Senin, 20 Desember 2010

Bidadariku, Di Manakah Kau Berada?

Oleh: Mustika Darma Saputra

Hatiku bahagia. Atas karunia Allah, aku bisa bertholabul ilmi (belajar) di pesantren. Padahal, tak terebesit di hati setelah lulus smu menjadi santri. Impianku ingin kuliah dan bekerja di perkantoran. Menjadi manajer di perusahaan dengan mobil dan rumah yang mewah.

Keluargaku cukup banyak. Seperti kesebelasan sepak bola dengan satu cadangan. Orang tuaku hanya seorang pengrajin kayu yang menunggu pesanan orang. Kadang ada, kadang tidak. Hidup pas-pasan. Sementara ibuku, kesehariannya di rumah. Menjaga dan mengasuh buah hatinya. Terkadang juga bekerja, untuk menambah kebutuhan keluarga.

Kepergianku ke tanah jawa memang tak disangka. Darimana ongkos dan biaya pendidikan nantinya. Boro-boro untuk uang sekolah, untuk biaya harian keluarga saja terkadang kurang. Namun atas perjuanganku dan dukungan para ikhwan, aku pun berangkat mencari ilmu di negeri seberang.

Pertama kali menginjakkan kaki di tanah jawa, aku tertegun. Seperti mimpi. Begitu indah dan menawan. Pesantrenku berada di bawah kaki gunung madu. Bertebing-tebing membentuk bukit yang tinggi. Di kelilingi sungai yang berbatu dengan aliran air yang tidak begitu banyak. Ada sekitar 7 buah gua yang mengelilingi gunung itu. Konon gua tersebut tempat penyiksaan tahanan jepang. Kalau tahanan tewas, dicampakkan ke bawah bukit.

Asrama terletak di atas, sedang masjidnya di bawah. Kalau sholat mesti kebawah. Menuruni jalanan yang bertangga-tangga. Awalnya ketika menuju asrama, aku selalu kecapekan. Lutut hampir putus. “kalau begini tiap hari, bisa gawat nih…” pikirku dalam hati. Maklumlah, aku tidak pernah berjalan seperti mendaki gunung.

Awal masa orientasi, sungguh menyenangkan. Ternyata bukan aku yang paling jauh tempat tinggalnya. Masih banyak teman-teman yang lain. Ada yang dari aceh, sulawesi, madura, NTB, kalimantan, sampai flores irian jaya. Hampir setiap wilayah ada di penjara suci ini. Sehingga bahasa hariannya pun berbeda-beda. Kalau orang aceh ngumpul, ngobrolnya pun pake bahasa aceh. Orang jawa gitu juga, apalagi orang madura. Tapi yang namanya tinggal di pesantren, tidak boleh pake bahasa daerah. Kalau ketahuan, siap-siap deh menjadi sholin temple ( dibotakin).

Aku begitu menikmati hari-hariku di penjara suci. Menghafal Al-Qur’an, hadits, mufrodat (kosa kata) arab-inggris, dan olahraga menjadi agenda harianku. Sehingga, selama belajar aku menjadi bintang kelas. Selalu meraih prestasi. Sampai ketika khutbah mimbariyah arab dan inggris, aku pun menjadi kampiun pertamanya.

Saat duduk di kelas II KMI (Kulliyatul Mu’alimin Islamiyah), aku diamanahi qismul lughoh (bagian bahasa). Biasanya orang-orang bagian bahasa harus lancar bahasa arab dan inggrisnya. Kalau tidak, bagaimana bisa mengajari adik-adik kelasnya dan menjadi panutan dalam berbahasa.

Bagi pengasuh pesantren, santri-santri kelas II KMI sudah cukup dewasa. Meski banyak juga yang masih ke-kanak-kanakan. Sehingga pantas menjadi mudabbir (pengasuh) bagi santri-santri baru dan yang duduk di kelas I KMI. Repot rasanya, kalau pengasuh pesantren terjun langsung mengontrol santri-santrinya yang jumlahnya ratusan orang, bahkan ada yang ribuan orang. Ya, mudabbir adalah perpanjang tangan dari pengasuh pesantren.

Materi pendidikan yang di berikan juga berbeda. Khusus kelas II dan III KMI, sudah mempelajari bab nikah. Ketika itu, materi nikah di ampuh oleh seorang ustad yang kini sudah menjadi penulis ternama. Karya-karyanya menghiasi toko-toko buku di pelosok nusantara. Beliau juga memiliki penerbitan buku yang terkenal beserta bagunannya yang sangat indah.

Beliau begitu piawai menjelaskan bab nikah. Mengundang decak kagum para santri. Apalagi ketika pembahasan tentang adabul jaffaf (adab-adab malam pertama), hati kami sungguh berdebar-debar. Banyak yang tersipu malu mendengarkannya. Tapi ada juga yang senyum-senyum membayangkan keindahan dan kebahagiaannya. “Subhanallah….kapan aku dapat mewujudkannya” hayalku dengan penuh harapan.

Ada seorang teman yang semangat 45. Ia pun mengoleksi buku-buku tentang pernikahan. Dari bukunya fauzhil Azhim sampai Salim A. Fillah. Buku-buku tersebut ia sampul dengan rapi, sehingga cover dan judulnya tidak kelihatan. Ketika asyik membaca, aku sering mengganggunya.
“Ayoo…lagi baca apa?” ucapku sambil menepuk bahunya dari belakang.
“Ahhh, mau tahu aja…” jawabnya dengan sedikit malu dan menutup bukunya.
“tengoklah bentar judulnya…” pintaku seraya mengambil buku itu dari genggamannya.

Aku pun membaca judulnya. Ternyata buku tentang pernikahan yang ditulis Salim A. Fillah. Judulnya “Barakallahu laka, Berbahagialah Merayakan Cinta” terbitan Pro-U. Setelah membaca daftar isinya dan biografi penulisnya, aku bersemangat ingin membacanya sampai tuntas.

“Akh, nanti ane pinjam ya” Pintaku dengan merayu.
“ngak…nanti rusak” balasnya dengan sedikit merengut.
“Pinjamlah, kalau gak dikasih, ane tarik jenggotmu.” Aku sedikit memaksa sambil memegang jenggotnya.
“Iya nanti, kalau ane dah selesai”. Jawabnya sambil marah.

Ku buka lembaran buku itu satu persatu. Bahasanya mengalir bak anak sungai dan mudah difahami. Sungguh memikat hatiku. Ku baca setiap kalimat dan paragrafnya. Karena bukunya terlalu tebal, aku pun memilih bagian-bagian yang penting saja. Terbayang di benakku, kapan aku dapat mewujudkan ini semua. Membangun bahtera rumah tangga yang mawaddah wa rahmah. Dengan seorang akhwat yang faham agama dan menerimaku apa adanya. “Wahai bidadariku, di manakah kau berada”?

Saking semangatnya, aku memberanikan diri menghadap direktur pondok. Ku ungkapkan isi hatiku dengan penuh malu. “Ustad, ana kagum dan suka dengan adik ipar ustad. Ana ingin ta’aruf dengannya”. Ungkapku dengan kepala menunduk. Ku akui, aku sangat kagum dengan akhwat itu. Keluarganya sebanyak keluargaku. Bedanya Semua keluarganya lulusan pesantren, sedang aku tidak. Abang-abangnya ustadz dan mengajar di pesantren. Kakaknya juga ustadzah, menjadi pandamping hidup direktur pesantren yang aku tempati. Dalam hatiku terbesit, aku ingin mencari akhwat dari jawa yang lembut dan bagus akhlaknya.

Mendengar curhatku, beliau heran. Mungkin dalam benaknya, beliau berfikir begitu beraninya aku menembung adik iparnya. Padahal, aku masih kelas II KMI. Masa belajar masih setahun lagi, belum lagi masa tugas yang menanti. Peraturannya, setiap santri yang lulus wajib tugas selama setahun. Baik tugas ngajar di pesantren atau dakwah di masyarakat. Setelah itu, baru boleh menikah atau melanjutkan studi. Bukan berarti kalau yang ingin menikah dilarang. Cumanya biar bisa kosentrasi dalam menjalankan masa tugas dengan baik.

Berita tentang keberanianku menembung adik ipar direktur pesantren menyebar. Ada sebagian ustadz dan teman se-angkatanku yang tahu. “Akhi, antum ada nembung adik iparnya ustadz ahmad ya?” tanya temanku ingin penuh tahu. “Ahh, ngak ah. Bukan ana itu, mungkin orang lain!” balasku pura-pura ngak tahu.

Waktu terus berlalu. Tak terasa, khutbah wada’ (pidato perpisahan) sebentar lagi. Terpancar di wajah setiap santri kabahagian yang mendalam. Tak lama lagi akan keluar dari penjara suci. Masa belajar telah usai. Tinggal masa tugas yang harus dijalani, sambil mencari-cari bidadari yang memikat hati. Bahkan ada kakak kelas, yang begitu khutbah wada’ selesai, ia pun langsung menyempurnakan setengah agamanya dengan akhwat binaannya. Begitu indah.

Satu per satu teman-teman seangkatanku telah bertemu dengan pujaan hatinya. Sementara itu, aku masih sendiri dalam penantian. Ternyata akhwat idamanku ingin belajar lagi. Ia tidak ingin menikah dini, ia ingin menghafal Al-Qur’an dulu. Menjadi seorang hafizhoh (wanita yang hafal Al-Qur’an).

Setelah itu, aku sempat berkenalan dengan seorang akhwat dari aceh. Orang tuanya seorang ustad yang kharismatik di daerahnya. Beliaulah yang memotivasi aku untuk belajar di pesantren. Kalau tidak, mungkin aku menjadi seorang pemuda yang hanya kenal dengan kehidupan dunia saja. Ketika ditanya, jawabannya pun hampir sama. Tidak ingin diganggu dan mau menghafal Al-Qur’an dulu.

Aku berfikir, apakah tidak bisa menikah dulu, baru setelah itu belajar lagi. Mungkin, bagi seorang akhwat itu sangat berat. Melayani suami, mengurus anak, dan belajar. Sungguh tidak mungkin dilakukan, fikiran pasti tidak fokus. Namun bagiku, jika di antara suami istri berkomitmen untuk belajar lagi dan menghafal Al-Qur’an, pasti hal itu akan terwujud dan dipermudah oleh Sang Penguasa Hati. Nyatanya banyak yang berhasil. Banyak akhwat yang hafal Al-Qur’an karena dukungan suaminya. Banyak anak-anak yang hafal Al-Qur’an di rumah tanpa masuk pesantren. Tanpa orang tua yang hafizh dan hafizhoh. Kuncinya, hanya komitmen di antara pasangan untuk mewujudkan apa yang di inginkan.

Aku memutuskan untuk belajar lagi. Aku pun berangkat ke ibu kota Jakarta dengan tekad yang bulat. Ketika itu, aku mendaftar di sebuah pesantren tinggi yang dikelola seorang ustad keturunan Arab. Awalnya aku semangat belajar. Lebih kurang setengah tahun lamanya. Namun, bayang-bayang indah itu selalu menghampiri hatiku. Ingin segera menikah. Di tambah lagi dengan permasalahan adik yang masih dipesantren dan dengan teman-teman se-kuliahan yang tidak akur. Aku pun bingung. Akhirnya aku pun keluar dari lembaga pesantren itu.

Di keheningan malam, aku sering bermunajat. Berdialog dengan Yang Maha Hidup atas kegundahan hatiku. Agar diberikan ketetapan hati dan dipermudah segala urusan. Di dalam mimpi, aku sering bertemu dengan seorang akhwat yang berkulit putih dan berjilbab panjang. Inikah pujaan hatiku. Namun aku tidak tahu siapa dia dan di mana berada. Ya, semua itu hanya mimpi belaka.

Hatiku gundah. Pekerjaan yang kucari tak kunjung dapat. Padahal, aku ingin membantu adik-adikku agar bisa selesai belajar di pesantren. Aku hanya bisa menunggu dan menunggu. Aku dikenalkan dengan seorang akhwat dari jawa. Dia seorang kepala sekolah SMPIT di daerah Bekasi. Ia lebih tua dariku satu tahun. Entah kenapa, hatiku ragu. Dan akhirnya niat untuk menyempurnakan agama tertunda lagi. Aku tidak tahu, kalau akhwat itu begitu kecewa. Kekecewaannya ia tuangkan di sebuah majalah Islam. Ketika membacanya, aku sedih dan menangis.

Keyakinanku ternyata belum kuat. Aku sempat meragukan pemahaman yang dulu ku pelajari di pesantren. Aku pun aktif di sebuah jama’ah yang senantiasa menghidupkan “sunnah nabi”. Setiap malam jum’at aku I’tikaf di masjid jama’ah tersebut. Untuk mendengarkan ceramah-ceramah agama. Sampai pada akhirnya, aku melanglang buana tak tentu arah. Mencari kebenaran yang hakiki.

Sejauh-jauh orang merantau, suatu saat akan kembali ke daerahnya. Itulah aku. Asaku ingin menetap di jawa atau jakarta masih di dalam angan. Aku pun bertemu dengan sanak keluarga dan juga dengan ikhwan-ikhwan sepengajian dulu. Banyak yang mendekatiku dan mengajakku untuk tidak berangkat ke jawa lagi. Kata mereka lebih baik mengembangkan dakwah di kampung halaman. “kalau mau nikah dan bekerja, bisa kami uruskan.” Bujuk mereka.

Aku kembali dikenalkan. Kali ini bukan dengan akhwat, tapi dengan wanita biasa yang siap dibina. Menurut laporan, dia begitu cantik. Kulitnya putih bak sutra yang halus. Dia bunga desa di kampungnya. Sebagai lelaki yang normal, aku pun tertarik. Aku ingin ta’aruf dengannya.

Setelah ta’aruf. Aku masih ragu. Banyak hal yang tidak mendukung. Dari orang tua, adik-adik yang masih butuh biaya, dana walimah yang belum ada, sampai keraguan tentang wanita itu. Karena ia bukan tipe yang kucari. Dia masih begitu awwam. Harapan dari abang iparnya, sangat sulit untuk ditolak. “masalah biaya walimah, biar saya yang ngurus.” Ucapnya dengan menaruh harapan.

Dengan berbagai aral, proses ijab-qabul pun berlangsung. Aku resmi sebagai seorang nakhoda bahtera rumah tangga. Namun, kebahagiaan yang terasa tidak sempurna. Malam-malam indah yang kubayangkan hanya sekedar mimpi. Yang ada hanya kesedihan dan buliran air mata. Masa lalu yang terucap dari kedua mulut wanita yang kunikahi, membuatku goyah. Bahtera rumah tangga yang baru berlayar 2 hari miring hampir karam.

Bahtera itu pun karam juga. Sang nakhoda meradang dan patah arang. Tak mampu menghadapi terjangan ombak lautan lepas. Dan ia terhempas di tepi pantai dengan penuh penyesalan. “Kenapa semua ini terjadi.” Jeritku dalam hati. Keindahan dan kebahagiaan yang kudengar dari ustad dan penjelasan bukku yang kubaca hanya sekedar mimpi dan hayalan.

Semangat untuk menjadi seorang nakhoda yang piawai tumbuh kembali. Dengan bahtera rumah tangga yang baru, aku ingin mengarungi lautan luas. Meski badai dan ombak akan tetap menerjang. Dengan pengalaman sebelumnya, aku ingin membawa bahtera itu ke sebuah dermaga terakhir. Dermaga yang penuh kenikmatan dan kebahagiaan yang hakiki dan abadi. Memandang wajah-Nya Yang Maha Berseri.

Nyatanya, aku masih sendiri. Di sebuah pantai yang asri, ku memandang jauh lautan yang tak bertepi. Belum ada bidadari hati yang siap menemani. Keindahan dan kebahagian yang kubaca masih mimpi yang penuh misteri. Akankah semua itu akan ku alami?

Mungkin, masih banyak dosa yang kujalani. Baik yang disadari maupun yang tidak disadari. Aku yakin, jika selalu muhasabah diri dan menjaga ketaqwaan dihati, pasti Allah akan memberikan yang terbaik dalam hidup ini. Kalau tidak di dunia yang fana ini, di akhirat pun jadi. Sang bidadari dambaan hati.

Ya Allah. Rabb Yang Menguasai Hati……………………………………………
Hamba senantiasa optimis menjadi nakhoda yang sejati. Membawa bahtera rumah tangga ke sebuah dermaga yang hakiki dan abadi. Wahai bidadariku……..di manakah kini engkau berada?

Perjalanan Ruhani seorang hamba yang dhaif yang sedang menanti bidadari yang bernata jeli

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More