Kamis, 30 Desember 2010

[Pro-U] Senyuman Hujan


Oleh: Febi Rahmi

Mendung lagi kota Bandung sore ini dan sepertinya sebentar lagi rintik-rintik air dari langit akan menyapa bumi. Tiap tetesan yang jatuh seakan tak sabar mencurahkan kabarnya dari langit di atas sana. Menatapku ke gumpalan awan gelap yang sudah tak sanggup menahan bebannya dan siap tumpah ruah menanti seruan.

Pikiranku mengembara sekian tahun lalu ketika pada saat yang sama aku juga menatap mendung ini. Mendung yang tidak saja mewarnai hari tapi juga singgah di hatiku, tepatnya di semester akhir perkuliahanku. Di Fakultas ini, akumengenal lebih dalam tingkah laku manusia serta emosi yang menyertainya. Tempat dimana kami “berobat” jalan dan menemukan diri kami, ujar seorang temanku ketika ditanya mengapa berkuliah di fakultas ini.Luar biasa ilmu-Nya, di sini juga aku semakin menyadari betapa luar biasanya Sang Khaliq mencipta pikiran dan rasa hingga tak ada yang benar-benar mirip antara tingkah laku A dan B , meski instrumen psikologi memiliki perangkat untuk mendeteksi prilaku tapi tetap saja tak ada manusia yang sama.

Semester demi semester aku lalui. Aku yang anak rantau cukup berusaha keras beradaptasi dengan gaya hidup di tataran Sunda ini hingga tidak tenggelam dalam keramaian.Tahun demi tahun bergulir, menghantarkanku pada lingkungan yang lebih luas dari yang aku sangka. Tak hanya urusan akademis yang memang wajib aku –mahasiwa- tunaikan tapi ada ranah lain yang berhasil membagi perhatianku sebagai mahasiwa 3 K ; Kampus-Kuliah-Kosan.

Sang waktu terus berputar, mendesakku mengikuti kemana ia mengarah. Aku menjadi mahasiswa yang berangkat dari kos-kosan sebelum matahari sempurna beranjak naik dan kembali ke kos-kosan ketika adzan Isya menemani langkahku pulang. Aku menikmati aktivitasku sebagai mahasiswa yang aktif dalam organisasi kampus yang pada akhirnya membawaku pada masa itu.

Rentetan peristiwa masa itu terbayang jelas. Memoriku mengingat semuanya. Ah benar adanya, kejadian yang berpengaruh besar dalam hidupmu pasti akan senantiasa kau ingat dan lekat erat di memorimu.

Saat itu, aku belum beranjak dari taman kampus. Sudah lengang, tinggal aku, satu adik kelasdan bapak-bapak yang membersihkan taman dari dedaunan kering. Hm, aku lebih suka jika daun-daun itu terserak di tanah sebenarnya.

Baru saja aku menyelesaikan rapat dengan semua pengurus untuk event yang akan kami adakan. Aku yang masih mendapat jabatan di kepengurusan inti harus memastikan event ini layak diselenggarakan melalui sistem Komite Divisi. Organisasi ini, sebuah ruang yang menyimpan rekaman jejak aktivitasku bersama mereka yang terlibat di dalamnya, mereka yang mengenalkanku lagi betapa hidup ini tidak hanya untuk diriku sendiri, mengingatkanku bahwa aku, hamba-Nya memiliki amanah besar untuk bumi ini. Mereka yang mengenalkan ku dengan da’wah.

Layaknya Komite, sanggah-menyanggah mempertahankan alasan yang masuk akal, mengusahakan agar keinginan semua pihak tersalurkan bukanlah urusan gampang. Selama Komite berlangsung aku juga harus membagi perhatianku pada ponsel yang tak henti bergetar. Sahabatku memintaku menjadi pembahas di Seminar Usulan Penelitiannya esok hari. Waktu dadakan dari Dosen Pembimbingnya membuat dia mencari orang terdekat untuk menjadi Mahasiswa Pembahas. Tanya jawab tema Penelitian antara aku dan sahabatku terjadi sebelum aku memutuskan menyanggupi menjadi mahasiwa pembahas.

Aku masih asyik menatap layar 14 inchi ini. Penanda dua pesan baru dari inbox email ku berkedip-kedip. Email pertama dari sahabatku yang mengirimkan Usulan Penelitiaannya. Jarak Jatinangor – Bandung yang tidak dekat, membuatnya tidak memungkinkan mengirimkan print-out Usulan Penelitian, apalagi sebentar lagi Maghrib. Termanggut-manggut aku membaca draft 20 halaman ini sambil bertanya pada diri, “Kapan aku memulainya?”

Email kedua dari rekanku di organisasi kampus. Satu file lampiran proposal kegiatan untukku baca sebelum naik cetak dan revisinya harus aku kirimkan esok hari juga. Jika saja aku tidak disibukkan lagi oleh kegiatan organisasiku di semester akhir ini, tentunya malam ini aku memiliki banyak waktu luang untuk membaca , menganalisa usulan penelitian sahabatku sembari aku juga mempersiapkan diri . Synaps-synpasku yang sudah mengusut setelah Komite tadi menjadi bertambah kusut.

“Ketika terjadi pada dirinya apa yang bukan menjadi pilihannya, hendaklah ia berkata ‘Allah telah menaqdirkan dan apa yang dikehendaki-Nya itulah yang berlaku,’ dan janganlah mengatakan ‘Seandainya’, karena perkataan itu akan membuka pintu setan.” [HR. Nasa’i dari Abu Humairah ra]

Seharusnya aku bahagia saat itu, -benar aku bahagia untuk sahabatku - ketika satu persatu sahabat-sahabat dekatku akan melewati Seminar Usulan Penelitiannya. Seharusnya aku bisa mengucapkan selamat secara langsung ketika dia mengabariku melalui pesan singkat tadi. Yah, seharusnya ku bahagia dengan kebahagiaan mereka. Setan begitu pandai menggoda dengan segala caranya menembus kokohnya benteng manusia. Iman itu naik turun, bertambah dengan kebaikan dan berkurang dengan kemaksiatan yang dikerjakan. Sedikit saja api iri itu terpantik, dia akan berkobar dan hatimu memanas karenanya.

Ketika sahabat-sahabatku sibuk dengan usulan penelitian mereka, bimbingan dengan dosen, mencari bahan-bahan untuk penelitian, aku masih disibukkan dengan rapat agenda A, B dan konsolidasi pengurusku serta amanah-amanah lain yang dipercayakan padaku. Seperti ku katakan tadi, ketika serasa dunia salah, apa pun yang terjadi menjadi salah di matamu.

Aku merasa kurang beruntung pada saat itu, merasa menjadi terlambat menyelesaikan studiku. Aku merasa ditinggalkan oleh sahabat-sahabatku. Aku merasa seolah tak ada yang mengerti aku. Ah, lihatlah…kau merasa dunia tak berada disisimu. Apa yang menurutmu baik, belum tentu saat itu baik menurut-Nya, begitu juga sebaliknya.

Maghrib sebentar lagi datang, setelah memastikan file sahabatku sudah disimpan aku berkemas, merapikan buku-buku yang ku pinjam tadi dari perpustakaan sebagai penjaga semangatku bahwa secepat mungkin aku akan memulainya.
Dan hingga Maghrib datang, mendung itu belum juga hilang.

Hey, bingkisan apa ini, tergeletak manis di atas meja ruang tamu kosan kami ketika aku menyalakan lampu ruangan ini.Ruangan yang menjadi saksi riuh rendah kami, tawa dan canda yang mampu menghangatkan hati yang mendingin ini.Teman-temanku sedang tidak di kos-kosan. Mereka menghadiri sebuah seminar yang baru berlangsung setelah jam makan malam. Aku bergegas mengambil bingkisan bersampul kertas kado dengan motif kotak-kotak biru itu. Aku masih ingat corak kertas kado itu kawan!!

Aku membalik bingkisan itu, melihat nama pengirim yang tertera dibelakangnya. Ah, dia.. sahabat kecilku yang tengah berkuliah di Universitas Negeri terkenal di Kota Pelajar. Sahabat kecilku, ketika bersama-sama kami belajar mengeja huruf hijaiyah, menyenandungkan kalam Ilahi. Suaranya merdu dan mampu menggugah hati yang mendengarnya. Senyum pertamaku terulas hari itu.

Hati-hati aku membukanya, aku tak ingin merusak kertas indah ini. Sebuah buku bersampul coklat dengan gambar seorang pemanjat tebing terjal danlatar matahari senja yang menguning. Tertera jelas dengan huruf kapital judul buku ini “FROM ZERO TO HERO,” dan kalimat dibawahnya Mendahsyatkan Pribadi Biasa Menjadi Luar Biasa, penulis Solikhin Abu Izzudin, terbitan Pro U Media. Buku apa ini?. Latar belakang disiplin ilmu yang aku geluti, kadang membuat ku menjadi pilih-pilih memilih buku self help atau sejenisnya. Senja itu, aku yang merasa dititik zero, meminta tangan-tanganku meraih halaman demi halaman.

Banyak keterbatasan, kekurangan, kelemahan, kegagalan, kemalasan. Itu bukan masalah. Bagaimana di tengah keterbatasan itu kita dahsyatkan diri agar lahir prestasi tinggi.

Waw, ini dia sepertinya yang sedang berperang dalam diriku. Keterbatasan yang dijadikan pembenaran, kekurangan yang membuat tidak produktif, kelemahan yang menjadi sasaran ketidakbisaanku.

Aku membaca cepat dan taukah kau apa yang kutemukan di lembar selanjutnya?
Setiap kehidupan kita dihadapkan pada momentum-momentum dan ini lah tipe-tipe manusia yang memaknai momentum:
  • Tipe Quitters, Orang yang tergesa-gesa, suka patah arang, ingin cepat sampai, berani menerima tantangan, berani mengambil resiko, negative thinking.
  • Tipe Champers , Orang yang senang mendaki tetapi berhenti pada titik ketinggian terntentu, menikmati (terbuai) kesuksesan, gampang puas, tidak tertantang mengambil peluang dan resiko yang besar.
  • Tipe Climbers, Mental pendaki gunung , mengumpamakan hidup sebagai arena, mempresepsikan tantangan adalah peluang, hambatan menjadi kesuksesan, kesulitan menjadi kemungkinan, berani mengambil resiko, tidak lemah dan gampang putus asa.

Seolah ada batu melesak cepat ke dadaku. Aku pendaki yang berdiam diri, melihat salah semua, tapi tak berani melangkah. Aku pendaki yang sedang berhenti, aku pendaki yang naik dan turun. Aku terhenyak. Bukankah amanah-amanah da’wah yang diberikan kepadaku itu membuat ku lebih dewasa? Bukankah dengan amanah-amanah itu aku belajar berlapang dada ditengah tantangan yang kami hadapi bersama? Bukankah dengan amanah-amanah itu aku menjadi perantara risalah –Nya yang mulia? Astaghfirullah.

Adzan Isya berkumandang disertai rintikan hujan membasahi bumi, tak hanya pada bumi saja malam itu.Hujan menghampiriku, merembesi hati yang meradang sedari tadi, menyisakan isak yang telah bertemu muaranya.

Ah, akhirnya hujan juga disini. Lama ku menanti sedari tadi. “Allahumma shayyiban naafi’aan ; Ya Allah, (jadikanlah) hujan ini bermanfaat”, begitu do’a yang diajarkan seorang sahabat padaku. Ingin selalu ku hadiahkan senyuman ketika hujan tiba-tiba datang atau aku bersiap menyambutnya ketika isyarat baru datang dari langit. Senyumku merekah lebar mengingatnya. Ketika hari-hari sesudahnya, Allah tunjukkan jalan-jalan kemudahan bagiku.

Aku mendapatkan Dosen Pembimbing yang baik hati, tidak susah bertemu untuk jadwal bimbingan;dua kali dalam seminggu, draft skripsiku selalu penuh feedback yang menyemangati, penuh pesan keibuan, tak hanya konsultasi skripsi tapi merambah tentang saran beliau menghadapi dunia pasca kampus.

Allah tunjukkan kemudahan lagi lewat teman yang tak disangka-sangka di Jawa Timur sana yang membantu ku menghubungi responden-responden untuk penelitianku.

Allah hadirkan adik-adik binaanku, teman-teman kampus, saudara-saudaraku di jalan ini yang menghadirkan binar di mataku.

Allah anugrahi aku keluarga yang penuh kasih sayang. Kedua orangtuaku yang senantiasa memberi dukungan, meski jarak memisahkan kami tapi sungguh aku merasa lebih kuat karenanya. Seakan belum cukup anugrah itu, kehadiran dua kakakku yang tak bosan memberi semangat meski kami tidak disatukan dalam ruang yang sama membuatku sadar aku tidak sendiri.

Duhai kawan hanya lebih kurang enam bulan gelar S.Psi berhasiltertera di belakang namaku. Alhamdulillah, segala puja dan puji hanya milik-Mu. Malu yang sebenar-benar malu mengingat aku pernah menyalahi semuanya, tapi tak pernah berkurang kasih sayang-Nya padaku, bahkan lebih. Dan aku bertekad siap mendaki terjalnya rintangan.Hey kawan, bukankah jalan ke surga itu tidak mudah?

“Wahai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu [QS. Muhammad : 7]”

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More