Selasa, 28 Desember 2010

Menikah atau Lupakan?!

Oleh: Muhammad Nurrokhim

“Gimana sih rasanya pacaran?” tanya seseorang suatu ketika.
Aku hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum. “Ada deh. Itu rahasia perusahaan.”

Di dalam diriku tentu saja aku tidak bisa mengelak, pertanyaan itu akan terjawab dengan sendirinya tanpa diminta, walau jawaban itu subyektif, kurasa semua orang yang pernah mencicipi pacaran pasti sedikit banyak juga mengalaminya. So, simaklah dengan seksama. Pacaran itu sesuatu yang sangat menyenangkan. Pacaran adalah suatu kenikmatan. Tahu kenapa? karena kita bisa berbagi perasaan dengan orang lain yang kita anggap lebih, membawa hati ke langit ketujuh ketika seuntai kata-kata indah sang Doi membelai telinga dengan lembut, menciptakan gelembung khayalan yang aneh-aneh disaat sendirian sambil senyum-senyum tak jelas, memacu adrenalin pada waktu jalan berduaan, dan lain sebagainya. Tak hanya itu, pacaran juga mengajarkan berbagai macam konflik yang terjadi ketika laki-laki dan perempuan menjalin suatu hubungan, hal semacam itu mungkin bisa menjadi pembelajaran dan persiapan ketika rumah tangga nanti. Yeah, itulah yang aku pikir dan rasakan selama dua tahun menjalani hubungan dengan title ‘pacaran’. Sebuah hubungan yang selama ini aku anggap sah-sah saja karena memang sudah begitu umumnya, baik di lingkungan keluarga maupun sekolah, sama saja, asalkan tidak mengganggu rutinitas belajar dan tidak sampai kebablasan, semisal ML (making love). Dalam persepsiku, kebanyakan teman-teman, bahkan orangtuaku sendiri menganggap bahwa pacaran hanyalah sebuah alat provokasi yang efektif untuk membuat semangat belajar terus naik, semangat berprestasi kian membara, dan semangat untuk maju semakin menggebu, oleh karenanya orangtuakupun tak pernah mempermasalahkan, menyalahkan ataupun melarangku berpacaran.

“pokoke gak sampai mengganggu sekolahmu nduk” kata Ibu suatu saat ketika aku membicarakan masalah pacaran dengannya. Sedangkan Ayahku, beliau tak pernah begitu perduli dengan urusan seperti itu, yang penting baginya adalah prestasiku di sekolah tidak mengecewakan sehingga banting tulang yang beliau lakukan tidak sia-sia. kesimpulannya jika pacaran bisa menjadi faktor pendukung naiknya prestasi, why not? Kira-kira seperti itulah.

“El, kemarin masku yang kuliah di Jogja baru pulang lho.” Kata Lia salah satu sahabatku ketika istirahat.
Aku agak tertegun, dahiku berkerut. “Lalu apa hubungannya denganku?” tanyaku
“Gak ada sih, cuman dia bawa buku yang amat bagus.” jawab Lia sambil cengengesan, sejak dulu sifatnya yang seperti itu memang tak pernah berubah. “Mau baca gak?” tawarnya kemudian.
“Emang buku apaan sih?” tanyaku penasaran. Kebetulan aku memang suka membaca buku.
“Besok tak bawain deh,” jawabnya kemudian, lalu ngeloyor meninggalkanku sendiri di bangku taman sekolah.

Keesokan harinya seperti yang di janjikan, Lia membawa buku yang ia sebut-sebut kemarin.
“Nih bukunya.” Lia menyerahkan sebuah buku kecil seperti buku saku yang judulnya sekilas aku lihat sama sekali tidak menarik minatku. Nikmatnya Pacaran Setelah Pernikahan, buku dengan tema seperti itu biasanya sangat membosankan karena penuh dengan doktrinasi yang kaku dan menjemukan. Sempat terbersit juga untuk tidak jadi meminjam buku tersebut, akan tetapi aku tak mau mengecewakan Lia yang sudah repot-repot menepati janjinya.
“Gak nyangka Yha, bacaanmu buku-buku ginian” kataku sambil membolak-balik halaman buku tanpa sekejappun memperhatikan apa yang tertulis didalamnya.
Lia tak berkomentar apapun ia hanya tersenyum kecil lalu pergi. “Jangan lupa kalau sudah selesai dikembalikan secepatnya, soalnya aku kan juga pinjem,” pesannya.
“Siip lah,” kataku sambil mengacungkan jempol.
Sepeninggal lia kuamati buku bersampul hijau itu sebentar, lalu kumasukkan ke dalam tas.
“El,” sapa seorang cowok yang datang dari belakangku. Ia adalah Bryan. Seorang ketua PMR yang merangkap jabatan sebagai kekasihku. Doi seorang cowok yang berkharisma, exellence dalam kepemimpinannya, dan baik hati pada siapapun, tidak hanya kepadaku saja, oleh karenanya tidak heran jika ia begitu diidolakan di sekolah. Selama menjalin hubungan dengan Bryan aku banyak mengalami perubahan-perubahan, terutama prestasi akademik yang dulunya sempat menurun karena aku nge-drop disebabkan masalah keluarga.

Sepulang sekolah, iseng-iseng sambil tiduran di kasur kubaca pelan-pelan buku yang dipinjamkan oleh Lia. Di luar dugaanku ternyata buku itu sangat menarik, aku terpikat dengan gaya bahasa yang digunakan oleh penulis, begitu komunikatif dan anak muda banget, membaca buku itu seolah aku di ajak untuk berdiskusi secara langsung. Bab demi bab aku lahap, aku mulai terhasud, isinya begitu menyentak, memantik, dan menyindirku, terutama yang berhubungan dengan pacaran. Semua yang berkaitan dengan cinta di ungkap dengan begitu anggun hingga indah makna cinta yang hakiki terasa sampai ke hati. Semua yang berhubungan dengan pacaran ditelanjangi dan dipereteli satu persatu hingga aku merasa malu. Dengan diksi yang mengesankan, penulis ingin menancapkan sebuah kesimpulan di benak pembaca bahwa yang dinamakan pacaran pranikah adalah istilah yang tidak pernah hadir di dalam kamus islam, islam mempunyai aturan dan model tersendiri dalam mengatur hubungan antara laki-laki dan perempuan yaitu hanya di dalam sebuah intitusi agung yang bernama pernikahan. Semua itu sangat bertentangan dengan apa yang sudah ada di dalam mindsetku selama ini. Aku berusaha melawan, berusaha mencari pembenaran atas apa yang aku pegang dan praktekkan, tapi semua itu sia-sia saja begitu aku dihadapkan oleh penulis dengan pertaruhan akan iman dan takwa kepada Allah SWT, Tuhan yang selama ini aku mengaku bertauhid kepadaNya. Semuanya dibahas begitu jelas dan gamblang, halus namun menampar, dengan argumen-argumen yang membuat nurani sulit menolak. Tidak ada toleransi dan keringanan sedikitpun, tidak ada istilah pacaran islami (aktivis ‘bergelar’ ikhwan-akhwat pun kena sorot), penjajakan dulu sebelum pernikahan, maupun sekedar perangsang semangat belajar, itulah konsekuensi iman. Begitulah jelas Ustadz Salim didalam buku yang tulisnya.

...bahwa keinginan yang kuat untuk berpacaran dalam diri kita ini,-kalau ada-adalah manifestasi kepengecutan yang bertahta dalam sanubari. Kita pengecut, masih takut-takut untuk menanggung beban dalam hidup rumah tangga. Di baliknya, kita begitu licik untuk bersegera menikmati sisi-sisi indah dalam hubungan dua insan. Benar-benar pengecut. (NPSP hal 39-40)

Semakin dalam aku membaca semakin tertusuk-tusuk egoku dengan sindiran-sindiran yang tertulis di dalam buku itu, ingin aku membantahnya, bahwa selama ini meski pacaran aku juga baik-baik saja? tak pernah aneh-aneh? Bahkan Bryan menjadi sesosok yang mampu membimbingku untuk bangkit dari keterpurukan? akan tetapi di dalam lubuk hati ini, rasa keimananku juga tak bisa memungkiri bahwa apa yang diungkap dan dijelaskan oleh penulis adalah sesuatu hal yang benar dan masuk logika. Sesungguhnya apa yang di bahas di dalam buku Nikmatnya Pacaran Setelah Pernikahan sedikit banyak sudah pernah di bahas oleh guru agama yang ada di sekolah ataupun di even-even tertentu yang diadakan oleh organisasi dakwah sekolah, tetapi intensitasnya masih sangat sedikit, lagipula kebanyakan pembahasannya begitu monoton dan membosankan, makanya banyak teman-teman yang tak berminat, terpaksa, dan ogah-ogahan, kalaupun hadir bisa dipastikan banyak yang tak memperhatikan dengan serius, bahkan ada yang ketiduran ketika pembahasan masalah sedang berlangsung.

Lama-lama aku tak kuat untuk meneruskan bacaanku. Terjadi pertarungan yang seru di dalam batinku. Aku merasa malu dengan diri dan keadaanku, aku malu kepada Allah yang mempertanyakan keimanan dan ketakwaanku, namun begitu aku juga tak yakin apakah aku mampu untuk meminta putus kepada cowok yang selama ini begitu baik dan banyak memberikan dukungan kepadaku? Apakah aku sanggup menjalani begitu banyak rintangan yang tak mudah tanpanya lagi? Kulempar buku itu ke lantai. Apa gunanya aku terus membaca buku itu jika aku masih akan mengerjakan sesuatu yang telah nyata disebut sebagai aktifitas yang haram?

Berhari-hari aku diamkan buku itu dirak. Aku tak pernah sanggup untuk menjawab setiap kali Lia bertanya bagaimana pendapatku mengenai buku tersebut. Aku selalu berusaha mengalihkan pembicaraan kepada hal yang lain. Entah berapa hari buku yang di tulis oleh Ustadz Salim A. Fillah ngandang di rak bukuku. Hingga Lia menanyakan buku tersebut dan berpesan kepadaku untuk segera mengembalikannya. aku hanya diam, tidak mengiyakan juga tidak menolak.

...kita pemberani dan jagoan karena di dekat kita ada dia. Kita rajin belajar karena dia. Astaghfirullah, kalau semua karena si dia dan untuk si dia, yang kita simpan untuk bekal akhirat apa coba? (NPSP hal 41)

...Cara belajar menjadi isteri yang baik hanyalah melalui suami begitu juga sebaliknya. TIDAK BISA MELALUI PACARAN. Pacaran hanya mengajarkan bagaimana menjadi pacar terbaik, bukan suami atau isteri terbaik. (NPSP hal 44)

Hampir setiap malam menjelang tidur aku selalu merasa resah, kegundahan dan kegelisahan mengepungku dari segala penjuru, menekanku dengan rasa bersalah dan berdosa, seolah-olah rasa itu tiba-tiba mencuat dari dalam lubuk hati tanpa bisa kukendalikan, lantas kemudian berteriak-teriak.
“Kamu sudah tahu mana yang benar dan mana yang salah! Lalu apa lagi yang kamu ragukan?!”

Ia selalu memberitahu bahwa aku harus melakukan sesuatu. Sesuatu yang sebenarnya aku sendiri sudah menyadarinya bahwa itulah jalan yang terbaik yaitu memutuskan hubungan yang tak sesuai dengan syara’ itu. Dilain sisi keluar pula rasa takut dan kekhawatiran yang selalu membayang-bayangi, mengintai, dan mengintip-intip. Ia membisikkan begitu banyak kemungkinan-kemungkinan buruk hingga kepalaku pusing karenanya apabila aku memutuskan hubungan dengan Bryan. Ah.. semua itu membuatku tak bergairah untuk melakukan apapun, hampir-hampir aku memasrahkan diri pada keputus asaan dan menjadi seorang yang apatis.

Waktu terus berlalu, malam demi malam bergantian datang hingga pekatnya tak lagi kurasa karena aku terus bergelut dengan perasaan yang sama, tak tahan lagi aku menghadapi semua itu. Suatu malam aku berusaha sekuat mungkin untuk menuntaskan bacaanku yang sempat ngadat di tengah jalan, bukan kebiasaanku tidak menuntaskan apa yang sudah aku mulai, kemudian ingin cepat-cepat kukembalikan buku itu kepada si Lia. Namun, masya Allah air mataku tak terbendung lagi ketika Ustad Salim memaparkan mengenai pernikahan yang penuh barakah. Sebuah pernikahan yang mendapatkan keridhaan dari Allah, dan dido’akan oleh para penghuni langit seperti pernikahan Ali bin Abi Tholib ra dengan Siti Fathimah ra. Siapa yang tidak memimpikan hal seperti itu?

Maka mari kita terheran-heran, pada sosok yang mendambakan pasangan suci lahir batin padahal ia telah merenggut sekian kesucian. Bisakah dusta menutupnya? Mungkin. Tetapi siapa yang menjamin bahwa ia tidak sedang didustai juga? (NPSP hal 102)

Tiba-tiba aku merasa diriku ini sangat kotor. Apakah aku bisa dan pantas mendapatkan jodoh seorang imam yang akan membawaku kepada kebarakahan seperti yang digambarkan Ustadz Salim sedangkan saat ini aku masih melakukan sesatu hal yang terus-menerus mengalirkan dosa? Bukankah jodoh itu juga sesuai dengan derajatnya masing-masing seperti yang sudah dijanjikan Allah di dalam Surat An-Nur 26? Aku tidak ingin rumah tanggaku kelak dipimpin oleh orang dzolim. Tidak!. Astaghfirullahaladzim. Malam itu aku bertekad dan berazam untuk segera mengakhiri hubunganku dengan Bryan.

Aku mengutarakan niatku kepada Lia dan Pak Hari guru agamaku. Ternyata mereka sangat mendukung dan menyambutnya dengan suka cita.
“Aku mengharapkan hal seperti ini terjadi padamu sejak dulu El,” kata Lia.

Diskusi demi diskusi membuatku semakin mantap. Namun ternyata bukanlah hal yang mudah untuk memulai sesuatu yang baru. Boleh jadi ketika Bryan tidak ada didekatku keberanianku begitu menggebu-gebu layaknya lasykar mujahidin di medan jihad, namun begitu ia muncul, melihat wajahnya yang teduh, senyumnya yang ramah, dan perhatiannya yang membuatku salah tingkah, tiba-tiba aku mengkerut. Semua kekuatan, keberanian, dan strategi yang sudah aku persiapkan seolah ambruk tak berdaya, kata-kata pilihan yang telah aku buat semalaman suntuk tiba-tiba menguap, lenyap ditelan keragu-raguan. jika sudah seperti itu rasanya aku ingin menghilang saja agar tidak bertemu lagi dengan Bryan.

Lia mengetahui hal itu. Dengan sabar dan telaten ia mendampingiku. Memberiku semangat dan dorongan yang lebih. Kehadirannya sungguh sangat berpengaruh bagiku. Ia berhasil membuatku jengkel akan keragu-raguan yang ada di dalam diriku. Sepertinya dia menyadari betul bahwa usahanya memang bukan usaha yang sia-sia karena suatu sore dengan badan gemetar aku berhasil bicara dengan Bryan dan menyampaikan maksudku untuk putus dengannya. Kuutarakan semua alasan-alasan yang persis seperti apa yang tertulis pada buku Nikmatnya Pacaran Setelah Pernikahan. Aku nyerocos begitu saja tanpa memberi kesempatan kepada Bryan untuk menyela hingga mulutku berbusa-busa. Bryan hanya diam dan mendengarkan dengan khikmad.


“El, kenapa kita gak pernah membahas hal ini dari dulu-dulu” ungkap Bryan ketika aku sudah selesai menjelaskan. Terkejut aku mendengar reaksi Bryan, itu sunguh di luar prediksiku. Luar biasa, ternyata selama ini ia juga merasakan perasaan yang sama denganku, bahkan ia sudah lebih dulu menyadari kesalahan dari hubungan yang telah kami jalani, hanya saja ia ragu untuk mengungkapkannya karena ia tahu bahwa aku adalah cewek yang mudah drop. Bryan takut jika aku tiba-tiba nge-drop karena ia memutuskan hubungan denganku secara sepihak. Aku langsung tersadar akan sesuatu, Maha Suci Allah SWT yang telah memudahkan jalan bagi hambanya yang ingin meniti jalan yang lurus. Alhamdulillah. Akhirnya kamipun memutuskan hubungan haram itu dengan baik-baik.

Jika engkau mencintai hanya karena Allah, bersiaplah di cemburui para Nabi dan Syuhada. Jika engkau mencintai hanya karena Allah dan dalam naungan ridhoNya, maka temuilah cinta sebagai janji dari Arrahman untuk orang-orang beriman. (NPSP hal 39)

Dadaku terasa begitu plong. Sore itu aku dan Lia berpelukan sambil berderai air mata, bersama-sama kami memasang niat dan berazam untuk mulai menata diri dan mempelajari islam lebih dalam. Aku akan menghadapi suasana dan hari baru dalam hidupku. Kebahagiaan tiba-tiba merekah, bunga-bunga di hatiku menebarkan harum yang tak pernah tercium sebelumnya. Aku ingin lebih dekat dan membuktikan kecintaanku kepada allah dan rasulNya, berbakti kepada kedua orangtuaku, dan menjadi muslimah seutuhnya yang menunggu sang pangeran yang akan membawaku kepada pernikahan yang penuh barakah dan rumah tangga sakinah, mawaddah, warrahmah. Amien.

“El, kayanya ada motto baru yang pas deh buat kita,” kata Lia. “menikah atau lupakan?!” lanjutnya sambil kemudian tertawa kecil. Aku hanya tersenyum mendengar kelakarnya, tapi ada benarnya juga.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More