Rabu, 29 Desember 2010

Hajar Aswad, Sebuah Nasihat Tentang Keikhlasan Niat


Oleh: Aditya Putra Priyahita

Ikhlas adalah rahasia antara Allah dan hamba-Nya. Ia tiada diketahui malaikat, sehingga ia tiada kuasa menuliskannya. Tiada pula diketahui setan sehingga ia tiada kuasa merusaknya.

Ikhlas, adalah satu kata yang sangat kuat dan dalam maknanya, begitu penting keberadaannya dalam jiwa tiap-tiap insan yang mengaku mendamba ridha Tuhannya. Keikhlasan harus senantiasa kita perjuangkan sampai ia mengisi habis setiap ruang niat di dalam hati kita. Ia menjadi hal yang sangat penting karena menjadi penentu diterima atau tidaknya amalan-amalan kita. Dari sinilah pemahaman yang benar mengenai ikhlas menjadi harga mati bagi setiap muslim.

Pemahaman tentang keikhlasan inilah yang saya dapatkan dari buku Jalan Cinta Para Pejuang karya Salim A Fillah terbitan Pro U media. Pembahasan ikhlas yang ada di buku ini berbeda dengan apa yang biasanya di bahas di buku-buku lain. Dari tulisan Salim A Fillah di buku tersebut saya belajar bahwa ikhlas tidak selalu identik dengan rasa ringan dalam melakukan ibadah. Ikhlas juga bisa saja berwujud kerja payah penuh perjuangan dalam melaksanakan perintah Allah. Ikhlas pun tak selalu identik dengan ketenangan, karena bisa saja kegelisahan menghiasi keikhlasan sehingga memaksa kita beribadah lebih baik lagi. Ikhlas juga melampaui rasa suka atau tidak suka, karena keikhlasan akan membawa kita melakukan ibadah tanpa perlu peduli apakah kita suka atau tidak dengan ibadah yang kita lakukan itu.

Dan sebuah pengalaman saya ketika menjalani umrah di tanah suci bersama keluarga pada bulan Juli tahun 2009 lalu semakin memberikan kesan mendalam mengenai arti keikhlasan. Perjalanan umrah itu memaksa saya untuk kembali berkaca, menengok kembali seberapa jauh keikhlasan itu sudah mewarnai tiap gerak langkah yang saya tempuh. Sebuah kejadian tak terlupakan yang saya alami tepat di depan Ka’bah waktu itu membawa saya pada sebuah kesadaran bahwa masih terasa jauh keikhlasan itu dari diri. Sebuah kejadian tentang Hajar Aswad, batu mulia dari surga itu.

Pada hari kedua keberadaan kami sekeluarga di Makkah, kami berniat melakukan sunnah-sunnah yang ada di sekitar Ka’bah, seperti berdoa di Multazam, bergantungan di bawah pintu Ka’bah sambil berdoa, shalat dua rakaat di Hijir Ismail, mengusap Rukun Yamani, shalat di belakang Maqam Ibrahim, mencium Hajar Aswad, dan beberapa sunnah yang lain.

Setelah shalat Ashar berjamaah di Masjidil haram, kami mulai menjalankan niat kami tadi. Matahari masih terasa membakar kulit waktu itu. Namun kondisi itu tidak menghalangi kami untuk menjalankan sunnah-sunnah nabi di sekitar Ka’bah. Alhamdulillah, pihak pengelola masjid telah melapisi lantai di tempat thawaf di sekitar Ka’bah dengan bahan yang dingin sehingga telapak kaki para jamaah tidak tersengat rasa panas karena harus bertelanjang kaki.

Hal pertama yang kami lakukan adalah shalat dan berdoa di Hijir Ismail, sebuah tempat di samping Ka’bah yang dikelilingi bangunan berbentuk setengah lingkaran. Hijir Ismail merupakan tempat tinggal Nabi Ismail ketika membangun kembali Ka’bah bersama ayahnya, Nabi Ibrahim. Berdasarkan hadist Nabi, tempat itu masih merupakan bagian dari dalam Ka’bah. Karena itu jika shalat di sana, sama artinya dengan shalat di dalam Ka’bah.

Setelah shalat dan berdoa di Hijir Ismail, kami lanjutkan dengan mengusap rukun Yamani, salah satu sudut dari bangunan Ka’bah. Setelah itu tiba saatnya untuk berusaha mencium Hajar Aswad, batu dari surga yang kini terpecah menjadi delapan bagian dan ditempelkan di salah satu pojok dinding Ka’bah.

Kondisi waktu itu cukup padat terutama di sekitar Hajar Aswad. Para lelaki berbadan besar dan tegap tampak berkerumul dan saling dorong untuk dapat mencapai Hajar Aswad. Setelah semakin dekat dengan Hajar Aswad, kerumunan semakin rapat dan semakin kuat saling mendorong. Sengatan terik matahari membuat suasana semakin tidak nyaman, membuat setiap orang ingin segara mencapai Hajar Aswad, menciumnya, lalu melepaskan diri dari kerumunan yang menyesakkan nafas itu.

Waktu itu keluarga saya terjepit di tengah kerumunan. Setiap orang berebut menuju titik yang sama, bergerak tanpa memperhatikan siapa di kanan kirinya. Postur kami yang kalah tinggi dan kalah besar dengan orang-orang yang kebanyakan dari timur tengah itu membuat kami berada dalam posisi tak berdaya. Yang paling mengkhawatirkan adalah Ibu dan adik bungsu saya yang baru berusia 12 tahun yang terjepit di tengah para lelaki berbadan tegap tanpa bisa banyak melawan..

Di satu sisi kami merasa ingin melanjutkan usaha mencium hajar aswad karena sudah cukup dekat, tapi di sisi yang lain tubuh kita terjepit dan nafas sudah terasa sesak. Ibu saya sudah terlihat kelelahan dan adik saya yang kecil sudah panik dan hampir menangis. Sementara itu tangan-tangan besar semakin banyak terayun kesana kemari untuk saling mendorong bahkan menyikut. Ayah saya yang melihat itu, langsung mengkomando kita untuk segera keluar dari kerumunan, membatalkan usaha kami untuk mencium Hajar Aswad. Tanpa menunggu lagi, Ayah, ibu dan kedua adik saya bergeser ke samping untuk keluar dari kerumuman, sedangkan saya ngeyel tetap di tempat.

Setelah memastikan keluarga saya sudah keluar dari kerumunan, saya masih berusaha merangsek ke arah hajar aswad melawan rasa sesak karena sulit bernafas dan resiko terluka. Tanggung, pikir saya, tinggal sedikit lagi. Tetapi belum sempat saya mengambil posisi untuk mencium hajar aswad, sebuah ayunan tangan hampir saja menyikut muka saya. Seketika saya tersadar dan urung untuk melanjutkan kenekatan saya. Akhirnya saya hanya menjangkaukan tangan kiri saya ke hajar aswad, mengusapnya dan merasakan pecahan-pecahan batu mulia itu, lalu saya mencium tangan kiri saya sebagai isyarat mencium hajar aswad. Setelah itu saya langsung keluar dari kerumunan, melawan arus dengan sisa-sisa energi yang ada.

Setelah sejenak menenangkan diri di luar kerumunan, saya mencari keluarga saya yang sudah keluar dari kerumunan terlebih dahulu. Sekitar 10 menit saya mencari dan akhirnya kami saling bertemu. Namun, saya mendapati mereka dengan wajah yang panik. Ada apa? Batin saya merasa ada yang tidak beres.

Ternyata tas Ibu yang disampirkan di pundaknya terjatuh di kerumunan Hajar Aswad tadi tanpa sempat disadari karena begitu banyaknya orang yang berdesak-desakan waktu itu. Padahal di dalamnya ada tiga kacamata. Kacamata saya, adik saya, dan ibu saya. Tetapi Alhamdulillah, tidak ada barang berharga seperti dompet atau ID card di dalam tas itu. Hanya tiga kacamata, kunci hotel dan sajadah. Kami yang semula berniat melaporkan kehilangan kepada petugas di Masjidil Haram akhirnya mengurungkan niat itu karena jika pun tas itu ditemukan, sangat kecil kemungkinan kacamata yang ada di dalamnya masih utuh. Yang paling mungkin adalah kacamata itu pecah dan rusak terinjak-injak jamaah.

Akibat kejadian ini, saya dan adik saya harus beraktifitas tanpa kacamata selama sisa hari di tanah suci. Beraktifitas tanpa kacamata tentu mengurangi kenyamanan ibadah kami. Ibu saya cukup beruntung karena memiliki satu kacamata lain.

Kejadian itu kemudian memaksa saya untuk berpikir. Pasti ada makna yang ingin Allah sampaikan lewat kejadian ini. Mungkin teguran atas kenekatan saya memaksakan diri mencium Hajar Aswad, sehingga ada jamaah lain yang tersakiti karena berdesakan dengan saya. Kejadian itu akhirnya membuat saya harus memperbaiki kembali pemahaman saya mengenai fikih prioritas, dan juga jujur menilai kemurnian niat saya dalam mencium Hajar Aswad.

Mengenai prioritas, yang kemudian saya sadari adalah bahwa mencium hajar aswad adalah sunnah, sedangkan menyakiti orang lain adalah haram. Karena itu tidak selayaknya kita mengejar yang sunnah dengan melakukan sesuatu yang haram. Tapi fakta di lapangan masih menunjukkan hal seperti itu. Jamaah bisa saling sikut dan dorong, bahkan sampai membuat orang lain sesak nafas dan terjepit hanya untuk mencium Hajar Aswad. Orang-orang di kerumunan itu seolah tidak peduli dengan keadaan saudara mereka di sampingnya. Yang ada di pikiran mereka hanya satu: mencium Hajar Aswad.

Contoh nyata dari hal ini saya dapati ketika adik saya yang paling kecil terjepit dan mulai panik. Ibu saya berteriak kepada orang berbadan besar di depannya, “Mister, help me! Help me! My son! My son!”. Tapi orang itu tidak peduli dan terus saja saling dorong. Jengkel hati saya melihat orang itu. Astaghfirullah…

Sebegitu pentingkah mencium Hajar Aswad sampai mereka tega menyakiti sesama dan mengacuhkan saudaranya yang sedang kesulitan? Padahal Umar ibn Khaththab saja dalam suatu riwayat ketika memandang Hajar Aswad berkomentar,”Sesungguhnya engkau ini hanya sebuah batu. Jika bukan karena Rasulullah pernah menciummu, maka aku takkan sudi menciummu”.

Tentu ada yang salah dengan cara pandang sebagian kaum muslim. Kita terlalu melebih-lebihkan kedudukan Hajar Aswad, hingga gelap mata dan melakukan pelanggaran. Begitu besar keinginan kita untuk mencium Hajar Aswad, padahal masih banyak sunnah-sunnah lain di sekitar Ka’bah yang lebih mudah dikerjakan, seperti pada Hijir Ismail, Rukun Yamani, Multazam, pintu Ka’bah, ataupun Maqam Ibrahim.

Selain itu, setahu saya mencium Hajar Aswad tidak lebih kedudukannya daripada shalat di Hijir Ismail misalnya. Keduanya sama-sama sunnah. Kenapa Hajar Aswad begitu dikejar-kejar sedangkan sunnah-sunnah lain terkesan dinomorduakan atau bahkan dilupakan?

Hal ini kemudian memaksa saya untuk menengok kembali niat di hati. Jika mau jujur, sepertinya niat untuk mencium Hajar Aswad bukan lagi semata-mata untuk mengikuti sunnah Nabi, tapi juga untuk mengejar prestise, sebuah kebanggaan. Hal paling luar biasa dan fenomenal yang bisa diceritakan kepada sanak keluarga di tanah air setelah umrah atau haji adalah keberhasilannya mencium Hajar Aswad dengan perjuangan keras menerobos kerumunan orang.

Orang awam biasanya hanya mengenal Hajar Aswad. Kebanyakan mereka tidak tahu soal Hijir Ismail, Maqam Ibrahim, Multazam dan Rukun Yamani. Jadi ketika ada seseorang yang bercerita bahwa dia sempat mengusap Rukun Yamani, orang-orang mungkin akan berkomentar: “So what gitu loh! Nyium Hajar Aswad, nggak?”

Satu hal lagi soal Hajar Aswad yang membuat miris sekaligus geram. Adik saya yang pertama, waktu thawaf ba’da subuh sebelum kejadian di atas, Alhamdulillah bisa mencium Hajar Aswad. Sebuah anugerah yang luar biasa tentunya. Tetapi sayang, prosesnya sangatlah mengecewakan.

Berdasarkan cerita adik saya, waktu itu dia thawaf agak dekat dengan Ka’bah, memisahkan diri dari keluarga. Lalu ada seseorang yang menghampiri dan bertanya kepadanya dengan bahasa Indonesia,”Sudah nyium Hajar Aswad?” Adik saya spontan menjawab belum. Lalu orang yang bertanya tadi menawarkan bantuan bersama teman-temannya untuk memfasilitasi adik saya mencium hajar aswad. Adik saya menurut, dan kemudian beberapa orang itu membukakan jalan dan memecah kerumunan agar adik saya bisa lewat. Sampai pada akhirnya adik saya bisa mencium hajar aswad.

Setelah itu orang yang menawarkan bantuan tadi meminta bayaran “seikhlasnya” kepada adik saya. Adik saya spontan terkejut karena mengira orang-orang tadi benar-benar ikhlas membantunya. Karena tidak membawa uang, adik saya mencari Ibu untuk meminta uang. Awalnya Ibu memberi uang 10 Real, tapi kemudian mereka meminta tambahan lagi. Akhirnya ibu memberi tambahan 5 Real lagi.

Ini benar-benar terjadi. Tepat di depan rumah Allah. Saya pun sangat tidak menyangka di Masjidil Haram, di depan Ka’bah, kiblat seluruh muslim di seantero dunia, ada orang-orang yang menjadikan ibadah sebagai bahan untuk menghasilkan uang. Mereka memanfaatkan semangat berlebihan para jamaah untuk mencium Hajar Aswad untuk mempertebal kantong mereka, untuk mengeruk keuntungan duniawi. Naudzubillahi min dzalik. Semoga kita dijauhkan dari hal-hal semacam itu. Amin…

Kejadian ini juga memberi pemahaman pada saya tentang istiqomah menjaga niat. Niat saya dalam mencium Hajar Aswad pada awalnya mungkin memang ikhlas untuk menjalankan sunnah nabi. Tetapi ketika berada di kerumunan, niat saya mungkin saja berubah. Bukan lagi memperjuangkan sunnah Rasul tetapi memperturutkan nafsu pribadi, atau sekadar pelampiasan amarah dan pembuktian diri bahwa saja tidak kalah dari orang-orang yang sempat menjepit Ibu dan adik saya itu.

Dari buku Jalan Cinta Para Pejuang saya belajar bahwa ikhlas terletak sejak sebelum kita berbuat, ketika kita sedang berbuat, dan setelah kita berbuat, seterusnya sampai maut menjemput. Ikhlas adalah sebuah proses yang tidak mengenal kata henti.

Memang tidak mudah mengejawantahkan keikhlasan dalam setiap gerak langkah kita, menjaganya dari sebelum berbuat sampai akhir hayat. Namun, kesungguhan dalam mengusahakan keikhlasan itu tentu tak akan dihargai murah oleh Allah. Hingga kelak keikhlasan akan mengantarkan kita pada sebuah istana raksasa di tengah-tengah surga, tempat kita menikmati limpahan karunia-Nya yang tak pernah ada batasnya. Insya Allah.


0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More