Kamis, 30 Desember 2010

Dekapan Ukhuwah di Puncak Lawu

Oleh: Ridwan Hidayat

Ali sontak panik ketika Edo terlihat tak sadarkan diri di saat kami sedang beristirahat melepaskan lelah. “Edo, kenapa Edo? Kamu jangan bercanda, bangun Edo,” teriaknya, “Mas, kenapa ini Mas, bantuin Mas.”
“Cuma tidur kali, Li.” Curigaku. Aku hanya diam melihat tingkah Ali yang terlihat panik. Rasa kantuk yang sangat pada diriku hanya memberi kesimpulan bahwa Edo baik-baik saja. Tidak menganggap kalau itu sesuatu yang serius.
“Tidak Mas, seperti pingsan ini,”ujar Ali meyakinkan, “Ayo Do, bangun, jangan pingsan. Susah nanti ngangkatnya.” Dia berusaha terus membangunkan. Ali pun membuka jaketnya lalu dipasangkan ketubuh Edo yang sedang duduk dengan kepala yang tertunduk.

Aku tertegun melihat tingkah Ali ini. Suhu udara malam itu sungguh dingin sekali. Angin gunung yang bertiup kencang sangat menusuk ketika menyentuh kulit. Tidak demikian dengan kulit hitam Ali. Mahasiswa angkatan 2009 yang berasal dari Nusa Tenggara Timur ini memberikan pengorbanan yang luar bisa kepada sahabatnya yang sedang kelelahan. Ia melawan rasa dingin itu demi menghangatkan Edo. Kami yang berada di dekat mereka hanya diam bersandar pada batu untuk menghela nafas dan merenggangkan kaki. Beberapa juga tertidur. Semua itu akibat jalur pendakian yang terus menanjak curam. Jalur yang terus mengikis energi kami untuk selalu melangkahkan kaki menapaki tangga berbatu.

Salah satu poin penting pada buku Dalam Dekapan Ukhuwah karangan Salim A. Fillah menyebutkan bahwa ukhuwahlah yang membuat seorang mukmin bercemin. Bukan bercermin untuk kagum pada diri sendiri, melainkan seperti sabda Nabi SAW “Mukmin yang satu adalah cermin bagi mukmin yang lain.” Maksudnya, bahwa teman adalah tempat kita untuk berkaca. Saudara seiman adalah tempa untuk saling mengenal dan mengasihi dalam bingkai iman.

Itulah yang ingin dicoba oleh Uman Miftah Sajidin. Ketua Lembaga Dakwah Kampus Jama’ah Al Muqtashidin (JAM) FE UII periode 2010-2011 yang baru diangkat ingin mengajarkan kepada staf-stafnya tentang arti penting sebuah ukhuwah. Caranya, ia mengajak untuk mendaki gunung. Hanya ikhwan, tidak akhwat. Gunung Lawu adalah pilihannya. Gunung yang mudah didaki oleh para pemula seperti para pengurus JAM ini.

“Mendaki gunung itu melatih kita untuk belajar keorganisasian, Mas. Kita bisa belajar tentang makna ukhuwah, kepemimpinan dan ketaatan.” Uman pun bercerita kepadaku saat merencanakan pendakian ini, “Umar bin Khatab juga mengatakan, salah satu cara bisa mengenal sifat orang adalah dengan melakukan perjalanan bersama.”
“Betul, Man.” Cobaku membalas, “Tidak hanya itu, kita juga bisa belajar bagaimana berusaha dan bekerja keras menguras energi agar bisa mencapai cita-cita kita, yaitu puncak gunung. Dari pada mengadakan outbond yang membutuhkan dana besar, mending mendaki saja.”

Kebetulan aku sendiri mempunyai pengalaman mendaki. Aku pun mengiyakan untuk mendampingi mereka. Ikutlah beberapa dari pengurus JAM yang terdiri dari Mahfud, Sulis, Edo, Yusti, Ali, Agi, Faisal ditambah empat orang alumni (baca : mantan pengurus) lainnya termasuk aku. Alumni tersebut adalah Tri, Gandhung dan Faridl yang ikut meramaikan pendakian ini. Mereka terlihat bersemangat. Rasa semangat itu terlihat dari keseriusan mereka mempersiapkan perbekalan tiga hari sebelum pemberangkatan. Mereka terlihat layaknya ingin pergi berwisata (rihlah). Pengibaran bendera JAM di Puncak Lawu adalah cita-cita kami. Yaitu sebagai simbol akan cita-cita dan harapan menggapai puncak kejayaan dakwah kami. Sayangnya, tidak semua pengurus ikhwan ikut dengan berbagai alasan.

“Ayo,” Uman memberi perintah, “Kita jalan lagi. Kita jalan sedikit lagi sampai ketemu tempat untuk membagun tenda.”
Edo terbangun mendengar suara itu. Sudah kuduga ia hanya tidur. Ali pun merasa lega. “Ayo bos, semangat bos, dikit lagi bos.” Ia mencoba memotivasi dengan logat timurnya. Sebelumnya memang Edo terlihat mual dan muntah. Ali yang berada di dekatnya menjadi panik melihat Edo seperti itu. Tidak hanya Edo, Gandhung juga terlihat K.O. Faisal, Sulis, Faridl, dan Uman terlihat sudah menunjukkan raut wajah yang pucat. Aku pun terserang kantuk yang luar biasa. Rasa kantuk mencuri oksigenku untuk mengalirkan energi ke syaraf-syaraf penggerak.

Terlihat ada rasa sesal di antara kami yang kelelahan. Tidak seperti yang dibayangkan, ternyata mendaki gunung itu sangat berat. Bayangan kasur empuk dengan tidur berselimut menghantui pikiran kami. “Ah, tau gitu tidak ikut.” Mungkin begitu yang dipikirkan. Tidak seperti Ali, Mahfud, Agi, Yusti, dan Tri. Mereka terlihat masih sanggup untuk terus menanjak. Dan mereka masih mempunyai keinginan besar untuk segera tiba di puncak.
“Sudah ketemu!” Teriak salah satu dari kami yang berada di depan. Mereka adalah Mahfud, Agi dan Yusti. Mereka sedang mencari tempat yang agak sedikit lapang untuk membangun tenda. Kami berencana untuk tidur sejenak.

Mendengar suara itu kami segera menuju ke sana. Dengan langkah sempoyongan Edo dan Gandhung melangkah secara perlahan-lahan menapaki tangga berbatu kembali. Ali membantu Edo dengan membawakan carrier –nya (baca : tas gunung) Edo yang beratnya mencapai belasan kilogram. Ia membawa dua tas. Tasnya sendiri dan carrier Edo. “Sungguh kuat anak itu,”batinku.

Setelah tiba di tempat yang dipilih, aku secara refleks mencari tempat yang agak jauh dari mereka. Aku mencari tempat untuk bisa tidur. Jas hujan aku keluarkan sebagai alat untuk menutupiku tubuhku dari angin gunung yang begitu dingin. Padahal kawan-kawan yang lain sedang membangun tenda. Setelah satu tenda berhasil berdiri, aku dibangunkan untuk pindah tidur ke tenda. Segera saja aku pindah dalam kadaan setengah sadar. Ternyata di dalam sudah ada yang tidur, mereka adalah orang-orang yang KO dalam pendakian ini. Beberapa dari kita pun ada yang masih sibuk membangun tenda berikutnya di saat waktu sudah menunjukkan pukul 2 malam.

Buku Dalam Dekapan Ukhuwah banyak menceritakan kisah para sahabat Rasul saw. Yaitu kisah tentang berbagai sifat dan perilaku yang dimiliki para sahabat. Meski memiliki keimanan yang sama, mereka juga memiliki perbedaan. Baik dalam perilaku, pendapat, keputusan dan sikap. Ukhuwahlah yang membuat mereka saling memahami, saling mengerti dan menghormati segala tindakan baik keputusan pemimpinnya maupun sikap sahabatnya.

Begitu juga kami yang melakukan pendakian ini. Kami adalah sekumpulan manusia yang mempunyai cita-cita dan misi yang sama. Namun harus berhadapan dengan segala perbedaan yang kami miliki. Baik fisik, hasrat, dan mental. Dari sisi fisik ada yang kuat dan ada yang lemah. Seperti salah satu rombongan dari kami yang bernama Ali ini. Ia betul-betul memiliki energi ekstra. Ketika langkah demi langkah kaki terus menopang tanjakan berliku, hanya dia yang gerak nafasnya standar. Tidak aja raut lelah di wajahnya. Wajahnya yang ketimuran, hitam dengan rambut cepak dan tebal, sudah menyiratkan bahwa ia adalah manusia dengan energi besar layaknya Boas Salossa si striker Timnas PSSI. Kami pun mempunyai candaan jika perjalanan pendakian ini adalah seperti perjalanan hari-hari Ali dari daerah asalnya. Makanya, Uman memerintahkan dia untuk berjalan pada posisi paling belakang agar langkahnya mampu menyeimbangi kami semua. “Kasihan anak orang, kalau taruh di depan bisa hilang.” Cetusku.

Berbeda dengan Gandhung. Tubuhnya yang gempal dan energi yang terlihat pas-pasan membuat langkahnya terasa berat. Hampir setiap ada kesempatan ia berhenti untuk menghela nafas. Terkadang harus duduk untuk meringankan kaki dan meminum seteguk air. Begitu juga Edo. Tubuhnya yang kecil dan untuk pertama kalinya mendaki gunung membuat ia belum terbiasa dengan kondisi pendakian ini. Beratnya tanjakan, udara yang dingin dengan oksigen yang tipis serta kantuk yang dimiliki akibat kekurangan waktu tidur bersatu melemahkan energinya untuk mendaki dengan lancar.

Bagi yang kuat, orang lemah adalah orang-orang penghalang untuk bisa menjalankan rencana pendakian dengan mulus. Lihat saja, perjalanan pendakian ini terlihat memakan waktu yang lama. Dari pos yang satu ke pos yang lainnya memakan waktu yang tidak sesuai standar pendaki. Meski begitu, terlihat beberapa dari kami yang kuat mencoba memaklumi dan bersabar mengikuti ritme kami yang cepat lelah. Seperti Ali, ia dengan sabar berada di posisi paling belakang dengan langkahnya mengikuti ritme Gandhung. Ia juga sering melontarkan omongannya yang penuh canda sehingga membuat kami tertawa. Sosok penghibur itu sedikit dapat melupakan rasa lelah kami karena mendengar ocehannya yang ngalor-ngidul .

Semenjak di basecamp pendakian Cemoro Sewu, kami sudah merencanakan dan menargetkan akan tiba di puncak sebelum subuh. Kami akan berkemah di puncak dan ingin melihat sunrise ketika fajar menyingsing. Saat itu hari Jum’at. Keinginan untuk mulai mendaki setelah sholat jum’at sedikit tertunda akibat harus menunggu beberapa dari kami yang belum hadir di Cemoro Sewu dikarenakan terpisah saat pemberangkatan menuju basecamp. Agar bisa mencapai puncak bersama-sama, kami harus menunggu. Karena tidak sabar menunggu, kami mulai berjalan saja dan berjanji untuk bertemu di pos 1 jalur pendakian. Rombongan akhirnya lengkap di pos 1 ketika menjelang magrib. Kemudian kami melanjutkan perjalanan menuju pos 2.

Tiba di pos 2 waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam. Di pos tersebut kami sempatkan untuk makan malam dan sholat jamak akhir magrib-isya.
“Kalau berkemah di sini dulu gimana? Kita lanjutkan besok aja perjalanannya.” Permintaan Edo terlontar dari mulutnya, “Saya sepertinya sudah tidak kuat, ingin tidur dahulu.”
Sontak saja. Beberapa dari kami menolak ajakan tersebut. Sebab, harus mengejar target untuk tiba di puncak dan ingin menikmati keindahan sunrise di waktu dan tempat yang tepat.

Seperti kata Sun Tzu yang dikutip Salim dalam buku tersebut, “Ketika pasukan telah erat disatukan, yang pemberai tak berkesempatan maju seorang diri, yang pengecut takkan bisa mundur berlari-lari.” Maka, selalu berusaha untuk tetap bersama menuju tujuan akhir adalah tindakan yang mesti dilakukan. Kami yang ingin tidur harus mengalah sejenak agar tetap bisa selalu bersama melanjutkan perjalanan.

Dan kendala harus dihadapi. Jalur setelah pos 2 merupakan jalur dengan medan yang lebih berat lagi. Tidak hanya Edo dan Gandhung yang tumbang, beberapa lainnya termasuk aku juga ikut tumbang. Hampir setiap beberapa langkah harus berhenti menghela napas. Terkadang bila ada tempat yang nyaman untuk bersandar, kami duduk untuk menyandarkan kepala dan punggung. Edo pun sempat masuk angin dan muntah-muntah dalam perjalanan itu.

Aku pun mengalami kantuk yang sangat berat. Kekurangan waktu istirahat juga mendukung muncunya rasa lelah dan rasa kantuk itu. Sebelum menuju ke basecamp pendakian Cemoro Sewu, kami mampir dahulu ke Kota Ngawi pada malam sebelumnya. Banyak cobaan diperjalanan yang membuat waktu terbuang untuk istirahat sehingga kami kekurangan tidur. Karena itulah, aku juga mendukung untuk beristirahat tidur sejenak.

Akhirnya, Uman sebagai pimpinan rombongan mengajak kesepakatan untuk istirahat tidur di sekitar jalur tersebut. Demi kebersamaan, semuanya menyepakati dengan resiko semua rencana kita di awal yaitu mencapai puncak di pagi hari akan tertunda. Mencoba untuk saling mengalah sudah menunjukkan penghargaan terhadap perbedaan dan kekurangan di antara kami.

Sesaat sebelum melanjutkan perjalanan setelah istirahat tidur dan sarapan.
Sekitar pukul 4.30 pagi aku terbangun. Sedikit kesiangan dari waktu shubuh. Langit sudah mulai terang. Rimbunan kabut tipis menyelimuti lereng gunung ini. Ternyata yang lain pun juga baru bangun. Dan ternyata juga, mereka yang membangun tenda tidak tidur di tendanya. Sebagian tidur menggunakan sleepingbed dan sebagian tidur berselimutkan tenda yang tidak jadi dipasang. Aku jadi merasa bersalah. Mereka yang membangun tenda tidak ikut tidur di dalam.

“Bangun-bangun.. subuh.. subuh…” teriak salah satu dari kita.

Dengan tubuh mengigil dan uap putih yang keluar dari mulut dan hidung, kami jalankan kewajiban sholat subuh di area tenda dengan alas tanah dan tanpa melepaskan sepatu. Di tengah sholat subuh itu membangunkan kesadaranku kuatnya ukhuwah diantara kami. Aku bercermin pada diriku sendiri yang lalai akan sikap berkerjasama. Aku menjadi lalai karena egoku yang ingin segera tidur. Padahal malam itu, jika dipaksakan aku masih mampu untuk membangun tenda secara cepat.

Karena iman, tidak ada saling tuntut di antara kami. Karena iman, sikap saling menyalahkan tidak terlontar di mulut kami. Karena iman, keinginan untuk saling berkorban muncul dalam hati-hati kami. Lihatlah pengorbanan Ali kepada Edo. Dan karena iman, kami saling bersatu membahu untuk selalu bersama menempuh perjalanan menunju puncak cita-cita kami. Untuk menebus sebagai rasa bersalahku pagi itu, aku membagikan semua perbekalan yang kumiliki dari dalam carrier-ku. Juga tidak lupa membereskan perlengkapan dan tenda. Untuk sarapan, kami pun menggabungkan semua mie instan yang dimasak kemudian dibagikan satu persatu. Sehingga, bagi yang perbekalannya sudah habis masih dapat jatah sarapan.

Setelah selesai sarapan dan membereskan tempat, kami tetap melanjutkan perjalanan menuju puncak. Semuanya sudah terlihat segar. Raut wajah lelah sudah hilang. Tidak hanya karena telah beristirahat, tetapi juga karena keindahan pemandangan alam yang dipancarkan pagi itu melupakan rasa lelah kami. Semangat pun muncul dengan mengebu-gebu untuk segera tiba di puncak. Sebab, pesona alam di puncak pasti akan lebih indah lagi.

Dengan satu cita-cita, langkah demi langkah kami tapaki kembali menyusuri lereng Gunung Lawu ini. Pos demi pos kami lewati. Kali ini sudah tidak ada hambatan. Jalur sudah mulai landai. Langkah kami begitu mulus tanpa harus selalu berhenti. Keindahan lereng dan pemandangan di bawahnya melupakan rasa lelah kami. Bunga-bunga edelweis menyambut kami dengan pesonanya. Lautan awan bergulung indah di bawah sana. Hingga akhirnya kami mencapai satu bukit lagi menuju akhir penderitaan.

Di bukit terakhir itu, kami mencoba berlomba untuk mencapai puncak Argo Dumilah (nama Puncak Lawu). Jalur di bukit terakhir itu paling curam dari jalur sebelumnya. Butuh energi ekstra untuk bisa melangkah cepat. Aku pun berusaha untuk bisa menjadi yang pertama. Namun sayang, ditengah perjalanan Ali menyalipku. Ia melangkah seperti orang biasa berjalan. Dan akhirnya ia menjadi orang pertama dari kami yang mencapai puncak. Kemudian aku menyusulnya.

Tepat pukul 12 siang bendera JAM berkibar di Puncak Lawu. Awan tipis dengan latar alam yang mempesona menyambut gaungan teriakan takbir kami. Sebuah teriakan takbir kebahagiaan atas prestasi yang akhirnya kami raih.
“Kawan,” Uman mencoba berbicara, “untuk bisa menikmati segala impian dan cita-cita dunia seperti ini kita butuh kerja keras dan pengorbanan. Pendakian semalam hingga siang ini adalah usaha kita untuk bisa tiba di tempat yang indah ini. Tanpa ukhuwah tidak mungkin kita tiba di tempat yang indah ini secara bersama-sama.” Kemudian ia melanjutkan, “Namun, perjalanan ini hanyalah simbol dan pelatihan perjuangan kita. Perjuangan sesungguhnya adalah usaha dan kerja keras kita menjalankan agenda-agenda dakwah JAM di kampus UII. Pada kerja nyata, kita akan mengalami hal yang sama seperti kejadian pada pendakian ini. Maka, iman dan ukhuwahlah yang akan mempersatukan cita-cita kejayaan dakwah ini.”

Salim A. Fillah pun menulis di akhir bukunya Dalam Dekapan ukhuwah, “Bahwa baik iman maupun ukhuwah bukanlah hal yang semula jadi dan bisa muncul sendiri. Hubungan antara keduanya juga bukanlah kaidah sebab akibat. Keduanya adalah pemahaman sekaligus keterampilan. Keduanya perlu ikhtiar dan kerja-kerja. Keduanya dihadirkan dalam diri denga upaya. Kita harus mempelajari ilmunya, memahami makna-makna, memperhatikan kaidahnya, melatih dan mengamalkannya di alam pergaulan.” Itulah yang kami dapati pada pendakian ini.

Dari dekapan ukhuwah di Puncak Lawu, kami mengambil cinta dari langit dan menebarkannya di bumi dengan persaudaraan suci; sebening prasangka, selembut nurani, sehangat semangat, senikmat berbagi, dan sekokoh janji.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More