Rabu, 29 Desember 2010

Paranoid Pernikahan


Oleh: Alisa

Setiap orang membawa takdirnya masing-masing. Tentu saja. Dan apa yang Allah berikan kepada saya adalah wujud kasih sayang-Nya. Apa dan bagaimanapun saya, harusnya membuat saya bersyukur, sebenar-benarnya syukur. Tak ada alasan untuk bersikap kufur, sekecil apapun karuniaNya, karena pada dasarnya tak ada karunia kecil yang Allah berikan. Bahkan seumur hidup, saya tak akan mampu menghitung-hitung nikmat Allah atas diri saya. “…Dan nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan...


Memang, seringkali kepedihan, tangis, luka dan air mata membutakan hati akan arti keindahan karunia Ilahi. Itu pula yang kadang terjadi pada saya. Ketika rasa ketidakbersyukuran itu datang, saya tak merasakan fajar berbinar menyambut hangat mentari pagi. Kemudian senja, yang harusnya dapat saya jadikan dermaga untuk menumpahkan segala rasa, terasa hambar dan nanar.

Saya tumbuh tanpa sentuhan seorang Adam. Tidak seorang ayah, tidak seorang kakek, bahkan tak juga seorang kakak laki-laki. Bahkan saya juga tak tahu seperti apa kasih sayang seorang ibu yang begitu di agung-agungkan. Hingga sekarangpun, kadang saya masih bertanya-tanya, seperti apa yang dinamakan keluarga? Entahlah….

Saya hanya tahu, ada seorang renta yang bahkan sering sakit-sakitan membesarkan saya dari kecil. Hidup dengan kebersahajaan dan keterbatasan, karena hanya itu yang bisa diberikannya. Maka mau tak mau saya harus mandiri dalam arti yang sebenarnya, berdiri di atas kaki saya sendiri. Ya, tangan keriputnya memang terbatas untuk memberikan sentuhan lembut hingga saya mengerti arti kehidupan yang sejatinya. Namun di mata saya, wanita yang tengah menapaki usia senja itu adalah surya bagi saya.

Tempaan demi tempaan memang membuat saya tumbuh menjadi pribadi yang tegar (InshaAllah). Saya tak akan menyerah pada keadaan. Namun background yang buruk, membuat sedikit trauma pada keadaan psikis saya. Jujur, saya sering rendah diri dan kehilangan rasa percaya diri. Saya merasa diri saya begitu buruk, hingga prestasi-prestasi sebagai wujud kerja keras yang pernah saya dapatkankanpun kurang saya hargai. Seharusnya, saya bangga pada diri saya sendiri, tentunya dengan segala kekurangan dan keterbatasan saya. Apapun pencapaian dan keadaan saya. Betapa tak bersyukurnya saya ya…?

Namun nyatanya, semua keadaan itu membuat saya terjebak dalam suatu paranoid karena dangkalnya sebuah stigma berpikir saya. Kau mungkin akan tertawa kawan jika saya katakan, saya pernah merasa takut untuk menikah? Ya benar, saya tak sedang bergurau. Saya takut untuk menikah.

Alhamdulillah ketika saya kuliah, saya bertemu dengan teman-teman yang bisa membimbing saya soal agama. Saya mulai banyak membaca buku-buku agama. Tapi saya masih takut untuk membaca buku-buku yang berbau ‘Munakahat’. Saya paling suka membaca buku-buku soal manajemen kalbu. Kadang saya heran, kenapa dalam suatu halaqoh dan kajian-kajian, para akhwat suka sekali jika disuguhkan bab ‘Munakahat’. Ah mungkin juga sama antusiasnya bagi para ikhwan. Jika sudah membahas soal itu, pasti tak satupun yang menguapkan mulut karena mengantuk, dijamin tak ada yang cemberut meski ceramah tak kunjung usai. Ada yang langsung berimaji dengan pikirannya sendiri dan mendadak senyum-senyum sendiri. Dalam hal ini nama Salim A.Fillah sangat familiar ditelinga saya sebagai ustadz pernikahan, begitu kata beberapa orang. Namun saat itu saya belum pernah membaca buku beliau, juga belum pernah menghadiri kajian beliau. Saya pernah dengar celetukan teman, kalau menghadiri kajian yang pembicaranya adalah Salim A.Fillah kita akan ‘terprovokasi’ untuk segera menikah (mohon maaf ya ustadz :) ).

Berbeda dengan saya, kadang rasa takut untuk menikah masih muncul dalam benak saya. Saya tak bisa seantusias mereka. Meski saya tahu bahwa menikah itu adalah separuh agama, sunah Rasul, bahkan ladang amalnya wanita (baca: muslimah) ketika menjadi seorang istri, tapi entahlah... Saya takut memikirkannya. Menikah itu baik. Tapi bukankah yang namanya baik itu, harus baik niatnya, baik prosesnya juga baik hasilnya. Tak cukup hanya sekedar baik niatnya saja, setidaknya itu pembenaran diri atas kekhawatiran saya. Ketika saya di toko buku, saya hanya memandangi buku-buku seri pernikahan yang berjejer dengan tatapan ‘aneh’. Ragu bahkan hanya untuk sekedar menyentuhnya, apalagi berniat membaca. Saya tahu, itu adalah ilmu yang juga penting untuk dipelajari meski kita belum akan menikah.

Suatu ketika, saya ke Islamic Book Fair di gedung Mandala Bhakti Wanitatama. Ada buku yang diobral di subuah keranjang besi, tentu saja tidak tertata dan berantakan karena bekas dipilah-pilih pengunjung yang belum tentu membeli. Bukunya sebenarnya bukan buku-buku lama yang biasanya sudah menguning kertasnya. Hanya saja buku-buku tersebut ada yang covernya kotor dan agak rusak, ada juga memang buku-buku yang sepertinya penjualan sebelumnya kurang bagus alias kurang laku, mungkin karena alasan itu makanya di obral. Saya pun ikut ‘mengobrak-abrik’ dan menemukan sebuah buku dengan warna cover merah putih, Agar Bidadari Cemburu Padamu, penerbit Pro-U Media. Saya tertarik dengan judul indahnya, namun ragu ketika tahu karangan Salim A.Fillah. Ya saya takut, kalau-kalau isinya berbau pernikahan. Lihatlah, betapa paranoidnya saya. Apalagi di cover buku tersebut ada note kecil, yang menginformasikan bahwa si pengarang adalah juga yang menulis buku best seller Nikmatnya Pacaran Setelah Pernikahan. Lagi-lagi, pernikahan. Namun karena tergiur harga obralan jadi akhirnya buku tersebut saya bawa ke kasir. Tak ada salahnya mencoba membaca. Bismillah…

Halaman demi halaman mulai saya baca. Dan saya terpukau, Subhanallah. Saya suka sekali diksinya, lembut, menyentuh dan ngena. Sedang isinya, seolah penulis benar-benar tahu bagaimana jiwa seorang wanita dengan segala pesonanya. Saya bahkan tak urung meneteskan air mata membaca beberapa tema yang dihadapkan pada kondisi bathin saya. Kadang tertohok, tersindir, namun saya menemukan jalan keluarnya. Saya menemukan kesalahan-kesalahan saya, namun saya juga tahu bagaimana saya harus memperbaikinya. Pantas saja jika buku tersebut menjadi best seller pula.

Saya yang selalu merasa diri saya begitu buruk, seakan merasa tersanjung dan bersyukur diciptakan sebagai seorang wanita. Stigma yang ada dipikiran saya mulai berubah sedikit demi sedikit. Cara pandang saya menyikapi diri saya sebagai wanita juga mulai membaik. Sebagai akibatnya, saya mulai bisa ikhlas menerima keadaan saya, terlebih untuk benar-benar bersyukur. Hati saya benar-benar ringan ketika semua saya kembalikan dan saya gantungkan kepada Sang Maha Kuasa. Termasuk soal paranoid saya, pikiran saya tak sesempit sebelumnya dan mulai bisa berpikir positif menyikapi sebuah kata ‘pernikahan’.

Hingga pada kesempatan lain saya juga membaca Saksikan Bahwa Aku Seorang Muslim, Jalan Cinta Para Pejuang, Total Motivation, Don’t Worry (bersama kesulitan ada kemudahan) dan sebagainya, yang kesemuanya terbitan Pro-U Media. Ketika saya membaca, artinya saya memang memiliki bukunya. Alhamdulillah buku-buku tersebut sedikit banyak ikut andil dalam perbaikan pola pikir saya, bagaimana saya memaknai kehidupan ini sebagai seorang yang ingin selalu memperbaiki diri, sebagai seorang wanita.

Dan aku menyerahkan urusanku kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya.”(QS.Ghafir : 44)

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More