Senin, 10 Januari 2011

Aku Ingin Menikah


Oleh: Eka Nur Apiyah

Pikiranku  sangat resah, ada sesuatu hal besar yang membuat hatiku jadi begitu gundah. Sebuah keinginan yang sudah lama terpendam, namun aku tak berani mengungkapkannya pada ayah dan ibuku. Karena aku merasa belumlah pantas mendapatkan hal itu.

Pagi itu pikiranku masih kacau, bahkan tugas kuliahku pun belum kelar. Anganku menerawang jauh, pada sebuah mahligai kebahagiaan. Bayangan pernikahan  menari di pelupuk mataku. Ah, astaghfirulloh! Segera kuhapus bayang semu itu, tak baik berangan- angan.

Perlu diketahui, aku adalah orang yang sangat sensitif. Terkadang aku terlalu peka terhadap sesuatu. Bahkan aku terlalu percaya pada imajinasi dan pikiranku sendiri. Apalagi masalah siapa nanti jodohku. Ya, aku punya keinginan untuk nikah muda saat itu. Sejak lulus SMA sudah ada orang yang mengajakku menikah, namun aku menolaknya dengan alasan aku masih ingin kuliah. Padahal alasan sebenarnya bukan itu. Lagi- lagi bayangan nikah muda menari di pelupuk mataku, hingga akhirnya buku itu jatuh ke tanganku. Aku masih membacanya. Buku Barokallohu Laka, Bahagianya Merayakan Cinta karya Salim A. Fillah itu membuat keinginanku untuk nikah muda kembali menghantui pikiranku.

Segera ku tepis bayang itu. “ Selesaikan kuliahmu dulu Nduk?” itulah kata yang diucapkan ayah ketika aku menyatakan keinginanku untuk nikah muda. Tapi, sungguh buku itu membuatku terseret pada impianku yang dulu untuk merangkai keluarga sakinah di usia yang belia. Namun aku tak boleh larut, segera kuambil wudhu dan memohon petunjuk pada Sang Maha pemilik Cinta dalam sujud syahduku. Lirih aku berdoa. “ Ya Allah, sungguh keinginan hamba untuk menikah saat ini begitu kuat. Tunjukkan padaku di mana jodohku Ya Allah! Pertemukanlah hamba dengan seorang laki-laki yang mampu menggetarkan hatiku”.

Pulang kuliah. Ternyata Allah mengabulkan doaku. Entah apa yang membuatku yakin bahwa laki-laki itu adalah jodohku. Laki-laki itu tiba-tiba ada di hadapanku, lelaki yang selama ini menghantui pikiranku ketika SMP dulu. Ya Allah kenapa kebetulan sekali dia hadir di kampusku, di saat aku sedang menantikan datangnya pangeran berkuda putih yang akan menjemputku menuju mahligai kebahagiaan. Perasaanku tak karuan ketika mata ini bertatap dengan wajahnya, segera kualihkan pandangan.

“ Hai, assalamu’alaikum.” Hanya kata itu yang terucap ketika berpapasan dengannya. Aku segera beranjak dari hadapannya, aku takut dia melihat kegugupanku. “ Ya Allah benarkah dia jodoh yang Kau kirim untukku?” Ah mengapa aku terlalu yakin pada firasat yang belum tentu benar?

Tit…tit…tit…tit. Sebuah pesan masuk ke dalam ponselku. Sungguh, isi pesan itu membuatku terbelalak. Tak percaya! Kulirik buku bersampul merah itu, seolah tersenyum padaku.  Kubaca pesan itu sekali lagi, “ Nur, maukah kau menikah denganku?” Seluruh persendianku terasa lepas dari pusatnya. Aku masih tak percaya, kalau Allah secepat ini akan mengabulkan doaku.

Pesan tadi datang dari seorang lelaki yang kukenal baik selama SMA dan dia juga satu kampus denganku. Bayangan teman SMP tadi segera terhapus oleh isi pesan dari teman SMA ku. MasyaAllah, kekalutanku semakin menjadi. Haruskah aku menerima ajakan itu? Aku tak peduli dengan siapapun aku menikah yang penting dia sholeh dan mau menerima kondisiku yang masih kuliah. Tak lama kemudian, sebuah pesan datang lagi. Kubuka dengan hati berdebar. Namun debarku kali ini membuatku kecewa. “ Gimana Nur, mau menikah denganku kan? Tapi tunggu tiga tahun lagi ya?”.

“ Kamu sudah mantap dengan keputusanmu Nur? Nantinya tidak nyesel kan?”
“ InsyaAllah tidak Bu? Aku sudah mantap dengan keputusan yang kuambil. Terimakasih atas nasehat ustadzah.”

Aku segera berlalu dari hadapan guru ngajiku itu, dengan langkah gontai kutinggalkan rumahnya. Jilbab lebar hitamku berkibar tertiup angin, begitu juga dengan gamis hitamku terayun alunan pilu sang angin. Kupercepat langkah menuju kos, ingin segera kutumpahkan isi hati. Tak kuasa lagi aku menahan beratnya butiran kristal yang sempat kutahan dihadapan guru ngajiku.

Kurebahkan badanku pada ranjang kamarku yang sunyi. Ku buka ponsel kemudian kurangkai kata yang mewakili isi hatiku, menjawab kegelisahan akan impian yang tertunda.
“ Maaf aku belum bisa memenuhi keinginanmu, dan akupun tak sanggup jika harus menunggumu selama tiga tahun. Carilah wanita yang lebih baik dan sanggup menunggumu selama tiga tahun lagi.” Kukirim pesan itu pada laki-laki yang kusangka akan menggenapkan separuh dienku, teman SMA yang sudah lama kukenal.

Kini aku lega. Kini aku sadar. Pernikahan itu jangan ditunda namun jangan pula kita terburu-buru melakukannya. Persiapkan benar-benar jika engkau hendak menikah, jangan hanya memenuhi hasrat sesaat lalu kita melupakan hal yang lebih penting kita siapkan untuk menghadapi bahtera rumah tangga. Mungkin inilah pelajaran dari Allah untukku, jangan terlalu memaksakan diri jika engkau belum sanggup menahan bebannya.

Kuambil buku bersampul merah itu. Barokallohu Laka, Bahagianya Merayakan Cinta. Akan terasa benar- benar bahagia ketika kita meyiapkannya dengan matang. Kutaruh buku itu pada rak yang paling dalam, suatu saat nanti kau pasti akan kubaca lagi. Tunggulah saatnya!.


1 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More