Kamis, 13 Januari 2011

Memaknai Semanggi Sebagai Filosofi

Oleh: Aji Cahyo Baskoro

Semanggi, adalah sebutan lazim bagi sejenis tumbuhan paku air yang mudah ditemukan di pematang sawah atau tepi saluran irigasi. Tumbuhan yang berasal dari marga Maresilea ini, di Indonesia sering digunakan sebagai alternatif bahan makanan. Bahkan di daerah Surabaya, terdapat sebuah makanan khas bernama Pecel Semanggi, yaitu pecel yang berbahan dasar semanggi. Walaupun konon, jenis kuliner ini, sudah mulai langka, bukan lantaran bahan dasar makanan ini yang sulit ditemukan, namun karena peminat jenis kuliner ini yang semakin hari semakin sedikit. Suatu gejala yang lazim bagi ragam kuliner lokal, di tengah derasnya arus globalisasi yang juga menyebabkan membanjirnya masakan-masakan impor di Indonesia. Pendek kata, ragam kuliner lokal seperti pecel semanggi kalah pamor dengan ragam kuliner internasional, seperti hamburger, pizza, spaghetti, dan masih banyak lagi.

Berbeda dengan masyarakat Indonesia pada umumnya, atau masyarakat di Surabaya, berbeda pula dengan sekelompok masyarakat yang mendiami sebuah kecamatan yang menjadi batas wilayah Barat propinsi DIY. Tepatnya di sebuah desa bernama Kaliharjo. Kaliharjo adalah sebuah desa bertopografi perbukitan yang masuk ke dalam wilayah administrasi kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Di sana terdapat sekelompok penggiat kesenian tradisional yang menggunakan semanggi sebagai “simbol” mereka. Dolalak, adalah nama kesenian tradisional yang mereka giati.

Dolalak adalah sebuah tarian yang biasa diperagakan oleh satu atau lebih penari, di mana para penari tersebut mengenakan pakaian serba hitam dengan motif yang menyerupai serdadu Belanda pada masa kolonial. Menurut beberapa sumber lisan, keberadaan tarian ini bermula dari keisengan beberapa orang santri yang meniru dansa orang-orang Belanda pada masa itu. Bahkan nama Dolalak juga berasal dari notasi musik yang dipakai oleh orang – orang Belanda untuk berdansa, yaitu do-la-la.

Karena yang pertama kali mempraktekan tarian ini adalah para santri, maka musik dan lirik yang mengiringai tarian Dolalak pun sarat dengan nilai – nilai Islam. Anjuran shalat, mengaji, atau bermusyawarah tidak jarang ditemukan secara tersurat maupun tersirat dalam lirik-lirik lagu pengiring tarian dolalak. Tidak hanya itu, alat musik yang digunakan, yaitu berupa bedhug dan rebana juga menunjukkan betapa kentalnya Islam mempengaruhi tarian ini. Bahkan ada beberapa pendapat yang sampai saat ini masih menuai pro dan kontra, bahwa Dolalak sejatinya adalah strategi yang digunakan oleh para santri pada masa kolonial untuk mendakwahkan Islam.

Sejak pertama kali diperkenalkan sampai saat ini, Dolalak telah berkembang pesat menjadi salah satu ikon kebudayaan di Kabupaten Purworejo. Perkembangannya yang pesat inilah yang kemudian dianalogikan seperti pesatnya pertumbuhan semanggi. “Dolalak itu seperti semanggi. Pada awalnya tidak pernah diperhatikan, namun setelah pesat berkembang, dia menjadi sesuatu yang patut diperhitungkan”. Itulah mengapa semanggi menjadi “jiwa” bagi para penggiat kesenian Dolalak. “Filosofi Semanggi”, seperti itulah mereka biasa mengistilahnkan penganalogian tersebut.

Namun, perkembangan pesat bukannya tanpa konsekuensi. Dolalak yang secara idealita adalah sebuah kesenian yang Islami, lama kelamaan mulai terpengaruh oleh anasir-anasir negatif. Mulai dari mengganti penari yang pada awalnya laki-laki menjadi perempuan, sampai memasukkan atraksi-atraksi yang bernuansa gaib, seperti kesurupan dan lain-lain, semua dilakukan dengan alasan untuk meningkatkan daya tarik. Parahnya, pada masa sekarang, anasir-anasir negatif tersebut seperti telah menjadi identitas baru dari kesenian ini. Dolalak diminati, oleh masyarakat awam, bukan karena lirik lagunya yang Islami, melainkan karena penarinya yang seksi-seksi. Dolalak diminati juga bukan karena gerakannya yang atraktif, tetapi karena pertunjukan kesurupannya yang adiktif. Itulah kenyataan pahit yang tidak dapat dibantah saat ini.

Pada awal bulan Juli tahun ini, maharencana Allah yang indah membawaku untuk bertemu mereka. Bukan suatu kebetulan, pada saat itu selama kurang lebih dua bulan aku harus menjalankan KKN di Desa Kaliharjo, tempat dimana kelompok kesenian Dolalak berdiam. Bukan suatu kebetulan juga, pada saat itu tema KKN yang diangkat adalah pengembangan desa wisata berbasis kearifan lokal yang difokuskan pada pembinaan kelompok seni Dolalak, agar kedepannya kelompok kesenian ini dapat memiliki manajemen promosi yang lebih baik.

Begitu bodohnya aku, yang pada saat ditawari untuk mengikuti tema KKN ini langsung mengiyakan saja, tanpa mempelajari lebih jauh tentang apa dan bagaimana sejatinya kesenian Dolalak itu. Ketidaktahuan tersebutlah yang membuatku cukup terkejut ketika untuk pertama kali aku mengetahui bagaimana Dolalak sebenarnya. Seperti yang sudah diceritakan di awal bahwa di dalam kesenian ini terdapat ritual-ritual bernuansa gaib yang tentunya hal tersebut bertentangan dengan idealismeku sebagai seorang muslim. Ritual-ritual seperti meletakkan sesaji di makam sebelum pementasan, kesurupan pada saat pementasan atau memberikan sesaji kepada alat-alat musik pada hari-hari tertentu, adalah beberapa hal yang memunculkan dilema di dalam hatiku.

Di satu sisi aku adalah mahasiswa Ilmu Budaya yang mempunyai tugas untuk membina kelompok kesenian Dolalak ini, namun di sisi lain aku adalah seorang muslim yang wajib meluruskan penyelewengan aqidah yang terjadi. Apa yang harus aku lakukan? Dalam kondisi dilematis seperti itu, aku lantas teringat dengan apa yang pernah dikatakan oleh seorang guru antropologi di SMA dulu. Beliau mengatakan bahwa, “ketika di lapangan kita menemukan ritual-ritual kebudayaan yang bertentangan dengan agama yang kita pahami, maka tugas kita di sana bukanlah untuk menghakimi benar atau salah, tetapi untuk mengambil pejaran darinya”. Aku masih ingat, pada saat beliau mengatakan itu, yang dijadikan contoh adalah ritual ngaben di Bali. Kemudian aku berpikir, jika aku mengikuti perkataan guruku tersebut, berarti yang harus kulakukan hanyalah diam dan mencerna segala sesuatu yang terjadi dan menjadikannya pelengkap storage yang ada di kepalaku. Begitukah? Ah, tidak, aku tidak boleh diam saja, apa yang dikatakan guruku sewaktu SMA itu menjadi mungkin ketika yang melakukan ritual bukan orang Islam, tetapi mereka yang di luar Islam. Tetapi kondisinya sekarang adalah ritual-ritual yang mengarah kepada kesyirikan tersebut dilakukan oleh saudara-saudara kita sesama muslim, jadi tidak sepantasnya jika hanya diam melihat hal tersebut.

Dilema di dalam hatiku masih berkecamuk, tak terasa sudah satu minggu aku berada di lokasi KKN. Itu berarti waktu untuk analisis sosial sudah habis dan untuk waktu-waktu berikutnya kita harus sudah punya program untuk dijalankan di lapangan.

Akhir pekan minggu pertama aku pulang ke Jogja untuk mempersiapkan bahan untuk program yang nantinya akan kujalankan. Pada saat itu aku belum menemukan formulasi khusus sebagai solusi penyelewengan aqidah yang terjadi. Setelah shalat Subuh aku segera berangkat menuju Jogja. Setelah menempuh sekitar satu setengah jam perjalanan, sekitar pukul 06.30 aku sampai di kontrakanku, di jalan Magelang km.5. Karena waktu itu hari Jumat, dari pagi sampai waktu Shalat Jumat aku memilih untuk tidak melakukan aktivitas khusus, hanya beristirahat untuk mempersiapkan Shalat Jumat, sembari berpikir mengenai program KKN yang akan kujalankan nanti.

Selepas Shalat Jumat aku mulai mencari bahan, atau apapun itu yang sekiranya dapat memunculkan inspirasi untuk mendukung program KKN ku ke depan. Mulai dari file-file di komputer, cd-cd di lemari sampai buku-buku di rak buku, semuanya kujelajahi demi mendapatkan sebuah inspirasi. Akhirnya pencarian tersebut berhenti ketika aku menemukan sebuah buku yang terselip di susunan paling bawah rak buku milikku. Buku itu adalah sebuah Book Magz terbitan Pro U Media. Sebuah buku berjudul “Yes! Ujianku Sukses!”, yang ditulis oleh Fatan Fantastik.

Sudah lama, memang buku tersebut tidak kubaca. Aku ingat terakhir membaca buku itu adalah sekitar satu tahun yang lalu. Itupun tidak sampai selesai. Mungkin karena segmen pembaca yang dituju oleh buku itu adalah siswa SMA, jadi tidak begitu pas dengan aku yang sudah lulus SMA lebih dari tiga tahun yang lalu. Namun terlepas dari itu semua, satu hal yang membuatku tertarik dengan buku tersebut adalah tampilan tata letaknya. Layoutnya yang penuh dengan sentuhan artistik, menjadikanku tertarik untuk membacanya, atau mungkin hanya melihat layout tiap halamannya. Maklum, karena aku juga sedang belajar desain grafis, terutama layout, membaca buku seperti itu juga bisa menjadi sarana pembelajaran.

Ya, desain grafis. Desain grafis, sebuah frase yang tiba-tiba muncul dalam benakku. “Kenapa aku tidak membuat pelatihan desain grafis saja, untuk para pemuda di desa KKN ku?”, Ide membuat pelatihan desain grafis, tiba-tiba muncul begitu saja di tengah keisenganku membolak-balik buku yang kembali kutemukan setelah lama tidak kubaca itu. Aku berpikir, walaupun kemampuan desainku masih pas-pasan, tapi minimal aku bisa lah kalau hanya buat kaos atau desain-desain promosi pariwisata sederhana.

Setelah lebih dari 24 jam aku di kontrakan, akhirnya Sabtu sore aku kembali ke tempat KKN dengan sekelumit ide yang siap dieksekusi di lapangan. Namun tetap saja masih ada yang mengganjal di dalam perasaanku. Hal yang menjadi ganjalan itu adalah persoalan penyelewengan aqidah, yang sampai saat ini masih belum kutemukan metode pengobatannya.

Sebenarnya, satu hal yang membuatku merasa harus bergerak adalah ketakutanku sendiri. Di dalam hatiku terdapat sebuah perasaan takut yang sangat, bahwa ketika aku tidak melakukan apa – apa saat melihat masalah seperti itu, aku akan tergolong ke dalam orang yang merestui kesyirikan dan aku takut hal tersebut akan membatalkan keimananku. Naudzubillaah min dzalik. Maka dari itu bagaimanapun aku harus berbuat, walaupun kecil, sehingga aku punya alasan yang menguatkan bahwa aku tidak merestui kesyirikan yang terjadi.

Dua minggu kemudian program pelatihan desain grafis yang aku rencanakan akhirnya terlaksana. Alhamdulillaah, antusiasme para pemuda cukup tinggi. Melihat antusioasme yang tinggi tersebut, akupun mulai berpikir bahwa ada peluang di sini. Peluang untuk tidak hanya mengajarkan desain grafis secara teknis saja, tetapi bagaiman dapat memaknainya dengan lebih dalam sebagai sarana promosi. Mencoba mengubah paradigma di kalangan pemuda, yang kebanyakan juga penggiat kesenian Dolalak , bahwa populer atau tidaknya kesenian dolalak, bukan bergantung pada ritual-ritual yang dilakukan, melainkan bergantung pada seberapa massif dan inovatif promosi dilakukan.

Niat yang baik, akan menghasilkan kerja yang baik pula. Seperti itulah gambarannya ketika pada akhirnya pelatihan desain grafis yang kuadakan juga mendapat respon yang baik dari aparatur desa, sehingga pada akhir masa KKN, mereka meminta agar pelatihan ini tetap diadakan berkelanjutan. Sesuatu yang juga sangat kuinginkan, karena sadar bahwa mengubah paradigma sekelompok individu tidak akan selesai dalam waktu hanya dua bulan. Aku berharap bahwa ketika pelatihan tersebut diadakan berkala, maka sedikit demi sedikit perubahan paradigma yang kuharapkan terjadi di kalangan pemuda dapat tercapai. Dan ketika perubahan paradigma itu tercapai, tidak ada alasan lagi bagi mereka untuk tidak mengembalikan kesenian Dolalak ke karakter asalnya, yaitu sebagai kesenian Islami. Karena populer atau tidaknya sebuah produk kesenian bukan bergantung pada ritual-ritual mistis yang dilakukan di dalamnya, atau karena cantiknya penari yang memainkannya, tetapi karena promosi yang dilakukan massif dan inovatif.

Secara diam-diam akupun mulai memakai filosofi semanggi, namun untuk konteks yang agak berbeda. Seperto semanggi, itulah yang juga kuinginkan untuk program pelatihan desain grafis ini, walaupun pada awalnya kecil dan tidak diperhatikan, namun setelah berkembang akan membawa dampak besar bagi masyarakat, yaitu mengurangi praktek-praktek penyelewengan aqidah dimasyarakat. Walaupun kecil yang kulakukan, semoga dapat bermanfaat bagi proses perbaikan ummat.

1 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More