Jumat, 17 Desember 2010

Doa Yang Tertambat

Oleh: Dwitya Sobat Ady Dharma

“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri (dosa-dosamu), dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy Syuraa: 30)

Menjadi seseorang yang tinggal 20 kilometer dari gunung Merapi bukan tanpa risiko. Sudah beberapa kali sebetulnya aku mendapat “curhatan” Merapi. Tapi tampaknya kali ini yang paling dahsyat sepanjang hidupku. Lingkungan rumah yang porak poranda, ditambah lagi dengan jatuhnya korban jiwa, membuat kita harus terus bermuhasabah apakah dosa-dosa kita selama ini.

Sore itu (3 November 2010), aku masih tertambat di balairung UGM untuk berkumpul bersama “Penulis Rabu”, salah satu klub di FLP Jogja. Waktu itu, setiap anak diwajibkan bercerita tentang buku. Karena buku yang aku telaah saat itu adalah Jalan Cinta Para Pejuang, akupun sedikit me-review buku itu─walau baru seperempatnya aku lahap. Sesuatu yang aku ceritakan di forum itu terkait dengan barakah. Bahkan penulisnya pun sampai mengulangi kalimat yang sama tentang barakah, yaitu di halaman tujuh dan limapuluh empat. Aku juga sempat mengatakan kepada para pejuang pena waktu itu bahwa barakah menyediakan rengkuhan dan belaian lembut di saat dada kita sesak oleh masalah. Itu salah satu kalimat yang diketik Ustadz Salim─sesuatu yang menggelayuti jiwaku pasca membacanya.

Sedang asyiknya berdiskusi tentang progess karya dan buku, tiba-tiba ada seorang kawan yang mendapat pesan singkat di ponselnya bahwa ada posko yang harus segera dipindahkan karena terkena awan panas. Mendengar kabar itu aku menutup mata dan beristighfar panjang. Aku segera mengambil ponsel di tas untuk memastikan keadaan keadaan rumah tak terjadi apa-apa. Belum sempat aku menekan tombol huruf di ponsel, tak disangka ada pesan yang bertandang dalam layar kecilku. Isinya mengabarkan bahwa rumahku di Magelang juga terkena hujan debu vulkanik pekat! Sontak dadaku bergemuruh kencang.

Setelah forum itu selesai, untunglah ada kawan yang juga akan ke Magelang. Aku pun ikut dengannya untuk kembali melihat kampung halamanku. Jalan-jalan yang kami lalui mulanya baik-baik saja─aku berpikiran rumahku pun akan seperti itu─namun saat memasuki wilayah Muntilan, semuanya berubah menjadi tragedi. Hatiku membiru berselubung kabut kegetiran. Jalan licin berlumpur sempat membuat aku membelalakan mata karena ada beberapa pengemudi sepeda motor yang terjatuh. Kulihat juga seorang gelandangan yang terduduk beku menggigil di pojok toko remang yang sudah tutup ditinggalkan pemiliknya. Warung-warung lesehan yang biasanya buka di sekitar terminal Muntilan pun tak tampak berdenyut. Yang ada hanyalah ruang-ruang lengang dengan cucuran abu pekat menempel di sudut jalan menghitam. Agaknya hujan abu vulkanik bercampur air telah memerosokkan kami dalam lumpur kegelisahan.

Saat aku memasuki gang, aku bersyukur karena rumahku baik-baik saja, hanya lumpur abu yang mulai berkubang di sana-sini. Namun, sepanjang malam itu, badai abu terus melanda rumahku dan menutupi jiwa dengan selimut kemasygulan. Sungguh, aku tak dapat tertidur karena fentilasi udara membuat debu vulkanik bertandang ke dalam kamar tidur. Dalam keheningan itu, aku memanjatkan doa agar tak menjadi semakin buruk dan lantas menapaki langkah Jalan Cinta yang belum aku telusuri habis. Setelah beberapa saat, aku pun menutup buku itu tepat di halaman 197, halaman terakhir untuk bahasan “Cemburu Terbit di Ufuk Cinta”.

Ada kalimat yang menghujam manik mataku lekat, “Karenanyalah ketika kita melakukan kedurhakaan pada-Nya, mari mengingat rasa cemburu Sang Mahapencipta”. Sejenak aku berpikir, boleh jadi musibah ini melanda wilayah ini karena dosa yang kita lakukan sendiri. Memang sering kali aku melihat bagaimana tradisi yang jauh dari Islam menghiasi perilaku masyarakat. Ritual penyembelihan hewan yang ditujukan untuk Merapi sering kali terjadi, seperti yang kudengar selama ini bahwa akan ada upacara Maheso Luwung Sajirojosonyo. Menurut Simbah Uti[1]-ku, ritual ini memang sering dilakukan untuk menghalau bencana di Wilayah sekitar Merapi. Bahkan, Simbah Uti-ku yang keturunan Bantul pernah memasak lodeh dengan tujuh macam sayur untuk tolak bala saat Jogja diguncang gempa dahsyat beberapa tahun lalu. Bahkan pernah beliau memasang bungkusan kain berisi biji asam jawa─ditambah dengan jamu empon-empon di dalamnya─dipasang di dekat pintu. Ya Allah....

Bukan hanya itu saja, perilaku masyarakat yang mulai jauh dengan Al Qur’an, remaja yang kebablasan dalam bergaul, dan kehidupan masyarakat yang mengarah pada budaya jahiliyah menjadi kecemburuan Sang Khalik pada kita. Aku juga teringat akan sebuah kalimat yang aku katakan pada teman saat sedang membuncah tak karuan─saat aku masih terkubang dalam perilaku jahiliyah. Aku tak sadar jika doa itu sangat mengancam. Ah, aku tercenung dengan abu yang menempel di pikiranku. Slide liar masa SMA terputar acak dalam otakku.

Sore itu bukan sore biasa. Sore di bulan Agustus yang suhunya sampai menerbitkan bulir-bulir bening di pelipisku. Hari itu anak kelas 1 akan tanding bal-balan[2] dengan kelas lain. Mempererat pertemanan antar kelas─apalagi saat itu aku baru sebulan masuk di SMA tersohor itu. namun, aku tak begitu peduli dengan semuanya. Aku ingin pulang saja.
“HEE, kamu mau kemana!” suara keras itu memanggil tanpa menyebut namaku. Aku melirik tak suka.
“Mau pulang,” kataku ringan.
“Gimana, sih! Wong arep tanding kok bali!?[3]”

Tanpa aku pedulikan, aku langsung melangkah pergi. Kemudian ia menarik bajuku−karena kaget, jus alpukat yang aku beli jatuh di trotoar yang panas. Keseimbanganku terganggu─rumah siput dalam telingaku berdenyut-denyut.
“Aku nggak bisa main bola.”
“Kamu itu cowok atau cewek. Cah lanang raiso bal-balan[4].”
“Bukan urusanmu!”
“Heh, aku ngomong baik-baik...! Kamu….” ia mendorong pundakku. Aku mundur dan kerikil yang bertaburan di atas trotoar membuatku hampir terjengkal masuk ke dalam got di samping parkiran motor. Aku ingin membalasnya, tapi kemudian datang ketua kelas kami. Lava yang tersimpan dalam kawah adrenalin urung meludahi wajahnya.

Aku hanya terdiam. Tak ada gunanya aku bicara─“Lihat saja, sebentar lagi gunung Merapi meletus,” harapku dalam hati. Sampai di lapangan yang jaraknya hanya selangkah dari SMA, aku hanya duduk terdiam dan memperhatikan gol-gol indah dari teman-temanku. Aku tercenung sesorean. Siapa sih yang tidak pengin bisa seperti mereka? Pernah juga ada yang mengajak aku tampil, tapi kutolak. Aku tidak akan mempermalukan diri sendiri.
Slide itu kembali berputar liar,
tak ada gunanya aku bicara─“Lihat saja, sebentar lagi gunung Merapi meletus,” harapku.
Meletus.
Meletus.
Kata ini terus teriang menggelayuti galau dadaku.

Aku tersentak. Aku membuka mata dan mendapati rumahku telah terkubur abu. Aku melirik perlahan, bola mataku yang basah terasa perih beradu dengan kata-kata yang menatapku lembut. Aku merasakan Ustadz Salim ada di kamarku melalui karya indahnya. Air yang semula menetes perlahan kini berubah laksana air bah. Aku tak bisa mengontrol emosiku. Dadaku sesak, nafasku tersengal-sengal. Ustadz merangkul lembut, mukaku beradu di atas pundak kata yang ia rangkai dalam syahdu bukunya.

“Hei..sudah-sudah. Menangislah untuk dosa-dosa. Menangislah untuk bayi-bayi yang tertembus peluru di Palestina, akh....” dia menepuk-nepuk punggungku. Aku sesenggukan laksana Ismail kecil yang kehausan merindukan zam-zam.
Banyak kata yang berdendang mengalun membelai kulitku, begitu hangat dan nyaman.
“Ya, akhi.., aku bersalah. Aku mengatakan sesuatu yang tak perlu,” ujarku berbisik dalam rangkulan kalimat itu. Tak terasa aku tertidur dalam pelukan hangat kalimat Ustadz Salim yang bernyanyi.

Pagi itu, aku terbangun dengan tergagap. Ada yang janggal memang, aku melihat jam sudah menunjukkan pukul enam, namun tak ada telauan cahaya mentari. Aku melihat lingkungan rumah telah tertutup abu yang mencapai tiga ruas jari. Hujan abu pun masih setia menghujamkan aroma belerang yang menusuk hidung. Aku memandangi halaman rumah melalui jendela kaca yang tepat menghadap tubuh gagah Sang Merapi.

Aku tak bisa keluar di cuasa se-ektrim ini. Di dalam rumah pun, aku semakin tak produktif. Mondar-mandir dari kamar tidur, ruang tamu, ruang makan, dan aku tak dapat menghitung sudah berapa kali aku masuk dapur. Aku menyadari agak tertekan siang itu. Ah, ternyata sampai jam 12 siang pun tak ada cahaya matahari yang bertandang ke rumahku. Tak ada yang kulakukan saat itu, aku pun tak ada gairah untuk menulis. Lagi-lagi aku berniat menyusuri Jalan Cinta Ustadz Salim . Siapa tahu aku akan menemukan embun barakah yang sulit aku temukan saat itu. Situasi pun semakin mencekam karena listrik pun mati sejak pagi hari. Hal ini membuat aku harus mengandalkan cahaya alam sekedarnya untuk mendengarkan nyanyian Ustadz Salim yang memesona.

Aku mendengar pintu diketuk. Aku agak terheran, di cuaca seperti ini ada saja yang berani keluar.
“Mas, ndak wonten mawar putih[5]?” katanya.
“Wah, dulu ada, Pak. Tapi sekarang tampaknya belum berbunga.”
“Ini saya lagi cari je....”
“Untuk apa, Pak,” tanyaku penasaran.
“Untuk disebar di depan rumah. Tolak bala.”
DEG. Jantungku terhujam keras. Ya Rabb....

Setelah dzuhur, aku mendapat pesan singkat untuk segera berkumpul ke posko yang berjarak satu kilometer dari rumahku. Dengan menanggalkan rasa was-was dan rasa enggan, aku pun keluar rumah (untuk pertama kalinya di hari itu) dengan berjalan kaki. Namun, aku tak dapat memejamkan bola mata saat melihat jalan yang terletak beberapa meter di rumahku. Jalan itu banjir, bukan banjir air, tapi banjir lumpur pekat bercampur material pasir. Dalam hati aku terus beristighfar.

Karena ada tugas yang mendadak, aku pun menerjang banjir lumpur semata kaki itu dengan langkah yang pasti. Nyanyian Jalan Cinta terus berdendang.
“Berangkatlah baik dalam keadaan merasa ringan ataupun berat, dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah....”

Beberapa saat di tengah-tengan lumpur itu, aku merasa tak mampu melanjutkan perjalanan karena jalan telah semakin parah. Sempat juga kulihat beberapa orang yang mencium aspal terpeleset di pinggir jalan. Saat itu aku berada di tengah aliran banjir lumpur yang bergelegak, tak kuduga ada mobil berwarna hitam yang melaju kencang dan sontak cipratannya mengenai celana dan jaket hitamku. Ya Allah!! Karena kondisi tak memungkinkan, aku lantas mampir ke masjid Nursalim untuk membersihkan tubuh. Setelah terduduk di serambi mengamati guyuran abu vulkanik yang semakin membuncah, akupun memutuskan pulang dengan sebelumnya mengirimkan pesan kepada teman-teman di posko. Agaknya nyanyian Jalan Cinta mulai redup tenggelam dalam nadir.

Rinai abu dari langit masih saja belum terhenti. Hatiku saat itu pun terasa terabrasi. Untunglah ada beberapa pesan singkat dari teman yang menanyakan keadaanku dan akupun cukup terhibur. Di tengah kesendirian itu, aku sontak tersentak karena pohon di depan rumahku rubuh. Namun aku masih bersyukur karena tak sampai mengenai atap rumah. Pohon matowa setinggi 10 meter itu telah tumbang menanggalkan biji-bijinya yang pekat tertutup kegelisahan.

Tak terasa hari menuju ke peraduannya. Tak ada kanvas jingga yang sering aku temui saat senja berkunjung. Tak ada pula adzan maghrib yang kudengar karena listrik masih saja tak mengalir. Yang kudengar hanya gemuruh gelegak merapi terdengar jelas dari kamarku yang muram gulana dan cucuran abu yang pekat dan liat. Aku juga tak berani mengalunkan murotal dari netbook ataupun nasyid dari ponsel. Aku harus berhemat listrik, jangan sampai listrik terbuang percuma karena hal yang mubadzir.

Waktu itu aku terus bersujud memohon lindungannya. Desaku masih gelap gulita dan guyuran abu masih saja betah berlama-lama singgah. Di tengah kondisi seperti ini, aku pun harus menjaga Simbah Uti-ku satu-satunya yang sering membuat aku khawatir. Aku di rumah hanya berdua dengan Simbah Uti karena Bapak tak tinggal di rumah ini, sedangkan Ibu menjadi relawan dapur umum untuk posko pengungsian di dekat rumahku. Sering aku mewanti-wanti kepada Simbah Uti dengan ucapan sehalus mungkin. Simbah Utiku berusia 75 tahun namun masih enerjik dan lincah mengerjakan tugas rumah tangga. Kemarin sore, aku sempat berteriak kaget saat Simbah Uti keluar rumah untuk memberi makan ayam padahal hujan abu turun dengan derasnya. Sifat Simbah Uti ini mengingatkanku pada bahasan tentang Aisyah. Semangatnya yang luar biasa, namun sering membuatku was-was juga.

Malam ini aku tertidur tanpa melihat cahaya matahari sebelumnya. Aku tertidur pulas sampai jam sebelas malam. Setelah itu, aku tak dapat memejamkan mataku karena gemuruh Merapi terdengar semakin keras dan menusuk gendang telingaku tajam. Aku pun dapat merasakan getaran Merapi, gempa tremor terjadi selama beberapa menit sekitar pukul duabelas malam. Aku terus bermunajat agar keadaan ini tak mejadi semakin buruk. Hujan air pun datang mengguyur, bukan membersihkan abu yang erat menempel, tapi membuat suasana semakin buruk. Berkali-kali aku mendengar suara pohon rubuh.

Dalam situasi malam mencekam, aku mendengar sirine yang meraung-raung semakin mendekat. Suasana yang mencekam bertambah menjadi kepanikan. Aku pun mulai keluar rumah menuju sumber suara yang ternyata di dekat masjid. Ada ambulance yang melaju kencang diikuti mobil truk di belakangnya. Ambulance itu terus melaju meninggalkan masjid, namun truk yang bersanding di belakangnya terhenti tepat di gapura masjid. Banyak orang yang turun berebut. Kulihat air mata menganak di pipi mereka yang menghitam terkena abu. Dengan langkah kilat aku membantu beberapa anak yang turun dari truk. Sempat kulihat juga seorang Simbah sepuh yang terjatuh saat turun. Aku memapahnya menuju serambi masjid.

Ya Allah, hamba-Mu ini lemah.
Adzan subuh yang biasanya mengalun indah, kini tak berkumandang karena listrik masih padam. Aku tak berani keluar rumah walau hujan abu telah berhenti karena aku yakin jalanan telah tertutup abu lebih dari sepuluh senti. Aku lantas membasuh seluruh tubuhku dan kemudian bermunajat kepada Allah di sudut kamarku. Sambil menunggu matahari yang aku rindukan, aku meneruskan menelusuri “Jalan Cinta Para Pejuang” yang belum selesai aku jelajahi.

Tampaknya mentari pagi pun belum mau singgah di rumahku.
Di temaram cahaya, aku mendengar ada seseorang yang mengetuk seperti pagi itu. Seseorang itu lalu memberikan wejangan agar setiap rumah membuat tiga wedhang yang terdiri dari teh, kopi, dan wedhang gula jawa, lantas diletakkan di depan rumah. Ia juga bertitah untuk memasang janur kuning di atas pintu untuk tolak bala bencana Merapi. Aku tertegun masygul.

Ya Allah, Jalan Cinta ini masih panjang....
Sanggrahan-Muntilan, 6 November 2010

Footnote:
[1] Simbah Uti: Nenek
[2] Bal-balan: Sepak bola (Bahasa Jawa).
[3] Wong arep tanding kok bali: Mau bertanding kok malah pulang (bahasa jawa).
[4] Cah lanang raiso bal-balan: Anak laki-laki tak bisa bermain bola.
[5] ndak wonten mawar putih : Apakah ada bunga mawar putih?

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More