisa lagi menahan tingkah polah suaminya yang selalu menghambatnya untuk melaksanakan ajaran Islam. Maka, dengan berat hati namun penuh keyakinan pada Allah, ia pun memutuskan untuk berpisah dengan sang suami.

Memang, adalah kewajiban seorang istri untuk taat pada suami. Bahkan, dalam hadist Rasulullah pun dikatakan bahwa, seandainya Allah mengizinkan manusia untuk bersujud pada manusia, maka Rasulullah akan menyuruh seorang istri untuk bersujud pada suaminya. Itu adalah permisalan yang menunjukkan tentang begitu besarnya keutamaan seorang istri dan kewajiban atasnya untuk taat pada apapun perintah suami, dengan catatan, perintah itu berada dalam koridor kebenaran dan dalam garis-garis yang sudah diatur oleh syari’at. Jika ternyata, suami memerintahkan sang istri untuk bermaksiat dan membangkang perintah Allah, maka gugurlah kewajiban seorang istri untuk taat pada suaminya. Seperti halnya kasus Salamah di atas.

Demi keyakinan pada Rabb-nya, ia memilih untuk menggamit kerasnya hidup sebagai seorang single-parent. Selain masih mengajar murid-muridnya di SD, Salamah juga membuat kue-kue sebagai usaha sampingan. Kue-kue itu ia jual dan ia titipkan di warung-warung dan anak-anaknya sendiri yang ia mintai tolong sebagai kurir kue-kue tersebut. Salamah begitu disiplin namun tetap penuh kelembutan dalam mendidik anak-anaknya. Dan mereka dididik dengan ajaran Islam yang kental dari tangan ibunya seorang.

Berat memang, karena Salamah harus menghidupi dan mendidik anak-anaknya yang masih kecil-kecil seorang diri, tanpa ada sokongan dari sosok bernama suami. Namun itu dipilihnya karena Salamah yakin bahwa apa yang dipegang teguh olehnya, yakni ajaran Islam yang telah dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Sunnah, sungguh lebih menentramkan hati bagi manusia sepertinya, karena memang dua buhul itulah yang menjadi pedomannya dalam mengarungi kehidupan dunia yang demikian keras.

Maka, semenjak bercerai dengan sang suami, tak ada lagi penghalang bagi Salamah untuk menjalankan perintah Allah, salah satunya adalah perintah untuk mengenakan jilbab. Hingga di usianya yang sekarang ini menginjak senja, Salamah masih tetap istiqomah mengenakan jilbab lebar yang menjuntai, menutupi lekuk-lekuk tubuhnya. Kini, ia memang bukan lagi Salamah yang janda muda, kulit Salamah sudah tidak mulus lagi seperti dulu, tangan dan kakinya sudah mengisut. Kornea matanya pun telah mengeruh karena proses degeneratif. Namun, kaki-kakinya yang telah keriput itu masih dengan setia ia baluti dengan kaos kaki, meski mungkin, di zaman sekarang tak akan ada lagi pria yang mau meliriknya. Tetapi, Salamah tetap teguh memegang prinsip untuk menutup auratnya karena ia memang melakukannya bukan karena manusia, melainkan karena Allah Azza wa Jalla.

Kini, di sisa-sisa umurnya yang habis untuk menjanda dan mendidik anak-anaknya yang sudah tumbuh besar dan sholeh, Salamah mengisi sisa umurnya dengan menjadi pendakwah. Ia aktif menjadi pembicara dalam kajian ibu-ibu yang ada di kampungnya. Di usianya yang telah renta dan kadang-kadang terbata-bata membaca tulisan dari buku, Salamah tetap bersemangat menyampaikan ajaran Islam berdasar Al-Qur’an dan Al-Hadist pada wanita-wanita di lingkungannya.

Beralih dari kisah Ustazah Salamah dan keistiqomahan dan kezuhudannya dalam memegang prinsip-prinsip Islam, aku teringat akan percakapanku dan  beberapa kawan ketika ajakan berjilbab diserukan kepada kami.
 “Gimana ya Ma, rasanya aku masih belum pantes aja berjilbab. Orang amalanku aja masih kaya begini. Ntar kasihan dong yang kenal aku, masa berjilbab tapi tingkah lakunya masih seenaknya kaya gini. Sayang jilbabnya Ma, imagenya jadi jelek gara-gara aku. Mending sekarang aku jilbabin dulu hatiku. Kalau sudah baik hatinya, baru deh jilbabin fisiknya”, ulas salah satu temanku ketika aku menanyakan alasannya kenapa ia tidak mengenakan jilbab, padahal ia tahu kalau jilbab itu wajib hukumnya. Dan mendengar ulasan temanku itu, aku hanya bisa terdiam. Kelu untuk menjawab. Pertama, alasan temanku itu cukup masuk akal. Kedua, aku pun merasa belum menjadi muslimah yang baik meski aku sudah berjilbab.

Tetapi, pemikiranku dan temanku saat itu rupanya salah besar! Karena sebuah jawaban indah telah berhasil dituangkan oleh Kak Salim A. Fillah dalam bukunya yang bestseller berjudul “Agar Bidadari Cemburu Padamu”. Dalam buku itu disebutkan bahwa proses menjadi muslimah yang shalihah itu bukan dengan menunggu akhlaq menjadi baik dulu baru kemudian berjilbab. Kalau kita sudah bisa dan sudah mampu berjilbab, lakukanlah itu. Maka kemudian Allah-lah yang akan memudahkan, membuka jalan, dan memperbaiki akhlaq kita, memperindah perangai kita, dan menghapus segala kekhawatiran kita.

            “..Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah apa-apa yang ada pada suatu kaum, hingga kaum itu mengubah apa yang ada di dalam diri-diri mereka”(Q.S.Ar-Ra’d 11).

Adapun was-was, kecemasan, pesimisme, dan ketakutan tentang masa depan, maka itu adalah wujud dari cara-cara syaithan untuk menghalangi kita dari ketaatan kepada Allah. Dalam buku itu juga dijelaskan bahwa syaithan itu bukan hanya berasal dari golongan jin saja, tetapi juga dari golongan manusia, yang terkadang hembusan godaannya jauh lebih hebat dari syaithan golongan jin. Dan biasanya, godaan syaithan dalam wujud manusia ini akan terlihat dari komentar-komentar miring yang sering berhembus di sekeliling kita, seperti : “wuihh…sekarang sok alim nih!”,suit..suit..bu ustazah lewat”, atau “alaah…jilbaban buat jaga image ya!”, dan banyak cibiran pedas lainnya. Itu adalah bentuk-bentuk godaan dari syaithan berwujud manusia yang tak pernah ridho kita berjalan dan istiqomah menuju kepada ketaatan pada Allah Azza wa Jalla. Seperti perjuangan Ustazah Salamah yang dihadang oleh suaminya sendiri beberapa puluh tahun lalu.

            “Sesungguhnya syaithan itu adalah musuh bagi kalian, maka jadikanlah ia sebagai musuh kalian. Karena sesungguhnya syaithan itu mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala” (Q.S. Al-Fathir : 6).

Apalagi di zaman seperti ini, yakni ketika semua hal serasa dijungkirbalikkan. Yang benar dianggap salah, yang salah dielu-elukan menjadi semacam kebenaran. Yang berjilbab besar dan mengenakan pakaian syar’i dicap aneh, sebaliknya, yang bergaya ala selebriti, berbusana tapi hakikatnya telanjang, disepakati sebagai kiblat fashion abad terkini. Semuanya menjadi terbalik!

Dan seperti kisah Ustazah Salamah, aku semakin memahami, bahwa memang, sulit sekali memegang erat prinsip-prinsip Islam di zaman yang makin penuh fitnah ini. Ibaratnya, kita seperti memegang bara api. Terasa panas, nyeri, dan ingin kita lempar sesegera mungkin karena saking panasnya. Namun, bagi siapa saja yang bisa memegangnya dan bertahan atasnya, maka imbalan surga telah dijanjikan oleh-Nya. Insya Allah…


0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More