Selasa, 28 Desember 2010

Memoar : Dari Kanker ke Tradisi-Budaya

Oleh: Ariyanti

Mulanya saya niatkan mencari pekerjaan yang layak. Bosan juga hidup pas-pasan. Tak bebas membeli apa yang disuka dan dibutuhkan. Lagipula saya masih punya cita-cita, melanjutkan sekolah  yang tertunda. Dapat mengenyam pendidikan paska sarjana seperti teman-teman. Maka saya kuatkan tekad melamar kerja ke Penang, Malaysia, menjadi semacam supervisor sebuah kilang elektronik, yang bergerak di bidang pembuatan pcb (print circuit board).

Awal tahun 2005 saya berangkat dengan segudang semangat. Saya yakin cita-cita melanjutkan studi bisa tercapai. Sejak bulan pertama bekerja saya sudah rajin menabung. Bahkan di bulan ke empat, sebuah laptop merk Acer berhasil saya beli, sebagai pengganti laptop bekas IBM yang rusak. Kontan lagi.

Di Indonesia saya hampir tak pernah sakit. Sakit terakhir yang membuat saya harus meninggalkan bangku sekolah selama beberapa hari, seingat saya ketika kelas 5 SD. Setelah itu penyakit serius yang pernah saya derita hanya flu, batuk, dan pilek. Ada juga beberapa kali sakit gigi yang berakhir dengan dicabutnya sebuah gigi geraham kanan bawah.

Di Malaysia, kesehatan saya  pun bagus. Namun sebuah kecelakaan saat membersihkan hostel, mengubah segalanya. Tanpa saya sadari, saat membersihkan kipas angin yang tergantung di dinding, sebuah kayu mengenai perut saya. Telak. Tak ada luka memang, hanya sedikit memar dan bengkak yang bertahan lama. Setahun kemudian bekas bengkak itu tumbuh menjadi benjolan sebesar anggur yang kadang-kadang terasa nyeri. Iseng saya periksakan benjolan itu ke klinik yang ditunjuk pabrik, dan berakhir dengan perintah operasi ringan berdasarkan rujukan rumah sakit pemerintah.

Setahun paska operasi, tumbuh benjolan yang lebih besar. Mungkin sudah sebesar buah jambu, namun melebar. Hasil biopsi dari RS Lam Wah Ee Penang menunjukkan bahwa benjolan itu adalah tumor ganas, yang memakan jaringan kulit di bawahnya, mirip  kanker kulit. Habislah harapan saya. Apalagi saat itu saya baru saja mendaftar kuliah di sebuah universitas negeri di Kedah.

Saya panik, tak tahu apa yang harus dilakukan. Pada saat itu seorang kawan senior yang baru balik cuti ke Indonesia membawa sebuah buku. The Journey of Soul judulnya, karangan Aceng Haris Surahman. Iseng saya pinjam buku itu, sambil menghabiskan masa cuti sakit. Saat itu saya memilih diam, menenangkan diri, menghadapi penyakit yang saya anggap membunuh umur saya.

Buku ini menyadarkan saya bahwa ada kekuasaan yang melebihi kemauan dan usaha manusia, bahwa hidup ini ada yang mengatur, bahwa dalam hidup sebaiknya kita tahu arah yang hendak kita tuju. saya jadi bertanya kepada diri sendiri, apa yang sebenarnya mau saya lakukan di dunia ini. Apa tujuan utama saya mengejar pendidikan lagi. Sekedar mendapat gelar kesarjanaan agar bisa mendapatkan pekerjaan yang bagus di tanah air, atau ada tujuan lain. Mengapa Tuhan memberi saya penyakit mengerikan ini. Apa maksud di balik semua kejadian yang menimpa saya. Begitu banyak pertanyaan yang tak bisa saya jawab. .

Pada saat itu saya mempunyai seorang sahabat maya. Kami sering chattting via YM. Ustadz Imin namanya. Sahabat saya ini lulusan Al Azhar, Mesir. Dia menjadi pengajar di sebuah lembaga pendidikan islam terkenal di Jakarta. Kami berteman akrab karena memiliki kesamaan, sama-sama berasal dari keluarga yang kekurangan namun memiliki cita-cita setinggi langit.

Sepintas saya ceritakan penderitaan saya via chatting. Mirip curhat. Juga kegelisahan saya tentang kehidupan di dunia, apa yang sebenarnya menjadi tujuan hidup saya. Ustadz Imin lalu menganjurkan agar saya melakukan hijrah. Iya, hijrah, dari tempat saya bekerja di Penang saat itu. Bisa jadi katanya, lingkungan tempat saya hidup dan bekerja saat ini tidak baik bagi kesehatan tubuh saya. Itu sebabnya saya harus hijrah, pindah ke tempat lain yang lebih baik.

“Hijrahlah jika kamu ingin sembuh. Mungkin kondisi di tempat kerja dan tempat tinggalmu sekarang tidak baik. Hijrahlah..,” begitu nasihat yang ditulisnya.

Tentu saja usulnya saya tolak mentah-mentah. Kontrak kerja saya masih setahun lagi. Tak mungkin memutuskan kontrak sepihak yang baru saja saya teken. Lagipula saya baru mulai kuliah lagi. Ustadz Munir tak memaksa saya, hanya menyarankan saya untuk berihtiyar. Sama seperti yang disarankan buku The Journey of Soul tadi, menyuruh manusia berihtiyar jika merasa tujuan hidupnya memang benar dan patut diperjuangkan.

Berbagai cara kemudian saya lakukan demi mengejar kesembuhan. Mulai menjaga makanan, mengikuti pengobatan herbal, hingga mengubah gaya hidup. Tak sedikit dana yang saya keluarkan. Tapi saya  tak peduli. Bahkan kuliah saya pun terlantar. Awalnya usaha saya nampak berhasil. Namun enam bulan kemudian muncul lagi benjolan di tempat yang sama, bahkan sudah sebesar buah mangga gadung. Andai saya mengenakan kaos berukuran small, maka saya seperti memiliki tiga payudara. Dua di dada, dan adiknya yang lebih besar tepat di bawahnya. Hal ini membuat saya malu dan rendah diri.

Akhirnya saya memeriksakan diri ke dokter. Lagi-lagi dokter menyuruh operasi. Apalagi benjolan itu tumbuh cepat dan kini hanya berjarak satu sentimeter dari payudara kiri. Kalau tak cepat-cepat diangkat, kata dokter saya dapat kehilangan payudara. Akhirnya setelah melalui perjuangan yang amat panjang, pabrik mengijinkan saya melakukan tindakan operasi di sebuah rumah sakit swasta di Penang. Ongkos operasi akan ditanggung pihak asuransi hingga 5000 ringgit. Sisanya harus saya bayar sendiri.

Siang 2 Februari 2009, saya datang ke Penang Adventist Hospital sendiri. Pukul empat petang saya dioperasi, malamnya saya terbangun dengan rasa sakit luar bisa. Keesokan paginya saya dipaksa mandi. Tertatih-tatih saya pun berjalan ke kamar mandi sambil menenteng selang dan kateter, dituntun oleh perawat. Tiga hari kemudian saya sudah boleh pulang. Tak ada handai taulan atau teman yang menemani. Kawan-kawan saya sibuk bekerja, sementara saya tak ingin ibu, satu-satunya orang tua yang tersisa, mengetahui penderitaan saya.

Selama di rumah sakit hingga pulang ke asrama, tak sebutir antibiotik pun saya konsumsi. Obat penahan rasa sakit yang diberikan dokter juga tak saya kusentuh, karena ternyata tak banyak  pengaruhnya. Sudah terlalu sakit. Sebagai pengganti, saya lalu minnum rebusan empu kunyit sebagai antibiotik. Dua kali seminggu.

Ada sekitar 60 jahitan di perut saya. Efek operasi pengangkatan kulit membuat saya mengalami cacat sementara. Bongkok. Maklum, cukup lebar kulit di perut yang dibuang. Agar kulit perut cepat molor, normal kembali, dokter menyarankan agar saya banyak berlatih berjalan, dan mengusahakan posisi tubuh setegak mungkin. Karena ingin sembuh dan tak mau cacat permanen, saya pun memaksakan diri.

Pada saat itulah saya teringat nasihat Ustadz Imin. Saya baca ulang  The Journey of Soul untuk menguatkan tekad. Saya ingin pulang ke Indonesia. Saya beranikan diri menghadap manajer HRD pabrik, minta pulang. Hijrah ke tanah air, kampung kelahiran. Ternyata panjang prosedurnya, saya seperti diping-pong ke sana kemari. Tapi saya tak mau menyerah. Baru tiga bulan kemudian saya diperbolehkan pulang. Dengan kondisi fisik yang mengenaskan dan sama sekali tanpa gaji atau pesangon. Saya  hanya mendapat  tiket pesawat Air Asia hingga ke Jakarta. Meskupun demikian saya merasa sangat bersyukur. Andai mati pun, saya pilih mati di tanah air. Tidak merepotkan banyak orang.. .

Begitu sampai di Indonesia, segera saya temui seorang dokter spesialis onkologi di RSCM, Jakarta. Dokter ini hanya menyarankan agar saya minum jus buah banyak-banyak setiap hari. Tak ada obat khusus atau kemoterapi. Saya juga diminta pasrah dan berserah diri. Menurutnya, umur manusia hanya Tuhan yang tahu. Saya ikuti nasihatnya, minum jus buah setidaknya satu-dua liter setiap hari. Hasilnya, hingga saat ini saya jarang terkena penyakit seperti flu, batuk, pilek, atau demam. Saya juga sudah bisa berdiri tegak, berenang, berjalan jauh, bahkan melakukan perjalanan keliling Indonesia.

Memang cita-cita saya untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi gagal, namun saya temukan tujuan hidup lain. Saya ingin membuat dokumentasi tentang budaya dan tradisi di Indonesia. Walau dokter menyatakan tubuh saya belum benar-benar bersih dari sel-sel kanker, namun saya merasa hidup. Kanker boleh memakan tubuh saya, namun tidak cita-cita saya. Soal umur, itu urusan sang pemberi hidup.

1 komentar:

Selamat Pagi, perkenalkan kami perwakilan Mahkota Medical Centre Surabaya Rep Office. kami adalah salah satu perwakilan di jawa timur. kami siap membantu dan memberikan:
1. informasi seputar mahkota dan malaca malaysia
2. informasi fasilitas & kesehatan
3. Book dokter dan arange perjalanan sampai akomodasi dengan Company Rate kami ( sehingga lebih murah )
3. Second opinion langsung dari Dokter kami.
Semua pelayanan ini FREE of Charge, walaupun hanya untuk bertanya atau sekedar second opinion dari Dokter lain kita siap membantu .Jika Membutuhkan infomasi tentang Mahkota Medical Centre Melaka Malaysia, silahkan hubungi kantor perwakilan kami....
Surabaya Representative Office
Mahkota Medical Centre
Jl. Barata Jaya XIX / 31C
Surabaya 60131 - Indonesia.
WA : +6281 331777697
Line : +6281 4026 2166
Phone : +6283 8300 28050
Email : mmcsurabayaoffice@gmail.com
Fb : https://www.facebook.com/mmc.surabaya
http://mahkotamedicalcentresurabayaoffice.blogspot.co.id/

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More