Jumat, 17 Desember 2010

Berubah atau Mati

Oleh: Rudy Dwi Kurniawan


Setiap orang pasti memimpikan perubahan ke arah yang lebih baik. Untuk mewujudkan hal itu banyak cara yang ditempuh untuk melakukan perubahan penting. Aku sendiri lebih suka untuk mencari motivasi perubahan melalui membaca. Dan dari situlah aku bertemu dengan kata inspiratif yang aku nilai cukup sakti. Kalimat pendek yang jadi judul besar tulisan inilah yang telah membuka pikiranku dan akhirnya menginspirasiku untuk berubah. Kalimat itu pula yang mengingatkanku pada kesalahan besar yang pernah aku lakukan di masa kuliah dulu. Masa kuliah yang harusnya penuh dengan kerja keras dan semangat untuk membanggakan kedua orang tua, tapi aku lalui dengan santai dan akhirnya berakhir dengan penyesalan.

Jika aku tarik kembali ke masa itu, di awal kuliah September 2003 urusan kuliah masih lancar dan menyenangkan. Kuliah secara teratur dan masih merasa senang karena dapat kumpul bersama dengan teman-teman. Tahun selanjutnya yaitu 2004, aku bukan hanya sebagai mahasiswa tetapi juga sebagai pekerja paruh waktu di sebuah radio swasta dan pembaca berita di televisi swasta di Bandar Lampung. Awalnya aku niatkan bekerja untuk ikut meringankan beban orang tua di kampung. Tapi lama-kelamaan aku jadi lupa tugas awalku dikirim oleh kedua orang tuaku ke lingkungan kampus ini. Aku malah lebih suka berkumpul bersama teman-teman kantor dan hang out sana-sini jika tanggal gajian tiba. Dan aku rasa semua urusanku pun termasuk urusan kuliah juga masih lancar dan aku bisa tetap tenang. Namun aku salah besar. Tahun 2007 mulailah muncul perubahan-perubahan dan masalah-masalah yang tidak aku sadari.

Pada pertengahan tahun 2007, beberapa teman kuliah ternyata sudah berhasil menyelesaikan studinya. Sedangkan aku masih berkutat dengan perkuliahan, skripsi yang masih tergeletak di kamar kos dan juga pekerjaan. Saat itu aku juga masih bisa tenang karena masih ada setengah dari jumlah teman angkatan yang juga belum lulus. Aku pikir akan gampang nantinya untuk menyelesaikan semuanya dan aku masih sok sibuk dengan pekerjaan paruh waktuku itu. Sehingga urusan skripsi selalu aku tunda dan tunda lagi. Karena sikap menundaku itulah sejak munculnya surat keterangan judul skripsi yang keluar pada Februari 2007, aku baru bisa melaksanakan seminar proposal pada Juli 2008. Pada saat itu aku masih mengkambinghitamkan pekerjaan sebagai alasan untuk tidak mengerjakan skripsi dan orang lain pun mewajarkannya. “Oh belum kelar ya skripsinya..wajarlah kan kerja.”

Sejak seminar proposal, lagi-lagi kebiasaan menunda dan rasa malas itu masih aku turuti. Padahal sebagai pekerja paruh waktu tentu saja aku tidak bekerja satu hari penuh. Yah…biasanya waktu aku habiskan lagi-lagi untuk hang out, berlama-lama di tempat kerja atau sekedar jalan-jalan dan kumpul bersama teman-teman. Tak terasa penundaan itu berlangsung hingga November 2009. Pada bulan itu aku baru bisa melaksanakan seminar hasil skripsi.

Bukannya berubah justru setelah seminar hasil ini selesai, aku juga masih mengikuti rasa malas dan kebiasaan menunda. Biasanya setelah bimbingan dan tak ada ide untuk perbaikan skripsi, plus tidak ada mood karena bosan dengan ocehan dosen, justru tambah membuatku malas untuk mengurus skripsi.
‘Bukankah lebih baik aku kerja saja? Bisa dapat uang pula.” (kata-kata andalan yang jadi alasanku untuk melupakan skripsiku). Karena aku jarang ke kampus, tanpa aku sadari lagi-lagi aku tertinggal, sebab di tahun 2009 itu jumlah angkatanku hanya tinggal 13 orang, Selain itu ternyata adik tingkatku seperti angkatan 2004, 2005, 2006, telah banyak yang lulus.

Saat-saat itulah kampus jadi MOMOK besar yang ingin aku jauhi. Aku malas bertemu dengan orang-orang yang aku kenal, karena aku yakin hanya akan menanyakan ha-hal yang paling aku benci, seperti:
1. Kapan wisuda?
2. Lho kok bisa belum wisuda?
3. Oh..saya kira sudah wisuda..kan angkatan tua, terus ngapain aja?
Hah…aku benci pertanyaan itu. Aku malas untuk menjawabnya dan aku merasa tertekan dan stres berat. Rasa malu, khawatir, iri, aku rasakan dan menjadi beban pikiran. Sampai-sampai aku tak berani untuk datang ke acara syukuran wisuda teman-temanku. AKU BENCI ACARA WISUDA!!! Stres itu semakin bertambah setelah bapak dan ibu di kampung yang juga ikut menanyakan hal serupa. Apalagi terkadang bapak dan ibu bercerita tentang anak tetangga atau anak temannya yang sudah lulus kuliah dan kini sudah bekerja, itu malah membuatku minder. Lalu aku harus bilang apa kepada mereka? Aku tidak tega melihat mereka menunggu lama. Aku masih punya hutang pada bapak dan ibu karena tugasku disini belum selesai. Sedangkan di sini aku hanya santai-santai dan hanya takut pusing mengerjakan penelitianku. Stres ini semakin membuatku pusing dan aku pikir lebih baik aku istirahat sejenak dan menghindar dari kehidupan kampus (pelarianku tentu bekerja).

Istirahatku malah menjadi istirahat panjang. Sampai akhirnya sekitar April 2010, istirahat panjangku itu terusik dengan panggilan dari pihak akademik. Aku benar-benar tak suka kabar itu yang menyatakan bahwa akan ada surat keterangan pra-DO untuk angkatan tua, yang aku benci lagi adalah namaku juga masuk di dalam surat keterangan tersebut. Hah…apa ini akhir hidupku di kampus ini, lalu bagaimana kalau bapak ibu tahu, bagaimana jika teman-temanku tahu, lalu uang spp yang aku bayarkan selama ini kan sia-sia,blablabla…aku benar-benar stres tingkat tingkat tinggi.

Wajar jika setelah itu aku tidak bisa bepikir jernih dan tidak bisa fokus saat bekerja. Ketika stres begini aku lebih suka menghabiskan waktu dengan hobiku membaca. Aku berharap barangkali bisa mengurangi tingkat stres yang aku alami. Aku bongkar lagi rak lemari paling bawah tempat koleksi bukuku. Aku pilih dan baru aku ingat bahwa aku punya buku “CHANGE NOW” jurus duahsyat muslim huebat yang ditulis oleh Rahman Hanifan. Tepat di halaman 72 terdapat teks yang tertulis : BERUBAH ATO MATI. Buku ini menyampaikan bahwa jika kondisi kita masih sama seperti dulu, itu adalah tindakan yang merugi. Jadi jangan pernah suka bila dikatakan masih sama seperti dulu!
Membaca tulisan itu dan membaca penjelasannya yang ringan membuat aku de javu pada nasib skripsi dan kuliahku. Waktu yang begitu lama dan keterlambatanku selama ini hanya disebabkan dua hal yaitu malas dan suka menunda. Dan berkat malas dan suka menunda itulah aku dihadiahi SK (surat keterangan) pra-DO. Lama aku berpikir, jika aku tak segera merubah sikap dan kebiasaan burukku itu maka aku akan segera menerima hadiah pahit lainnya seperti surat keterangan droup out (bukan lagi teguran) resmi dari kampus.

Aku coba saja praktekan apa yang telah aku dapat dari membaca buku itu karena aku pikir belum terlambat untuk berubah dan memperbaiki semuanya. Oleh karena itu perubahan pertama yang aku lakukan adalah aku putuskan untuk keluar dari pekerjaanku karena aku harus fokus. Berhenti bekerja berarti aku harus siap hidup tanpa penghasilan sendiri. Berarti aku harus kembali memakan darah dan keringat bapak dan ibu di kampung. Aku sempat sedih namun ketika aku bicarakan lagi pada bapak dan ibu untungnya mereka memakluminya dan aku tak boleh untuk kesekian kalinya mengingkari kepercayaan orang tuaku.

Ternyata bukan perkara mudah untuk berubah. Sejak keputusanku untuk merubah sikap, banyak hal tak terduga yang jadi halangan menuju wisuda:

1. Setelah lama tak pernah bimbingan skripsi aku ingin fokus untuk bimbingan skripsi, dan kenyataan yang aku hadapi adalah kedua pembimbingku sedang menyelesaikan studi S3 nya di Amerika selama tiga bulan. Tak ada pilihan kecuali menunggu mereka kembali.
2. Setelah mereka kembali ternyata data responden harus dirubah dan ditambah. Aku kembali melakukan riset ulang.
3. Untuk meminta persetujuan ujian komprehensif aku harus bolak-balik dari Fakultas Ekonomi -- rektorat (lantai 3) -- gedung pusat komputer (lantai 3) selama 2 minggu untuk mencari dosen pembimbing II yang super sibuk.
4. Untuk mencari waktu yang pas untuk melakasanakan ujian komprehensif juga sangat sulit. Pembimbing I dan dosen pembahas sudah cocok dengan jadwal yang aku buat, ternyata pembimbing II tidak cocok dengan jadwal itu. Tawar- menawar waktu itu bahkan masih terjadi saat malam hari sebelum ujian komprehensif esok harinya. Sampai-sampai ujianku tertunda akibat urusan jadwal yang tidak pernah klop.
5. Dan yang paling sedih, aku tak punya teman lagi di kampus karena teman-teman angkatanku telah lulus.

Masih banyak lagi hal-hal tragis lainnya tapi karena tekadku untuk lulus tahun ini sudah bulat, maka tak ada alasan untuk mundur, apalagi untuk kembali pada kebiasaan lamaku dulu (malas dan menunda)…NO WAY! Aku tak mau masuk ke dalam lubang yang sama. Makanya apapun bentuk hambatannya aku tekadkan untuk terus maju dan menghadapinya dengan sabar karena aku yakin ini adalah ujian dari Allah SWT agar aku naik kelas.

Dan alhamdulilah kerja kerasku untuk berubah akhirnya menghasilkan hasil yang manis. Tepat tanggal 22 September 2010 aku resmi sebagai S.E. dan yang paling membahagiakanku adalah bisa melihat senyum di wajah bapak dan ibu saat melihat putranya diwisuda.

Pengalaman hidup inilah yang membuatku paham bahwa tak ada manfaatnya untuk bermalas-malasan dan menunda sebuah perkara yang baik karena hal itu hanya akan mendatangkan penyesalan dikemudian hari. Sedangkan sikap menghindar dari masalah juga bukan pilihan yang tepat, karena yang terpenting adalah usaha optimal sebagai bentuk solusi untuk menyelesaikan masalah.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More