Rabu, 29 Desember 2010

Ibu, Maafkan Aku

Oleh: Misyono

Setelah membaca bukunya ustad Sholihin Abu Izzudin tentang ibu, aku berjanji untuk selalu menghormati dan tak akan membuat kecewa kedua orang tuaku terutama ibu. Hingga suatu ketika aku alpa, lupa dan ibuku aku buat kecewa. Dengan nada yang agak tinggi aku membantah perintah ibuku. Masih aku ingat dalam buku itu disampaikan sebuah hadits : “Dua perbuatan dosa yang Allah cepatkan adzab-Nya di dunia yaitu berbuat dzalim dan durhaka kepada kedua orang tua” (HR Al-Hakim). Aku menyegerakan azab itu padaku.

Ceritanya bermula saat ada sebuah hiburan layar tancep, bioskopnya orang desa di desa tetangga, Desa Losari namanya. Aku dan teman-temanku sudah janjian untuk nonton bareng. Kebetulan bertepatan dengan malam minggu sehingga bisa menjadi hiburan bagi kami setelah sepekan sibuk dengan rumus-rumus dan materi pelajaran. Aku memohon ijin ba’da isya dan meminta uang saku pada ibuku, tetapi beliau tidak mengijinkan karena khawatir terjadi apa-apa. Maklum, aku anak terakhir sehingga ibu sangat perhatian padaku. Tetapi yang aku pikirkan saat itu adalah rencanaku dengan teman-teman, sehingga dengan nada yang tinggi disertai pembangkangan seorang anak aku membantah perintah ibuku,”ra ana apa-apa bu!, masa liyane ndeleng aku ora ndeleng”(Ngga ada apa-apa bu!, masa yang lain lihat aku ngga lihat). Aku putuskan berangkat mesti tanpa restu ibuku, dan saat itu perasaanku masih biasa disertai canda tawa dengan teman-teman berangkat ke tempat diadakannya hiburan. Karena jarak yang tidak terlalu jauh kami bisa menempuhnya dengan berjalan kaki.

Layar tancep yang disponsori oleh salah satu produk rokok yang cukup besar di Indonesia diadakan di sebuah lapangan. Aku ingat betul saat itu film yang diputar The One, dimana Jet Li sebagai bintangnya. Salah satu kegemaranku memang melihat film, apalagi film laga. Aku mencoba mengambil pelajaran dari film-film yang aku lihat, meski kadang sampai nglantur seandainya pahlawannya adalah aku. Tetapi aku begitu menikmati film itu dan tak sadar beberpa temanku sudah pulang duluan karena merasa ada yang tidak beres. Meski belum selesai, akhirnya aku putuskan untuk pulang karena aku melihat beberapa orang berkejar-kejaran. Persaanku mulai mengatakan ada yang tidak beres. Aku ajak salah satu temanku untuk pulang lebih dulu, dan beberapa yang lain masih asik dengan film itu.

Sampai di jalan raya ada segerombolan orang yang tak memakai sandal berjalan dari arah desa kami, Desa Bodas Karangjati. Ada sekitar lima belas orang yang beberapa terlihat membawa tongkat. Aku dan temanku mulai was-was tapi kami coba buat sesantai mungkin. Sampai akhirnya kami berpapasan, saat kami bersebelahan salah satu dari mereka bertanya pada kami sambil terus berjalan, “wong ndi ko?”(orang mana kamu?) dengan logat Purbalingga yang bagi orang yang tak terbiasa mendengarnya akan terasa lucu. Meski ragu aku menjawab,”wong Bodas”(orang Bodas).

Aku sudah menduga mereka sedang marah, langsung saja beberapa orang menghampiriku dengan tinju yang sudah diacungkan untuk menghajarku. Diiringi teriakan, “Hajar! Hajar! Wong bodas kue, wong bodas, hajar!”(Hajar! Hajar! Itu orang bodas, itu orang bodas, Hajar!). “Malayu Ne!!!”(Lari Ne), teriaku pada Sene temanku. Temanku sempat berlari dan tinggal aku yang berusaha melindungi wajah dari pukulan-pukulan yang datang dari berbagai penjuru. Saat itu aku baru terbayang wajah ibuku, kekhawatirannya ternyata benar. Dan aku menyesal tidak menurut dengan apa yang ibuku katakan. Tubuhku terjatuh ke tanah sehingga beberapa tendangan juga bersarang di badanku. Tiba-tiba ada suara yang mengagetkan berupa bentakan dari lantai dua rumah yang ada di pinggir jalan. “Brisik!, bubar!, bubar! Atau nanti tak panggil polisi”. Pukulan-pukulan mereka berhenti, aku tidak melawan saat itu karena aku melihat akan sia-sia dengan jumlah mereka yang mengeroyokku. Aku memang bukan Jet Li yang bisa menghadapi puluhan orang sendirian. Mereka akhirnya pergi, mungkin takut dengan ancaman orang di atas yang tadi menegur atau mungkin mulai sadar bahwa tidak seharusnya mereka memukuli sembarang orang.

Aku berdiri, merapikan pakaianku, mengambil sandal yang hampir putus dari kakiku dan segera berlari menjauh. Ternyata temanku menunggu diperbatasan desa, sesampainya disana langsung disambut dangan pertanyaan dengan nada khawatir, ”ko ra pa-pa?”(kamu tidak apa-apa?) Langsung aku mengecek sekujur tubuhku yang dari berlari tadi belum sempat aku memeriksanya. Aku hanya merasakan sedikit nyeri dibagian kepalaku, tetapi dibagian lain tak ada yang terluka. Aku merasa beruntung, padahal ada belasan orang yang berebut memberikan pukulan. Tetapi aku merasa memang cuma beberapa pukulan saja yang mengenai tubuh dan kepalaku sisanya hanya mengenai tanganku yang menangkis. “ora apa-apa, bali yuk. Aja ngomong sapa-sapa ya!”(tidak apa-apa, pulang yuk. Jangan bilang siapa-siapa ya!) jawabku dengan perasaan yang masih campur aduk. Perasaan marah,kaget, agak takut, dan rasa berdosa yang tidak dapat aku tutupi atas perilaku burukku pada ibu. Temanku hanya menjawab dengan anggukan kepala tanda setuju ia tidak akan memberitahukan kejadian yang kami alami.

Sampai di desa, aku melihat sekelompok pemuda dari desaku berkumpul di depan kantor polsek (Polisi Sektor) yang ada di desaku. Melihat kedatanganku beberapa dari mereka menghampiriku, menanyakan kondisiku, kondisi disana dan ciri-ciri pemuda-pemuda Desa Losari yang bertemu denganku. Aku menjawab dengan santai, menceritakan beberapa ciri-ciri dari mereka yang sempat aku lihat. Aku dan temanku tidak menceritakan kejadian pengeroyokan, aku khawatir mereka semakin tersulut emosinya. Saat itu kondisi cukup mencekam, beberapa polisi sudah bersiaga agar tidak terjadi tawuran yang lebih besar antar remaja dua desa. Setelah ngobrol dengan beberapa orang, aku memutuskan untuk langsung pulang dan tidak mau terlibat lebih jauh.

Informasi yang aku dapatkan pertengkaran remaja dua desa itu dimulai dari salah satu pemuda desaku yang menusuk pemuda desa sebelah. Hal itu membuat pemuda desa sebelah marah yang langsung membalasnya kepada pemuda-pemuda desaku yang sedang berkumpul. Pemuda desa Losari langsung melempar dengan batu padahal pemuda desaku tidak tahu apa-apa. Karena merasa diserang, pemuda desaku membalas melempar batu, sempat terjadi saling lempar batu sampai akhirnya pemuda desaku memutuskan mundur dan melapor ke polisi. Pemuda desa sebelah juga mundur yang akhirnya bertemu denganku yang ketika itu dalam perjalanan pulang.

Aku kembali teringat bahwa ini adalah teguran Allah kepadaku ketika beberapa temanku yang pulang belakangan ternyata juga selamat dan tak diganggu pemuda-pemuda yang tadi bertemu denganku. Aku tertidur dengan perasaan yang masih dag dig dug, tetapi dengan doa sebelum tidur aku dapat tertidur dengan nyenyak sampai pagi harinya.

Pagi harinya setelah shalat subuh, aku menemui ibu dan meminta maaf padanya. Namun aku tak mengatakan tentang kejadian pemukulan itu, ibuku hanya menjawab dengan pesan-pesan indah. “Ibu juga minta maaf, apapun yang ibu katakana dan lakukan semata buat kebaikanmu”. Mulai saat itu aku berjanji menjadi anak yang berbakti. Meski aku tahu tak akan mampu aku membalas jasa ibuku, akan aku berikan yang terbaik untuk ibu dan ayahku. Terlebih dimasa tuanya, aku ingin menjadi anak yang bisa membanggakan mereka. Semoga kami dikumpulkan Allah dalam surge_Nya. Akan ku gapai surga dengan mengabdikan diri pada mereka. Seperti yang disampaikan ustad Sholihin Abu Izzudin dalam bukunya The Great Power of Mother, Mau nggak dapat “door prize” tanpa diundi dan surprise full prestise? Penghargaan besar, peluang yang jarang, investasi hakiki. Segera, rebut dan dapatkan kelas surga sebaik-baiknya! Beramal bakti sepanjang hari kepada kedua orangtua. Raih hidup penuh berkah. Anugerah di atas anugerah. Tak perlu gelisah. Pintu surga itu ada di rumah.

Robbighfir lii wa li waalidayya warhamhumaa kamaa robbayaanii shoghiiroo
“Ya Tuhanku! Ampunilah aku, ibu bapakku dan kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.”

Ibu oh ibu…
Betapa ikhlas kau menyayangiku
Jiwamu tulus memeliharaku
Merawatku sejak kecilku
Oh ibu kini aku jauh darimu
Inginku luruh dipangkuanmu
Rengkuhlah aku dengan doa malammu
Smoga Dia membimbing langkahku
Oh ibu kini air mataku berderai
Rindu belai kasih sayangmu
Dengan ketulusan hati yang dalam
Maafkanlah anakmu ini

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More