Jumat, 17 Desember 2010

Bercita-citalah Maka Kau Akan Sempurna

Oleh: Irvan Aqila


Cita-cita itu ibarat sebuah dinamo. Ia akan menggerakkan arus positif dan arus negatif yang akan mengontrol tubuh kita. Ia juga ibarat sebuah bahan bakar, yang menggerakkan kendaraan untuk bergerak maju dan melesatkan kereta dengan cepat.
Cita-cita itu ibarat sebuah pintu. Ya, ia adalah pintu kebahagian, pintu kesuksesan, dan pintu kesempurnaan.
Cita-cita itu juga ibarat sebuah obat yang mujarab. Ia akan menghilangkan kelemahan. Menghilangkan kemalasan. Menghilangkan kesedihan. Dan menghilangkan kehinaan.
Itulah sebungkus motivasi yang aku dapat setelah membaca buku karya Akhi Solikhin Abu Izzudin; Zero To Hero terbitan Pro-U Media. Kata-kata itu pula aku ambil sekerat demi sekerat dari tulisan beliau yang ada di dalam bukunya.
Tahun 2003 aku divonis dokter menderita GERD; Gastro Esophageal Reflux Disease. Penyakit ini menyerang esofagus dan lambung. GERD bermula dari maag yang terlalu diabaikan dan pola hidup yang jauh dari kata disiplin. Sehingga kemudian asam lambung yang berlebih sering naik ke esofagus (jembatan antara kerongkongan menuju lambung) ketika mencerna makanan. Dan menyebabkan rusaknya esofagus/GERD. Rasanya sangat tidak nyaman, susah bernafas (sesak), mudah pusing, cepat lelah, nyeri uluhati, dan lain sebagainya. Semua itu sudah barang tentu sangat membatasi gerak tubuhku sehari-hari.
GERD menyulapku menjadi laki-laki lemah.
Bahkan akibat GERD aku dipaksa menghentikan seluruh aktivitas kuliahku di akhir tahun 2005. Dan hingga kini mimpi untuk jadi sarjana itu pun masih menggantung entah dimana.
Bertahun-tahun aku terkungkung dalam ketidakberdayaan. Menyepi di dalam rumah ketika remaja seumuranku sibuk bercengkerama dengan ilmu di kampus-kampus dan teman sebaya. Saat mereka bergerak ke sana kemari mengisi hidup, aku malah sibuk membuat bubur dan macam-macam rebusan sayur untuk jatah makanku hari ini. Ajib kan? Yah, begitu seterusnya.
Dan efek dari puncak keterbatasan itu adalah ketika aku memutuskan untuk menanggalkan semua cita-cita dan mimpi yang selama ini telah kurajut sempurna. Dokter/rumah sakit seperti sudah menjadi teman/rumah keduaku. Bolak-balik mengunjungi mereka dalam rentang waktu yang sangat dekat.
Aku bagai bangkai yang berjalan. Hidup tak tentu arah karena tak punya sedikit pun cita-cita dan mimpi. Bergerak, berpindah, beringsut dari satu posisi ke posisi lain, namun tak disertai tujuan yang berarti. Karena aku merasa seluruhnya tidak mampu aku lakukan lantaran fisik yang sungguh terbatas ini.
Hanya kesembuhan yang aku harapkan. Tidak ada lagi.
Singkat cerita di beberapa tahun belakang, aku seperti menemukan kembali semangat hidup yang sempat tergadaikan oleh GERD. Dan salah satu penyebabnya adalah lecutan motivasi yang digoreskan oleh Akhi Solikhin di dalam karyanya yang fenomenal saat itu; Zero To Hero.
Di penghujung 2006 tepatnya aku menemukan buku ini. Seorang teman yang menjadi wasilahnya. Saat itu aku sedang berkunjung ke toko sembako tempat dia bekerja, karena saking bosannya berada di rumah dan hanya itu-itu saja yang aku kerjakan. Letaknya tidak jauh, masih dalam satu komplek perumahan. Kebetulan dia juga adalah teman mengajiku.
Jika biasanya dia selalu menyambut jika aku datang, namun kali ini aku rada dicuekin. Matanya asik membaca sebuah buku. Aku jadi tertarik melihat buku yang sedang dibacanya itu. Judulnya Zero To Hero. Entah karena mungkin judulnya sesuai dengan keadaan hatiku saat itu, atau memang judulnya yang unik, aku tergerak ingin tahu buku apa itu. Apalagi begitu melihat temanku seperti begitu serius dan asik membacanya. Seru sepertinya. Maka begitu ada pembeli datang, dan buku itu dia letakkan dulu di meja kasir, langsung saja kusambar.
Kata-kata pertama yang menyentilku adalah tulisan kaki yang ada di sampul depannya; “Kemampuan kita terbatas? Itu bukan masalah! Sebab bila di tengah keterbatasan itu kita mampu mendahsyatkan diri untuk meraih prestasi tinggi, itulah kepahlawanan sejati. Zero To Hero!”
Subhanallah… lihatlah, bukankah kata-kata motivasi ini yang selama ini kucari? Menjadi dahsyat di tengah keterbatasan. 
Aku yang merasa sangat terbatas karena penyakitku saat itu, langsung penasaran buku apa sih ini? Buru-buru kubuka lembaran demi lembaran halamannya.
Buku ini bukan buku cerita, meski di dalamnya banyak berkisah tentang orang-orang biasa yang sukses meledakkan dirinya dengan prestasi yang luar biasa. Kisah sebagai cermin hidup kita. Mereka orang biasa. Mereka terbatas. Namun di tengah keterbatasannya, jiwa mereka tergugah untuk tampil menyejarah.
Dar! Tiba-tiba keputus-asaanku digugat saat membaca penggalan isi buku itu. Aku merasa terwakili oleh paragrap ini. Aku yang terbatas dipaksa untuk mencontoh jejak para tokoh di dalam buku ini, seperti Imam Syafi’I dan Abu Bakar Al Misky, serta yang lainnya.
Semangatku meledak tatkala membaca cuplikan kisah Doktor Helen Killer; Seorang wanita yang buta, bisu, dan tuli, namun mampu mendahyatkan dirinya hingga menjadi seorang Doktor.
Merasa perlu membaca buku ini, akhirnya aku memberanikan diri untuk meminjamnya (dan akhirnya aku beli juga buat koleksi pribadi) pada temanku. Awalnya ia menolak karena beralasan sedang tanggung bacanya. Tapi setelah aku rayu dengan main playstation seharian gratis di rumah, akhirnya ia setuju. Hihihi.
 “Ya udah, tapi jangan lama-lama yah,” katanya waktu itu.
Yes! :)
Membaca seluruh isi buku Zero To Hero, aku jadi merasa tertantang untuk bisa bangkit kembali. Banyak ilmu yang aku dapat. Dan semakin menyadarkanku bahwa keterbatasan bukanlah ujung dari semua cita-cita dan mimpi-mimpiku. Justru keterbatasan menjadi titik awal untuk kita bisa membuktikan. Dan penyakit bukanlah musuh abadi. Ia malah kadang bisa menjadi teman baik, manakala kita membutuhkan sebuah pecutan yang dahsyat dan keistiqomahan.
Karena aku sendiri tak munafik bahwa keadaan senggang, luang, sehat, nyaman, kadang membuat diri ini terlena dan jauh dari keistiqomahan. Justru karena sakit aku malah merasa harus melawan penyakit itu dengan semangat dan membuatku malah bisa lebih istiqomah.
Coba aja deh rasain sendiri. Kadang kalau lagi luang tuh kita malas banget ibadah. Tapi begitu sempit (sakit) aja? Hehehe. Getol! Tapi alhamdulillah, berarti masih ada sadarnya. Yang berabe tuh kalau sudah dikasih sempit sama Allah, eh nggak sadar-sadar.
Tanpa ada seorang pun yang tahu, aku pungut kembali cita-cita dan mimpi yang sempat kubuang jauh-jauh selama ini. Kubersihkan dan kupajang rapi dalam hatiku. Namun kali ini cita-cita itu kumodifikasi layaknya sebuah kendaraan, menyesuaikan kemampuan sang supir.
Jreng!
Jika dulu aku bercita-cita ingin jadi seorang desainer grafis dan bekerja di sebuah kantor majalah sebagai ilustrator, sekarang…
Aku ingin jadi seorang penulis!
Hehehe. Ya, benar! Itulah cita-cita modifikasiku. Kan kutuang semua catatan hidupku yang seru ini (aku akhirnya berdamai dengan si GERD, aku bilang memelihara GERD itu seru. Karena aku jadi tidak sembarang makan lagi, hehehe) ke dalam lembar tulisanku.
Dalam pertimbanganku saat itu adalah; seorang penulis tidak perlu pergi bekerja ke luar rumah setiap hari. Penulis itu bisa menulis di mana saja dia mau, kapan saja dan dengan gaya apa saja dia suka. Aku membayangkan aku masih bisa menulis sambil nungging-nungging saat merasakan perut yang kembung akibat perbuatan si GERD (misal pahitnya). Dan yang paling penting untuk menjadi seorang penulis aku tidak perlu kuliah! Cihuuuyyy! Karena saat dipaksa si GERD untuk memutuskan aktivitas kuliahku saat itu, aku pikir saat itulah masa depanku sudah habis.
Zero To Hero-nya Akhi solikhin jelas bukan ‘biang keladi’ satu-satunya yang menyebabkan api semangat dalam diriku berkobar kembali. Masih ada campur tangan Allah Azza Wa Zalla yang  utama, dukungan orang lain serta ladang ilmu dari berbagai sumber. Namun percayalah, buku ini bagiku merupakan sumber inspirasi besar yang pernah ambil bagian dalam penciptaan semangatku yang sempat meredup itu. Goresan-goresan tulisan di dalamnya banyak membuatku berpikir ulang bahwa sesungguhnya berprestasi dalam keadaan terbaik itu biasa, namun berprestasi dalam keadaan terbatas itulah sejatinya yang luar biasa!
“Cita-cita itu ibarat sebuah obat yang mujarab. Ia akan menghilangkan kelemahan. Menghilangkan kemalasan. Menghilangkan kesedihan. Dan menghilangkan kehinaan.” Aku membuktikan benar kalimat-kalimat mujarab dalam buku ini.
Dan karena cita-cita dan azzam yang kuatlah… yang mendorongku untuk menghasilkan semua karya ini di tengah keterbatasanku.
Beberapa karya yang sudah berhasil kubuat di tengah keterbatasan selama ini; novel Sholeh on 7, novel Pinokiyoh, novel Ketika Cinta Berlari, novel Cinta Bikin Mules, beberapa buku non fiksi dan beberapa cerpen yang diterbitkan di media. Itu semua hasil di antara banyak hasil yang kugoreskan di tengah keterbatasanku.
Alhamdulillah … Engkau ternyata begitu sayang kepadaku Ya Allah!
ZERO TO HERO!

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More