Selasa, 28 Desember 2010

Setetes Embun dari Gunung Kidul

Oleh: Rivandi Pranandita Putra

Biasanya, jam-jam segini batang cahaya mentari sudah menembusi seantero Yogyakarta dengan sinar cerahnya. Namun beginilah jantung kota Yogyakarta saat Merapi mengamuk. Gelap. Sepi. Mencekam. Abu vulkanik bertebaran dimana-mana, menjajah sekujur ruang dan celah tanpa kecuali. Di atas, langit sepertinya tak menjanjikan sama sekali rasa aman. Sesekali, burung-burung gagak hitam terbang rendah, berkoak-koak memekak. Alam yang murka memang membuat tak sedikit aktivitas dilingkupi tembok keterbatasan. Bahkan kegiatan perkuliahan di kampusku, UGM, pun diliburkan selama seminggu.

Cemas. Itu yang kurasakan dan mungkin pula dirasakan seluruh penduduk di kota pendidikan ini. Makin lama, suasana hatiku makin kencang berputar dalam poros anomali kepanikan. Tiba-tiba handphoneku berdering. Hmm, pesan dari ibuku rupanya. Ini isinya: Van, kamu ke rumah kakek saja! Kan libur? Lebih baik kamu disana saja, biar aman. Sekalian nemenin kakekmu! Oke?

Tanpa pikir panjang, aku langsung mempacking barang-barangku dan segera bertolak ke rumah kakek di Kampung Bintaos. Sebuah perkampungan kecil di Gunung Kidul. Ah, sudah hampir setengah tahun aku tak berkunjung kesana.

Di sepanjang perjalanan, aku dibuat takjub dengan panorama Gunung Kidul saat itu. Aneh, kenapa Gunung Kidul yang dulu dikenal dengan jejeran bukit-bukit gersang menjadi bukit-bukit yang begitu rimba dalam durasi secepat itu? Tak terlihat lagi sosok pohon meranggas khas Gunung Kidul. Yang tampak hanyalah deret tetumbuhan jati dan mahoni yang hijau. Ah, kalau begitu berarti program reboisasi pemerintah berhasil. Dan aku yakin itu bakal membawa efek bagi penduduk disana. Efek positif tentunya. Tapi, hal itu tak kupikirkan lagi begitu aku tiba di rumah kakek.

Hari pertama, selama sehari aku melakukan aktivitas bersama beliau. Mencari rumput untuk ternak, membersihkan rumah, dan membantunya mencuci baju. Sore hari, aku diajaknya mengunjungi makam nenek. Makam yang jauhnya sekitar lima meter dari rumah kakek. Ya, nenekku memang telah tiada empat tahun silam akibat kanker ganas yang menggerogotinya.

Di makam, kami berdua mengirim doa untuk almarhum nenek. Angin sore mendesah lirih. Beberapa nyiur kelapa tampak menari-nari. Sekuntum bunga kamboja gugur dari tangkainya. Bergulir di pusara kering nenek. Kupandangi bunga putih bersih itu. Sedetik kemudian, aku terhenyak. Entah mengapa, tiba-tiba aku rindu dengan nenekku ini. Tak terasa, bulir-bulir air mata membasahi kedua pelupuk mataku.
Hari demi hari berlalu. Lembaran hari kedua hingga keenam disana kulalui dengan aktivitas yang tak jauh berbeda dengan hari pertama.

Menjelang senja di penghujung Sabtu, hujan turun dengan lebatnya. Di luar, petir terdengar bersahut-sahutan. Mengoyak langit Gunung Kidul tiada lelahnya. Aku duduk di kursi bambu dalam sebuah ruangan kecil di samping rumah. Hanya duduk laksana patung. Patung batu. Menunggu senja rebah.

Saat bosan mulai hinggap, aku melongok lemari kayu yang tampak rapuh di sebelahku. Lemari uzur yang usianya mungkin lebih dari setengah abad. Disana, aku menemukan beberapa album foto yang tampak tua. Kuambil salah satu album. Sebuah album merah berselimut debu.
***
Beberapa foto moment wisuda anak-anak kakek terpampang dengan jelas di album itu. Dalam hati kecilku, aku tak habis pikir mengapa kakekku yang sederhana ini bisa mengantarkan kelima anaknya menjadi sarjana, padahal beliau hanya PNS berpangkat rendah. Kalau nenek? Ah, beliau hanya ibu rumah tangga biasa yang menghabiskan seluruh waktunya mengurus anak-anak di rumah.

Rasa penasaran yang tak terbendung lagi terpaksa mendorongku untuk mengunjungi kakek sekaligus mengorek keterangan tentang masa lalu keluarga kakek.

Kakekku bernama Subardi. Nenekku bernama Sukarmi. Kata ibu, kakek menikahi nenek saat beliau masih berumur 15 tahun. Meski begitu, konon kakek dan nenek nyaris tak pernah bertengkar. Mereka teramat rukun dan harmonis. Dari hasil pernikahannya, kakek dikaruniai lima buah hati. Satu lelaki, lainnya perempuan.

Di ruang kecil berpenerangan bohlam enam puluh watt ini aku tercenung sejenak. Teringat cerita ibu beberapa waktu lalu. Kala itu, ibu banyak berkisah tentang kakek. Ibu memang juru cerita yang baik. Mungkin aku bukan satu-satunya orang yang mengakuinya. Tak berlebihan rasanya bila aku menjamin semua orang akan terkesima mendengar ceritanya dalam hitungan menit, bahkan detik.

“Sebagai PNS golongan rendah, tentu saja kehidupan kakekkmu amat memprihatinkan. Gaji beliau sangat pas-pasan. Hanya cukup untuk makan anak-anak selama tiga minggu. Selebihnya terpaksa beliau harus berhutang ke tetangga”, ujar ibu memulai ceritanya.
“Lantas, bagaimana dengan nenek?”
“Usia nenek yang masih belia dan tak punya keterampilan apa-apa membuatnya tak bisa berbuat banyak untuk membantu ekonomi keluarga. Keadaan ini membuatnya selalu berurai air mata menahan haru. Apalagi jika tak ada tetangga yang mau memberi hutangan, terpaksa keluarga kakek harus berpuasa.”
‘’Lalu bagaimana kakek menghidupi anaknya se..?’’

Belum selesai aku mengutarakan pertanyaan, ibu kembali berkata-kata. Nampaknya ia sudah tahu apa maksud pertanyaanku. Namun kali ini ibu berkata dengan suara lirih dan sorot mata yang sedikit berkaca-kaca.
“Meski dalam keadaan ekonomi yang serba pas-pasan, tapi itu tak menyurutkan semangat kakek untuk menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang pendidikan tertinggi. Baginya, pendidikan adalah kebutuhan pokok yang tak bisa ditawar-tawar. Dengan membekali anak-anaknya ilmu, beliau berharap anak-anaknya kelak tak akan mengalami kesulitan hidup seperti yang kakek dan nenek alami kala itu. Kata kakek, biarpun tak bisa memberi warisan harta melimpah, tapi pendidikan justru warisan yang kekal dan tak akan terbakar saat kebakaran, tak hanyut saat banjir, dan tak hancur saat gempa melanda. Ilmu akan abadi. Bersemayam dalam syaraf-syaraf yang tersusun di balik tempurung otak kita. Makanya, rajin-rajinlah menuntut ilmu! ”

Deg! Seketika jantungku berdegup kencang. “Subhanallah, alangkah bijaknya pemikiran beliau!”, gumamku setengah tercekat.

Semakin penasaran dengan kisah hidup kakek, aku mencomot album lain. Aku berhasrat mengurai isi kisah ibu yang sudah lama kudengar itu. Ingin mencari makna di balik cerita-cerita ibu. Mencocokkan antara kisah dan realita. Kali ini giliran album dengan sampul bergambar dua kuntum bunga mawar merah yang menjadi sasaranku.

Kulihat ada beberapa sosok yang kukenal berada dalam foto-foto jadul itu. Dengan baju yang tampak sangat lusuh. Dengan seksama, kuperhatikan satu persatu mereka. Astaga! Mereka anak-anak kakek!
“Apakah anak-anak kakek minder?”
“Eit, jangan salah. Kesulitan hidup tak membuat kami minder, justru membuat kami makin rajin bersekolah. Benar-benar penuh euforia jiwa muda kan? Biarpun kadang-kadang terlambat membayar SPP, namun kami tak pernah putus harapan. Kami justru berlomba-lomba mempersembahkan yang terbaik untuk kakek. Alhasil, semua anak-anak kakek memperoleh beasiswa dari bangku SD hingga perguruan tinggi.”

Kami saling terdiam beberapa saat lamanya. Dalam hati aku menganggap ini adalah suri teladan yang bisa aku contoh dari keluarga kakek.
“Pernahkah beliau mendapat hinaan, Bu?”. Akhirnya terlontar juga pertanyaan yang sejak beberapa menit tadi kupendam.
“Tak jarang beliau mendapat cibiran dan hinaan karena kemelaratannya, tapi itu semua dijadikan sebagai cambuk untuk menata hidup yang lebih baik. Masa depan kita bukan orang lain yang menentukan, tapi diri kita sendiri. Itu yang selalu dikatakan beliau pada kami anak-anaknya. Derajat kita di mata Allah itu sama meski status sosial kita bagai langit lapis pertama dan ketujuh. Tak perlu takut dan malu karena dunia ibarat roda yang selalu berputar. Toh jika saat ini posisi kita di bawah belum tentu kita akan selalu di bawah, bisa saja besok atau pada kesempatan lain kita berada di puncak. Tergantung bagaimana usaha kita untuk meraihnya. Dengan sekuat tenaga tentunya.“

Meski begitu, anak-anak kakek tak mau mengecewakan orang tua. Kata ibu, anak-anak kakek tak hanya diam menghadapi kesulitan yang dihadapi orang tuanya. Berbagai cara mereka lakukan agar tak membebani orang tua. Salah satunya dengan meraih prestasi membanggakan di sekolah masing-masing. Kebisaaan puasa senin kamis menjadi solusi terbaik bagi mereka untuk belajar prihatin dan hemat. Sungguh berbaktinya anak-anak kakek ini! Sangat humanis.
***

Filsafat dan kebijaksanaan kakek membuatku bertambah kagum pada kepribadiannya. Kemiskinan justru mencetak anak-anak kakek menjadi pribadi yang mandiri dan ulet.

Tak terbayang jika aku harus mengalami perjalanan hidup seperti beliau. Beliau pahlawan! Pahlawan bagi masa depan anak dan cucunya! Mungkin pernyataanku ini terlampau hiperbolik, namun inilah realitanya.

Menurutku, tak harus angkat senjata untuk perang dan mati sia-sia di medan pertempuran untuk menjadi seorang pahlawan. Pendapat semacam itu patut dienyahkan. Dibungkus rapat-rapat dalam karung goni lalu dilebur ke laut. Andai tertelan monster laut, itu lebih baik.

Aku jadi malu pada diriku sendiri. Alangkah naifnya diriku selama ini. Betapa tidak, aku kurang bersyukur dengan apa yang sudah aku peroleh dari orang tuaku. Semua aku terima dengan emosi dan kemarahan. Betapa berdosanya aku telah membuat orang tuaku sedih dan kecewa. Masya Allah!

Aku teringat akan kisah kepahlawanan yang pernah kubaca dari salah satu buku terbitan Pro-U Media, penerbit berbagai buku islami yang sering kubaca. Buku itu adalah Zero To Hero. Sebuah buku terbitan tahun 2006 yang berisi cerita nonfiksi karya Solikhin Abu Izzudin. Aku kira, romansa keheroikan dalam buku ini tak jauh mengharukannya dengan perjalanan hidup kakekku yang telah mensukseskan karir anak-anaknya. Benar-benar dimulai dari nol. Sungguh kisah yang memotivasi.

Malam mulai merayap. Matahari telah masuk kembali ke dalam peraduannya. Sesayup terdengar lolongan anjing dari halaman depan. Hujan mulai reda. Namun begitu, gemuruh petir makin memekakkan telinga. Angin berhembus kencang. Dinginnya menusuk tiap pori-pori kulit. Suara terseok-seok samar-samar terdengar dari ruang tengah menuju ke ruanganku. Makin lama makin jelas. Tampak sosok tinggi bungkuk berbaju merah mendekat ke arahku. Ah, ternyata kakek!

Rupanya kakek mengajakku shalat maghrib berjamaah. Beliau memang seorang yang bisa dibilang perfeksionis dalam urusan agama. Rasanya tak pernah aku melihatnya terlambat menjalankan kewajiban shalat lima waktu. Buku-buku di rak ruang tengah pun sebagian besar bernafaskan ajaran islami.

Seusai shalat, aku dan kakek menuju ruang tengah untuk makan malam bersama. Saat itulah, aku memberanikan diri bertanya tentang riwayat ibu.
“Kek, bagaimana sih riwayat ibu dulu?”

Agaknya beliau terkejut dengan pertanyannku. Sekejap kemudian, beliau tertawa terbahak-bahak. Aku menjadi tak mengerti. Ia lalu menukas, “Dari kelima anakku ada satu yang luar biasa bandelnya, dialah anak perempuan kakek yang ketiga, yaitu ibumu. Sebenarnya ibumu tidak bodoh karena sejak menjadi siswi SD hingga mahasiswi SPG selalu memperoleh beasiswa. Tapi keadaan yang serba susah mendorongnya untuk melakukan pemberontakan padaku. Sebagai gadis remaja yang baru tumbuh, mungkin ia malu memakai baju yang itu-itu saja saat kuliah. “

Sekarang giliran aku yang terkejut mendengar penjelasan beliau. “Bagaimana bisa kek, hanya karena itukah ibu bersikap seperti itu?”, ujarku setengah tak percaya.
“Tentu tidak, jarak kost-kostan yang lumayan jauh dan harus berjalan kaki kadang membuat ibumu malas berangkat kuliah. Apalagi kami tak memiliki rumah, sehingga aku terpaksa harus mencari rumah kontrakan murah dan hidup nomaden. Ini membuat kebandelan ibu semakin menjadi-jadi.”
“Haha, lalu apa yang kakek lakukan?” ujarku sembari terkekeh.
“Kebandelan ibumu tak membuatku marah. Aku tahu betul karakter anak perempuanku yang satu ini. Semakin dikerasi maka semakin besar pula pemberontakan yang dilakukannya. Selagi masih dalam koridor kesopanan dan etika, maka aku biarkan semua mengalir laksana air. Suatu ketika, waktu yang akan mengubah dan mendewasakan sikap ibumu yang kekanak-kanakan itu. Jika waktunya telah tiba, ibumu pasti berubah dan akan menyesali semua sikapnya yang keliru.”
Wow, aku makin kagum dan bangga dengan kakekku yang bijak itu.
***
Meski berbagai halangan menghadang, nyatanya kakek berhasil mengantarkan kelima anaknya menjadi sarjana. Bahkan kelima menantu kakek tak ada yang tak sarjana. Kehidupan ekonomi mereka sangat mapan. Meski begitu, tak ada yang melupakan kakek. Tiap lebaran, mereka menyempatkan diri menjenguk beliau. Bahkan menurut sepengetahuanku, rekening beliau tak pernah sepi dari aliran dana yang dikirimkan anak-anaknya.

Aku tahu, kini kakek dapat tersenyum bahagia. Di hari tuanya, beliau bisa memanen hasil jerih payahnya selama ini. Beliau bisa menyaksikan anak-anaknya berhasil di keluarga dan karir. Semua anaknya telah bekerja. Bahkan, anak keduanya menjadi dosen di Institut Pertanian Bogor setelah menyelesaikan program doktor di Amerika karena beasiswa.

Keberhasilan kakek membesarkan dan mendidik anak sebaik-baiknya menjadi teladan dan membuka mata orang-orang yang pernah menghinanya dulu. Beliau telah membuktikan ucapannya bahwa tak ada hal mustahil yang di dunia ini jika kita mau berusaha dengan sungguh-sungguh. Perjalanan dan liku hidup beliau telah membuka mata hatiku. Tak sedikit pelajaran hidup yang aku peroleh dari beliau. Rasa kagum makin menggasing dan menempel makin lekat dalam bilik dadaku ini. Kian menderu-deru di relung sanubariku.

Hari berganti. Kokok ayam jago sayup-sayup terdengar bersahut-sahutan. Beradu dengan kicau dua burung kutilang peliharaan kakek di samping rumah yang lembut terdengar. Kegelapan langit di ufuk barat Kampung Bintaos makin memudar. Warna kuning keemasan-lah yang kini mendominasi. Kira-kira empat jam setelah mentari menampakkan wujudnya, aku berpamitan pada kakek untuk kembali ke kota Yogyakarta.

Di sepanjang perjalanan, aku berharap episode ancaman Merapi segera tamat. Tak lupa, aku berdoa semoga kakek dikaruniai umur panjang, sehingga kakek tak hanya menyaksikan keberhasilan anak-anaknya, tapi juga keberhasilan cucunya. Akan kubuktikan bahwa aku bisa buat bangga orang tua dan kakek tercinta. Falsafah hidup kakek dan kesederhanaanya telah menginspirasiku untuk meraih impian masa depan. Akan kuubah haluan jalan hidupku dengan kemudi keimanan. Aku harus lebih ulet dalam belajar! Tak semata tersemat di balik tempurung otak tanpa teraplikasi dengan lakon nyata.***

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More