Rabu, 29 Desember 2010

Manusia Bintang Lima

Oleh: Aditya Putra Priyahita

Menjadi muslim adalah menjadi kain putih. Lalu Allah mencelupnya menjadi warna ketegasan, kesejukan, keceriaan, dan cinta. Rahmat bagi Semesta alam
(Salim A Fillah)

Masa-masa kuliah saya di Yogyakarta sejak tahun 2006 yang lalu sangat identik dengan sebuah pencarian jati diri. Keinginan untuk menjadikan momentum kuliah sebagai batu pijakan untuk berubah menjadi lebih baik, menggiring saya pada sebuah alur cerita yang membawa banyak perubahan pada diri saya.

Pada awalnya, kebimbangan sempat begitu dominan menguasai. Beragam informasi yang datang dari berbagai macam pihak membuat saya bingung untuk memilih jalan seperti apa yang akan saya tempuh, dan bentuk kepribadian seperti apa yang akan saya jadikan model untuk diteladani.

Berada jauh dari keluarga untuk pertama kalinya, membuat saya harus lebih belajar bertanggungjawab terhadap diri sendiri. Orang tua selalu menekankan untuk berhati-hati dalam memilih pergaulan. Apalagi di tengah meluasnya isu mengenai aliran sesat atau jaringan terorisme yang sangat marak di Indonesia waktu itu. Parahnya organisasi keislaman di kampus turut kecipratan tuduhan sebagai tempat mendidik para teroris atau penyubur pengikut aliran sesat.

Isu-isu berbau fitnah itu membuat banyak sekali orang tua mahasiswa dilanda kekhawatiran yang berlebihan sehingga melarang sama sekali anak-anaknya untuk mengikuti kegiatan keagamaan, baik di luar maupun di dalam kampus.

Alhamdulillah, orang tua saya tidak termasuk yang berlebihan seperti itu, walau tentu kekhawatiran itu pasti ada. Ayah dan Ibu tidak melarang saya mengikuti kegiatan keagamaan di kampus asal saya bisa menjaga diri dan bertanggungjawab terhadap pilihan saya. Di lain pihak, banyak teman-teman seangkatan atau adik angkatan yang sudah terlanjur termakan isu tak bertanggungjawab tersebut sehingga menjauhi sama sekali hal-hal yang berkaitan dengan organisasi keagamaan. Padahal pada akhirnya saya  menyadari bahwa apa yang ada di organisasi keislaman di kampus sangat jauh dari apa yang dituduhkan.

Isu-isu itu pada mulanya ikut membuat saya bimbang, Di satu sisi, saya sungguh takut jika ternyata kegiatan yang saya ikuti akan membawa saya menjadi pengikut aliran sesat atau bahkan teroris seperti yang selama ini banyak dikhawatirkan. Sementara di sisi yang lain, keinginan untuk mengikuti organisasi keislaman begitu kuat menghentak. Keyakinan saya waktu itu adalah bahwa lingkungan menjadi aspek terpenting dalam proses memperbaiki diri. Karena itu, segala upaya untuk mendapatkan lingkungan yang baik, yang berisi orang-orang yang dekat dengan Allah, harus selalu dikedepankan. Salah satu yang terpenting adalah mengikuti organisasi keislaman di kampus. Sebab saya yakin, jika tidak proaktif mencari lingkungan yang baik, otomatis lingkungan yang buruk akan lebih mudah mengisi ruang-ruang kosong dalam kehidupan saya.

Kebimbangan saya Alhamdulillah mendapatkan jalan keluarnya saat saya mulai diperkenalkan dengan organisasi keislaman di kampus saya. Mulai dari OSPEK sampai acara-acara keislaman untuk mahasiswa baru yang rajin saya ikuti menuntun hati saya untuk berani mencoba mendaftar sebagai pengurus organisasi.

Satu hal yang semakin menguatkan saya yaitu ketika lebih mengenal sosok-sosok yang ada di dalam organisasi itu. Wajah-wajah para aktifis dakwah itu begitu menyejukkan, begitu mendamaikan. Sikap mereka yang sangat ramah dan tak pernah ragu membantu membuat keyakinan saya semakin berlipat bahwa merekalah yang harus saya jadikan teladan. Dan pada titik inilah perjalanan pencarian jati diri saya mulai menemukan alur ceritanya.

Selain mengikuti organisasi keislaman di kampus, satu hal yang cukup signifikan memberikan andil besar dalam proses pembentukan karakter saya adalah buku bacaan, Perhatian yang cukup besar terhadap bahan bacaan ini terinspirasi dari sebuah nasihat bahwa kita tidak akan pernah menjadi berbeda dan lebih baik dari sekarang jika apa yang kita baca itu-itu saja, tidak berubah, tidak meluas topiknya dan tidak bertambah banyak.

Berbagai jenis buku mulai coba saya baca. Mulai dari buku-buku keagamaan dengan tema-tema umum yang sederhana, buku-buku pemikiran keagamaan, buku-buku tentang dakwah dan pergerakan, buku-buku pergerakan berhaluan kiri, buku fikih, buku sastra, dan sebagainya. Kemudahan akses terhadap buku di kota besar seperti Yogyakarta membuat kesempatan untuk mencoba mempelajari berbagai hal menjadi lebih terbuka.

Keikutsertaan saya di organisasi keislaman kampus, yang lama-lama telah saya pahami sebagai organisasi dakwah kampus, turut berperan besar terhadap jenis buku yang saya baca. Yang semula ketika SMA buku bacaan saya hanya seputar komik dan novel kini menjadi lebih berbobot. Berbagai rekomendasi buku dari teman dan kakak angkatan seorganisasi sering menjadi dasar dalam memilih buku yang saya baca. Parameter saya sederhana. Selama yang merekomendasikan buku itu adalah orang yang pantas dijadikan teladan, kemungkinan besar buku itu bagus. Saya kemudian akan berusaha untuk membelinya, walau untuk itu tabungan saya harus terus tergerus sedikit semi sedikit.

Hal ini membuat saya menjadi semakin menggilai buku. Membaca semakin menjadi gaya hidup yang tak pernah bisa dipisahkan dari hidup saya. Belanja buku pun menjadi sebuah gairah tersendiri. Setiap pameran buku selalu saya datangi, toko-toko buku selalu saya rindui. Pernah dalam sebulan saya menghabiskan hampir satu setengah juta rupiah untuk membeli berbagai macam buku. Sebuah nominal yang cukup besar untuk anak kos seperti saya. “Buku itu investasi seumur hidup, Dit,” nasihat salah seorang sahabat yang membuat saya tak pernah menyesal mengeluarkan uang untuk membeli buku.

Buku-buku yang saya baca masing-masing menimbulkan kesan dan pengaruh tersendiri dalam proses pencarian jati diri dan pembentukan karakter saya. Namun, dari sekian banyak buku, yang memiliki pengaruh paling besar adalah buku Saksikan Bahwa Aku Seorang Muslim karya Salim A Fillah terbitan Pro U media. Sampai sekarang, buku itu masih sering saya baca ulang sebagai pengingat dan penyemangat untuk terus istiqomah berada di jalan kebaikan.

Uniknya, pengaruh besar buku ini baru saya rasakan setelah beberapa kali saya membacanya. Pertama kali saya membacanya hingga tuntas, tidak ada kesan mendalam yang saya rasakan. Buku ini baru benar-benar terasa pengaruhnya pada jiwa ketika saya membacanya sebelum melakukan ibadah umrah pada bulan Juli tahun 2009 yang lalu. Ketika itu, saya juga telah terlibat secara aktif di kepengurusan inti organisasi dakwah kampus.

Sebelum umrah, saya memang menyengaja membaca ulang buku kelima Salim A Fillah itu untuk mengingat kembali kisah-kisah Rasulullah dan sahabat serta menumbuhkan kerinduan dan kecintaan pada sosok-sosok mulia itu sebelum berziarah ke makam dan tempat yang menjadi saksi bisu perjuangan dakwah mereka, di Mekah dan Madinah.

Penuturan kisah yang sangat indah disertai analisis cerdas dan pemaparan ibrah yang relevan dengan konteks kekinian dari Salim A Fillah membuat pikiran dan jiwa saya tergugah. Sungguh, ini bekal luar biasa sebelum berangkat beribadah ke tanah suci.

Banyak sekali kemudian kejadian-kejadian di tanah suci yang kemudian saya renungi dan saya hubungkan dengan apa yang telah saya baca sebelumnya dari buku itu. Salah satu perenungan yang membawa efek besar pada diri saya adalah ketika saya mencoba memaknai sebuah fenomena yang sangat membekas di hati saya sewaktu melakukan ibadah umrah. Sebuah fenomena unik tentang hotel berbintang di Mekah dan Madinah.

Ada satu hal menarik tentang pemberian derajat bintang pada hotel-hotel yang saya temukan di tanah suci. Terdapat satu parameter penting untuk mengukur derajat bintang suatu hotel di Mekah dan Madinah. Derajat bintang suatu hotel di sana ternyata tidak semata-mata ditentukan berdasarkan kelengkapan fasilitas, kemewahan, dan kualitas pelayanannya. Hal yang jauh lebih penting untuk  menentukan derajat bintang suatu hotel adalah dekatnya jarak dengan masjid utama. Hal ini sangat terasa di sana, terutama di Mekah.

Sebagai perbandingan, selama rangkaian ibadah umrah kemarin, rombongan biro perjalanan kami menginap di tiga hotel di tiga kota, Madinah, Mekah, dan Jeddah. Ketiga hotel yang saya tempati kebetulan semuanya berbintang empat. Menariknya, meski sama-sama hotel berbintang empat, ketiganya sungguh sangat berbeda. Di kota Jeddah, hotel yang kami tempati secara fasilitas dan pelayanan memang sungguh luar biasa, mulai dari kamar dengan segala fasilitas dan tata letaknya, penataan ruang serta desain hiasan-hiasannya, sampai menu sarapan dan keramahan pelayanan, membuat kami terkagum-kagum. Sangat layak untuk diberi label hotel bintang empat, atau bahkan lebih.

Hal ini berbeda dengan hotel bintang empat yang kami tempati di Madinah. Secara umum hotel tersebut memang cukup baik secara fasilitas dan pelayanan, tetapi jika dibandingkan dengan hotel yang kami tempati di Jeddah, sangat berlebihan kiranya jika hotel tersebut diberi predikat bintang empat. Mungkin lebih pas jika hotel itu diberi predikat bintang dua. Tetapi di sana, fasilitas memang bukan satu-satunya penentu derajat suatu hotel. Jarak yang sangat dekat dengan Masjid Nabawi (hanya sekitar 30 meter) membuat hotel ini naik kasta dan mendapat predikat bintang empat.

Hal yang lebih ekstrim saya temui di Mekah. Sebelum sampai di hotel, guide rombongan kami sudah memberi peringatan sebelumnya agar kita tidak kaget melihat kondisi hotel yang akan kita tempati di Mekah, setelah sebelumnya menempati hotel yang cukup bagus di Madinah. Kenapa? Karena ternyata hotel yang kami tempati sangatlah kecil jika dibandingkan dengan hotel sebelumnya. Letaknya terjepit di antara ruko-ruko perbelanjaan dengan jumlah kamar yang sedikit dan tak seluas hotel yang sebelumnya saya tempati. Pelayanan dan fasilitasnya pun sama sekali tidak menunjukkan bahwa hotel yang kami tempati itu adalah hotel bintang empat.

Kalau hotel ini dipindah ke Jeddah atau ke Jakarta, saya tidak yakin hotel ini mendapat predikat bintang. Bintang satu sekalipun. Tapi lagi-lagi fasilitas dan kemewahan bukan parameter utama, jarak yang dekat dengan Masjidil Haram (sekitar 100 meter) membuatnya melangkah jauh menjadi sebuah hotel bintang empat. Subhanallah.

Dekatnya jarak menjadi suatu hal yang sangat mahal dan berharga bagi para jamaah yang melakukan ibadah umrah maupun haji. Kedekatan jarak tersebut membuat masjid-masjid utama dapat dijangkau dengan berjalan kaki, tak perlu harus membuang waktu dan energi dengan menunggu bus atau menyewa taksi. Hal ini tentu saja sangat meningkatkan kemudahan dan kenyamanan ibadah para jamaah, yang pada akhirnya akan lebih meningkatkan kualitas ibadahnya.

Keutamaan masjid pun ternyata juga menjadi penentu yang cukup signifikan. Masjidil Haram dengan Ka’bah sebagai kiblat umat Islam di dalamnya serta tempat untuk melakukan prosesi umrah, tentu saja memiliki keutamaan yang lebih dibandingkan dengan Masjid Nabawi di Madinah. Karena itu, hotel kami di Mekah lebih mahal daripada hotel yang kami tempati di Madinah, walau fasilitas dan pelayanan hotel di Mekah jauh di bawah hotel kami di Madinah.

Saya cukup tertarik untuk lebih jauh memikirkan fenomena ini. Alangkah indahnya jika kedekatan kita dengan masjid, yang merepresentasikan kedekatan kita dengan Sang Pencipta, juga dapat kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari untuk menentukan seberapa tinggi derajat kita.  Jadi, standar ukuran kita bukan lagi hal-hal yang terkait dengan materi keduniawian, bukan standar yang biasa digunakan oleh orang kebanyakan, tetapi kita mengukur segala sesuatu dengan ukuran kedekatan dengan Allah serta kesesuaian dengan syariat-Nya. 

Hal ini semakin meyakinkan diri saya bahwa seorang muslim sejati itu spesial, berbeda dengan orang kebanyakan. Mulai dari hal yang paling mendasar mengenai visi dan tujuan hidup, pola pikir, akhlak, standar hidup dan berbagai aspek kehidupan yang lainnya. Semua itu berstandar pada syariat-Nya. Ini hal utama yang dapat saya petik dari buku Saksikan Bahwa Aku Seorang Muslim.

Selama ini yang saya rasakan, banyak umat Islam begitu takut berbeda dengan orang kebanyakan. Memilih untuk menjadi seorang muslim yang pas-pasan atau seadanya agar tak dicap fundamentalis atau ekstrim jika menunjukkan totalitas keislamannya. Padahal derajat tinggi di sisi Allah didapatkan dengan menyesuaikan apa yang kita lakukan dengan syariat-Nya, bukan dengan mayoritas orang.

Standar inilah yang kemudian harus diimplementasikan dalam memandang segala sesuatu, sehingga apa yang kita anggap baik adalah apa yang dianggap baik oleh Allah. Di sini cara pandang materialistik menjadi tidak relevan lagi untuk diterapkan. Karena Allah tidak melihat rupa dan harta, tetapi melihat seberapa besar keimanan yang tertancap di dalam hati-hati kita. Sangat indah jika cara pandang kita seperti itu.

Misalnya soal kendaraan, becak atau bajaj yang membuat kita tawadhu’ dan tetap bersyukur kepada Allah memiliki derajat yang jauh lebih baik daripada mobil BMW keluaran terbaru yang membuat kita sombong dan melupakan Pencipta kita.

Sekolah berstandar internasional bukan lagi sekolah yang memiliki fasilitas yang lengkap dan mewah dengan pungutan biaya SPP yang tinggi, tetapi bisa jadi sekolah kumuh dan hampir rubuh, yang atapnya bocor di sana sini, tetapi membuat para siswa dan guru tetap bersemangat dan bertekad kuat belajar dan mengajar karena mereka menyadari bahwa apa yang mereka kerjakan adalah salah satu bentuk peribadahan terindah kepada Rabbnya.

Rumah yang mewah bukan lagi rumah tingkat tiga yang lantainya dilapisi marmer serta dilengkapi dengan kolam renang luas dan gazebo yang asri, tetapi rumah sederhana yang disemarakkan oleh keluarga yang sakinah, mawadah dan rahmah, tempat dilahirkannya generasi cemerlang masa depan yang siap membawa manfaat sebanyak-banyaknya untuk umat. Dan seterusnya, dan seterusnya.

Pengalaman yang saya dapatkan di tanah suci itu, serta pemahaman yang saya dapatkan dari buku Salim A Fillah semakin meyakinkan saya untuk tetap konsisten  menjaga identitas keislaman saya dan berbangga dengannya. Walau harus berbeda dengan kebanyakan orang, walau harus terlihat aneh di mata orang lain, dan sebagainya. Inilah jati diri saya: seorang muslim. Bukan muslim setengah-setengah, tetapi muslim yang kaffah.  Semoga keteguhan dalam keislaman ini akan tetap terjaga, hingga kelak ia akan mengantarkan pada sebuah derajat yang tinggi sisi Allah: Manusia Bintang Lima.


0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More