Senin, 27 Desember 2010

Sejadah Yang Hilang

“Sejadah ku hilang… dari tiga, tersisa dua,” seruku setengah panik dengan tubuh terlentang. Mataku mengerjap-ngerjap tak karuan. Sesosok malaikat berjubah putih terang datang dalam imajiku, menenangkanku.

“Aku yang menghilangkannya. Terlalu fokus dengan diriku, tak memperhatikan sejadahku yang lain. Aku egois,” kataku lagi setengah berbisik. Aku terdiam. Namun, tiba-tiba hawa panas menyembul dari balik bahuku. Membakar bulu di tengkukku. Aku menoleh. Malaikat jahat dengan taring yang tajam menyeringai hebat dibalut kulitnya yang merah menyala. Dua tanduknya bergerak-gerakk mengancamku.

“Sejadahmu sudah hilang. Kita cari ‘sejadah’ baru,” ungkapnya sambil menggoda. Ekor merahnya yang panas mengorek-ngorek telingaku. Aku lagi-lagi terdiam. Mungkin, otakku sedang kosong. Tetapi, batinku lebih kosong.

“Povia…” Aku menoleh mencari sumber suara yang mengagetkanku di kala akhir sujudku. Suara itu lagi. Alam kesadaranku menyentil pula. Menyadarkanku bahwa ragaku kini tengah ada dalam sebuah Mesjid besar. Mesjid layaknya istana dengan empat buah pilar-pilar emas yang menyangganya. Mesjid berlantai dua dengan halaman berhijau didepannya. Namun, tak ada siapapun yang ku kenal. Aku menghela napas. Menarik urat leherku sekeras mungkin. Menahan tangis.

Inilah aku dengan jilbab cokelat yang menutupi rambut hitamku walau tak panjang menjamahi punggung, lengkap dengan baju senada dan rok batik cokelat pula. Jujur, saat ini gelombang imanku sampai pada titik yang lumayan rendah dari titik puncaknya. Pasang surut aku hampakan yang menandakan imanku sedang lain dari biasanya. Ku pandangi awan yang bergerak beriringan pelan tak tentu arah. Sepelan pikiranku yang mencoba menjamahi masa laluku yang gelap. Aku berdiri di tiang keputusasaan. Imanku terkoyak, juga batinnya. Melingkupi tubuhku hingga memancarkan energi negatif dari sini. Pilar-pilar emas berdiri kokoh mencoba menguatkan hatiku yang sedang terombang-ambing. Sejurus mataku menangkap lurus tulisan kaligrafi yang terukir indah yang terlihat jelas dari tempatku bersila. Tulisan yang sangat aku cintai keberadaannya, tulisan yang menggugah hidupku, tulisan yang membuat jiwa dan ragaku bergetar tak terkendali. Sebuah tulisan yang membuat air mataku menderas, Allah.

“Povia, jika kau merasa rapuh, cobalah tengok masa lalumu yang begitu banyak perjuangan,” kata makhluk antah berantah itu mengganggu lamunanku. Kepalaku bergerak. Otakku memompa lagi memori yang tak bisa kukendalikan. Cerita dari masa lalu terputar lagi dalam slide otakku. Aku terpaku. Kini, tubuhku terasa tertarik ke masa lalu melintasi dimensi waktu. Saat itu, empat tahun lalu, aku mengunci diriku rapat-rapat dalam sebuah kamar mewah, milikku sendiri. Ku intip dari lubang kunci, takut jika ada orang yang melihat kegiatan rahasiaku. Rumahku yang mewah, lengkap dengan segala isinya yang berkelas. Sayang, tak dilengkapi dengan seluruh anggota yang berkumpul mesra dalam rumah. Rumah itu kesepian, aku juga. Keberadaannya tak dianggap.

Dalam langkah tertahan, ku biarkan air membasuhi tangan dan wajahku yang letih. Baru pertama kali aku melakukan ini. Apakah sudah benar caraku berwudhu ini? Entahlah! Aku lalu memakai mukena milik ibuku. Warnanya pink cerah dengan manik-manik mungil berbaris rapi di ujungnya. Ku lebarkan sejadah bergambar Ka’bah ke arah yang biasa kulihat saat ibuku shalat. Aku lalu tenggelam dalam pertemuanku dengan-Nya. Itulah pertama kali saat aku menjumpai-Nya dalam doaku. Bertegur sapa dengan-Nya secara romantis, bercanda dan saling bertanya walaupun tanpa jawaban. Senyumku mengembang saat tetes air mata terakhir mengenai Ka’bah tepat di tengahnya. Akhirnya, aku bisa merasakan shalat saat semua orang tak ada di rumah. Sesuatu yang langka dan tak bisa kulakukan tiap waktunya.

“Povia…” Suara itu memanggilku lagi. Ku tengok sekelilingku, hanya perempuan-perempuan berjilbab panjang yang sedang asyik shalat atau sekedar berbincang dengan sebayanya. Hah, makhluk mana itu yang berani mengusik pikiranku? Kuputuskan beranjak dari tempatku, pindah ke pojok mesjid yang sepi. Kupandangi tulisan itu dari sini, berasa dekat jarak kami.

“Kenapa sekarang harus lemah? Tetapi, kenapa tak bisa sekuat dulu…” ungkapku sambil terisak. Entah siapa yang mendengarnya karena tak ada satu mahkluk pun di dekatku. Tetapi, yakin jika yang empunya jiwa manusia pasti mendengarnya.

Pikiranku berulah lagi, menembus dimensi lagi. Kala itu, setelah aku pertama kalinya bertemu dengan-Nya, kucoba mencari lebih banyak apa kesukaan-Nya, apa yang dibenci-Nya, layaknya orang yang sedang jatuh cinta. Tetapi, dari mana aku harus memulai?

“Povia, besok ke Gereja jam berapa? Kita pergi bareng?” tanya Heni, teman satu kelasku saat aku bersama anak-anak SMA ku beranjak pulang.

“Hmm..erghh..hmmm…” gumamku meracau. Bola mataku berputar, mencoba mencari jawaban mengelak yang pas.

“Sial! Aku tak bisa mengelak,” batinku meringis. Aku menatapnya nelangsa. Hah, kenapa aku terus yang bertugas? Aku ini sedang bimbang. Sedang terombang-ambing. Bayangkan, jika seseorang belum mendapatkan jati diri yang sesungguhnya, ia pastilah bisa pergi mencari. Tetapi, jika seorang yang berumur 17 tahun belum mendapatkan iman dan agamanya, ke mana ia hendak mencari?

Dan sialnya imaji otakku semakin liar. Sebuah buku usang bersampul putih karangan Salim A. Fillah terlintas di benakku. Saksikan bahwa aku seorang muslim. Yah, segala isinya memaksa otot mukaku tegang, darahku kian berdesir hebat. Imajiku hanya mimpi? Membayangkan suatu saat aku bisa menyuarakan pada seluruh dunia bahwa aku seorang muslim sejati. Akankah? Tetapi, lagi-lagi aku harus menelan pil pahit. Bahwa kenyataannya aku seorang Kristiani. Kurendam pelan-pelan luka yang tercabik ini hingga tak ada seorang pun yang tahu ekspresi menyedihkan dari wajahku. Entah sampai kapan mimpi itu dapat kugenggam.

Sesampainya di rumah, ku adukan hal ini pada ibuku yang biasa ku panggil Mami. Beliaulah yang paling dekat denganku. Sumber bahagia dan hidupku. Beliaulah yang mengenalkanku padaNya untuk pertama kali. Hatiku bergetar tiap ibu menceritakan Kekasih hatinya itu. Penasaran yang seringkali timbul, kini beranak pinak tak terkendali. Siapa sebenarnya aku? Siapa yang menciptakan aku?

“Aku ingin belajar…” ungkapku mantap sambil menatap lurus ke dua bola mata ibu yang teduh. Ia tersenyum dibalik mukena yang melapisi tubuhnya. Beliau lalu mengambil kitab besar bertuliskan Arab, yang diberi nama Al-Qur’an. Alunan ayat-ayat cinta Allah mengalir syahdu dari bibirnya yang manis. Aku terpaku saat duduk di sebelahnya. Menyejukkan. Melapangkan dadaku yang penat. Otakku terasa menerima impuls-impuls segar yang membuat otot-otot wajahku menampilkan senyum. Lagu indah ini yang sering kudengar saat aku masih meringkuk di tempat tidur. Kudengar dalam tangisan yang lagi-lagi tertahan.

“Mom…” Teriakan seseorang mengagetkanku dan ibuku seketika. Langsung ku berlari menuju kamarku yang tak jauh dari tempat ibuku shalat, lalu tenggelam dalam kasur. Kutarik selimutku cepat-cepat. Pura-pura tertidur. Takut, jika Daddy barusan mendengar percakapan kami berdua. Semenit kemudian, Daddy masuk ke kamarku. Menghampiriku, dan mengusap keningku. Mataku kupejamkan kuat-kuat biar terlihat tidur secara alami. Ia lalu berlalu meninggalkanku dengan sejuta sesak di dada.

“Kenapa harus berakhir seperti ini? Kenapa aku harus lahir dalam keluarga seperti ini? Maaf jika aku tak bersyukur tapi tolong beritahu aku, kenapa aku tak dilahirkan saja dalam keluarga yang bisa berbincang-bincang secara bebas tentang segala hal? Ha, semua tak ada yang bisa menuntunku melihat jawaban. Setidaknya beri aku petunjukkah!” seruku bergumul dalam hati dengan makhluk tak tampak. Tapi, aku memang manusia tak tahu untung! Hanya mengeluh dan mencibiri takdir.

Aku sudah muak dengan semua ini. Selama 17 tahun hidupku hampa, hidupku penuh kepura-puraan. Bukankah aku seorang munafik yang hebat? Semua orang mengelukanku sebagai perempuan yang hebat. Siswa yang berprestasi. Anak yang baik dan sopan. Hah, mereka sungguh tak tahu aku yang sebenarnya. Seandainya mereka tahu bahwa aku adalah anak yang apatis, emosi, dan mencintai Tuhan orang lain, apakah mereka masih menghormatiku?

“Ya Allah… Bukankah Kau Maha Tahu apa yang ada dalam hati setiap hambaMu? Bukankah Kau melihat setiap apa yang dikerjakan hambaMu? Bukankah Kau selalu menolong kesusahan hambaMu? Kalau begitu lihat aku, dan katakan bahwa pilihanku benar. Pilihan untuk mencintaiMu. Beri aku tanda itu!” seruku setengah berteriak di beranda rumahku yang kosong. Selalu kosong. Hanya kebun besar di depannya dengan bunga berwarna-warni bergoyang-goyang tertiup angin. Aku menatap langit mencoba mencari pertanda itu. Langit tampak cerah, tak ada sesuatu yang menandakan akan ada jawaban dari pertanyaanku. Bola mataku perlahan berkaca-kaca.

“Tak ada tanda apa pun, lebih baik aku beranjak ke dalam rumah,” putusanku tiba-tiba sambil bangun dari dudukku hendak memasuki rumah. Baru selangkah kakiku berjalan, tiba-tiba..
JGERRRRR! Petir nakal timbul bersahut-sahut. JGERRR! Sampai tiga kali suara itu berhasil menghentikan langkahku karena kaget. Aku terhenyak. Mataku melotot, mulutku menganga lebar, seluruh tubuhku gemetar. Aku kembali ke posisiku semula. Ku pandangi langit yang tiba-tiba tertutup awan hitam.

“Sejak kapan awan hitam itu?” tanyaku bingung. Petir menyambar lagi. Kali ini tumbukan elektron membuatnya seperti senjata petir Olimpus di film Percy Jackson. Tak lama hujan deras turun membasahi permukaan bumi. Deras sekali. Aku terpaku sambil mencoba mengucap syukur.

“Ya Allah, apakah ini pertandaMu? Apakah ini benar jawaban yang ku tunggu selama ini dariMu? Jika itu benar, biarkanlah aku mencintaiMu dengan segenap jiwa dan ragaku ini Ya Allah… Jika begini aku tak akan ragu-ragu lagi ya Allah!” kataku pelan lalu menelungkukan kedua tangan ke wajahku. Aku melihat ke depan lagi. Air mataku kini menggenang, seperti hujan yang membentuk genangan di tengah kebun bungaku.

“Dan mulai saat itu bukankah kau berusaha sekuat tenaga untuk mencari tahu tentang diriNya? Apa kau lupa, sore itu bersama ibumu, kau belajar membaca Al-Quran dengan terbata-bata? Berbulan-bulan kau hafalkan ikqro walaupun pengucapannya belum sempurna. Tetapi, lihatlah. Kau begitu semangat dan penuh kegembiraan. Kau buang jauh-jauh keputusasaan saat kau ingin menghafalkan doa-doa pendek. Bahkan ayat kursi bisa kau hafalkan dalam waktu seperempat jam,” kata malaikat baik yang tiba-tiba masuk dalam slide-slide masa lalu di otakku. Kesadaranku kembali pulih. Kudapati ragaku masih di tempat yang sama. Mesjid.

“Dan kau juga tidak lupa bukan saat kau nyaris diusir dari rumah bersama ibu tercintamu? Saat kau bertindak nakal dengan nekat shalat di dalam kamarmu secara diam-diam? Ayahmu yang sudah mencurigaimu dari awal dan pulang cepat dari kantor memergokimu sedang memakai mukena dan melipat sajadah. Apa kau lupa dengan tampang bodoh yang kau perlihatkan saat itu? Ayahmu begitu menyesal memiliki anak sepertimu!” cerocos malaikat jahat tiba-tiba tak mau kalah dengan si malaikat baik. Pergumulan batin terjadi lagi.

“Ya, tetapi bukankah semua ternyata baik-baik saja. Ayahmu toh sekarang menerimamu sebagai seorang muslim sejati. Ia justru tersenyum saat melihat kau mengenakan jilbab. Adakah alasan untuk mu supaya tak bersyukur pada Allah?” Aku menggeleng menjawab pertanyaan malaikat putih.

“Terima saja kenyataan bahwa kakak tercintamu yang menjadi mualaf bersamamu, yang paling kau kagumi di dunia ini sudah berpaling dari muslim. Pindah agama sebanyak dua kali, wah bukankah itu luar biasa? Bukankah karena alasan itu kau berada di tempat ini? Mencari lagi jawaban seperti biasa? Tetapi sayang Tuhanmu tak jua memberikan petunjuk seperti dulu lagi. Kau mulai rapuh dan terjatuh? Kalau begitu kuucapkan selamat datang untuk penghuni baru… Berjalanlah sejauh mungkin, berbeloklah ke arahku.. Hahhaaha!”

“Jangan, Povia! Dapatkah kau melupakan perjuangan-perjuangan berat mu dulu menjalani hari-hari sulit? Dicemooh, tak dihargai, dibuang, dan dicibir. Tapi, kau menang! Lihat! Kau ada di tempat ini berarti kau menang! Kau lupa itu?”Aku menghela napas panjang. Sesungguhnya cintaku ini tak ada batas. Adakah seorang yang tak mau dekat dengan Tuhannya? Sementara di luar sana banyak sekali manusia kurang beruntung yang terpaksa menyembunyikan keislaman hingga saat yang tepat tiba. Aku menghela napas lagi. Kupandangi tulisan kaligrafi yang menyala-nyala indah.

“Harapanku untuk memiliki keluarga muslim sudah hilang. Tetapi, aku masih memiliki dua orang lagi untuk kunikmati jalan mereka menjadi seorang muslim. Ayahku dan adikku… kalau begitu aku tak akan menyerah! Aku kemari untuk meminta jawaban dari-Nya dan aku tahu jawabnya kini,” seruku tiba-tiba bersemangat kembali. Darahku mengalir super cepat. Kuhapus air mata yang sedari tadi mengganggu pandanganku. Aku bangkit, menuju selasar mesjid. Benar, tak ada yang perlu disalahkan.

Aku tersenyum seraya mengucap syukur berkali-kali. Ya, kali ini aku sudah berani meneriakkan ke seluruh penjuru bumi tentang identitasku sebagai muslim sejati. Mimpi itu bermetamorfosa menjadi nyata. Dunia pun akhirnya tahu itu. Sekali lagi Allah memberikan keajaiban dan kejutannya padaku. Ia tak kan lama meninggalkanku mati dalam kehidupanku.

Dan kulihat awan membentuk rupa seperti sebuah sejadah bergambar Ka’Bah berkibar-kibar di langit. Bukankah itu milikku? Ah, jika mati satu, tumbuhkanlah yang lain! Sejadahku hilang, maka akan kudapat dua sejadah baru sekaligus! Aku yakin. Pertanda itu memang selalu ada. Hanya saja manusia terlalu buta untuk melihat. Terlalu naïf untuk mengatakan: aku melihatnya. Terlalu lamban untuk menyatakan: aku mencintai Allah. Hingga semua iman manusia kembali diambil oleh-Nya. Karena kebahagiaan bukanlah berhasil mendapatkan sesuatu yang tak dimiliki, melainkan mengerti dan menghargai yang sudah dimiliki. Terlebih keimanan.

TAMAT
(Kakakku, cinta itu masih ada, tak kan terputus. November 2010)

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More