Senin, 27 Desember 2010

Pamungkas Garda Depan “Guruku Bergaji Hujat”

Oleh: Ridho Nopriansyah

Tidak akan kurelakan setetes air mata guruku yang jatuh, sia-sia begitu saja. Bagaimanapun suara sumbang menjamur dan menggerogoti kaki-kaki tumpuan rapuh mereka, tetap akukatakan, bahwa aku adalah salah satu dari barisan terdepan yang akan menangkis semua hujatan itu, sekalipun tidak ada rivalku, aku tetap akan berjihad untuk mereka.…………….Guruku, jangan pergi.

Kisah ini nyata dan ada di satu titik di bumi ini. Di tempat dimana semua orang mempunyai waktu dan kesempatan untuk berbuat yang terbaik. Dimana setiap orang bisa menelanjangi rambut-rambut mereka. Dimana sang Garuda masih setia menahan air mata, melihat para “tuan dan nyonya” mencabuti bulu dan meracun setiap estetikanya.

Waktu itu, aku hendak mengikuti Ujian Nasional tingkat SLTP. Hal yang lumrah untuk segera mempersiapkan diri menaksir sekolah baru, SLTA. Dilandasi keinginan untuk maju dan dukungan penuh orangtua, kujatuhkan pilihanku untuk mencoba peruntungan di SMA Negeri Plus Mandailing Natal. Tekadku bulat dan tak bisa digoyahkan. Entahlah aku tidak tahu mengapa pada detik terakhir aku memilih sekolah baru itu. Padahal, dari kelas 1 SMP aku begitu takjub dengan sekolah berlabel plus lain. Yaitu, SMA Plus Matauli di Sibolga…. Ingin ku susul “Dia”…. Sang pemilik mata biasa. Hitam Indonesia.

Semua proses untuk menjadi siswa SMA Plus aku jalani. Hingga akhirnya aku lolos ke sesi interview. Interaksi kesekian, dengan orang-orang yang penuh semangat. Dalam pikiranku, aku menduga, mereka pasti guru.

Benar saja, terakhir ku ketahui orang-orang semangat itu adalah guru-guru SMA Negeri Plus Mandailing Natal . Ooh…. Mereka muda, enerjik, liar, dan berapi-api. Sempat terpikir seperti apa jadinya aku nanti kalau dibimbing oleh mereka. Kata guru SMP ku, guru-guru SMA Negeri Plus Mandailing Natal itu terlalu muda dan “sangat minim” akan pengalaman. Aku yang polos hanya tunduk, diam, terpaku, dan mangut seperti orang Jawa bilang.

Pendapat tadi berbalik 3600, langit runtuh dan bumi pecah. Mereka diluar dugaanku, luas biasa. Pertanyaan yang dilontarkan, tidak seperti yang kubayangkan, berbeda. Intelek tapi menyentuh dengan peran nalar 100 %. Mereka sungguh cerdas meramu perasaanku, 6 interviewers memompa jantungku cepat-lambat, lambat-cepat, dag, dig, dug Byuarrkah….I like it.

Itulah aku pada waktu pertama mengenal sekolah impian ini., Itu dulu, sebelum aku masuk dan tenggelam didalamnya. Aku diterima, berarti lulus. Kutinggalkan Panyabungan dan mengenyam pendidikan 1 tahun di Kotanopan.
Sebenarnya bukan kisah ini yang ingin aku katakana kepada anda para pembaca. Bukan. Tapi yang ingin ku katakana adalah aku berjumpa dengan guru-guru luar biasa yang terzalimi lahir dan batin di SMA Negeri Plus Mandailing Natal yang kemudian ditahun 2010 berganti nama menjad SMA Negeri 2 Plus Panyabungan.
Keikhlaskan yang terukir di wajah pias mereka menguatkan hatiku yang berontak ingin keluar. Karena jujur, pada awalnya aku sungguh terkekang dengan kehidupan berasrama. Semua serba diatur, tidak bebas seperti yang kuinginkan. Mungkin persiapanku yang kurang matang. Tak ku pikir itu dulu, sebelum kujatuhkan pilihanku untuk menjadi siswa “boarding school”.

Dari pagi hingga malam mereka setia berkoar-koar, mendidik putera-puteri Mandailing Natal. Walau guru-guruku kebanyakan bukan orang Mandailing Natal, tetapi Insya Allah dapat ku pertanggung jawabkan mereka ikhlas dan atas nama Allah serta profesi, mendedikasikan hidupnya di tangan bakti pendidikan.

Mereka muda, semangat, energik, cerdas, bijaksana, berkepribadian, bermoral, bukan plagiator dan ramah. Mereka contoh nyata guru. Aktif mengajar pagi hingga malam walau gaji, naudzubillah, TERSENDAT-SENDAT.

Pernah aku mendengar langsung dari Bapak Kepala Sekolah, orang asli Mandailing Natal yang sukses di negeri orang tetapi tidak lupa dengan kampung halamannya. Bahwa ia seringkali dipusingkan dengan urusan “mencari pinjaman gaji guru”. Kenapa harus?. Adakah tugas Kepala Sekolah Negeri menebalkan muka dan berkeliling mencari pinjaman gaji guru?. Aku mendengarkannya langsung di ruangan beliau saat wawancara dengan beliau sewaktu di Kotanopan bersama Organisasi Jurnalistik yang aku geluti, bahwa gaji guru-guru yang tidak PNS seringkali macet. Satu hingga lima bulan para pahlawan super itu tidak digaji sama sekali.

Apakah itu manusiawi?. Ketika mereka diwajibkan untuk selalu semangat siang dan malam. Ketika satu kesalahan kecil saja langsung para petinggi Kabupaten ini mempertanyakan komitmen kerja mereka. Ketika anak, istri, suami, dan keluarga menaruh besarnya harapan dipundak mereka. Ketika remaja-remaja Mandailing Natal harus mereka tempa demi menjadi orang yang mampu dibanggakan dan mampu memberi arti bagi bangsa, negara sekaligus agama mereka.

Di sisi lain, upah kerja keras mereka. Tanda bakti dari negara, justru tidak mereka terima. Tidak bisa dipungkiri pada Abad 21 ini, uang harus dimiliki. Bagaimana nasib istri dan anak mereka?. Apa yang harus diberi untuk keluarga kandungnya?. Etiskah ketika kami, keluarga secara sosialisasi dan psikologis ini harus mendapatkan perhatian penuh mereka, sedangkan keluarga biologis mereka terlunta-lunta atas kebiadapan tikus-tikus berdasi.

Kekuatan cinta Hasan al-Banna terhadap orang tuanya dilukiskan secara smpurna oleh Ahmad Jamaluddin. Jujur dan tanpa memihak dalam buku LELEKI PENGGENGGAM KAIRO, Sosok Di Balik Perjuangan Hasan al-Banna. Rasa cinta tersebut diwujudkan dengan penuh keikhlasan dan pengorbanan, selayalnya sikap seorang anak terhadap orang tuanya.
Dari rasa cinta itulah yang menginspirasi saya untuk “berani” berbicara dan berbuat sesuatu, sekedar memberitahukan

kepada guru-guruku, bahwa aku siaga di sini untuk mereka.
Aku katakana kepada Anda, kisah ini aku kisahkan dari sudut pandang aku sebagai siswa biasa, yang melihat gurunya menyeka dan menutupi pilu dengan senyuman yang apabila Anda lihat, menetes air mata Anda. Siapapun Anda, setegar dan sekuat apapun Anda. Aku menjamin, Anda, tidak akan mampu membendung air mata Anda.

Bagaimana mungkin ditengah cobaan luar biasa tadi yang tidak hanya menggerogoti psikis mereka tetapi juga sisi finansial mereka. masih juga ada suara-suara sumbang orang-orang yang tidak berpikir panjang. Parahnya lagi, hal ini datang dari rekan seprofesi mereka. Para Guru Yang Terhormat. Astaghfirullahaladzim.

***

Setelah kepindahan kami ke Panyabungan, aku menduga bahwa semua sistem dan civitas akademika SMA Negeri Plus Mandailing Natal yang telah berganti nama menjadi SMA Negeri 2 Plus Panyabungan akan meningkatkan kinerjanya. Tapi aneh atmosfir yang aku rasakan dan oleh sebagian besar murid lainnya telah jauh berbeda dibandingkan dulu di Kotanopan. Gairah itu menurun.

Apalagi semenjak hari itu, hari yang hampir saja menutup keran-keran ilmu dan hampir juga merobek dan menodai keikhlasan guru-guruku dalam mendidik putera puteri Mandailing Natal, keluarga sosialis dan psikologis mereka. Aku tegaskan sekali lagi, kami bukan keluaga biologis mereka. Tetapi dalam praktiknya, kami justru mendapatkan perhatian lebih dibandingkan keluarga kandung mereka.

Pagi itu, semua biasa saja, tidak ada sesuatu yang berbeda. Hingga suara yang sudah sangat aku kenal, suara guru fisika ku- sang motivator ulung - mendominasi pagi itu. Lewat sebuah pengeras suara yang tergantung di sisi luar aula, ia bertitah bahwa sebagian besar guru akan mengikuti pelatihan di SMA Negeri 1 Panyabungan, jadi proses belajar mengajar tidak akan diadakan. Melainkan hanya belajar mandiri.

Banyak anak-anak SMA Plus yang bingung. Seseorang berkata, “sekarang, kita terlalu sering tidak belajar”. Suara lain menyambut, “iya, dulu rapat 15 menit saja, kalau diambil dari jam belajar, kita harus ikut extra time selama 15 menit”.
Begitulah pagi itu, semua akhirnya larut dalam pikiran dan aktifitas masing-masing. Matahari pun menggelincir ke arah barat, seolah menantang esok pagi untuk tetap muncul, ketika tentara-tentara subuh menapaki beceknya tanah ke sungai batang-batang gadis.

Pada jam ekstrakurikuler, kami tetap masuk kelas, walau tanda-tanda kehadiran guru belum juga tampak. Hanya Bapak Biologi “The Greates Father” yang sudah berpakaian lengkap merangkul buku besar Camphbell-nya. Sang panutan bagi semua siswa. Seorang guru senior, cerdas, pintar dan belum gajian selama 5 bulan. Luar biasa bukan?.

15 menit berlalu setelah bel. Akhirnya Miss Dhani datang, ia langsung duduk, bahkan seingatku hampir tak ku dengar ucapan salamnya. Matanya sembab, merah. Air wajahnya terlihat sedih, lemas namun menyala.
Semua diam, tidak ada yang berani berbicara sepatah kata pun. Semua perhatian terfokus pada Miss yang sedang duduk lesu dibelakang mejanya. “Miss apa gerangan yang terjadi?.” Pikirku.
Tiba-tiba tanpa komando seorang temanku membacakan lantunan ayat suci Alqur’an disusul terjemahannya. Kebiasaan baik menurutku untuk dilakukan sebelum belajar. Barang 5 – 10 menit untuk pengajian, dan tadabbur.

Setelah itu, Miss angkat bicara. Dengan nada bergetar dan mata yang sebentar lagi akan memuntahkan anak sungai. Ia berujar, “Semangat anak-anakku, kita bisa melawan ini semua. Allah SWT tidak akan memberikan cobaan diluar kemampuan hambanya.”

Semua diam, bingung dan heran. Kemudian Miss melanjutkan kata-kata ngawurnya. Ia menangis. Siswa puteri pun terlihat tidak tenang. Semua lesu. Ikut terharu mungkin, tak jelas kuperhatikan.
Lalu, tibalah saat dimana semua telinga kami yang mendengar merah, mata terbelalak lebar, gigi menggeram, tangan mengepal kuat. Seolah timbul urat-uratnya……….Astagfirullohaladzim. Guru-guru kami, semuanya, tanpa terkecuali, baru saja dilecehkan secara langsung dihadapan sesama guru dari sekolah lain.

Ketika di SMA Negeri 1 Panyabungan, pada saat giliran guru SMA Plus yang presentasi dan diwakili oleh Pak Einstein (Hendri), semua hadirin diam, acuh. Dan tatkala selesai presentasi, asli, tidak ada satu tepuk tanganpun yang didapatkan oleh guru fisikaku itu. Bayangkan tidak ada satu tepuk tanganpun. Hanya dari sesama guru SMA Pluslah yang memberi penghormatan tinggi kepada Pak Einstein.
Nauzubillah. Dimana moral guru itu?. Katanya menghargai itu penting. Toleransi itu harus. Munafik. Aku menjamin, aku bisa. buktikan cara pak Hendri mengajara di depan kelas itu luar biasa. Tidak monoton apalagi diktator. Dia demokratis. Selakyaknya guru abad 21.

Kemudian game pelecehan sesi kedua dimulai. Forum tanya jawabpun dibuka. Banyak diantara hadirin yang mengacungkan tangan mereka. Hingga meluncurkan ke bawah tangan-tangan baju mereka. Terlihatlah aurat tangan mereka.

Sungguh diluar dugaan, pertanyaan yang diajukan oleh para “guru-guru mulia” itu bernada menghina, menghujat, dan terkesan menjatuhkan. Tidak mencirikan guru sama sekali. Mengedepankan ego dan mengesampingkan akal sehat. Mereka, satu persatu mengeluarkan bongkahan isi perut Sorik Marapi (Gunung Api teraktif di Mandailing Natal ) dan bersamaan menghamburkannya ke wajah para guruku yang semakin pucat pasi. Tidak dihargai dan diinjak. Bapak, ibu……….kuatkan hatimu. Tangkis semuanya. Semangatlah.

Sesungguhnya yang mereka lontarkan itu adalah pertanyaan dan pernyataan bodoh. Layakkah mereka menyatakan bahwa guru SMA Plus itu adalah guru yang sudah sangat kompeten dan tidak membutuhkan pelatihan sama sekali?. Terus, mereka juga menyatakan bahwa kami yang dididik adalah anak-anak Mandailing Natal tercerdas dan terpintar yang tidak perlu didik lagi.

Lantas, mereka juga menyatakan bahwa para guru SMA Plus tinggal masuk kelas, duduk dibelakang mejanya, dan ongkang-ongkang kaki. Bodoh bukan?. Dimana harkat dan martabat mereka sebagai guru. Aku bukan membenci mereka. Tapi aku menyayangkan tindakan dan pola pikir mereka yang jauh dari kesan mulia. Begitukahseharusnya guru ?.

Mereka tidak tahu, bahwa sepintar apapun murid kalau tanpa usaha untuk dipermak, murid itu tidak akan luar biasa. Jadi, guru-guru SMA Plus bukan hanya ongkang-ongkang kaki dan diam. Tidak. Mereka juga giatmendidik kami, dan berwasiat agar kami bisa diandalkan dan tidak “menyia-nyiakan” anugerah luar biasa berupa mengenyam pendidikan di SMA Negeri 2 Plus Panyabungan.

Sebenarnya ada faktor yang sangat riskan sekali untuk dibicarakan. SMA Plus tiap tahunnya katanya menerima dana dari Pemerintah Daerah Mandaing Natal dengan jumlah yang fantastis. Terbesar pertama di Kabupaten kami. Sudah pasti diambil dari Anggaran Daerah Kabupaten Mandailing Natal. Ujung-ujungnya uang rakyat. Cuma pada prakteknya, dana yang diterima tidak sesuai dengan yang dianggarkan. Alias LENYAP. Tidak tahu siapa yang mengurangi.nya. Tikus-tikus cerdas mungkin. Tidak mungkinkan para “parengge-rengge” (pedagang).

Itu dia yang dipermasalahkan orang. Katanya SMA Plus dapat dana melulu tapi prestasi kurang. Uang 2M itu masuk ke kantung para guru-guru. Betulkah ? Logikanya saja, bagaimana mungkin mereka menerimanya. Gaji bulanan saja tidak pernah datang. Aku katakan kepada Anda, sepertinya tidak sampai 2M yang diterima sekolah. Logikanya saja, 2M kok kamar mandi saja tidak memadai.
Guru-guruku tidak pernah merinci berapa dana yang diterima sekolah dihadapan para siswa. Entahlah berapa besar dana yang diterima itu. Kukatakan pada Anda, sudah memasuki tahun kedua aku disini, tidak jauh berbeda. Semua sama. Hanya lokasi saja yang berbeda dan bertambah luas.

Bayangkan, layakkah untuk 2M per tahun. Kamar, lab Komputer , lab Fisika, kimia dan biologi (lebih lengkap, lab SMPku. Begitukah lab sekolah berstandar plus?) saja tidak maksimal dan amburadul. Begitulah sebagian kecil dari besar dan banyaknya problema yang dihadapi SMA Plus dengan 1001 cacian, pendapat dan pertanyaan, dan pernyataan gila. Yang sewaktu-waktu dapat meruntuhkan ketegaran kami.

Mereka bukan pengecut. mereka mulia berbakti demi pendidikan. Meraup rezeki Allah yang HALAL, walau terlatih dan tenggelam di lautan hujat, maki dan fitnah yang menyesakkan. Guruku bertahanlah. Aku ada untukmu sebagai Pamungkas di Garda terdepan. Berjihadlah. Guruku … jangan pergi.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More