Kamis, 23 Desember 2010

Menanti Pacaran Suci

Oleh: Baharuddin

Aku masih ingat betul pesan ibuku ketika aku menginjak usia remaja. “Nak, jangan pacaran dulu ya,” ucapnya lirih sambil mendekapku erat usai shalat magrib berjamaah di rumah. Sungguh, dalam suasana hening macam itu, aku tak punya pilihan lain kecuali menjawab, “Iya, Bu.”
Lagi pula, kala itu, di hatiku belum pernah muncul keinginan berpacaran. Karena aku lebih sibuk memikirkan pelajaran sekolah agar mendapat nilai bagus. Atau memeras otak supaya es lilin yang dititipkan oleh tetanggaku cepat laku sebelum lonceng terakhir berbunyi.

Bagaimanapun, pesan ibu yang mengandung larangan tadi menurutku mengambang. Maka muncullah pertanyaan dalam benakku, “Sampai kapan aku tak boleh pacaran? Atau kapankah aku boleh pacaran? Apakah ketika aku sudah tamat SLTP, SLTA, kuliah, atau setelah bekerja?” Duhai sahabat, aku merasa tak enak hati mengutarakan pertanyaan tersebut pada ibuku sampai kisah ini kutulis.

Demi menunaikan pesan ibu, jadilah aku seperti dituduhkan sebagian kawan-kawannku sebagai pemuda kampungan, kolot, kuper, enggak gaul, ketinggalan zaman, dan kuno. Mula-mula, telingaku juga panas mendengar umpatan yang bernada melecehkan itu. Namun, setelah melakukan analisis SWOT – meminjam istilah pemasaran - antara aku dan kawan-kawan yang punya pacar nampak jelas di mataku bahwa aku tidaklah seperti yang mereka tuduhkan, setidaknya dapat ditilik dari prestasi di sekolah. Dari SD sampai SLTA setiap caturwulan atau semesteran aku selalu masuk peringkat lima besar.

Di samping itu, pergaulanku dengan sesama siswa di sekolah, guru, dan masyarakat cukuplah baik. Begitu pula persahabatanku dengan lawan jenis bisa dibilang harmonis. Aku juga tak ketinggalan informasi terbaru karena saban hari membaca koran atau mendengar siaran radio. Jadi, tidak ada yang aneh kecuali karena aku tidak punya pacar. Itu saja.

Ponpes menolongku tidak pacaran
Setamat SLTP, aku memutuskan melajutkan pendidikan SLTA di pondok Wali Songo, Ngabar, Ponorogo. Di pondok ini, peraturan ketat sekali jika berhubungan dengan lawan jenis. Hubungan spesial dengan lawan jenis yang bukan mahram termasuk pelanggaran berat yang hukumannya bisa dikeluarkan dari pondok.

Maka jangan heran, kalau semua surat dari keluarga dan sahabat-sahabatku di kampung yang dialamatkan ke pondok sampai di tanganku dalam kondisi mengenaskan setelah melewati sensor bagian administrasi. Dengan aturan seketat itu, ditambah lagi seabrek aktivitas pondok yang melelahkan, aku mengubur mimpiku dalam-dalam punya pacar santriwati.

Ketika menjadi mahasiswa
Usai menamatkan pendidikan di Wali Songo, aku memilih Jogja sebagai tempat melanjutkan studi di salah satu perguruan tinggi swasta. Di kota pelajar ini aku kembali terpojok karena satu hal: JOMBLO. Bagaimana tidak, sebagian besar teman kuliahku berpacaran.

Begitupun ketika bertemu teman lama, pertanyaan yang muncul setelah “apa kabar?” adalah “mana pacarmu?”
Awalnya aku selalu menjawab apa adanya, “Aku tak punya pacar.”
“Ah enggak percaya! Hari gini mahasiswa enggak pacaran? Mustahil!” Begitu mereka menaggapi.
Di hari-hari berikutnya, jika ditanya soal pacar, aku membalasnya dengan senyum dan segera mengalihkan pembicaraan.
Parahnya lagi, anak-anak SD di sekitar kostku selalu mengajukan pertanyaan serupa, “Mas, sudah punya pacar belum?” Mas kok enggak pernah jalan sama pacarnya sich?” Mas homo ya?”
“Astagfirullah! Asal kalian tau, aku ini lelaki normal.” Balasku suatu ketika sedikit emosi.

Mungkin pembaca bertanya, apakah aku tak punya keinginan berpacaran? Hehehe. Oke sahabat, izinkan aku mengungkap sedikit perasaanku. Begini, jujur kukatakan, keinginan itu ada sebab aku lelaki normal seperti mereka yang pacaran. Buktinya, aku pernah iri menyaksikan kawan-kawan berjalan bergandengan tangan dengan pacarnya. Aku juga terkadang cemburu melihat teman-teman suap-suapan sama pacarnya di lesehan atau di rumah makan. Dan seterusnya….

Begitulah, hingga akhirnya aku menemukan sebuah buku yang menggetarkan kalbuku tatkala sekilas menangkap judulnya, NIKMATNYA PACARAN. Rupanya judul buku yang ditulis Salim A. Fillah yang diterbitkan oleh Pro-U Media itu masih disambung dengan kata SETELAH PERNIKAHAN. Aku langsung setuju dengan judulnya meskipun belum membaca isinya.

Buku yang cetakan pertamanya Oktober 2003 ini di bagian satu halaman pertama terdapat sebuah untaian kalimat yang sulit kulupakan. Mari kita resapi bersama-sama.

Alangkah seringnya,
Mentergesai kenikmatan itu
Membuat detik-detik di depan terasa hambar

Kelezatan itu akan hilang
Dari orang yang terpenuhi tuntutan syahwatnya
Yang haram
Yang tersisa hanyalah dosa dan hina.

***

Ada kisah menarik ketika salah seorang familiku mengantar putrinya kuliah di Jogja tahun 2010. Sewaktu kami bercakap-cakap di ruang tunggu terminal Giwangan menunggu keberangkatan bus tujuan Jambi, beliau bertanya:
“Bahar, kau punya pacar?”
Aku menggeleng.
“Kenapa?” tanyanya penasaran.
“Aku ingin pacaran setelah menikah!” balasku mantap.
Tiba-tiba beliau berdiri dari tempat duduknya. “Hai, kalau kau ingin pacaran sekaranglah saatnya. Mumpung kau masih mahasiswa. Kau bisa pacaran sepuas-puasmu. Kalau kau pacaran setelah menikah, keluargamu pasti hancur.” Ucapnya dengan nada tinggi.
“Tapi kan nanti aku pacarannya sama istriku sendiri.” Jawabku santai.
“Maksudmu?!”
“Karena aku menikah tanpa didahului pacaran, maka nanti setelah menikah aku memacari istriku sendiri.”
“Oh, itu maksudmu! Ngomong dari tadi!” ujarnya sambil menepuk bahuku dengan wajah menahan malu.

Sahabat, aku merasa beruntung sekali bertemu dengan buku Nikmatnya Pacaran Setelah Pernikahan karena buku ini telah menjawab pertanyaanku “kapankah aku boleh pacaran?” Selain itu, aku jadi mafhum mengapa dulu ibu melarangku pacaran.
Dengan demikian, aku memutuskan, “JIKA DI DUNIA INI TIADA LAGI WANITA YANG MAU DINIKAHI TANPA DIPACARI LEBIH DULU, BIARLAH AKU MENITI JALANNYA SYAIKHUL ISLAM IBNU TAIMIYAH: AKU AKAN MENJOMBLO SEUMUR HIDUPKU!”

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More