Rabu, 12 Januari 2011

Cerita Jilbab Di Sekolahku

Oleh: Aris Sutamto

Peristiwa 12 September 2006 membuat dadaku berdegup kencang. Segenap urat saraf bekerja keras mencari celah kesalahan yang kami lakukan. Bapak Mashadi pun tak bedanya dengan aku. Sebagai Guru agama Islam di SMP Negeri 4 Muting, tentunya menjadi tanggung jawab besar bagi beliau, ketika ada masalah yang berkaitan dengan siswinya. Aku memang bukan siapa-siapa, tetapi bagiku masalah ini bagai halilintar yang menyambar hatiku sebagai seorang muslim. Betapa tidak, ini adalah masalah syari’atku yang diperangi tanpa alasan yang jelas.

Siang itu tepatnya pukul 11.00 WIT, suasana panas membakar Distrik Muting yang letaknya di Kawasan Timur Nusantara. Daerah yang berjarak sekitar 350 km dari kota Merauke. Tetesan peluh keringat berjatuhan dari para siswa maupun siswi yang menempuh jarak 15 km dengan sepeda ontelnya ketika bersekolah di SMA Negeri 1 Muting.
Hari Jum’at 12 September 2006 merupakan hari terakhir bagi Tatik Kustiah, Siamah, Kusmini serta beberapa teman lainnya mengikuti MOS (Masa Orientasi Sekolah) di SMA Negeri 1 Muting. Dan diantara siswa-siswi itu, mereka bertigalah yang harus pulang dengan tetesan air mata. Mereka bertigalah yang dinyatakan ‘bermasalah’ oleh kepala SMA Negeri 1 Muting. 

Mereka bertiga harus terusir dari ruangan kepala sekolah karena izin untuk menggunakan jilbab pada hari-hari selanjutnya di sekolah tersebut. “SMA Negeri 1 Muting bukan sekolah agama” alasan itulah yang terlontar dari Bapak kepala sekolah. Sebagai wanita mereka pun hanya bisa meneteskan air mata. Walau secara fisik mereka seakan lemah, tetapi sesungguhnya mereka tegar. Dalam hati mereka selalu bertekad untuk memakai jilbab. Alasannya sederhana “Kami ingin menjalankan perintah agama.” Kata mereka.

Setiba di rumah, mereka hanya terisak di pangkuan orang tuanya masing-masing. Selanjutnya kabar itu pun beredar di Kampung Elnggol Jaya distrik Muting, yang berjarak 15 km dari keberadaan SMA Negeri 1 Muting. Bapak Mashadi sebagai guru agama Islam mereka ketika di SMP, merasa sangat terpukul ketika mendengar kabar tersebut. Nalurinya sebagai guru agama Islam marah sejadi-jadinya. Betapa tidak, murid yang dengan susah payah beliau didik agar menjadi generasi umat yang Islami, dilecehkan begitu saja oleh oknum kepala sekolah dengan alasan yang sangat tidak masuk akal. Beliau merasa, tidak ada gunanya mengajarkan akhlakul karimah, ketauhidan bahkan penanaman syari’at pada siswanya, jika hanya berdiam diri ketika kabar itu sampai di telinganya.

Esok harinya dengan niat yang baik, Bapak Mashadi berkunjung ke SMA Negeri 1 Muting untuk mengadakan koordinasi dengan kepala SMA serta segenap dewan guru. Menurut beliau, ini adalah masalah serius yang harus segera diselesaikan, minimal dengan kekeluargaan. Jika ini dibiarkan, dikhawatirkan menjadi masalah besar bagi keharmonisan kehidupan beragama di kawasan timur perbatasan Indonesia-PNG.
Koordinasi pun berlangsung cukup panas. Terjadi perdebatan alot di sana. “Pak Hadi, ini bukan sekolah agama!” Alasan itu muncul kembali ketika Pak Mashadi menanyakan perihal pelarangan berjilbab di sekolah tersebut. “Maaf Bapak Kepala Sekolah, kami sangat menyadari jika ini memang bukan sekolah agama, bahkan kami menyadari bahwa ini adalah sekolah SMA negeri. Dan justru karena sekolah negeri itulah, siswi kami berani menggunakan jilbab. Bukankah Negara kita mengatur bahwa adanya kebebasan beragama serta menjalankan syariatnya sesuai dengan keyakinan masing-masing?” 

Suasana koordinasi semakin tegang tersulap bagai perdebatan yang rumit. Para wajah pun saling memancarkan kebencian. Kepala Sekolah terus berdalih beribu alasan. Sementara Pak Mashadi sekuat tenaga memperjuangkan syari’atnya. ”Pak Hadi, saya akan mengizinkan anak-anak memakai jilbab, jika mereka memang memakainya sejak kecil. Dari TK, SD maupun SMP.” Alasan inilah yang mungkin membuat kita yang menyimak merasa geli. Aneh. Alasan yang sungguh tidak rasional. Tetapi itulah yang terucap dari sang kepala sekolah. 

Hari itu koordinasi belum mendapatkan hasil yang memuaskan bagi umat muslim, khususnya di Distrik Muting. “Oke, saya akan mengizinkan anak memakai jilbab, jika ada surat izin dari Dinas Pendidikan Menengah kabupaten Merauke.” itulah poin yang bisa diambil pada koordinasi awal. Dan menurut Bapak Mashadi ini bukan hal yang sulit untuk dilakukan.
Pertemuan dengan kepala SMA dan dewan guru nyaris perpekan dilakukan. Namun sama sekali tidak mendapatkan titik temu yang berarti. Bahkan ketika Bapak Mashadi membawa surat izin dari DIKMEN, kepala sekolah kembali berdalih. “Saya mau mengizinkan, jika ada izin dari Dinas Provinsi.” Alasan demi alasan kami nilai semakin konyol. Dan sama sekali tidak menghargai dan mengindahkan apapun yang kami perbuat.

Kejadian ini sebenarnya bukanlah untuk yang pertama kali terjadi di kota Rusa. Sebelumnya pernah terjadi pada tahun 2002 tepatnya di SMP Negeri 4 Muting, yang mengakibatkan 2 sahabat saya harus keluar dari sekolah. Dan mencari sekolah baru yang dapat menerima mereka. Hatiku miris jika mengenang ini semua. Tetapi inilah secuil kisah yang pernah kami lalui di ujung timur nusantara. Dan di tahun 2006 harus terjadi lagi untuk yang kedua kalinya. 

Tetapi pada kejadian yang kedua, kami merasa tidak boleh hanya diam. Umat Islam harus kuat seperti Khalifah Umar bin Khatab dan juga harus cerdik dan cerdas seperti Khalifah Abu bakar. Umat Islam tidak boleh kehilangan taji. Pelecehan demi pelecehan menurut kami akan semakin menginjak harga diri kami sebagai umat muslim. Dan oleh sebab itulah, kami merasa perlu koordinasi dengan orang-orang yang kami nilai bisa memberikan urun rembuk. Kendatipun demikian, ketiga siswi itu harus menunggu selama empat bulan lamanya menanti ketidakpastian. Antara boleh atau tidaknya memakai jilbab di SMA Negeri 1 Muting. Di satu sisi, kepala sekolah bersikukuh melarang mereka memakai jilbab, tetapi di sisi lain, mereka bertiga pun kukuh pada pendiriannya untuk mengenakan jilbab, meskipun harus pindah dari sekolah tersebut sekalipun. 

Setelah menunggu selama empat bulan, keputusan akhir kepala sekolah menyatakan bahwa mereka tetap tidak boleh memakai jilbab di SMA Negeri 1 Muting. Maka, mereka bertiga pun harus pindah sekolah. Setelah mencari sekolah yang tepat, alhamduliiah akhirnya mereka diterima di Madrasah Aliyah Al-Furqan Merauke. 

Menurut kepala SMA Muting, ini mungkin merupakan kekalahan bagi kami. Tetapi menurut kami ini justru suatu kemenangan. Karena kekalahan adalah jika kami menanggalkan sebuah tekad untuk menuruti keinginan mereka. Dan kemenangan adalah ketika kami kukuh pada tekad kami untuk menggenggam perintah Allah seperti halnya Bilal Bin Rabbah menggenggam ketauhidan dalam hatinya. Tetapi alhamdulillah, justru teman-teman putriku semakin kuat azamnya untuk berjilbab. Dan itu semua sekali lagi bahwa mereka ingin menjalankan perintah agama. Karena mereka yakin, bahwa Allah selalu menyimpan hikmah dari setiap kejadian, yang suatu saat akan diperlihatkan kepada para hamba-Nya yang beriman.

Terus terang aku tertarik untuk menuliskan kisah ini, ketika aku membaca buku yang diterbitkan oleh Pro-U Media yang ditulis oleh Mh. Hanun Siregar yang berjudul “Makin Sehat Dengan Berjilbab.” Yang menurut aku sangat inspiratif. Dan menurutku, ketika Allah memerintahkan sesuatu kepada hamba-Nya, selalu tidak merugikan hamba-Nya sama sekali, dan justru menyimpan keutamaan-keutamaan yang terkadang tidak kita sadari. 

Lalu, cukup disinikah cerita jilbab di sekolahku? Aku rasa kurang etis jika aku tidak menyelesaikan kisah ini. Dan juga menurutku tidak menarik jika aku harus memutusnya tanpa ujung perjuangan yang berbuah manis.
Hari terus berlalu dan masalah jilbab di sekolahku semakin menarik untuk diperbincangkan. Bahkan sampai pada dinas-dinas terkait dan juga kalangan elit politik sekalipun. Para anggota DPRD pun mulai memperbincangkan masalah ini. Anehnya kami tidak lagi menggubris masalah tersebut. Bahkan nyaris melupakannya. Hingga suatu saat tepatnya pada tahun 2008, kami mendapat kabar bahwa ‘jilbabku’ sudah boleh bersekolah di sekolahku, lantaran kepala SMP Negeri 4 Muting telah dilengser dari jabatannya sebagai kepala sekolah dengan alasan, bahwa beliau berindikasi melakukan hal-hal yang membahayakan keharmonisan umat beragama di distrik Muting. Lalu, bagaimana dengan kepala SMA Negeri 1 Muting? Inilah hikmah yang Allah perlihatkan kepada kami bahwa beliau harus mengaku “kalah”. Dan dengan terpaksa harus mengizinkan ‘jilbabku’ bersekolah dengan bebas. 

Mendengar kabar itu hatiku mengharu biru. Senantiasa mengucap syukur kepada Allah Sang Maha Melihat. Aku sangat bangga. ‘Jilbabku’ kini berkibar dengan indah menebar wangi. Menjulang tinggi menembus kelam. Merengkuh jiwa yang tertunduk malu. Alhamdulillah hingga saat ini ‘jilbabku terus bersekolah’. Inilah hikmah yang bisa aku petik dari deretan kisah panjang yang melelahkan, bagaimana sulitnya memakai jilbab di sekolahku. Bukan hanya sekedar takut ketombean, rambut rontok, bahkan jika dinyatakan tidak gaul sekalipun. Menurut kami, selama kami mengerjakan perintah Allah, itulah perbuatan terbaik yang akan bernilai pahala di sisi-Nya. Terima kasih Abi Mashadi, Umi Sutiwi, perjuangan Abi dan Umi tidak sia-sia. Abi dan Umilah yang memberikan sekelumit cerita jilbab di sekolahku. Semoga menjadi kenangan manis tak terlupakan bagi kami. Kepada saudariku, Tatik, Kusmini dan Siamah semoga Allah tetap menyayangimu hingga di akhirat kelak. Amiin….

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More