Rabu, 29 Desember 2010

Ketika Allah SWT Mengajariku Untuk Bersyukur

Oleh: Epsi Euriga

Dor dor dor!!!! Buka!! Buka!!! Beberapa orang menggedor-gedor pintu kereta ekonomi ini. Aku semakin meringkuk ketakutan sambil menjaga kandunganku. Kulihat orang-orang semakin brutal meminta pintu kereta dibuka. Tampak seorang ibu menggendong bayi yang masih kecil. Di stasiun Jatinegara memang seringkali terjadi seperti ini, entah sudah berapa kali. Akhirnya pintu kereta dibuka oleh Bapak-Bapak yang berdiri dibelakangku, dan aku tetap duduk di tangga pintu kereta api.

“Hei mba, berdiri dong! Mau lewat saya!” Kata Bapak-Bapak yang hendak naik kereta. Didorongkannya tas-tas yang berat ke dalam ruang kereta yang penuh sesak. Toiletpun sudah terisi beberapa orang dan barang-barang.

“Maaf Pak, saya lagi hamil.” Jawabku sekenanya. Orang-orang terheran-heran melihatku yang tengah hamil besar namun nekat naik kereta ekonomi Progo, tapi apa daya. Akhirnya kereta kembali berangkat, udara serasa lebih segar ketika kereta berjalan dibandingkan kereta berhenti. Setiap malam Sabtu, aku menjadi pelanggan setia kereta api ekonomi Progo demi bertemu anak-anakku dan suamiku meskipun aku tengah hamil 8 bulan.

“Kopi-kopi!” “Pop Mie Pop Mie” Pocari- Pocari” “ Nasi-Nasi”

Perjuangan malam itu belum berakhir, disetiap pemberhentian pedagang-pedagang selalu nekat masuk ke kereta. Para penumpang kereta yang tadinya duduk diantara dua gerbong beranjak berdiri karena tidak ingin terinjak-injak, sementara aku nekat tetap duduk. Tapi terkadang aku salut dengan para pedagang itu, meskipun berdesak-desakan, mereka tetap sabar berjualan, demi mencari sesuap nasi.

“Mba, berdiri dong!” Kata seorang penjual.
“Mbaknya lagi hamil.” Kata penumpang lain yang berusaha membelaku. Meski demikian kakiku terinjak-injak oleh kaki para penjual. Aku hanya bisa menahan sakit, dan sesekali perutku terasa sakit karena kontraksi. Kadang-kadang timbul pikiran negative, kalau-kalau aku melahirkan di kereta.
“Semoga engkau sehat-sehat saja nak, maafkan ibumu ini.” Gumamku dalam hati.

Lama sudah kami berhenti, kereta tak kunjung berangkat. Kereta ekonomi memang sering berhenti karena mendahulukan kereta eksekutif. Yang menjadi keherananku adalah kereta ekonomi dikurangi, padahal penumpangnya sangat banyak. Kereta selalu penuh sesak meskipun bukan hari lebaran. Pernah aku mengira di hari selain Sabtu atau Minggu penumpang kereta pasti sepi, ternyata kereta tetap penuh sesak meski di hari-hari biasa. Harga tiket yang cukup murah yaitu hanya Rp38.000., membuat kereta Progo menjadi pilihan orang-orang yang tak berduit. Sangat disayangkan jika lebaran tiba pasti ada tambahan gerbong untuk kereta-kereta eksekutif, namun tambahan untuk kereta ekonomi hanya sedikit sekali.

“Ibu besok pulang ke Jakarta naik eksekutif aja, kasian bayi yang didalam sama Ibu.” kata suamiku sesampainya di di rumah. Dulu aku memang selalu menaiki kereta eksekutif atau bahkan pesawat terbang jika mengadakan perjalanan dari satu kota ke kota lain. Namun semenjak aku keluar dari tempat kerjaku yang lama dengan niat berhijrah aku harus naik kereta ekonomi, karena gajiku tidak dibayar-bayar juga.

“Tidak usah Pak, ibu masih kuat, kalaupun harus naik kereta eksekutif, nanti kita tidak punya uang lagi buat makan.” Ucapku, kulihat anak-anakku Aisy yang berusia empat tahun dan Arrum yang berusia dua tahun tampak begitu gembira melihat kedatanganku, mereka saling berebutan ingin kupeluk karena rindu padaku.


“Ya kalau begitu, Ibu tidak usah pulang setiap minggu.” Kata suamiku lagi.
“Ibu tidak tega sama anak-anak, Pak.” Timpalku.
“Ibu, gak usah kerja ke Jakarta, aku pengennya ada Ibu sama Bapak.” Kata Aisy anakku yang paling besar.
“Iya, nak.” Kataku tak berdaya mendengar kata-kata anakku.

Malamnya aku beserta suami dan anak-anakku ke dokter spesialis karena kandunganku sudah memprihatinkan, kontraksi terus-menerus dan selalu keluar cairan yang kukira ketuban. Tadinya aku tidak mau, karena untuk ke dokter spesialis bisa berkali-kali kugunakan untuk pulang pergi Jakarta-Jogja menggunakan kereta.

“Kandungan ibu sehat, ketuban cukup, ibu hanya kelelahan dan sebaiknya beristirahat.” Kata Bu dokter sembari memeriksa perutku menggunakan USG.
“Anaknya sepertinya laki-laki.” Tambah Bu dokter. Ditunjukkan dalam layar kaca dihadapanku dengan jelas kelamin jabang bayi, meski aku sendiri tidak menanyakannya.

Hal ini menguatkan tentang mimpiku setahun lalu, dimana aku bermimpi melahirkan seorang anak laki-laki dengan nama Ridh. Dan hal ini pula mengingatkanku tentang Zakaria yang diperintah Allah swt untuk memberi nama anaknya Yahya. Maklum anak pertama dan kedua kami perempuan, sehingga dokter merasa perlu mengatakannya kepada kami. Meski sebenarnya aku bersyukur dikaruniai anak laki-laki maupun perempuan. Akupun telah bertekad akan member nama Ridh jika benar-benar anakku yang ketiga laki-laki. Kadang aku berpikir, apa hikmahnya nama tersebut.

Hari Minggu telah datang, satu malam di Jogja tidak bisa mengobati kerinduanku pada anak-anak dan suamiku. Kupandangi anak-anak yang tengah tidur terlelap sebelum aku beranjak untuk sholat Tahajud. Semenjak kepindahanku ke Jakarta, aku tidak berani meninggalkan sholat Tahajud dan Dhuha, dan tak tanggung-tanggung aku selalu mengerjakan 12 rakaat untuk Dhuha dan 8 rakaat untuk Tahajud ditambah witir tiga rakaat. Ditambah lagi doa Al-Matsurat dan ibadah sunah lainnya. Karena aku tidak tahu lagi siapa yang menolong kami dari permasalahan ini. Aku selalu memohon petunjuk pada Allah swt agar memilih yang terbaik bagi keluarga kami.

Aku dan suamiku memang dalam kebingungan menentukan pilihan, haruskah meninggalkan Jogja demi pekerjaanku sehingga suamiku harus meninggalkan pekerjaannya ataukah meninggalkan pekerjaanku dan kembali ke Jogjakarta mengingat biaya hidup di Jakarta yang amat sangat mahal dan lingkungannya yang tidak cocok untuk pendidikan anak-anak.

Sebelumnya, Arrum dan Aisy pernah ikut aku selama dua minggu di kamar kontrakan di Jakarta. Kamar tersebut dilengkapi kamar mandi dan sisa ruangan untuk memasak. Hanya saja aku harus tidur di atas lantai, kasur satu lembar tanpa dipan kugunakan untuk tidur Arrum dan Aisy. Setiap hari aku bangun pukul satu malam, dengan alat seadanya aku menyiapkan makanan untuk sarapan anak-anak, karena tak mudah mencari warung sehat di Jakarta. Aku hanya membawa dua panci kecil yang kugunakan untuk memasak air, nasi dan menggoreng makanan, meski fungsinya bukan untuk itu. Ketika memasak aku teringat rumah di Jogja, dimana aku biasa memasak berbagai jenis masakan dengan mudah dan dengan alat-alat yang memadai. Betapa aku dulu kurang mensyukurinya.

Sesekali aku memasak diselingi tangisan Arrum yang menangis kepanasan karena kurangnya ventilasi di kamar kontrakan. Padahal di Jogjakarta, kami tidur menggunakan pendingin ruangan. Sehabis memasak, aku menjemur pakaian di ruangan menjemur di lantai atas yang kucuci pukul Sembilan malam hari sebelumnya ketika anak-anak sudah tidur. Tak jarang aku dapati jemuranku basah tersiram air hujan sepulangnya dari kantor, padahal baju kami sangat sedikit. Aku kembali teringat mesin cuci yang menganggur dirumahku di Jogjakarta.

Pada pukul lima aku bangunkan anak-anak untuk segera mandi dengan air dingin, padahal biasanya mereka mandi air hangat. Namun mereka terlihat senang bermain air, mungkin karena merasa gerah sehingga mereka tidak merasa kedinginan mandi dengan air dingin. Setelah mandi, kukemas nasi dan perlengkapan pakaian, lalu kugendong Arrum meski sebenarnya aku kepayahan karena perutku yang semakin besar, namun suasana hiruk pikuk selama perjalanan menuju ke kantor memaksaku untuk menggendong Arrum. Aku harus menaiki angkutan umum bersama Arrum dan Aisy selama tiga puluh menit ke kantor karena macet, padahal jika menggunakan motor mungkin hanya dibutuhkan waktu lima menit. Setiap hari kerja kubawa Arrum dan Aisy ke kantor untuk dititipkan ke penitipan anak di lantai satu tempat aku bekerja, tak jarang kulihat orang-orang melihatku keheranan atau dengan pandangan kasihan karena perutku yang besar karena hamil, masih menggendong balita ditambah menuntun Aisy dan membawa tas pakaian anak-anak dan juga tas kerja menyeberangi lampu merah dan mengejar angkutan.

Sesampainya di halaman kantor yang luas, baru kuturunkan Arrum untuk berjalan sendiri. Kantor tempatku bekerja memang sangat indah, ada danau, ada angsa, semua terlihat hijau meskipun terletak di Jakarta.

“Ibu, Aisy tidak mau sekolah.” Tiba-tiba Aisy berhenti menarik-narik tanganku. Aisy selalu protes jika diajak ke TPA. Aku menilainya sangat wajar karena mereka kurang diperhatikan oleh pengasuhnya, sangat berbeda dengan guru-guru TPA di Jogjakarta.
“Nanti Ibu jemput lagi kok.” Kataku berusaha merayu.
“Gak mau.” Kata Aisy sambil menahan langkahnya.
“Nanti Ibu belikan oleh-oleh, Ibu cuma bekerja diatas, Aisy dibawah, nanti Ibu tengok kalau istirahat ya?.” Aku kembali membujuknya.

Akhirnya Aisy mau berjalan kembali. Sesampainya di Gedung kubawa mereka ke TPA lalu kusuapi dengan nasi bekal yang telah kubawa, sambil menunggu jam masuk kantor. Terkadang aku kecewa sekali dengan para guru-guru di TPA tersebut, aku pernah menjumpai Aisy dibiarkan tidur dilantai bersembunyi dibawah mainan perosotan, entah mengapa mereka tidak mau memindahkannya ke tempat tidur. Aku hanya bisa menangis. Pernah juga kudapati Arrum suaranya habis, rupanya dibiarkan menangis terus-menerus oleh guru TPA-nya, aku mendapatkan laporan dari temanku yang juga menitipkan anaknya di TPA. Aku sangat kasihan dengan anak-anakku, karenaku mereka jadi menderita. Belum lagi jika malam tiba, mereka selalu memanggil-manggil Bapaknya sambil menangis.

“Aisy mau sama Bapak saja di Jogja?” tanyaku kepada Aisy.
“Nggak mau.” Jawab Aisy.
“Terus maunya sama Ibu?” Tanyaku lagi.
“Nggak mau.” Jawab Aisy lagi.

Aku hanya kebingungan dan ingin menangis melihat Aisy menangis.
“Aisy maunya sama Bapak tapi ada Ibu di rumah kuning, sama Arrum juga.” Kata Aisy sambil menangis. Aisy menyebut rumah kami di Jogja dengan nama rumah kuning karena catnya berwarna kuning.

Mendengar Aisy berkata demikian, aku langsung memeluknya.
“Sabar ya nak, besok kita pulang ke Jogja.” Kataku sambil memeluknya.

Akhirnya aku membawa Aisy dan Arrum ke Jogjakarta setelah dua minggu di Jakarta. Dan aku menjalani kesendirian di Jakarta. Dan hari ini aku harus kembali lagi ke Jakarta.

Selesai sholat tahajud sampai dengan selesai sholat subuh, aku mengemasi barang-barangku untuk kembali ke Jakarta sore nanti. Untungnya suamiku sudah membelikan tiket kereta api Progo sehingga aku kebagian tempat duduk. Anak-anakku ikut mengantarkan aku ke stasiun. Aku mencari-cari buku untuk bacaanku di perjalanan dan di Jakarta nanti.

“Ini saja Bu.” Kata suamiku sambil mengulurkan buku berjudul Maa Aku Bisa yang ditulis Wahyudin dan diterbitkan oleh Pro-U media.
“Ibu, mau kemana? Jangan ke Jakarta lagi, Ibu disini saja.” Kata Aisy melihat tasku yang besar.
“Ibu cuma sebentar kok.” Jawabku tak tega.

Setiap aku mau berangkat Aisy selalu memandangiku curiga, dan biasanya aku berangkat tanpa sepengetahuan anak-anakku meskipun pada akhirnya mereka akan menangis. Disepanjang perjalanan pun aku terkadang tak kuasa membendung air mata, namun aku berusaha menyembunyikannya dari penumpang lain.

Aku memang bingung, harus bagaimana. Haruskah aku melepaskan pekerjaanku saja atau tidak. Kucoba kubuka buku Maa Aku Bisa yang ditulis Wahyudin. Saat aku buka halaman pertama kubaca tulisan yang seolah menyindirku.

Anak adalah Amanah Allah untuk kita.

Aku bertambah ingin menangis. Sebagai seorang ibu, kepergianku ke Jakarta berarti telah melalaikan kewajibanku untuk mengurus anak-anakku dan juga suamiku.
“Ya Allah, haruskah aku mengundurkan diri.” Gumamku dalam hati.

Memang banyak konsekuensi jika aku mengundurkan diri, artinya penghasilan hanya dari suamiku saja. Padahal dari pekerjaan yang sebelumnya, gajiku cukup membantu keuangan keluarga. Tapi kini gaji yang kuterima dari instansi pemerintah tidak sebanding dengan pengorbananku meninggalkan anak-anak, belum lagi gaji habis untuk mengontrak, makan dan biaya perjalanan pulang pergi Jogja-Jakarta. Suamiku menyerahkan semua keputusan kepadaku.

Tak hanya dalam perjalanan ini aku merenungi semua ini, baik buruk, mudharat manfaat aku bekerja di Jakarta selalu kubandingkan, tapi seperti tak ada jawaban, aku masih dalam kebingungan. Lalu aku ingat sebuah hadis bahwa orang yang cerdas adalah orang yang mengingat kematian.
“Seandainya aku mati esok hari, apa yang akan aku pilih saat ini.” Bisikku dalam hati.

Tentu saja aku akan memilih, lebih baik aku mati ketika menjalankan kewajibanku sebagai seorang ibu bersama anak-anak dan suamiku, bukan di saat aku jauh dari mereka, membiarkan anak-anak tak terurus karena tak ada ibunya yang memasak untuknya. Keinginanku semakin kuat untuk mundur dari pekerjaanku ini, apalagi setelah membaca buku Maa Aku Bisa. Bagaimana mungkin aku menerapkan panduan buku ini jika aku jauh dari anak-anak. Bahkan pernah suamiku bercerita, teman-teman sekolah Aisy semua diantar oleh ibunya, ibu guru nya pun menanyakan mengapa ibu Aisy tidak pernah terlihat selama Aisy sekolah disana.

“Mbak, saya mau mundur aja, kasihan anak-anak.” Kataku pada temanku Dian yang juga baru bekerja.
“Jangan mbak, sayang, dibelakang banyak orang yang ingin bekerja seperti kita.” Jawab temanku agak terkejut.

Memang pekerjaan ini sangat diperebutkan banyak orang. Tapi apa artinya bagiku jika aku selalu merasa kesedihan demikian juga keluargaku. Akhirnya aku menghadap pimpinan dikantorku, dalam hal ini aku mengambil risiko tinggi.
“Anda ini bikin masalah saja. “ kata Bapak pimpinan tersebut.
“Anda tidak tahu, dibelakang sana, yang mengantri pekerjaan ini ribuan orang. “ katanya lagi.

Aku hanya terdiam dan pasrah, dan aku yakin bahwa Allah swt akan mendatangkan pertolongan bagi hamba-Nya. Akhirnya Bapak pimpinan tersebut menyarankanku untuk tidak mengundurkan diri terlebih dahulu, dan memintaku untuk mencari unit di Jogjakarta sembari izin melahirkan anakku yang ketiga.

“Tidak Pak, saya mau mengundurkan diri sekarang, daripada saya izin tiga bulan dan kemudian sehabis melahirkan ternyata saya harus mengundurkan diri karena tidak ada unit yang bersedia menampung saya.” Jawabku.

Akhirnya dengan berbagai alasan, Bapak tersebut tetap menahanku untuk tidak mundur dan izin melahirkan terlebih dahulu karena siapa tahu dalam waktu tersebut bisa diproses pindah ke unit yang ada di Jogjakarta. Akhirnya aku menyetujui permintaan Bapak tersebut.

“Gak mungkin mbak, unit ada yang mau menerima mba, kalau tidak pakai uang.” Kata temanku Dian setelah mendengar ceritaku.
“Saya cobanya dulu mba.” Kataku.

Akhirnya tiba masanya aku izin melahirkan. Aku berpamitan dengan teman-teman seperjuanganku, bahwa kemungkinan aku tidak kembali ke Jakarta jika tidak ada unit yang bersedia menampungku. Karena aku kasihan jika bayi mungil, anak ketigaku harus tinggal bersamaku di Jakarta. Tak disangka teman-temanku memberikan kenang-kenangan berupa perlengkapan bayi.

Setelah di Jogjakarta, aku kebingungan karena tidak memiliki biaya untuk melahirkan. Namun tak disangka, Allah swt memang Maha Penyayang. Sebulan sebelum melahirkan aku diberitahu bahwa aku memperoleh beasiswa dari swasta untuk sekolah S2 di salah satu universitas negeri di Yogyakarta. Tak lama kemudian aku memperoleh transfer uang yang cukup banyak untuk S2 dan juga untuk keperluan hidup. Sebagai rasa syukur yang tak terkira, kami membayarkan zakat dari beasiswa tersebut. Dan ternyata anak ketiga kami memang laki-laki dan kuberi nama Erdogan Ridho Al Aqsho, dengan harapan dia akan menjadi pembela kaum muslimin sebagaimana perdana menteri Turki Erdogan membela Palestina dan Ridho agar dia menjadi orang yang ridha terhadap Allah dan segala ketentuan Allah. Amin.

Kini aku bersyukur dapat berkumpul kembali dengan anak-anakku dan suamiku, nikmat yang dulu tak kusadari. Tiba-tiba aku teringat falsafah Jawa. Mangan ora mangan asal kumpul…

Selama izin melahirkan di Jogjakarta, aku berusaha mencari unit yang bersedia menampung kepindahanku dari Jakarta. Namun ternyata usaha tak membuahkan hasil, dan akhirnya aku mengirimkan surat resmi untuk mengundurkan diri dengan tetap berprasangka baik bahwa rizki Allah swt ada dimana saja. Sebulan kemudian setelah mengundurkan diri, tiba-tiba aku memperoleh informasi bahwa ada pergantian pejabat eselon yang memungkinkanku pindah ke Yogyakarta dan kemungkinan suratku untuk mundur belum dikabulkan sehingga ada peluang untuk pindah ke Yogyakarta. Aku benar-benar terkejut dan berbisik bahwa Allah Maha Kuasa. Ya Allah mungkinkah ini jawaban atas doa-doaku atau doa orang-orang yang menyayangiku…Wallahualam

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More