Jumat, 17 Desember 2010

Kala Gerimis Turun

Oleh: Arika Aryandani


Bogor memang pantas digelari kota hujan. Sudah berulangkali aku harus mengunjungi kota ini dan berulangkali pula hujan menyapaku. Seperti sore ini, gerimis kembali turun. Selasar bangunan yang berkelok-kelok dengan tiang-tiang kayu berjajar telah sepi dari orang yang berlalu lalang. Dingin dan murung. Ya, warna gerimis senantiasa  buram di mataku. Aku memandangi ruangan luas berlantai putih berdinding krem di sekelilingku yang kian kuakrabi. Bahkan harum ruangan ini  semakin tak asing lagi  bagi indera penciumanku.

Berderet-deret kursi di hadapanku telah terisi oleh para wanita. Ada yang mengelus-elus perutnya, ada pula yang menggenggam erat tangan pasangannya tanpa berkata-kata. Sebagian yang lain tampak terlibat dalam pembicaraan yang diselingi gelak tawa. Sesaat kemudian pintu ruang praktik Dokter Spesialis Kandungan di depanku terbuka.

“Nyonya Mira,” panggil seorang suster sembari menengok ke kiri dan ke kanan.
 Seorang wanita bertubuh gemuk dengan perut membuncit bangkit dari kursinya. Senyuman masih tersungging di bibir wanita itu sampai ia memasuki ruang praktik dokter.

Deretan kursi yang aku duduki hanya terisi dua orang, yakni aku dan seorang wanita muda. Seperti halnya aku yang asyik dengan pikiranku sendiri, wanita muda itupun tengah asyik dengan majalah di tangannya. Seorang suster berambut pendek  asyik pula menonton televisi yang tergantung di langit-langit, tak jauh dari tempat dudukku. Di sisi kanan kami adalah ruang praktik Dokter Spesialis Bedah Onkologi. Mungkin inilah yang membedakan suasana hatiku dengan wanita-wanita di depan kami. Wanita-wanita itu tengah menanti sebuah hal yang membahagiakan, yakni kelahiran si kecil. Sedangkan aku tengah menanti giliran dipanggil dokter spesialis penyakit yang menyeramkan bagi sebagian orang. Aku terdiam. Sedangkan wanita di sampingku pun terdiam. Ia paling-paling hanya datang untuk pemeriksaan dini. Toh zaman sekarang semakin banyak wanita yang sadar akan kesehatannya. Sekilas aku amati wanita muda itu. Ia cukup cantik, bertubuh langsing, dan berpakaian modis. Sungguh kontras dengan keadaanku yang telah kehilangan sebagian besar rambutku   dan harus menerima bagian tubuh yang tidak sempurna akibat operasi.

Jarum jam di dinding terus bergerak. Sudah pukul empat, dan dokter yang kami tunggu belum juga datang. Aku menghela nafas. Seandainya suamiku bersamaku tentu aku tidak kesepian seperti sekarang. Sayang, ia tidak boleh mengajukan cuti hari ini. Wanita muda disampingku duduk menyilangkan kakinya dengan tangan terlipat. Matanya menatap lantai. Tampaknya kami sama-sama malas untuk memulai pembicaraan.    

Dari ujung lorong terdengar keramaian kecil. Aku menoleh. Seorang wanita berkacamata tengah berjalan sambil menggandeng jagoan ciliknya yang sibuk melompat-lompat. Ia mengenakan jilbab hijau dipadu dengan gamis hijau yang cerah.  Wanita itu berjalan bersisian dengan seorang laki-laki yang kuduga adalah suaminya.

“Aih, Ibu tambah gemuk saja lho..,” ucap seorang suster.
“Hai..si Aa udah besar, ya…,” sapa seorang suster lainnya sembari berjongkok menyapa si jagoan cilik.

Wanita itu menjawab semua sapaan yang diterimanya, terkadang dibarengi dengan obrolan ringan. Ia sibuk bersalaman dengan orang-orang yang berpapasan dengannya. Lelaki di sampingnya pun tak kalah mengumbar senyum. Sesekali ia melontarkan si jagoan cilik ke udara. Pasangan itu semakin mendekat ke arah kami.

“Ya..hilang deh gambarnya…,” keluh suster berambut pendek sembari menggerak-gerakkan  antena televisi.
“Wah, kabur betul gambarnya…,” ujar lelaki itu, sambil ikut mencoba membetulkan saluran televisi.
“Iya nih Pak, padahal lagi seru. Mumpung dokternya belum datang…Eh..jagoan kecil, kamu sudah gede ya…,”ucap suster tersebut,”Ibu, gimana kabarnya, sehat kan?”

Lagi-lagi wanita berjilbab hijau itu mendapat sapaan yang hangat. Kembali aku menduga-duga bahwa suaminya adalah dokter yang bertugas di rumahsakit ini sehingga wajar jika mereka  cukup dikenal.  Kulihat wanita itu tak pernah melepaskan senyum dari bibirnya, dan ia selalu menatap mesra suaminya. Ah, indahnya hidup mereka. Mereka sungguh pasangan yang ideal.

Akhirnya wanita berjilbab hijau itu memilih tempat duduk di sebelahku. Kami saling tersenyum. Ia bertanya padaku,”Sakit apa?”
“Kanker payudara,”jawabku dengan enggan, “Ibu sendiri?”
“Kanker payudara juga,”ucapnya sambil tersenyum.
“Sudah dikemo?”
“Sebelas kali,” jawab wanita itu seraya mengangkat seluruh jari tangannya.
Masya Allah, sudah sebanyak itu. Bagaimana ceritanya, Bu?” kataku terkejut,
seakan tak percaya wanita segar bugar ini telah melewati sekian kali kemoterapi. Wanita itu bertutur bahwa kanker yang dideritanya sudah mencapai stadium IV. Ketika tengah menjalani pengobatan ia menyadari bahwa dirinya hamil, namun ia tak mau menggugurkan kandungannya. Alhasil ia menjalani kemoterapi dalam keadaan mengandung.
Alhamdulillah anak kedua saya lahir selamat. Cantik lagi,” ucapnya dengan senyum mengembang.

Bayinya lahir melalui operasi Caesar, dan setelah itu Allah mengujinya lagi: sang bayi terkena penyakit hydrochepalus.
Sampai akhirnya dokter  menjadwalkan wanita itu untuk  dioperasi.
“Saat itu putri kami sedang berada di ruang ICU, operasi kepalanya merupakan keharusan. Saya sungguh bimbang, saya sendiri juga harus segera dioperasi. Akhirnya saya dan suami memutuskan untuk menunda operasi agar bisa lebih berkonsentrasi pada anak kami. Dokter yang merawat saya terkejut karena operasi tidak boleh ditunda-tunda. Ia khawatir penyakit saya akan semakin menyebar. Tetapi setelah dijelaskan tentang keadaan anak kami, akhirnya dokter dapat memaklumi”.

 “Subhannallah, Ibu kuat sekali,” kataku tulus.
“Ah, tidak. Biasa saja. Yang penting dijalani. Nikmat kok rasanya. Hitung-hitung sekalian penghapus dosa. Alhamdulillah saya diberi kemudahan oleh Allah. Saya tidak merasakan sakit sedikitpun pada luka bekas operasi. Allah Maha Besar.”

Aku mengangguk-angguk. Aku sungguh mengagumi semangatnya.
 “Saya sudah betahun-tahun menjalani pengobatan di sini, jadi sudah banyak yang kenal dengan saya.  Dokternya juga bagus dan baik orangnya. Alhamdulillah, ikhtiar kami membawa hasil.”  
 Wanita itu  tak henti-hentinya memuji  sang suami yang setia mendampinginya melewati masa-masa penuh cobaan. 
Support beliau sungguh luar biasa, membuat saya mampu menghadapi semua ini dengan optimis,” ucapnya lagi dengan mata bersinar.

Tiba-tiba wanita muda di sebelahku berkata dengan suara bergetar,”Ibu maaf, bagaimana gejala awalnya sampai diketahui bahwa benjolan itu adalah kanker?”
Wanita muda itu bertutur bahwa ia sudah cukup lama merasakan ada benjolan di payudaranya. Namun dibiarkannya saja sampai akhirnya benjolan itu terlihat secara kasat mata dan terasa nyeri. Baru kali ini ia memiliki keberanian untuk memeriksakan diri ke dokter.

“Dulu saya gemuk, Bu. Berat saya 80 kg. Sampai akhirnya menyusut menjadi 50 kg. Padahal tidak ada yang berubah dengan pola makan saya. Saya tetap suka makan, saya tetap bekerja untuk menghidupi anak saya,” urai wanita muda itu.
“Saya tidak tahu sebabnya. Saya ngeri membayangkan terkena kanker payudara. Saya single parent, Bu. Anak saya baru berumur lima tahun. Mungkin Ibu dapat membayangkan kondisi saya. Di saat saya membutuhkan seseorang untuk berbagi, saya harus menghadapi masalah ini seorang diri…,” ucap wanita muda itu tercekat.

Aku terpana mendengar ceritanya. Dugaanku terhadap dirinya ternyata salah besar.  Wanita muda ini tengah dibayangi ketakutan terkena penyakit yang menjadi momok wanita, seorang diri. Akhirnya aku berucap,”Allah memberi kita cobaan seperti ini karena Allah tahu kita mampu menanggungnya.”

Wanita muda itu mengangguk lemah. Sesungguhnya ucapan itu lebih kutujukan  pada diriku sendiri.
“Tenang saja Mbak. Yang penting Mbak harus semangat, jalani saja. Toh penyakit itu sudah menempel di tubuh kita, mau bagaimana lagi? Yang penting kita ikhtiar dengan berobat,” ucap wanita berjilbab hijau. Kami berdua mengiyakan ucapannya.
“Kalau dituruti rasanya mau mati saja. Tapi saya ingat suami dan anak-anak, jadi saya paksakan harus kuat. Biar mual sampai muntah-muntah, saya tetap makan yang banyak, supaya tubuh ini kuat. Lihat saja, kepala saya masih botak, nih. Tangan hitam-hitam karena sering diinfus. Mata saya jadi pakai kacamata plus, mungkin karena efek pengobatan ini. Tapi nggak apa-apa Mbak, asal dijalani dengan yakin insya Allah sembuh, “ sambung wanita itu dengan tidak meninggalkan senyumannya.  
“Ibu hebat sekali, kuat sekali. Saya sampai merinding mendengar cerita Ibu,” ujar wanita muda itu.  

Beberapa saat kemudian suster berambut pendek memanggil sebuah nama. Rupanya dokter yang kami tunggu sudah berada di dalam ruang praktik. Wanita muda itulah yang dipanggil. Ia bangkit dari kursinya dan bergegas  memasuki ruangan.


Kami, tiga wanita, dipertemukan Allah dalam kesempatan tak terduga. Berbagi pengalaman ternyata cukup ampuh untuk saling menguatkan. Berbagi pengalaman membuatku sadar bahwa aku tidak sendiri. Penyakit yang ada pada kami adalah takdir yang tidak terelakkan.  

Seketika aku teringat akan suamiku. Kesabaran dan ketulusannya dalam mendampingiku menghadapi masa sulit sungguh amat berarti. Pelukan cinta dan tatapan matanya mampu meneduhkan hatiku yang dilanda gelombang. Ia dapat mengimbangi kecemasanku dengan  ketenangan yang terpancar di wajahnya. Benar kata Dwi Budiyanto dalam bukunya Segenggam Rindu untuk Istriku : Kebersamaan dan ketenangan menjadi karang yang menghadang gulungan gelombang yang menerjang. Menghadapi masalah dengan sudut pandang positif akan lebih mematangkan jalinan cinta dan mendewasakan kita dalam bersikap. Orang sering memesankan, “Anda bisa mengeluh karena mawar berduri, atau berbahagia dan takjub karena  duri berbunga mawar.”

Aku belajar banyak dari wanita berjilbab hijau tentang keindahan cinta. Ternyata cinta memang harus disyukuri, tak hanya saat berkah Allah menghampiri, namun juga  ketika  kita disentil oleh kesedihan. Kesedihan yang membuat takjub karena ia mampu berbunga cinta yang seindah mawar.

Bogor sungguh merupakan kota hujan. Dari jendela aku melihat langit semakin jingga. Gerimis masih turun mengguyur kota. Kali ini di mataku warna gerimis tak lagi buram namun cerah dengan pulasan jingga.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More