Senin, 27 Desember 2010

Beruntung Aku Menemukanmu

Keindahan panorama pantai, sejuknya hawa pegunungan, perbukitan yang asri menawan, keunikan ukiran di bentang alam yang menakjubkan, stalagtit dan stalagmit di lekuk-lekuk gua serta derasnya air terjun dan arus sungai yang menantang, membawaku pada kekaguman yang mengasyikkan akan alam raya ciptaan-Nya yang mempesona.

Sejenak, bertualang menjadi bagian dari hidupku, rasa ingin tahu membawaku mengunjungi tempat-tempat eksotis dan mempertemukanku dengan banyak teman yang berbeda latar belakang.

Sebuah masa ‘pencarian’ yang indah, mengekalkan kenangan di sudut-sudut hatiku.

Hmmm, kali ini tentang Batam…
Sebuah pulau yang entah mengapa pernah begitu mengusik pikiranku semenjak masih SMU, namun sempat kulupakan saat di bangku kuliah. Lalu atas izin-Nya aku singgahi beberapa tahun kemudian setelah ada panggilan kerja dari salah satu perusahaan asing di sana. Berawal dari keisengan mendaftarkan diri ke sebuah perusahaan outsourcing di Surabaya, lalu semua mengalir begitu saja dan belakangan aku syukuri sebagai skenario indah-Nya dalam mendidikku.

Penghujung Februari 2003, perjalanan laut terjauhku berujung di Pelabuhan Sekupang, bersama 13 orang teman dari berbagai kabupaten di Jawa Timur. Sebelum menjejakkan kaki di daratan aku memejamkan mata sejenak, teringat pesan Abah dan Bunda untuk berdo’a saat sampai di Batam.

Dan kemudian entah kekuatan apa yang menggerakkan bibirku hingga bergumam lirih…… lirih sekali, tapi melesak jauh ke dalam relung hati hingga kedua mataku jadi gerimis karenanya, “Robb, berkahMu saja yang kuharap dalam perjalananku ini, amiin”.

Dua buah mobil menjemput kami, untuk kemudian mengantar kami ke Dormitory (kadang kita juga menyebutnya flat/mess) di sebuah kawasan Industri terbesar di Pulau Batam. Setelah berbicara sebentar dengan sopir, kami bergegas menuju mobil. Dalam hati aku berteriak, “Batam….. Here I’m coming…. And we’ll see what kind of adventure then…!”.

Mobil mulai bergerak membawa kami menyusuri jalan raya yang membelah hutan. Tidak banyak kata terucap, hanya melihat, mengamati dan membandingkan apa yang tersaji di sepanjang jalan dengan profil Batam yang pernah kubaca di media masa.

20 menit berlalu, dan mobil merangsek memasuki pintu utama kawasan Industri yang kami tuju, upss… what’s that?.... satu pemandangan mengagumkan ku temui. Sebuah masjid besar di sisi kiri jalan, di depannya ada plang bertuliskan ‘Masjid Nurul Islam’. Dan entah kenapa hatiku langsung ‘jatuh cinta’ melihatnya. Betapa tidak, di internet dan televisi sering ku dapati kabar ‘hitam’ tentang Batam. Perjudian, penyelundupan, human trafficking, perang antar suku dan kehidupan malamnya. Namun, yang kini terpampang jelas di mataku adalah, aku seperti berada di ‘kota santri’.

Yach… mungkin inilah sisi lain Batam yang tidak begitu di ekspose oleh media. Sebuah masjid besar yang ramai, gadis-gadis belia berkerudung lebar keluar masuk masjid, mereka tampak sibuk. Terlihat jelas oleh langkah mereka yang tergesa-gesa, lebih dari itu mereka terkesan anggun dangan busana muslimahnya. Sejenak aku tertegun melihat diriku sendiri, meski tertutup rapat seluruh tubuhku bahkan dengan kerudung yang sudah akrab dengan kepalaku semenjak usia 12 tahun. Tapi aku merasa tidak se-anggun mereka. Hmmmm……., kenapa yach…, yup... biarin aja deh, yang jelas aku telah mencatat apa yang baru saja kulihat sebagai salah satu keunikan batam dalam memoriku.

Kedatanganku disambut hangat oleh rekan-rekan kerjaku, di sebuah perusahaan asing yang memproduksi berbagai jenis kapasitor (komponen dasar elektronik). Yang paling hangat menyambutku adalah mbak Qanitat, seorang wanita belia seusiaku yang kebetulan tinggal di dormitory yang sama denganku. Wanita ini istimewa dalam pandanganku, sosok yang dewasa dan membuatku merasa nyaman berada didekatnya, satu-satunya wanita yang paling ‘nyambung’ saat diajak diskusi. Maklum, aku memang terlahir dengan rasa ingin tahu yang kuat. Lingkungan pergaulanku yang baru agak menyulitkanku menemukan teman diskusi yang ‘klik’. Sebelumnya aku lebih terbiasa bergaul dengan kaum adam, karena aku lebih cenderung menyukai hal-hal yang lazimnya digemari kaum adam, diantaranya adalah olahraga keras seperti karate dan sepak bola, hiking, mancing, dan caving. Sementara lingkungan kerjaku sekarang di dominasi kaum hawa, yang lebih sering ngomongin gossip artis-artis, kisah sinetron, model baju terbaru dan hal lain yang berbau feminis, hal-hal yang jarang sekali dan hampir gak pernah nyangkut di benakku.

Kami jadi sering jalan bersama, pasti jadi sebuah pemandangan yang kontras bagi orang lain yang melihat. Aku dengan penampilan khasku, gaya berjalan yang gagah, celana jeans belel yang robek di bagian tumit, bahkan kadang sengaja ku lepas jahitan di ujungnya agar benangnya terburai, kaos oblong, kerudung yang tak pernah kuhias dengan bross, kecuali dengan peniti kecil untuk mengaitkan kedua ujungnya agar tak terbuka saat tertiup angin, tas berbahan jeans usang dan kumal yang di penuhi gantungan kunci di setiap resletingnya, sehingga dengan sedikit gerak saja sudah menimbulkan suara bising bergemerincing. Sedangkan mbak Qanitat, wanita anggun dengan jilbab lebar menutupi sebagian tubuhnya, senyumnya sederhana dan meneduhkan, tubuhnya selalu berbalut baju yang tidak menampakkan lekuk tubuh. Diam-diam aku kagum dan berharap suatu saat bisa sepertinya.

Mbak Qanitat sering mengajakku saat menghadiri kegiatan-kegiatan Majelis Ta’lim di sekitar kawasan industri tersebut. Dia tidak pernah benar-benar memprotes penampilan sleborku, tidak pernah malu memperkenalkanku pada komunitas jilbabernya. Dia membiarkanku asyik dengan gaya yang aku sukai, pernah suatu kali dia bertanya kapadaku,

"Dee, ga pengen pake rok, tah? "

Dengan cuek aku menjawab “lebih asyik pake celana mbak, nyantai plus gak ribet. Ntar kalo pake rok takut keserimpet en jatuh, jalanku kan slebor, ga bisa jalan anggun kayak mbak”

"Eh, tau gak kalo sebagai muslimah kita dianjurkan untuk tidak memakai pakaian yang menyerupai laki-laki lhoh??”, lanjutnya.

"Hmmmm, karena aku pakai celana yah. Iya sih mbak, tapi aku kan udah pakai kerudung. Dan nggak ada tuh laki-laki yang pakai kerudung!” jawabku mencari pembenaran. Mbak Qanitat terdiam, tak ada niat untuk mendebatku lagi. Padahal sebenarnya aku ingin mendengar apa yang akan dikatakannya kemudian. Tapi diskusi itu terhenti begitu saja, dan dia tak pernah lagi menanyaiku tentang hal tersebut.

Waktu terus bergerak tak terbendung, aku mulai asyik dengan kegiatan-kegiatan keislaman di Batam. Mengikuti kajian-kajian rutin di Masjid Nurul Islam, musholla-musholla terdekat dan menjadi pengurus Majelis Ta’lim di perusahaan tempatku bekerja, hingga masuk ke komunitas tarbiyyah dengan kajian rutin pekanannya, masih dengan gaya busana sleborku.

Sementara itu, sisi lain jiwaku masih penasaran dengan pulau batam, jiwa adventure-ku meletup-letupkan rindu untuk bergerak seperti dulu. Lalu Allah mengizinkanku bertemu dengan Satria, Bekti, dan beberapa orang lain yang hobinya sama denganku. Aku bergabung dengan mereka, menyusuri tempat-tempat menawan di pulau Batam dan sekitarnya. Hmmh…, tapi kenapa yach… ada yang aneh, entah kenapa kegiatan ini jadi gak asyik menurutku, padahal aku dulu sering lupa pulang saat sedang bersenda gurau dengan alam. Diam-diam aku jadi sering merenung, membandingkan setiap jengkal langkahku, sekarang dan dulu. Bergaul dengan kaum adam jadi gak enjoy lagi, menyisipkan rasa takut di hati. Padahal mereka begitu menjagaku, sebagai salah satu dari hanya 2 orang wanita di tengah-tengah mereka. Ah, tapi aku tak menghiraukan perasaan aneh itu, dengan terus bertualang menjelajah Batam.

Hingga di suatu hari, sabtu sore yang cerah. Sebelum berangkat mengikuti (PUMA) Pengajian Umum Malam Ahad di Masjid Nurul Islam, aku menyempatkan diri mampir ke Plaza Batamindo. Iseng masuk ke sebuah Butik kecil, melihat-lihat beraneka model baju yang di pajang di sana. Pandanganku beredar ke seluruh penjuru etalase, dan berhenti di salah satu titik. Sesuatu menarik perhatianku, sebuah rok longgar berbahan jeans. “Hmm, bagus sih kelihatannya, semoga gak ribet memakainya”, pikirku. Dan dengan membaca Basmallah akupun membeli rok tersebut, "ahaa... inilah rok pertamaku selepas dari SMU, hehe".

Keluar dari butik, mataku tertuju pada sebuah toko buku, Fatahillah namanya. “Hmhh, come on Dee, kemana aja dirimu, dah hampir satu setengah tahun di Batam tapi baru tahu ada toko Buku di Plaza Batamindo, hihihi… parah!!!”, aku terkekeh dalam hati. Tanpa pikir panjang aku melangkahkan kaki ke sana, sesuai namanya yang islami, toko ini memang menjual buku-buku islam. Ada juga terjemahan kitab-kitab yang pernah ku pelajari sebelumnya di sebuah pesantren, tapi aku sedang tidak ingin membaca sesuatu yang berat. Mataku celingukan mencari buku-buku karya penulis yang ku kenal, namun belum juga menemukan sebuah judul yang menarik hati.

Sesaat rasa letih membawaku duduk di kursi yang tersedia di depan salah satu etalase, mengambil nafas panjang. Dan…ouw… ouw… tiba-tiba ada yang menarik perhatianku, mataku tertuju pada sebuah buku ber-cover merah dengan gambar ilustrasi seorang muslimah sedang menengadahkan kedua tangan, dari jauh tak bisa ku eja dengan baik judulnya. Karena penasaran, aku berdiri dan mendekat. ‘Agar Bidadari Cemburu Padamu’, terbitan Pro-U Media. karya Salim A. Fillah. Hmmm…. baru kali ini aku tahu ada penulis dan penerbit dengan nama tersebut. Aku membalik buku yang masih bersegel itu, dan dengan cermat membaca tulisan di cover belakang. Sebuah resensi yang unik menggelitik.

Ada kata yang merangkum kesetaraan, perhatian, dan cinta
Laki-laki dan perempuan.
Saling mengenal, saling memahami, saling bantu, bergandeng tangan (ups)
Saling menanggung dan cekatan mendahulukan.
Serasi…!
Lalu?
Harusnya kau tahu.
Bidadari bisa cemburu.
Itu tantangan.
Untuk mendekatkan diri dengan nyala suci ruh keshalihan.
Agar Bidadari Cemburu padamu?
Bukan dengan tebar pesona fisik tentu.
Karena pasti muke’ lu jauh, he he he…
Tak jua dengan memenjara diri antara dapur, kelambu dan sumur;
Karena Allah dan Rasul tak pernah bermaksud begitu.

"Klik!”, hatiku langsung jatuh hati dengan gaya tulisannya yang unik dan ‘gue banget’. Yup, oke-lah. Aku langsung membeli buku tersebut dan melesat pulang, menepikan niatku untuk hadir di PUMA. Biarlah, malam ini aku ingin membaca saja.

Sesampai di Dormitory, aku menanggalkan tas jadul-ku dan langsung terpekur di mushalla membaca buku yang baru kubeli. Buku ini menjadi begitu menarik bagiku, bahasanya asyik. Membuatku seperti sedang berbicara dengan sahabat yang telah lama ku kenal. Didalamnya banyak pembahasan yang sebenarnya sudah berkali-kali pernah aku dengar saat kyai dan ustadz/ustadzahku mengajar di pesantren. Tapi entah kenapa, membaca buku ini menjadi sangat berbeda rasanya. Dahsyat, aku merasa seperti di kritik habis-habisan, tapi tak bisa membantah. Sampai pada halaman ke 31, di bab ‘sayang padaku, sayang semuanya’, satu ayat yang sering ku baca dicantumkan.
Dan sungguh, telah kami ulang-ulang bagi manusia di dalam Al-qur’an ini berbagai macam perumpamaan. Dan adalah manusia, makhluk yang banyak membantah!’ (Al-Kahfi:54).

Astaghfirullah….mataku tiba-tiba gerimis, betapa aku sering membantah dan mencari alasan untuk membenarkan pembangkanganku terhadap perintah Allah. Seperti saat mbak Qanitat mengingatkanku untuk tidak memakai pakaian yang menyerupai laki-laki. Aku terus menelusuri kata demi kata, paragraf demi paragraph. Buku ini benar-benar mengajariku tentang dunia muslimah yang sejati. Sejenak aku merasa tersindir, merendah dan kemudian tersanjung dan terpesona. Menyelam dan berenang di laut kasih sayang-Nya, mengenal lebih jauh sosok bidadari langit dan bidadari bumi. Menikmati riak-riak rasa di kelas-kelas cinta. Mengenali hakekat sejati persahabatan agung antara laki-laki dan perempuan dalam ikatan suci pernikahan. Dan aku ingin seperti itu, agar bidadari cemburu padaku.

Robbanaa, aku menghempaskan diri dalam sujud panjang, lalu membuka file-file usang di memoriku. Ku dapati betapa diri ini sangat jauuuh dari seruanMu. Menelantarkan cahaya-cahaya ilmu yang pernah menghampiri di masa remaja dengan ego duniawi-ku. Malam itu aku tertidur dengan bantal yang basah oleh air mata. Jika dituliskan dalam diary, mungkin tak cukup 100 lembar kertas untuk ungkapkan rasa yang bergejolak di hati. Aku merasa baru saja terbangun dari tidur panjang yang melenakan.

Senin pagi yang cerah, dengan ringan aku melangkahkan kaki menuju tempat kerja dengan penampilan baruku. Berpuluh-puluh pasang mata memandang aneh ke arahku, tapi kusapa mereka dengan senyuman.

Banyak kata-kata iseng dari mereka. Ada yang bernada mendukung, sekedar menggoda atau bahkan mencibirku.

“Dee, mimpi apaan semalem. Rok siapa tuh lu pake?”
“Halah, paling cuma bertahan sehari, lagian mana bisa dia lari-lari seperti kemarin-kemarin dengan baju model begituan?”
“Dee cantik koq pake rok, semua wanita terlihat lebih cantik kalau pakai rok!”

Aku tersenyum menanggapinya. Di hari pertama memakai rok dan jilbab lebar, kubuktikan kalau aku tetap lincah bergerak, melesat kesana kemari menyusun laporan produksi, meski sesekali keserimpet juga sih sebenarnya. Tapi kusembunyikan dengan terus bergerak, dan aku mulai berpikir untuk menambah koleksi rok dan baju muslimahku, belajar berjalan lebih hati-hati agar tidak tersangkut lagi, hehehe. “Robb, kuatkan aku untuk istiqomah di jalan-Mu, dan aku ingin mengajak sahabat-sahabat terbaikku, bersama menuju cintaMu, amiin”.
Beruntung aku menemukanmu, sebuah ‘inspiring book’, terima kasih Allah.
Dan aku punya azzam suci, seperti yang ditulis di buku tersebut. “Robbi, bila aku jatuh hati, ku ingin terbang cepat. Hingga syetan tak sanggup hinggap”

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More