Kamis, 23 Desember 2010

Terdampar Di Lautan Hidayah

Oleh: Aris Suseno

Aku tak pernah berpikir apalagi berani memimpikan untuk bisa mengenyam pendidikan yang lebih tinggi selain selesai dikelas empat sekolah dasar-aku berumur 10 tahun-pada waktu itu. Atau mungkin memang tak layak untuk bermimpi setelah orang yang aku cintai juga sebagai pemimpin dan penopang keperluan keluarga, ayah, terbaring diatas tempat tidurnya dengan senyum yang dipaksakan untukku. Ia terjatuh dari lantai lima sebuah proyek pembangunan di Jakarta. Sebenarnya bukan itu saja, ia sendiri pernah dipukul ramai-ramai oleh warga hinga tak bisa berjalan ketika menarik becak didaerah Cimahi, dan entah apalagi penderitaan yang telah lama ia hadapi dan terus ia simpan. Namun kala itu, ia benar-benar tak bisa berbuat lebih banyak, hanya bisa memandang kearahku dengan matanya yang sayu.

Harapan ayah sebenarnya sangat sederhana, beliau tidak ingin anak-anaknya bodoh seperti dirinya, tak pernah mengenyam pendidikan apalagi menikmati nuansa bangku sekolah. Menyekolahkan anak-anaknya sekaligus memenuhi kebutuhan keluarga dengan jerih payahnya sendiri tersirat dengan jelas dari kerja keras ayah. Ayah rela melakukan semua pekerjaan, dari pekerjaan yang kasar hingga paling kasar sekalipun. Entah itu angon bebek, tukang becak, kuli sawah, kuli bangunan, dan kuli-kuli yang lain sudah ia jalani. Yang terpenting adalah pekerjaan yang ia jalani menghasilkan uang yang halal, itulah prinsipnya dalam memenuhi kebutuhan kami.

Aku menangis ketika kali pertamanya melihat ayah bangun dari tempat tidur dan mencoba berjalan. Ia tertatih-tatih seperti seorang kakek tua renta padahal umurnya baru berkisar 30 tahunan. Aku tak kuasa melihatnya, betapa pedih hati ini. Hari-hari aku lalui dengan kepasrahanku hingga akhirnya masa itu berganti.

Aku, adik dan kakak-kakakku dibawa kesebuah lembaga sosial, Panti Asuhan Yatim Piatu Muhammadiyah, namanya Panti Asuhan Mandani Siwi yang ternyata tidak hanya menampung anak-anak yatim piatu saja, tapi juga anak terlantar dan kurang mampu. Awalnya kami, terutama ayah menolak tawaran itu, namun apa boleh buat, keluargaku memang bisa disebut kurang mampu. Datangnya musibah yang bertubi-tubi menjadikan keluarga ini terpuruk. Apalagi. rumah kami roboh ditimpa angin puting beliung.

Tak ada biaya untuk melanjutkan sekolah, hingga akhirnya, kami satu persatu dipindah ke panti asuhan tersebut. Harapan ayah untuk menyekolahkan kami kandas karena sakit beliau yang begitu lama. Satu yang diimpikan ayah pada waktu itu untuk anak-anaknya, pandailah mengaji, kamipun berusaha keras di Panti Asuhan hingga kami pandai mengaji.

Waktu tak terasa berjalan begitu cepat, aku telah kelas 2 SMP, keluargaku-kakak dan adikku-tidak kerasan di panti tersebut. Mereka memilih keluar, ayah tak bisa berbuat banyak. Ia merasa memang dirinyalah yang bersalah. Aku seakan mengerti kepedihan yang diderita sang ayah, aku bertekad untuk menumbuhkan kembali harapan ayah. Aku harus bangkit dan bertahan.

Dan anehnya lagi, aku bertahan dengan cara yang kurang tepat. Ibaratnya “aku sakit namun meminum obat yang salah”, ternyata aku hanya meminum obat penenang saja. Jadi, setelah beberapa waktu pasti akan ketahuan efeknya. Yahh…aku bertahan untuk memenuhi harapan dan cita-cita ayah dengan jalan yang salah, berpacaran, tentunya dengan curi-curi waktu. Aku melakukan hal tersebut bukannya tanpa alasan, kekurangan kasih sayang dari orang tua, terutama ibu, membuatku menjadi begitu rindu akan kasih sayang. Mungkin kakak dan adikku tak betah tinggal di panti tersebut sebab nuansa keluarga dengan limpahan perhatian serta kasih sayang begitu kurang, entahlah yang jelas saat itu aku terjerumus kedalam jurang kenistaan, aku masuk kedalam lubang setan itu, pacaran!.

Setan telah merasuki jiwaku yang kosong dan otakku yang diliputi kebodohan. Ternyata aku belum mendapatkan hidayah, keislamanku ternyata sekedar pengetahuan diotak yang aku dapatkan di Panti Asuhan atau mungkin malah keislaman warisan dari kedua orangtuaku. Jalan itu aku tempuh, aku terus bertahan dengan jalan yang salah itu hingga lulus SMA.

Alhamdulillah, ternyata Alloh sangat sayang terhadapku. Aku diberi kesempatan untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi dan mendapat gelar mahasiswa. Yah beginilah nasibku, sekarang aku mengenyam pendidikan disalah satu universitas yang unik. Universitas Muhammadiyah Surakarta, walau sebenarnya sebagian lokasi sudah mengambah lapisan Sukoharjo.

Semenjak aku menjajakan langkah di kota ini aku merasa bahagia, entah kenapa, itulah yang aku rasakan dan salah satu yang membahagiakanku adalah banyaknya toko buku serta event-event yang berkaitan dengan buku, entah itu book fair, Islamic book fair atau sekedar bedah buku.

Setelah seharian berada didalam kotak raksasa bermesin yang mengocok isi perut hingga hampir muntah, sekarang aku bebas berjalan mencari kost. Sebelumnya aku tak pernah lupa untuk meng-update statusku, tentunya lewat Hp pertamaku, pemberian juga. Walaupun jadul, itu adalah Hp yang begitu berarti bagiku. Aku kirimkan sms ke keluarga bahwa aku sudah sampai di kota Solo dan tak pernah luput adalah pacarku. Dari detik pertama keberangkatan hingga sampai di kota tujuan, sms yang lumrah muda mudi jika berpacaran. Sebagai contoh-sayang udah nyampe lum, hati-hati yah, jaga kesehatan disana- dan bla..bla..bla….

Setan memang tak pernah berhenti menyesatkan anak cucu adam. Dari sms yang berlabel jahiliyah sampai sms yang berlabel agama. Yaw sms jahiliyah salah satunya ya yang tadi, kalo sms yang berlabel agama, mungkin seperti ini-sayang hayuk bangun sholat tahajud yuk-wah..wah..wah kalau sudah suami istri mah ini jadi lahan amal ehhh yang ini mah kelahan kenistahan alias lubang setan.

Yah itu sekelumit yang bisa aku ceritakan. Seharian aku mencari tempat tinggal, akhirnya aku menemukan sebuah kost bertuliskan-Wisma HDA ( Hidup Dengan Akhlak mulia ) tepatnya disebelah utara Pontren Assalam. Aku berkenalan dengan beberapa anak kost tersebut, berbicara panjang lebar setelah beberapa hari aku menetap.

Suatu malam aku bermain dikamar temanku satu kost, aku tertarik karena kamarnya banyak buku bacaan. Tak terasa, mataku tersihir dengan sebuah buku. Warnanya hijau, bergambar seorang lelaki memboncengkan istrinya dibelakang dengan menggunakan sepeda, tak tanggung-tanggung sang lelaki memakai baju koko sedang yang perempuan memakai jilbab sempurna. Tertulis di cover buku “ Nikmatnya Pacaran Setelah Pernikahan “ karya Salim A. Fillah. Aku bertanya-tanya, nikah??pacaran??nikmat???. Bukankah pacaran itu memang nikmat?? tapi yang ini kok setelah pernikahan, apa maksud niyh buku?, gumamku dalam hati.

Akupun tertarik untuk membaca dan langsung aku pinjam buku tersebut. Kata demi kata tak memalingkan mataku dari buku tersebut. Aku terus membaca huruf demi huruf, kata demi kata, lembar demi lembar, bahkan bab demi bab hingga aku habiskan buku tersebut dalam satu malam. Mendadak mataku terhenti disalah satu sub bab, Alangkah Beruntungnya Dia ,disana tertulis sebagai renungan yang bijak :" bayangkan sejenak ketika kita sedang bermaksiat dan melanggar larangan-larangan Alloh,maka bisa saja terjadi pada saat itu pula calon istri atau calon suami kita sedang melakukan hal yang sama disudut dunia yang lain". Astaghfirullahhal`azim, siapa yang rela jika orang yang akan menjadi pendamping hidup kitai berbuat kotor, bermaksiat seperti itu lalu ditegaskan dengan dalil al-Qur`an Surat An-Nur ayat 26, wanita-wanita yang kotor untuk laki-laki yang kotor, wanita yang baik untuk laki-laki yang baik. Lalu aku bercermin pada diriku sendiri, bukankah kamu juga masuk dalam kelompok yang pertama, karena kamu telah mendekati zina, berani berpacaran. Lalu aku kembali tekuri buku tersebut hingga akhir bab, dan akhirnya aku tersungkur dan menangis tersedu-sedu. Tak pernah aku merasa seperti itu sebelumnya, sedih yang mendalam karena kesalahan dan durhakanya aku namun akupun diliputi kebahagiaan karena aku terdampar di lautan hidayah, aku berjanji dengan sekuat hati agar selalu memperbaiki diri. Setelah selesai buku itu aku baca, aku mengambil air wudhu kemudian shalat tahajud. Dalam sujud aku menyesalkan perbuatan-perbuatanku, bertaubat atas kelamnya masalalu itu. Entah kenapa, saat itu juga genangan air mata tumpah begitu derasnya dari kelopak mataku, tak terhenti, mengalir tak terbendung membasahi pipi dan tempat sujudku. Aku tersungkur lemas.

Saat itu pula, aku melayangkan sebuah messege yang begitu panjang pada pacarku. Sesuai saran dari buku yang ditulis oleh Salim A.Fillah, aku akhirnya putus dengan pacarku. Memanglah berat keputusan itu, tapi yang haq memang jelas dan yang batilpun sudah jelas. Aku semakin giat menghadiri kajian-kajian, menyisihkan uang saku sekedar membeli buku-buku Islam dan tak lupa pula aku beli buku yang pernah membuka pintu hatiku yang tertutup oleh bintik-bintik kemaksiatan “ Nikmatnya Pacaran Setelah Pernikahan “. Tujuanku saat itu agar teman-teman, terutama karib di kota asalku ikut membaca buku tersebut. Yah..buku tersebut aku pinjamkan kepada teman-teman, dan alhamdulillah mendapat respon yang baik bahkan ada yang sampai akhirnya berani untuk memutuskan menikah saja. Aku sendiri malah dijadikan penasihat, maksudnya orang yang selalu dimintai saran dan nasihat oleh teman-teman, xixixi..

Akhirnya, syukur alhamdulillah, segala puji hanyalah milik Alloh SWT, Robb yang telah memberikan hidayah padaku dengan cara yang tak terduga. Kini aku bertahan bukan dengan jalan yang salah, aku akan memenuhi harapan ayah dengan jalan yang benar, bismillahirrahmanirrahim. Dan untuk Mas Salim A. Filah, saya panggil mas gak papa yah, biar lebih akrab, hehe..terimakasih pokoknya. Untuk penerbit Pro-U Media, tetaplah eksis menerbitkan buku-buku yang mencerahkan. Amiin.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More