Kamis, 23 Desember 2010

Bukan Hanya Di Negeri Dongeng

Oleh: Pujaria Farida

Semua muslim adalah bersaudara. Semuanya, tidak terkecuali. Karunia dan kasih sayang Allah begitu besar. Pasti ada hikmah atas apapun yang menimpa kita. Dan Allah tiada kehilangan cara untuk mendewasakan kita. Perkuat imanmu karena berjumpa dan berpisah itu adalah satu keniscayaan. Jadikan itu semua sebagai kekuatan baru bagi dirimu. Percaya pada Allah dan tawakallah pada-Nya. Karena Allah maha tahu, kapan kita kan dapati hasil perbuatan kita. Bisa jadi, kelak di surga.

Begitulah pesan yang disampaikan seseorang padaku, ukhti, ketika aku terpisah darimu, seorang saudara yang sangat kucintai. Kelompok halaqah kita diatur ulang keanggotaannya, padahal sudah lebih dari dua tahun aku bersama-sama denganmu. Aku sudah sangat nyaman dengan perbedaan kita yang ternyata membentuk satu pelangi yang sangat semarak goresannya. Saat pertama kali mengetahui perpisahan itu aku marah dan terbersit sekerat benci di hatiku, entah pada siapa. Entahkah itu pada orang yang membuat kita terpisah, entahkah itu pada dirimu, atau mungkin malah pada diriku sendiri.

Aku tak tahu kenapa, ukhti, tiba-tiba saja aku merasa bahwa dirimu bersikap berbeda setelah perpisahan itu. Aku tak lagi merasakan hangatnya kebersamaan seperti saat kita masih dalam satu kelompok halaqah. Karena bagiku kesendirian itu lebih menyeramkan daripada tertabrak mobil, maka kebersamaanku denganmu adalah sesuatu yang selalu kurindukan. Saat itu aku bertanya penuh kesal, apakah keindahan ukhuwah itu hanya ada di negeri dongeng?!

Kuakui ada yang tak beres dalam diriku dikarenakan perpisahan yang belum bisa kuterima itu. Ada yang kacau dalam pikiran, perasaan, bahkan imanku. Beberapa jenak aku hanya menunaikan kewajibanku hanya sebagai penggugur semata. Tak kurasakan nikmatnya sujud dan tilawahku. Aku benar-benar kehilangan sehatnya pikirku.

Satu hari aku berkunjung ke pameran buku untuk mencari sebuah buku yang sudah lama kutunggu terbitnya. Sebuah buku yang judulnya sungguh sangat menyentuh hatiku, hati yang rindu akan kehangatan sebuah persaudaraan. Buku yang penulisnya banyak menyinggung potongan kisah Rasulullah dan para sahabat, Salim A. Fillah. Buku itu, Dalam Dekapan Ukhuwah.

Begitu buku itu tersedia untuk dibeli, aku langsung membeli dua buku. Satu untuk kumasukkan dalam daftar koleksiku, satu lagi untuk kuberikan padamu, ukhti, saudaraku yang sungguh kucintai. Entah kenapa aku ingin sekali memberikan buku itu sebagai hadiah untukmu, sayang.

Kubungkus buku itu dengan sepenuh perhatianku. Kulipat kertas pembungkusnya sedemikian rupa dan kutulis sebait kata untuk kuselipkan dalam buku itu. Sebait rinduku padamu. Sebait harapku agar aku bisa kembali semula, menjadi seorang muslimah yang mandiri dan berpijak di landasan yang kuat, syari’at islam, bukan hanya kenyamanan perasaanku semata.

Tak kutuliskan namaku dalam bungkusan maupun surat itu. Aku tak tahu alasannya, aku hanya menurutkan apa yang dibisikkan hatiku. Kutitipkan bingkisan itu pada teman kita yang tinggal satu atap denganmu di pondok pesantren itu. Ada satu kelegaan di hatiku, setelah yakin bahwa kau telah menerima hadiahku. Hadiah kecil perwujudan rindu dan sayangku padamu.

Sampai beberapa hari setelah bingkisan itu sampai di tanganmu, aku mengirimu pesan, menanyakan tentang sesuatu hal. Kau menjawabku, dan di akhir pesanmu kau tuliskan, “Jazakillah khair untuk bukunya ukhti sayang. Suka banget…” Penuh penasaran aku bertanya, “Tahu dari mana, ukhti?” Sebab tak ada tulisan atau apapun yang menunjukkan bahwa akulah yang mengirim hadiah itu. Teman yang kutitipi itupun sudah kupesankan agar tidak memberitahumu bahwa buku itu dariku. Sejenak aku menunggu, pesan balasanmu masuk jua ke ponselku. “Feeling, ukhti,” dengan sebuah simbol senyum di penghujungnya.
Aku mersa biasa saja, tidak ada yang istimewa.

Hari-hari berikutnya kusibukkan diriku dengan membaca buku bercover hitam itu. Tidak hanya sekali, ukhti, tapi sampai tiga kali, bahkan sekarang aku tengah membaca untuk yang keempat kali. Bukan karena aku belum bisa menangkap apa yang dipaparkan buku itu, sungguh bukan. Aku membacanya berulang karena sungguh isi buku itu menyentuh sudut terdalam hatiku. Sisi yang telah kering selama beberapa jenak tanpa guyuran taujih keimanan.

Potongan-potongan kisah itu, ukhtiku sayang, sungguh membekas dalam pikir dan hatiku. Kisah tentang kemuliaan Rasulullah, keutamaan Abu Bakar, keberanian Umar, kelembutan Utsman, dan kecerian Ali. Tak ketinggalan pula lika-liku persaudaraan Muhajirin dan Anshar. Sungguh, aku merasa malu. Kupikir berat sekali perpisahan yang kudapati denganmu, padahal apalah arti perpisahan itu dibanding dengan penderitaan orang-orang mulia jauh sebelum kita?

Betul sekali, ukhti, apa yang dulu seseorang bilang padaku, bahwa berjumpa dan berpisah adalah suatu keniscayaan. Bahwa itu adalah salah satu cara Allah mendewasakanku. Bahwa berbaik sangka atas rencana yang telah Allah gariskan adalah cerminan hasilnya. Sekarang aku baru paham isi pesan yang dulu disampaikan buatku itu.

Ada bagian-bagian dari buku itu yang menusukku tepat di ulu hatiku, ukhti sayang. Goresan kata yang menyentuh rasa malu sekaligus rasa sakitku atas keluhan yang selama ini terlontar dari bibirku. Kata-kata yang membuatku bergetar, jantungku berdetak tidak teratur saat aku membacanya.

ya, kubaca lagi firmannya, “sungguh tiap mukmin bersaudara”
aku makin tahu, persaudaraan tak perlu dirisaukan

karena saat ikatan melemah, saat keakraban kita merapuh
saat salam terasa menyakitkan, saat kebersamaan serasa siksaan
saat pemberian bagai bara api, saat kebaikan justru melukai
aku tahu, yang rombeng bukan ukhuwah kita
hanya iman-iman kita yang sedang sakit, atau mengerdil
mungkin dua-duanya, mungkin kau saja
tentu terlebih sering, imankulah yang compang-camping

Tepat seperti apa yang kurasakan saat perpisahan kita kemarin, ukhti. Maka aku mulai mengevaluasi apa yang sebenarnya menyebabkan dulu aku sempat mempunyai rasa benci tak beralasan itu. Dan kini aku tahu, bahwa yang tidak beres itu ternyata ada dalam diriku, dalam imanku, bukan dalam ukhuwah kita.
Maka setelah membacanya aku menangis, teringat pesanmu “Feeling, ukhti.” Aku baru merasakan getar itu sekarang. Getar keindahan berbagi dengan saudara. Maka pada hari itu, sembilan hari selepas peringatan hari lahirmu, aku tergerak untuk memberimu sebuah hadiah lagi. Hadiah untuk peringatan hari lahirmu.
Sejak pagi aku menyibukkan diri dengan membuat coklat khusus buatmu. Satu lempeng coklat dengan gambar muslimah berjilbab yang sedang tersenyum. Aku teringat kau pernah berkata, “Kadang aku capek, ukh, dengan amanah-amanah yang sekarang kujalani.” Maka di atas coklat itu kutulisi, “Tetap semangat Aisy-ku. Allah selalu bersamamu.”

Kubungkus coklat itu dengan bungkus yang desain dan pembuatannya kupersiapkan sepenuh seriusku. Kuikat bingkisan itu dengan pita biru, warna kesukaanmu. Menjelang Ashar, bingkisan itu sudah siap untuk kuberikan padamu.

Tapi selepas Ashar, hujan deras mengguyur bumi, ukhti. Sempat kuberpikir, biar besok saja kuberikan bingkisan itu selepas kuliahmu di kampusmu. Tapi siapa aku berani menjamin bahwa besok aku masih hidup? Maka kubulatkan tekad dan keberanianku. Kukayuh sepeda tuaku di bawah titisan air yang tercurah dari langit itu untuk menuju pondok pesantren tempatmu menuntut ilmu.

Kau memarahiku saat aku tiba di pondokmu dengan rok yang basah kuyup. Kau berkeras memaksaku mengganti pakaianku, tapi aku berhasil menunjukkan bahwa bajuku tidak basah. Kita akhirnya berbincang tentang banyak hal di sore yang membadai itu.

Kuberikan surat yang menjelaskan apa yang tengah kurasakan tentang ukhuwah kita. Kau menangis tersedu. Aku bertanya, rasa apa yang tengah kau rasakan sampai kau tersedu seperti itu? Kau bilang, “Tidak perlulah sebuah nama untuk rasa ini, cukup kita rasakan saja, ukhti, rasakan saja,” ujarmu sambil mencoba tersenyum.
Maka sore itu kubuktikan sendiri bahwa keindahan ukhuwah itu sungguh ada, bukan hanya di negeri dongeng.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More