Senin, 27 Desember 2010

Ternyata Aku Bukan Bidadari

Nikmatnya pacaran setelah pernikahan, buku pinjaman dari seorang ukhti. Buku itulah yang menjadi titik tolak perjalanan iman dan islamku. Baru beberapa bab dibaca, aku lalu mematut diri di depan cermin. Bertanya pada bayang didepanku. Satu pertanyaan, “apa yang kau cari”?

Seperti halnya banyak remaja seusiaku waktu itu, pacaran menjadi gaya hidup. Seolah hal itu penting dan harus ada. Aku pun mengalami masa2 itu. Rasanya garing kalau tak punya pacar, week end mati gaya karna tak ada yang ngapelin. Singkat cerita aku pun pacaran.

Kembali ke buku NPSP. Aku terdiam lama setelah membaca bait pertama synopsis di cover belakang.

Alangkah seringnya

Mentergesai kenikmatan tanpa ikatan

Membuat detik-detik didepan terasa hambar

Sebait itu, yang hanya 3 kalimat serasa langsung menghantamku. Tepat sasaran. Pelan tapi pasti kususuri daftar isi, bab demi bab. Akhirnya aku terhenti di bab 3 “agar aku dan kau, tak lagi membuat setan bahagia”. Aku ingin sekali mengikuti saran penulis. Katakan!, ya katakan. Aku ingin katakan. Sangat ingin.

Mudahkah? Tentu tidak kawan. Hatiku terbolak balik, antara ingin dan tak ingin. Ada bimbang dan ragu. Berbagai pertanyaan silih berganti dianganku. Benarkah keputusan itu? tidakkah nanti menyesal? Terluka kah aku? Terluka kah dia? Ah, dia kan tampan, sangat baik dan santun selama ini. Lagipula hubungan kami selama ini cukup sehat. No kissing, no touching. Bla…bla….bla….. intinya sisi hatiku yang lain berontak, tak rela hubungan itu berakhir. Kuteruskan membaca buku itu sampai akhir.

Dalam masa kebimbangan itu, aku terus menghindar. Jaga jarak, belum siap menyusun kalimat putus. Dia bingung dengan sikapku, dia mencegatku dijalan. Pulang kuliah, pulang dinas, sampai akhirnya keputusan itu bulat. Kami berakhir.

Selesaikah? Belum kawan. Aku tak tahu persis apakah dia memang dengan mudah melupakanku atau Cuma ingin memancing reaksiku, tapi yang jelas aku cemburu hebat saat tahu ia jalan dengan perempuan lain. Tak terima huhuhu. Dengan tak tahu malu, kusampaikan terus terang padanya tentang kecemburuanku. Dia mengusulkan pacaran lagi, karna menurutnya hatiku dan hatinya masih merah jambu. Komitmen itu benar-benar diuji.

Nasib baik Allah mengirmkan ukhti-ukhti sholehah menemani langkahku. Akupun semakin mantap. Satu langkah baik sudah kumulai, menyusul langkah-langkah berikutnya. BERJILBAB.

Jilbab sebenarnya bukan hal asing bagiku. Sejak kecil aku didik dalam keluarga yang memahami islam dengan cukup baik, bahkan akupun pernah sekolah di pesantren walaupun tak lama. Lalu siapakah yang mengenalkanku pada celana pendek dan kaos ketat? yang pasti bukan orang tuaku.

Setelah lulus dari tsanawiyah, aku melanjutkan ke SMU Negri. Masa-masa berseragam putih abu-abu memang sungguh indah. Segala hal terlihat merah jambu. Romantisme, Egoisme, kemanjaan, agresivitas, membuatku limbung. Kutatap bayangku di cermin, cantik. Aku pun tersenyum, aih manisnya. Kunamai bayangan itu Bidadari. Lalu aku berpikir, mengapa harus ditutupi anugrah ini.

Aku bukan tipikal wanita yang pintar berdandan seperti teman-teman yang lain. Lipstick, blush on, mascara, bukan cirri khas ku. Lalu seperti apa aku saat itu? Kaos oblong, celana selutut, rambut digulung keatas seperti hendak mandi. Parahhhh!! Tapi ternyata disitulah daya pikatku

Satu per satu pria mendekatiku, teman sekelas, teman kelas sebelah, kakak kelas, tetangga sebelah rumah, sampai

akhirnya aku hatiku terpaut pada seseorang. Kakak kelasku. Dunia terasa indah berangkat sekolah penuh semangat, pelajaran sekolah terasa sangat menggairahkan. Aku jatuh cinta!!! Hampir 2 tahun kami pacaran. Berakhir saat hendak naik kelas 3. Aku down. Depresi, hampir frustasi.

Kembali kutatap bayang di cermin. Bidadari itu tak lagi manis, sebab tak mampu mengukir senyum. aku menjadi ragu. Benarkah aku bidadari? Ternyata bukan. Mana ada bidadari bermata sembab dan berwajah kuyu.

Selang beberapa tahun, kutemukan buku kedua Salim A Fillah, “Agar Bidadari Cemburu Padamu”. Aku penasaran, teringat akan bidadari bermata sembab dan berwajah kuyu yang ternyata bukan bidadari. Hanya perempuan biasa dari makhluk bernama manusia. Di dalam buku itu diceritakan bahwa bidadari itu bermata jeli, Wajahnya bercahaya. Tak berdosa dan selalu taat pada tuhannya. Aku langsung malu hati. Berani-beraninya dulu menyebut diri bidadari padahal begitu banyak larangan tuhan yg kuabaikan.

Kembali ku tatap bayang di depan cermin, wanita biasa itu tersenyum kembali, manis. Tapi beberapa saat kembali muram. Tersadar, “aku bukan bidadari”. Kuamati lagi cover buku merah jambu itu, “Agar Bidadari Cemburu Padamu”. Ah, benarkah bidadari bisa cemburu padaku? Bukankah dia sempurna. Cantik, tanpa dosa.

Bidadari itu di ciptakan tuhan tanpa nafsu. Jadi memang tugasnya hanya beribadah dan mentaati tuhan, tanpa bantahan. Lalu apa yang dicemburui bidadari pada wanita bumi? Sholatnya, puasanya, serta ibadahnya. Aiiih hebat bukan buatan.

Wanita bumi diciptakan disertai dengan nafsu. Ketika ia mampu menundukkan nafsu itu, ia menjadi luar biasa, bahkan bidadari pun cemburu. Aku tersentak, lantas bersorak dalam hati, “aku memang bukan bidadari, tapi aku bisa lebih hebat dari bidadari”.

Kukenakan jilbab, ku tatap bayang dicermin. Kulepas lagi, kupakai lagi. Berulang-ulang, lagi…lagi…dan lagi…. Taraaaaa tetap cantik, tapi kali ini terlihat teduh. Kumantapkan hati, kututup auratku. Rapat!!,,,

Bersambung....

Salim A fillah begitu piawai mengolah kata. Ringan, sederhana, romantic, dan tepat sasaran itulah gayanya. I like it!!

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More