Senin, 27 Desember 2010

Salim A. Fillah Ingatkanku untuk Menikah

Oleh: Jazimah al Muhyi

Aku sudah berada pada fase ’tidak terlalu ingin nikah’ saat membaca buku perdana Salim A Fillah, Nikmatnya Pacaran Setelah Pernikahan (NPSP). Aku tertarik membaca karena menurut kabar yang kudengar, buku itu dahsyat. Lain dari pada yang lain dengan buku-buku pernikahan yang memang booming waktu itu. Konon katanya buku itu sudah dibedah di mana-mana dan selalu mendapat antusiasme luar biasa dari peserta. Salim A Fillah? Emang siapa dia? Dan apa sih dahsyatnya? Rasa penasaran itulah yang membuatku mencari buku tersebut dan membacanya hingga tuntas.

Aku sudah asyik berat dengan kehidupanku sebagai penulis ’lumayan papan atas’ ketika membaca buku itu. Masa ’ngebet nikah’ sudah lama lewat. Karier yang terus menanjak, kantong yang tak pernah kering, sibuk mengisi acara di sana-sini, pergi ke sana kemari sesuka hati, membuatku memandang pernikahan sebagai sesuatu yang tidak perlu sangat diinginkan. Lha iya, kalau suaminya nanti mengijinkan untuk meneruskan karier nulis, kalau tidak? Lha iya kalau suaminya mendukung, kalau tidak? Memang pernikahan itu sunnah dan ibadah, tapi kalau tidak bahagia bagaimana? Bukankah menulis dan mengisi acara ke mana-mana juga amal ibadah? Bukankah berbagi ilmu kepenulisan juga ibadah?

Belum lagi kalau memikirkan adanya banyak ancaman dosa dalam rumah tangga, khususnya untuk perempuan. Cemberut aja dosa. Harus selalu menyejukkan pandangan mata gitu lho. Tidak mau taat pada suami berarti siap-siap diceburin ke neraka. Apalagi berani nolak ajakan senggama. Hiy, ancamannya dikutuk malaikat sampai pagi! Waduuh, sudah belum tentu seneng, belum tentu dapat pahala pula. Belum tentu bahagia, dan masih belum tentu bisa masuk surga. Ngeri juga, kan?
So, ketimbang udah susah-susah jadi istri trus terkategori istri tidak taat trus masuk neraka, mendingan nabung pahala dengan cara nulis yang banyak aja deh. Kurang lebih begitu yang kupikirkan.

Entahlah, aku dulu begitu ngeri dengan satu kata ‘TAAT’ itu. Taat pada suami. Iya kalau suaminya baik. Iya kalau suaminya pengertian. Kalau dia orangnya saklek gimana. Yang prinsipnya pake ’pokoknya’. Pokoknya istri itu ya harus nurut sama suami. Gimana dong kalau dapat suami model begitu? Mana hak suami atas istri itu besar banget lagi. Keluar rumah harus ijin, nemuin tamu juga ijin. Mau ketemu orangtua aja, kalau suami nggak kasih ijin ya nggak boleh. Puasa sunnah pun harus ijin lho. Halaaaah, susahnya ....

Begitu aku selesai membaca buku itu, ada sesuatu yang menyentakku. Rupanya, ada yang salah dengan cara berpikirku tentang pernikahan. Rupanya, terlalu banyak informasi keliru yang kuterima sebelumnya. Terlalu banyak berita dan cerita negatif tentang pernikahan yang kukonsumsi. Terlalu banyak kubangun rasa curiga terhadap kaum pria. Buku NPSP memaparkan dengan indah kehidupan penuh barakah setelah pernikahan. Tanpa menggurui, tanpa menghakimi. Pemaparan kehidupan pernikahan yang sejatinya sangat serius dan dalam, dituturkan dengan cara sederhana. Sesederhana kovernya. Gambar sepasang anak manusia berboncengan sepeda kayuh (bukan sepeda motor atau naik mobil). Sesederhana bahan kertas buku (yang agaknya tidak sama, terlihat dari warnanya yang beda) dan lay outnya. Kalau melihat penampakan fisiknya, sulit dipercaya buku semacam itu dipajang di toko buku Gramedia di deretan buku best seller.

Aku memang sudah tidak ingat apa isi buku itu. Namun kenangan bahwa buku itulah yang membuatku mengikhtiarkan bertemu jodoh dengan serius, tak lekang hingga kini. Apa mungkin karena semangat ingin menikah si penulis yang menular padaku? Apakah karena keyakinan penulis berhasil meyakinkanku? (Waktu menulis buku tersebut Salim belum menikah) Wallahu a’lam. Yang kuingat hanyalah kesanku. Kesanku bahwa penulis buku NPSP adalah orang yang betul-betul cinta ilmu. Adalah orang yang betul-betul memahami dengan baik apa-apa yang ditulisnya.

Dan ... membaca buku NPSP ... ya, aku jadi ingat bahwa sesenang apa pun kehidupan lajangku, ada masa-masa di mana rasa sepi itu menyapa, rasa gelisah itu mendera, rasa khawatir itu menghantui. Terlebih kala malam tiba dan mata sulit sekali untuk dipejamkan, lantas pikiran mengembara ke mana-mana. Apalagi bila datang godaan-godaan. Sms-sms yang seolah ’mengarah’, tapi sejatinya cuma guyonan. Sms-sms yang sejenak melambungkan angan, namun dalam waktu yang tak terlalu lama segera melemparkanku ke dalam kubangan. Belum lagi memikirkan interaksiku dengan patner kerja yang kebanyakan kaum pria.

Ya, aku tersadar ... ada banyak perangkap untuk melakukan maksiat, dan sebuah cara sangat efektif untuk selamat darinya adalah menikah. Kebetulan aku juga membaca sabda Rasulullah yang diriwayatkan Thabrani, ”Barangsiapa khawatir terkungkung hidupnya setelah menikah kemudian dia tidak menikah, maka dia tidak termasuk golonganku.”

Membaca buku NPSP, membuatku yakin melangkah. Bahwa tidak seharusnya aku ragu-ragu dalam berdoa pada Allah untuk disegerakan bertemu dengan jodohku. Bahwa tidak seharusnya aku merasa takut untuk menikah. Bahwa tidak seharusnya aku berburuk sangka terhadap masa depanku. Bahwa tidak seharusnya aku meliarkan prasangka buruk pada apa-apa yang sudah ditentukan oleh Allah. Bahwa seharusnya aku yakin, ada yang lebih indah ketimbang karier menulisku.

Hidayah Allah memang bisa datang dengan sarana apa saja. Dan buku NPSP, menjadi jalan hidayah untukku. Hingga kumerasa, bahwa justru orang-orang ’tua’ kayak aku yang waktu itu udah asyik dengan karier, yang harus membacanya. Bukan anak-anak muda yang lagi semangat-semangatnya kepengin menikah. (Tapi faktanya, buku ini bahkan bisa menginspirasi orang untuk langsung berhenti pacaran)

Dan, alhamdulillah wa syukurilah ’alaa ni’matillah, segala yang kukhawatirkan dulu tak pernah terbukti. Meski karier menulisku tidak menanjak, tapi tidak pula turun. Tentu saja itu menurutku. Dan yang jelas, aku memperoleh banyak hal indah di luar karier menulis, satu hal yang—dulu—adalah sarana satu-satunya bagiku untuk bahagia dan merasa berharga dalam hidup, setelah aku men-DO-kan diri dari kampus UNY pada semester 3.

Alhamdulillah. Aku merasa sangat beruntung membaca buku NPSP sebelum umurku betul-betul ’tua’ dan akhirnya menyesali semuanya. Aku merasa beruntung telah tersemangati untuk menyongsong penggenapan separuh dien. Terima kasih, Salim. Terima kasih, Pro U. Teruslah menerbitkan buku-buku sarat ilmu dan hikmah, agar menjadi sarana turunnya hidayah pada hamba-hamba Allah. Amiin.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More