Senin, 27 Desember 2010

Skenario Di Luar Rasio

Perempuan paru baya itu terbujur kaku. Ia meninggal setelah beberapa minggu mengalami sakit parah. Sekujur tubuhnya ditutupi kain putih berukuran ± 1,5x1 M. Para pelayat, yang kebanyakan ibu-ibu, duduk mengelilinginya. Terlihat mulut mereka berkomat-kamit, melafalkan surat Yasin dan do’a-do’a keselamatan bagi si-mayit. Buliran-buliran bening pun keluar dari pelupuk mata, mengiringi bacaan-bacaan mereka.

Isak tangis semakin mengelegar, manakala mereka menyaksikan bayi berjenis kelamin laki-laki, berumuran 3 bulan, menangis histeris, seakan-akan ikut merasakan kepiluan hati, ditinggal mati ibu yang telah melahirkannya.

Bayi tersebut, memang tidak lain adalah anak ke-tujuh dari perempuan yang telah tak bernyawa itu. Tubuhnya yang mungil terlihat sangat pucat. Nyaris tidak terdapat secuil dagingpun yang membalut tubuhnya. Yang nampak, hanyalah tulang dan kulit semata. Siapa pun yang menyaksikan, tentu akan merasa iba. Terlebih, kalau melihat kenyataan perekonomian keluarganya, yang memang berada dibawah garis kemiskinan. Rumah mereka tidak punya. Gubuk yang mereka tempati, merupakan tumpangan sementara dari salah satu sanak keluarga.

Tak ayal, melihat kondisi demikian, tidak sedikit dari para pelayat, memprediksi nasib buruk akan selalu membayangi masa depan si-bayi. “Apa bisa hidup, yah, bayinya ?”, celetuk salah satu pelayat, ’meraba-raba’ nasib si-bayi, yang tentu saja menambah luka hati keluarga yang memang tengah berduka. Tak ubahnya luka tersiram air cuka. Mungkin itulah gambarannya. Perih dan sangat menyakitkan.

Walaupun demikian, pihak keluarga, terutama si-ayah bayi, tidak mau ambil pusing. Dia yakin, bahwa di balik musibah yang tengah melanda keluarganya, terdapat banyak hikmah yang memang belum terkuak saat itu. Karenanya, mereka menolak keras orang-orang yang mengajukan diri untuk mengadopsi bayi malang itu, sekalipun keadaan ekonomi tengah carut-marut.

Mandiri Sejak Dini
Peristiwa mengharukan itu, terjadi 25 tahun silam. Dan akulah bayi itu. Terlahir di tengah keluarga serba kekurangan, serta ditinggal mati ibu ketika masih dalam buaian, menyebabkanku tumbuh menjadi pribadi yang mandiri. Dan itu pula, pola pendidikan yang diterapkan keluarga dalam membinaku.

Setiap hari, seusai pulang sekolah, aku harus membereskan rumah; menyapu, mencuci piring, membersihkan halaman, hingga menanak nasi. Pekerjaan-pekerjaan tersebut, telah menjadi salah satu rutinitas yang kudu dilaksanakan. Wajar, mengingat, hampir setiap hari, ayah dan kakak-kakak pergi keladang, dan baru pulang ketika matahari telah berada di ufuk barat. Tinggallah aku sendiri di rumah. Untuk meringankan pekerjaan mereka sepulang dari kebun, jadilah aku yang membereskan tugas-tugas rumah tangga, kecuali memasak sayur, “Untuk yang satu ini (memasak sayur) , saya menyerah”, ujarku polos, saban hari, ketika ditanya kakak, mengapa tidak sekalian masak sayur.

Di tengah-tengah kesibukkan belajar dan membantu keluarga, aku juga masih menyempatkan diri untuk menjajakan jualan dari kampung satu ke kampung yang lain. Kiloan meter jarak kutempuh dengan jalan kaki. Pengatnya panas sinar matahari, atau derasnya guyuran hujan, sama sekali tak meredupkan semangatku untuk menapakkan kaki, selangkah demi selangkah, menelusuri gang-gang perkampungan. Yang kujual adalah mainan-mainan anak kecil, seperti balon, pelembungan, dan sejenisnya, yang jumlahnya tidak seberapa. Modal yang digunakan berasal dari uang saku yang kuterima dari ayah atau kakak-kakak, yang jumlahnya, pun tidak seberapa besar. Uang tersebut kutabung sedikit demi sedikit. Ketika sudah merasa cukup sebagai modal awal, akupun memutarnya menjadi barang-barang dagangan.

Ternyata, niatan baik untuk mendapatkan penghasilan sendiri, guna memenuhi keperluan pribadi, barang sedikit, juga tidak lepas dari onak dan duri. Kepribadianku yang lugu, ditambah lagi dengan fisik yang masih terbilang kecil saat itu, menyebabkan beberapa orang terpicut untuk menipuku. Akibatnya, alih-alih mengambil untung, kembali modal pun tidak.

Sekalipun melelahkan secara fisik, aktivitas-aktivitas tersebut, aku jalankan dengan lapang dada. Status sosial yang kupegang sebagai anak miskin dan tak beribu, sama sekali tidak pernah mengucilkanku untuk terus berjuang, meskipun tidak jarang juga aku mendapat ejekan dari orang sekitar, yang terkadang cukup menyesakkan dada. Tapi, apa mau dikata, itulah realitas yang tengah kujalani. Aku harus tetap fight, tidak boleh kalah oleh realitas.

Mengejar Mimpi
Mimpi, adalah satu hal yang –mungkin- semua orang memilikinya, tanpa harus membedakan status sosial, atau tetek-bengek lainnya. Dengan bermimpi orang akan memiliki harapan dan cita-cita masa depan yang jelas dan terkonsep, sehingga relatif lebih mudah untuk mewujudkannya.

Membicarakan masalah mimpi, saya jadi teringat sebuah buku inspriratif, terbitan Pro-U Media, yang dikarang Solikhin Abu Izzudin, dengan judul ’Zero to Hero’. Di sana para pembaca digugah untuk memiliki mimpi sebanyak-banyaknya. Dengan menjelma menjadi seorang pemimpi, berarti telah melangkahkan kaki menjadi orang yang cerdas. Yakni berani berfikir mendahului masanya, meski kadang orang lain belum mampu memahaminya. Dan ternyata, masih menurut buku tersebut, banyak orang-orang besar, pemimpin-pemimpin besar, yang berangkat dari seorang pemimpi (85).

Begitu juga denganku. Sejak kecil, aku memiliki impian untuk terus menuntut ilmu, terutama ilmu agama. Terlebih ketika melihat jejak ‘raport’ kakak-kakakku yang ‘berguguran’ sekolahnya, karena tidak ada biaya, gejolak itu semakin meninggi. “Saya harus melanjutkan studiku, bagaimana pun caranya”, kalimat itulah yang senantiasa kutancapkan di lubuk hati.

Syukurnya, ayah mendukung penuh keinginanku. Dengan menjual hasil panen, pada tahun 1998, selesai menamatkan Sekolah Dasar (SD) aku berangkat ke Jawa Timur, guna meneruskan studi di salah satu pondok pesantren di sana.

Pada awalnya, cukup berat bagiku berpisah jauh dari sanak keluarga (yang berada di Lampung) yang sangat menyayangiku. Terlebih, usiaku saat itu masih tergolong sangat dini. Tapi, apa lajur dikata, layar telah berkembang, pantang untuk kembali. Demi merealisasikan misi mulia, perasaan itu aku tepis. Dengan sekuat tenaga aku coba untuk terus bertahan di daerah orang dengan kesendirian. Pola pendidikan yang dulu diterapkan keluarga padaku, benar-benar telah membantuku untuk bertahan, dan mandiri dalam mengurai permasalahan demi permasalahan, satu persatu.

Sebagaimana telah jamak diketahui, bahwa sekolah di pondok pesantren, itu relatif lebih mahal biayanya ketimbang sekolah umum. Sebab, selain harus membayar uang sekolah, para santri pun harus membayar uang asrama dan makan sekaligus.

Di tengah perjalanan, hal inilah yang menjadi pelemik. keluarga tersiok-siok, sehingga nyaris saja aku ’terpelanting’, dan pulang kampung, karena tidak kuat pendanaan. Untungnya, salah satu kakakku yang berprofesi sebagai karyawan bengkel, menolak mentah-mentah ide itu, “Sudah jauh-jauh datang dari Lampung, kenapa harus pulang tanpa hasil. Teruskan belajarmu, masalah dana, biar saya yang berusaha. Yang penting kamu serius, kejar impian-impianmu”, ujar beliau waktu itu, yang kubalas dengan tetesan air mata bahagia.

Sejak peristiwa itu, ‘volume’ belajarku tambah tinggi. Pagi, sore, dan malam, saya gunakan untuk mengulang pelajaran yang telah kudapat dari sekolah, atau membaca-baca buku yang lainnya. Alhamdulillah, usaha yang kulakukan membuahkan hasil. Meskipun tidak melulu juara satu, tapi, nilai-nilai yang kuperoleh, sudah cukup bagiku untuk memperoleh bia siswa. Tentu hal ini, sangat meringankan bebanku dan keluarga.

Selain itu, tidak ingin hanya berpangku ke-dua belah tangan dalam menghadapi masalah keuangan, dengan skill baruku, sedikit mampu berbahasa asing, Arab dan Inggris, aku mulai mem-private di perumahan-perumahan warga sekitar. Bahkan tidak jarang, demi mendapat sepeser uang, tanpa malu-malu aku bekerja sebagai buruh bangunan, yang harus mengecet gedung bertingkat.

Dari proses inilah, akhirnya aku bisa menyelesaikan studiku hingga di perguruan tinggi, dengan hasil nilai komulatif yang cukup memuaskan. Karena –mungkin- dianggap mahasiswa yang berprestasi, aku pun diminta untuk mengabdikan diri di almamater tersebut. Tanpa ragu sedikitpun, aku mengiakan. Hingga saat ini, aku masih setia di institusi yang telah mengajariku banyak hal. Mudah-mudahan aku terus ber-istiqomah, dan diberikan kemudahan-kemudahan oleh Allah dalam menjalankan amanah-amanah yang diembankan padaku.

Kelemahan Rasio
Apa yang kualami, benar-benar telah menginspirasi sebagian masyarakat di kampung. Tidak sedikit di antara mereka menyatakan keheranan atas apa yang terjadi padaku, “Kamu dulu itu ya, ketika baru ditinggal ibumu, sepertinya tidak akan berumur panjang”, ujar mereka blak-blakan.

“Sekiranya hanya mengandalkan kemampuan orang tuamu, mustahil kamu bisa kuliah”, tambah yang lain.

Mendengar pernyataan-pernyataan itu, aku hanya tersenyum sipu. Bagiku, itulah kelemahan rasio manusia. Mereka hanya bisa menalar apa yang terlihat oleh mata. Sedangkan di balik itu, sedikitpun mereka tidak mampu menerka. Padahal, sudah barang tentu skenario Allah jauh lebih besar dari pada nalar manusia, yang jangkauannya sangat terbatas.

Mudah-mudahan kisahku ini, benar-benar menginspirasi siapa saja, yang menghendaki kebaikkan hidup di dunia, lebih-lebih di akhirat kelak. Amien…..amien….yaa rabbal ‘aalamien.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More