Kamis, 30 Desember 2010

Saksikan Aku Adzan Dekat Kalian


Oleh: Jefrey Motinggo Muis

Lain padang lain belalang, Lain lubuk lain ikannya. Barangkali penggalan peribahasa itu sudah kerab kita dengar semenjak dari bangku sekolah dasar dulu, jika diartikan kira-kira memiliki makna bahwa tiap-tiap tempat atau negeri memiliki karakteristik masing-masing, khususnya pada budaya masyarakatnya.

Dua setengah tahun saya pernah hidup pada sebuah negeri yang Muslim-nya hanya berjumlah kurang lebih sekitar 1% saja, sisanya tentu bukan muslim. Di negeri itu cuma terdapat satu buah Masjid yang letaknya di tepi jalan lintas antar propinsi, sehingga Masjid ini ramai dikunjungi musafir ketika waktu zuhur dan ashar tiba, diluar waktu itu jamaah masjid ini bisa dihitung dengan jari satu tangan saja, karena selain jumlah penduduk muslim disana yang sedikit, juga karena rumah kediaman warga muslim disana kebanyakan berpencar-pencar jauh dari masjid.

Awal datang ke negeri itu perasaan hati menjadi gundah gulana karena serasa berada di luar negeri. Bahasa orang-orang disana sangat asing di telinga, sangat jarang ditemui orang-orang yang menutup aurat dengan baik khususnya bagi kaum hawa, ditambah lagi cuaca disana sangat dingin karena berada di dataran tinggi. Untuk mencari makanan halal kita harus berhati-hati, karena hampir di setiap persimpangan jalan atau gang kecil di sekitar pasar negeri itu selalu dijumpai kios daging yang memajang daging haram lengkap dengan kepala khinzir yang digantung dengan kawat. Rasanya amat berat hati ini untuk berada di negeri asing tersebut, tetapi karena tantangan karir, saya mencoba menguatkan hati untuk bertahan semampu lahir dan batin.

Sebagai pendatang baru, saya mencoba beradaptasi dengan lingkungan baru itu. Agar bisa membaur dengan komunitas di tempat kerja yang notabene berbeda keyakinan, saya memilih bahasa yang bisa mereka mengerti, yang jelas tanpa istilah-istilah Islami. Kala itu saya juga juga mencukur licin jenggot di dagu dengan maksud agar bisa membaur sesuai dengan gaya penampilan mereka, bahkan saya juga meninggalkan baju koko yang biasanya dipakai semenjak di kampus dulu.

Sebagai kaum minoritas, ruang gerak ummat Islam disana cukup terbatas. Untuk menjalankan ibadah sholat saja, kami harus menempuh jarak yang cukup jauh menuju masjid, kalau tidak ke masjid tentu sholatnya di rumah saja. Mungkin kalau di kota-kota besar yang pernah kita kunjungi, rata-rata setiap gedung perkantoran ada musholanya, atau bahkan sekolah-sekolah umum juga mempunyai fasilitas mushola, kita bisa sholat disana. Di negeri ini yang paling memprihatinkan adalah kondisi pelajar-pelajar muslim yang bersekolah di beberapa SMP dan SMA, mereka kesulitan dalam menjalankan ibadah sholat terlebih lagi Sholat Jum’at bagi pelajar laki-laki yang telah baligh, karena waktu Sholat Jum’at masuk selalu bertabrakan dengan jadwal pelajaran sekolah mereka. Memang tidak ada larangan bagi pelajar untuk menjalankan Sholat Jum’at, akan tetapi mereka akan dihadapkan dengan pilihan meninggalkan pelajaran saat melaksanakan Sholat Jum’at, tentu saja kebanyakan pelajar takut meninggalkan pelajaran mereka di sekolah karena dianggap bisa mempengaruhi nilai akademis. Selain itu beberapa sekolah tidak memiliki guru pendidikan Agama Islam, bagi pelajar yang beragama Islam diminta mencari guru agama sendiri. Untuk mendapatkan pelajaran Agama Islam kebanyakan dari mereka datang ke Masjid untuk belajar dengan Imam Masjid, kemudian nilai pelajaran Agama Islam mereka diberikan oleh ustadz yang menjadi Imam Masjid. Bahkan pada beberapa sekolah yang dikelola oleh yayasan swasta jusru tidak memasukkan pelajaran agama Islam dalam kurikulum mereka.

Sebagai kaum minoritas, kami berupaya selalu menjaga toleransi dengan lebih banyak mengalah selama hal tersebut masih sesuai dengan tuntunan syari’ah. Untuk menghormati mereka yang jadi mayoritas, suara volume kumandang adzan di mikropon masjid sengaja dibuat tidak terlalu keras keluar, karena warga yang bermukim di sekitar masjid kebanyakan bukan muslim. Kadang, itupun masih sering dikomplain secara tidak langsung, karena dianggap menggangu.

Saya sendiri sering menjumpai ketika adzan sedang berkumandang, ada beberapa orang-orang yang sedang berkumpul di jalan dekat masjid mengolok-olok kumandang adzan, walau tidak terlalu keras tapi masih sayup-sayup sampai di telinga, “tuh orang masjid sudah teriak-teriak”, kata mereka. Rasanya ingin sekali mendekati orang-orang itu untuk sekedar menegur atau memberikan pengarahan, akan tetapi dengan banyak pertimbangan niat itu masih saya urungkan, saya lebih memilih memenuhi panggilan adzan untuk menyegerakan sholat, rasanya lebih baik mendoakan mereka setelah sholat. Tidak itu saja, sebagian pelajar yang ketika pulang sekolah melewati masjid bertepatan dengan kumandang adzan lebih terang-terangan “meledek” dengan gaya mereka masing-masing. Bahkan yang paling tidak mengenakkan ketika adzan berkumandang, beberapa warga di sekitar masjid menghidupkan musik dengan soundsistem keras, entah mengapa soundsistem itu sering hidup ketika adzan berkumandang sampai kami selesai menjalankan sholat.

Lama-lama dengan kondisi seperti itu tentu sangat tidak mengenakkan. Saya rindu dengan suasana di kampung halaman. Saya rindu dengan pengajian mingguan yang biasa saya jalani dulu, karena sudah beberapa bulan mencari tempat pengajian disana masih belum membuahkan hasil. Akhirnya saya mencoba menghubungi salah seorang kenalan yang berdomisili di ibukota propinsi untuk mencarikan tempat pengajian melalui markas dakwah yang lebih besar, alhasil saya direkomendasikan ke daerah yang cukup jauh dari negeri tempat saya berdomisili, karena cuma di daerah itu ada pengajian terdekat sesuai dengan yang saya cari.

Dengan sepeda motor menempuh perjalanan selama empat jam, kerinduan cukup terobati ketika bertemu teman-teman satu pengajian yang baik dan menyenangkan. Saya menceritakan keadaan yang saya alami kepada mereka, kemudian dengan beruntun kata-kata indah meluncur dari mulut mereka, saya seakan mendapatkan energi baru, ibarat bara yang mulai padam terhembus angin, kilau merahnya mulai menyala kembali.

Saat sang ustadz mengkisahkan ketika Rasulullah berada ditengah-tengah masyarakat jahiliyah Makkah pada saat sejarah Islam bermula, Rasulullah justru memperlihatkan karakteristik Islami yang menyejukkan dengan tutur kata, perilaku serta penampilan, Rasulullah tidak sedikitpun meninggalkan karakteristik keislamannya atau mengikuti gaya orang-orang kafir walaupun tujuannya untuk berdakwah kepada mereka, bahkan beliau melarang mengikuti gaya ataupun tatacara yang biasa dilakukan oleh orang kafir karena bisa dianggap satu golongan dengan mereka. Dengan menunjukkan jatidiri sebagai seorang muslim sejati, justru hal itu menjadi daya pikat utama yang membuat masyarakat ketika itu berbondong-bondong bergabung dalam jama’ah Rasulullah. Saya jadi terkesiap, mengapa selama ini saya lebih banyak meninggalkan ciri khas sebagai seorang Muslim, saya mulai risih dengan dagu yang licin tanpa dihiasi janggut yang rapi, saya juga risih dengan celana semi jeans yang berbeda dengan ustadz-ustadz teman pengajian malam itu. Salah seorang ustadz mengeluarkan sebuah buku berwarna putih dari backpackernya. Buku itu berjudul “Saksikan bahwa Aku Seorang Muslim” yang ditulis oleh Salim A. Fillah. Saya diperkenankan meminjam buku itu untuk dikembalikan pada pertemuan saat pengajian bulan depannya.

Buku itu menjadi teman saat mata tidak bisa tidur tengah malam usai pengajian, baru beberapa lembar buku terbaca, sudah mulai terasa relung-relung ruhiyah makin terisi. Sebelum mata terlelap, halaman terakhir yang terbuka kala itu makin menguatkan komitmen di hati. Sang penulis menggoreskan, “ Tetaplah menjadi muslim, muslim yang bangga dengan Keislamannya. Para Hawariy pengikut setia ‘Isa pun memberi contoh bahwa mereka bangga dengan keislamannya. Kini, para hawariy murid ‘Isa telah tiada. Sementara yang mengaku menjadi ahli kitab pewaris mereka telah berpaling dari La Ila ha Illallah. Saudaraku, ini giliran kita. Kita Muslim sejati, yang selalu mengajak mereka kembali kepada kebenaran fithrah, tapi kalau mereka berpaling, cukup katakan dengan bangga dan penuh kemuliaan bahwa KITA ADALAH MUSLIM”.

“katakanlah, “ Hai Ahli Kitab, marilah menuju satu kalimat yang tiada perselisihan antara kami dan kalian, bahwa kita tidak akan menyembah selain kepada Allah, dan tidak mempersekutukanNya dengan apapun, dan tidaklah sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Rabb selain Allah”. Jika mereka berpaling maka katakanlah, “Saksikan bahwa kami adalah orang-orang muslim!” (Ali ‘Imran 64)

Seribu, seratus, sepuluh ataupun sesatu, muslim sejati takkan pernah ragu untuk berkata, “Saksikan bahwa Aku Seorang Muslim”.(hal 77)

Semenjak waktu itu saya mencoba semaksimal mungkin mengubah kebiasaan buruk yang terlanjur diperbuat dan tak lupa memohon kepada Allah agar orang-orang di dekat lingkungan saya yang selama ini masih belum mengenal jalan yang Allah ridhoi agar diberikan petunjuk serta hidayahNya.

Satu bulan pun cepat berlalu, buku itu kembali ke tangan pemiliknya walau belum selesai semua terbaca karena kesibukan. Beberapa bulan kemudian saya sempatkan untuk membeli buku itu saat ada kesempatan dinas keluar daerah.

Waktu terus berjalan, pada suatu ketika, setelah selesai menjalankan sholat Isya berjamaah di masjid, datang seorang laki-laki dengan napas agak ngos-ngosan, laki-laki itu seorang warga muslim yang kediamannya tidak terlalu jauh dari masjid. Beliau menginformasikan bahwa ada anak perempuan tetangga disebelah rumahnya sepulang latihan Paskibraka di sekolah mengalami kesurupan,  beliau meminta untuk mengusir jin anak tetangganya yang kesurupan itu, berhubung Imam Masjid sedang sakit, maka saya yang diminta untuk membantu mengusir jin tersebut. Tambahan informasi yang saya dapatkan, anak perempuan yang sedang kesurupan itu bukanlah seorang muslim.

Awalnya sangat berat hati ini memenuhi permintaan laki-laki itu, karena tidak seiman dengan yang kesurupan dan saya sendiri baru sekali pernah meruqyah. Saya menyarankan agar anak perempuan yang sedang kesurupan itu di obati oleh pemuka agama mereka saja agar lebih nyambung dan tidak menimbulkan permasalahan nantinya. Tetapi laki-laki itu mengatakan bahwa tindakan memanggil pemuka agama mereka bahkan dukun yang tinggal dekat rumahnya juga sudah dilakukan untuk mencoba mengobati, alhasil anak yang kesurupan itu makin menjadi-jadi tertawanya dan teriakannya makin tidak karuan sehingga membuat tetangga sekelilingnya jadi ketakutan. Sang lelaki tampak sangat memohon kepada saya untuk datang ke rumah anak yang kesurupan tadi, karena jika anak itu tidak segera disembuhkan tentunya akan mengganggu tidur semua orang disekitarnya dan membuat ketakutan tetangga karena suara ringkikan tertawanya seperti tertawa kuntilanak di film horor. Tampaknya laki-laki ini sudah kehabisan akal mau minta pertolongan kepada siapa lagi.

Saya teringat dengan buku “Saksikan bahwa Aku Seorang Muslim” yang pernah saya baca dahulu, dalam pikiran saya terlintas mungkin saja ini salah satu jalan yang Allah tetapkan untuk mereka. Dengan mengharap ridhoNya, kemudian saya mengambil peci, jaket tebal, sarung tangan kiper dan kaos kaki bola, tujuannya selain untuk menjaga badan dari cuaca malam yang dingin menusuk tulang, juga untuk menjaga aurat dan mencegah jika kulit saya bersentuhan dengan orang yang bukan muhrim. Ditemani oleh laki-laki tadi saya berangkat menuju rumah anak tetangganya yang sedang kesurupan.

Sesampai di rumah yang dituju, nampak di dalam rumah sudah banyak kerumunan warga sekitar, sehingga rumah yang cukup lapang itu menjadi sangat ramai dan penuh sesak. Diantara mereka ada yang ingin membantu, ada juga yang cuma ingin tahu karena penasaran dengan teriakan serta cekikikan orang kesurupan. Di dekat anak perempuan yang kesurupan itu tampak seorang nenek-nenek dengan sirih memerah di mulutnya sambil memegang seikat dedaunan bercampur rerumputan, dedaunan itu dipukul-pukulkan di ubun-ubun sang anak, semakin dipukulkan semakin keras pula cekikikan tertawa anak yang kesurupan tadi. Saya sendiri masih memilih untuk diam menonton sampai ada respon dari tuan rumah.

Melihat keberadaan saya dengan pakaian muslim, salah seorang keluarga anak yang kesurupan itu mempersilahkan saya untuk mengobati. Setelah dipersilahkan, saya meminta izin kepada kerumunan orang tersebut karena saya akan memakai cara pengobatan yang Islami, dan orang-orang tersebut tidak mempermasalahkan asal sang anak tidak kesurupan lagi.

Mulailah saya membaca beberapa ayat ruqyah yang saya hapal, terlihat reaksi sang anak berbeda dari sebelumnya yang lebih banyak tertawa cekikikan, saat diruqyah dari mulut anak itu lebih banyak teriakan kepanasan dan permohonan menghentikan bacaan yang saya baca. Semua yang hadir di rumah itu terdiam ditambah empat orang yang membantu memegangi sang anak kesurupan yang meronta ketika dibacakan ayat Quran, terakhir saya mengumandangkan adzan dengan keras di rumah tersebut, usai adzan barulah anak perempuan itu sadar dengan dirinya. Ucapan terimakasih bertubi-tubi datang dari keluarga dan kerabat sang anak.

Semoga saja dengan kejadian itu setidaknya telah memperlihatkan kepada mereka bahwasanya Ayat-ayat Allah dalam Al Quran dan Suara Adzan yang biasa dikumandangkan di Masjid ketika waktu sholat tiba memang luar biasa. Semoga Allah memberikan hidayahNya. Amiin.


0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More