Rabu, 29 Desember 2010

Dalam Dekapan Ukhuwah Kita Berjumpa, Karib


Oleh: Sri Maryani

(Pada Anak-anakku kelak, akan kuceritakan tentangmu, Karib...)

Bismillahirrohmaanirrohiim ....
Dan dia termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang. (al-Balad: 17)

Hati yang bersungguh-sungguh dalam ‘pencariannya’, maka ia akan berhasil dalam ‘penemuannya’. Maka ada lah perkariban yang benar-benar dilandaskan pada sebenar landasan perkariban yaitu ‘cinta yang rahmah’, pemberian tanpa menuntut pengembalian. Sekecil apapun pemberian itu, akan tertata di dalam hati, membentuk laci-laci cinta yang senantiasa terjaga. Dan, dalam dekapan ukhuwah kita benar-benar berjumpa, Saudariku.

Melalui kelunakan tutur-tulis Salim, “Dalam Dekapan Ukhuwah” menjelma bening-bening kata. Ia seperti ricik mata air yang menjadikan hati kita senantiasa tersegarkan. Dituliskannya kisah orang-orang yang dipilihkan langit. Kita bercermin pada bijak cerita. Kita tersulut jua untuk berkisah bahwa dalam dekapan ukhuwah kita juga diperjumpakan, Saudariku...

Kita sempat was-was ketika pecahan-pecahan hujan turun sepanjang hari itu. Tetapi bayangan tentang rerimbun pinus, baunya yang khas, cericit beburung, rerumput yang memadang hijau, hening, bau tanah basah, membuat kita tak urung untuk pergi.

Sebetulnya mudah saja, tinggal menyusur jalanan membelakangi kosanku: Rengganis. Setiap kali ke sana, biasanya aku menakjubi matari yang perlahan meninggi, menghangatkan tubuhku yang ditusuki gigil pagi, atau memerhatikan ia yang perlahan tenggelam di penghujung senja. Jika sudah begitu, aku berbinar takjub seperti anak kecil menemukan hal baru dalam kehidupannya. Hatiku menjadi kembang ketika matari menjahiliku dengan memecah cahayanya melalui celah-celah dahan pinus juga di sela-sela daunnya yang menjarum, lalu menempakannya di kuyu wajahku. Aku senang duduk-duduk atau berdiri di atas rerumput, lalu memainkan bebayang tubuhku yang terlukis di hampar rerumput tersebut. Dan, hari itu, kita menyusur  kehijauannya.

Sesampainya di keluasan rerumput, kita buka dengan sebuah perdebatan kecil tentang pinus dan cemara. Apa yang engkau sebut pinus aku sebut itu cemara. Berulangkali engkau meyakinkanku bahwa tak semua jenis pinus wangi. Ah, bagiku pinus itu seharusnya wangi (keras kepala...;)) Dan, engkau begitu keukeuhnya meyakinkanku bahwa pohon-pohon tersebut memang pinus. Tapi, entah mengapa, seolah ada ingatan yang terikat di kepalaku, bahwa pinus seharusnya berdahan rapat dan berbuah wangi. Lagi, perdebatan kecil bersambung, ketika strobilus yang aku sebut buahnya pinus, engkau sangkal dengan mengatakan bahwa itu adalah bijinya. Baiklah, aku tahu engkau memang ahli botani, anggap saja aku sedang menguji ketajamanmu tentang taksonomi tumbuhan..:)

Kita berpusing mencari tempat yang enak membuka perbekalan. Betapa kagetnya kita, ketika kita ketahui hari itu Pondok Hijau tak sehening biasanya, banyak mahasiswa yang entah sedang pelantikan apa. Kita tetap bertahan dan tak urung untuk pergi. Di sana kita membuka perbekalan sambil dilewati lalu lalang berkelompok-kelompok mahasiswa kumal berlumpur-lumpur. Mereka seperti terheran-heran memperhatikan dua akhwat teronggok anteng di atas rumput...:)

Seharian itu langit pecah, sejenak menumpahkan rerintik, sejenak reda kembali, begitu berulang berkali-kali, hingga akhirnya rerintik itu benar-benar pecah menderas di tengah siang. Dan di keluasan rerumput yang menurun itu, kita berdua saja di bawah gugurannya. Aku ingin melepas tawa ketika engkau mengembangkan payung tetapi kita memilih tak beranjak, Jadilah kita duduk-duduk di bawah guyuran hujan dan di bawah payung hijaumu yang kecil, di tengah lapang rumput yang hijau dan landai, berdua saja. Payungmu kembang, tetapi tetap saja kita kuyup. Dan, kita bertahan tak beranjak, sementara hujan kian deras, kita anteng duduk di rumput yang memadang, hening, dan sedikit dikabuti oleh tempias hujan. Kita tergelak menyaksikan tingkah kita yang terkadang konyol penuh canda.

Kita berbincang banyak hal, mulai dari cerita ringan yang membuat kita tertawa hingga persoalan berat yang membuat kita menghela. Pada akhirnya, kita dapat bersyukur lega, semakin berwarna persoalan, semakin dewasa pula lah kita karenanya. Terasa ada yang likat ketika kita saling melempar cerita. Dalam dekapan ukhuwah, kita saling percaya dan kita saling bercermin pada cerita-cerita. Dan, melalui itu Allah sehatkan jiwa-jiwa kita, Allah isyaratkan kita untuk senantiasa saling menjaga tegur sapa, saling nasihat menasihati, saling menyuburkan apa-apa yang sempat kikis dalam hati.

Aku melempar pandang ke arahmu, lalu tersenyum haru, saudariku, seorang perempuan bermata binar. Di hatiku kuhaturkan syukur betapa Allah telah mengutuskan saudari sepertimu sebagai pelipur. Apa engkau dapat melogikakan keterpautan hati? Kapan engkau mendekat, merapat, dan tambat? Jelas kita tak mempunyai hubungan kerabat dalam silsilah darah.

Gema Pena (Gerakan Mahasiswa Pendidikan Nasional) komisariat UPI menjadi gerbang perjumpaan kita. Banyak orang luar biasa yang menyuburkan ladang tarbiyah di sana, salah satunya engkau. Lalu aku? Aku tak dapat mengelak ketika orang-orang tercengang tersebab keputusanku untuk hengkang darinya. Bukan darinya saja, tetapi dari semua aktivitas kampus. Tentu ini tak mudah. Bukankah hidup itu pilihan, bahkan di saat tak memilih sekalipun itu merupakan sebuah pilihan? Dan, ketika aku memilihnya, tentu ini sangat berat dan menyakitkanku juga. Banyak orang tak berterima, mungkin karena alasanku juga yang kurang bisa diterima. Lagi-lagi sikap keras aku muncul: Aku ingin berhenti dari semua aktivitas, titik!!

Aku terjerembab dalam futur berkepanjangan. Aku berada pada lingkaran pengasingan yang aku buat sendiri. Tetapi entah mengapa, ada semacam gelisah yang sepertinya terus menyileti hatiku bahwa menjadi manusia nol aktivitas itu luar biasa tak mengenakan. “Futur itu wajar, yang tidak wajar ialah berlama-lama dalam kefuturan!”, suara itu masih nyaring terdengar hingga kini.

“Kenapa ant berhenti dari aktivitas dakwah?”
“Saya tidak berhenti dakwah. Untuk dakwah itu banyak cara.”

Beragam pertanyaan muncul dari rekan-rekan yang memang merasa kebingungan dengan kepergianku. Aku memang tak berhenti dakwah, bagiku kehidupan ialah dakwah itu sendiri. Kita berinteraksi dengan sesiapapun itu dakwah. Menulis juga dakwah. Jual beli itu dakwah juga. Dakwah itu hal esensi yang masuk pada segala macam komponen kehidupan kita. Tetapi, entah mengapa, aku semakin terus diiris-iris oleh perasaan tidak nyaman, “Robii... apakah aku termasuk orang yang berguguran di jalan dakwah?”. Astagfirullah, inilah kesalahanku, bersuudzan terhadap Allah dan pada diriku sendiri. Astagfirullah...

“Engkau memang tetap dakwah, tetapi engkau mundur dari jamaah. Adakah itu yang membuat engkau resah?”
“Aku tidak mundur dari jamaah. Aku tetap tsiqah pada jamaah.”
“Lantas ketika engkau mundur dari aktivitas? Apa benar engkau sanggup berdakwah dengan gagah tanpa jamaah?”
Terdiam.

Dakwah bukan hanya menyoal engkau yang personal, melainkan juga menyoal bagaimana engkau melangkah bersama jamaah. Saling mengokohkan, saling menambal apa yang robek, saling menghaluskan apa yang sempat dudus.

Aku memperbaiki ulang doaku, jelas ada yang salah dalam setiap pengaduanku padaNya. Doa itu pujian juga rayuan, bukan ratapan apalagi sambil melontar cacian. Jelas ada yang salah dengan pola pikirku yang kadang terlalu pongah

“Bismillahirrohmaanirrohiim... Allah ya Raziiq, Engkau yang menakdirkan kami dengan sebaik-baiknya rizqi. Engkau pula yang merizqikan kami  berkumpul dengan saudara-saudari yang shalih-shalihah. Engkau yang merizqikan kami agar senantiasa dapat berkarib dengan baik. Engkau yang merizqikan kami untuk senantiasa menyambung silaturrahiim. Engkau yang merizqikan kami agar senantiasa dapat saling nasihat-menasihati dalam kebenaran dan kesabaran. Engkau yang merizqikan kami untuk sama-sama saling melepas gundah. Maka rizqikan kami pula untuk senantiasa dapat menjaganya. Rizqikan kami untuk bersama mereka. Rizqikan kami untuk tidak jauh-jauh dari mereka. Rizqikan kami untuk senantiasa menjadi sepasukan yang selalu menegakkan namaMu robiiy...”

Saudariku, perempuan berlisan iktibar...
Jelas mungkin aku berbeda dengan karib-karibmu yang lain. Ketika aku seringkali menunjukkan sikapku yang jelaga. “Dalam dekapan ukhuwah kita merasakan kehangatan sahabat.”, begitu tulis Salim. Lalu kemudian ia mengutipkan petatah William Arthur Ward “Dia tahu kelemahan kita, tetapi menunjukkan kekuatan kita; dia merasakan ketakutan kita, tetapi membangkitkan keyakinan kita; dia melihat kekhawatiran kita, tetapi membebaskan jiwa kita; dia mengenal ketidakmampuan kita, tetapi memberi kita kesempatan.”

Setelah aku memutuskan off dari aktivitas, menghilang dari peredaran, tak menebar kabar, kapan kita mendekat, merapat, dan tambat kembali? Adalah ukhuwah sebagai isyarat agar kita senantiasa saling dekat untuk menegakkan taat?

Jelas banyak yang tak dapat kita logikakan, begitupun tentang pertemuan dan  kedekatan. Ketika aku raib dari aktivitas-aktivitas kampus, di mana dan sejak kapan kita mulai mendekat, merapat, dan tambat. Saling nasihat, saling menebar kisah, saling menghapuskan kesah?

Dari serangkaian beda di antara kita, kita menemukan ada yang sama dalam diri kita yaitu kita lembut dalam rasa. Perlahan engkau menyusup dalam ketertutupanku, kita banyak bicara tentang rasa walau terkadang tanpa kata, kita biarkan hati kita yang saling bicara. Kita berbincang soal asa dan keberpihakan takdir padanya. Terkadang banyak orang tak dapat mengerti ketika dua orang melankolis seperti kita saling menatah kata, saling bicara. Kita perbincangkan beragam ayat semesta dengan bahasa kita, kita pilah dalam beragam warna: dakwah, filsafat, sastra, eksak, dan warna lainnya, tetapi tetap pada satu muara keteguhan, taat pada-Nya. Terkadang kita perbincangkan keluguan-keluguan kita.

Karibku, perempuan bermata binar...
Berulangkali aku ceritakan padamu, konon katanya, aku adalah orang yang memiliki “hijab komunikasi dan interaksi” yang tinggi, dan tak setiap orang bisa menembusku...;) Dengan lugunya, engkau begitu saja bisa masuk. Engkau membuatku banyak terseret pada tingkah-tingkah geje. Selalu berhasil membuatku tertawa walau melalui tingkah-tingkah konyolmu. Konon katanya pula, aku adalah orang yang keras, serius tingkat tinggi, pendiam, tidak bisa diajak bercanda, melankolis over dosis, reaktif. Dan, lagi-lagi dirimu yang jelas-jelas bertolak belakang denganku (meskipun kita sama-sama melankolis), begitu mudahnya untuk masuk. Engkau membuatku kadang terlihat lugu, terlihat geje sepertimu (^____^), menjadikanku cerewet.  Pada awalnya itu menjadi hal-hal aneh dalam kehidupanku. Tetapi entah mengapa tingkah-tingkah aneh itu membuat hatiku terasa ringan seolah berkurang beban. Bisakah engkau melogikakan itu? Jelas ini soal keterpautan hati, jelas ini soal kesalingpercayaan, jelas ini soal kesalingnyamanan. Dalam dekapan ukhuwah, kita saling memberikan pengaruh dalam kebaikan.

Karibku, perempuan yang mudah tersentuh hatinya...
Kita mempunyai keinginan yang sama untuk jaulah bersilaturrahiim dengan ustaz/ustazah shalih ke daerah-daerah, menimba ilmu pada mereka, membingkis petuah-petuah bijak mereka. Hampir tertata keinginan itu, meskipun pada akhirnya muncul rupa-rupa kendala yang membuat kita seringkali urung. Kita menyukai perjalanan, ke manapun tempat yang kita jadikan arah perjalanan, selalu berkesan, selalu ada kenangan yang lekat padanya. Setiap tempat kita sulap menjadi tempat yang berkesan, ingatkah engkau ketika kita anteng menyusur taman bunga di Parongpong Lembang yang begitu romantis di kala siang, tetapi mendadak menyeramkan kala malam tiba, dan kita pernah terdampar di sana ketika kita kehabisan kendaraan, tersesat di antara rerimbun yang seperti akan menelan kita hidup-hidup dalam sepi dan angkernya.  Dan, dalam dekapan ukhuwah, kita belajar untuk saling berpadu meleraikan ketakutan...;)

Jelas banyak beda di antara kita. Engkau positivisme, aku heurmeunetika. Engkau sains, aku linguistik sastra. Engkau eksak, aku humaniora. Aku FPBS, engkau FPMIPA. Jauh kan gedungnya juga? Lantas apa yang mempertemukan kita? :UKHUWAH

Ukhuwah mengantarkan kita pada debar-debar keimanan, debar yang membuat kita selalu terpacu untuk bertindak. Kita saling menjaga dari terlukisnya jelaga  pada kain putih keimanan kita.

Iman menghendaki adanya pertalian-pertalian hati, di sananya kita saling lekat, saling lihat, dan saling nasihat jika kita temui di hati-hati kita ada bagian-bagian yang retak.

Terima kasih sudah hadir dalam hari-hari kehidupanku. Berbagi banyak kisah hikmah. Menularkan kegejeanmu juga keluguanmu yang seringkali membuatku cemas sebagai seorang karibmu..;)

Kelak, akan kukabarkan pada anak-anakku...
Nak, ini teman ummimu ketika masih kuliah dahulu...
Walau, terkadang lugu...
Tetapi, tingkahnya sering membuatku tersipu...
Semoga Allah menjaga perkariban kita, uhti...^^
Rabbi... Syukurku... Segala puji bagiMu yang telah merizqikannya menjadi karibku. Uhibbuki fillah... Lillah....

Sebuah apresiasi untuk salah seorang karib terbaikku: Selfi Budiani


0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More