Senin, 20 Desember 2010

Jalan Pernikahan Hamdan

Oleh: Suwandi

Hamdan, begitulah orang memanggilnya. Bernampilan sederhana,berperawakan sedang, berkulit sawo matang dan rambut bergelombang. Ia adalah salah satu mahasiswa di salah satu Universitas di Surabaya. Selain kuliah, kegiatan sehari-harinya ialah mengikuti kegiatan ekstrakurikuler kampus, seperti Unit Kegiatan Kerohanian Islam (UKKI) tingkat universitas dan Sie Kerohanian Isalam tingkat jurusan, Badan Eksekutif Mahasiswa Jurusan (BEMJ) bahkan ia juga pernah menjabat sebagai ketua BEMJ dan ketua SKI. Selain itu dia juga menjadi Murrabi (pembimbing) kelompok kajian di asrama-asrama islam mahasiswa. Ia terkenal sebagai seorang yang sangat ramah, lemah lembut dan bijaksana. Berasal dari kota kecil di Jawa Timur, yang terkenal dengan kota soto, Lamongan.

Saat kuliah, ia tinggal di asrama (kontrakan ) mahasiswa. Alasan tinggal di kontrakan ialah biayanya lebih murah di bandingkan dengan tinggal di kost. Di kontrakan ia juga terkenal sebagai seorang yang sangat rajin dan cinta kebersihan. Tidak heran jika Hamdan pulang ke kampungnya, kontrakan jadi agak berantakan. Maklum, kebanyakan mahasiswa enggan membersihkan kontrakan meskipun jadwal piket telah di buat.

Di kampus, Hamdan terkenal sebagai mahasiswa yang cerdas dan pandai. Banyak mahasiswa yang sering konsultasi masalah tugas akhir ataupun tugas-tugas harian. Ia pun dengan senang hati melayani pertanyaan teman-temannya dengan penuh kesabaran. Tak jarang, dosen-dosenya pun sering meminta bantuan Hamdan. Sehingga ia mendapat beasisiwa hingga ia lulus. Namun, hal ini tidak membuatnya lantas menjadi mahasiswa yang sombong, ia tetap rendah hati dan suka menolong.

Tanpa terasa, kuliahnya telah menginjak ke semester delapan. Hari–harinya di sibukkan dengan menyelesaikan skripsi. Hamdan mempunyai target untuk bisa lulus tepat waktu. Maka itu ia rajin konsultasi. Meskipun demikian, ia tidak lantas meninggalkan aktifitas dakwahnya. Ia tetaplah seorang Murrabi dan sekaligus santri, karena ia juga masih mengaji ke seorang ustad, yang sudah di anggap seperti ayahnya sendiri, ustad Baihaqi namanya.

Namun ujian datang di kala ia harus cepat-cepat menyelesaikan tugas akhirnya. Ayahnya sakit keras dan harus di rawat inap di rumah sakit. Ayanhya di vonis menderita sakit tumor lambung stadium empat. Hal ini membuatnya harus berjuang, menyelesaikan skripsi dan merawat ayahnya yang sedang sakit keras. Deadline pengumpulan draft skripsi kurang satu minggu lagi. Ia masih kebingungan mecari data pelengkap skripsinya. Karena, skripsinya masih ada yang perlu di revisi di bab empat. Usaha telah ia lakukan dan doa pun telah ia panjatkan kepada Allah SWT. Namun, hingga sehari sebelum batas akhir pengumpulan skripsi ia belum juga dapat menyelasaikan revisiannya karena memang ia juga sibuk mengurus pengobatan ayahnya di rumah sakit.

Di malam yang sunyi, dengan usaha keras, ia mulai menyelesaikan skripsinya. Komputer pentium satu yang sudah agak usang dimakan usia, miliknya ada di hadapannya. Di tekan nya tombol-tombol komputer itu dengan lincah. Bunyi tombol-tombol komputer menemaninya sepanjang malam itu. Sambil di temani secangkir kopi tubruk untuk mengusir kantuk, akhirnya dengan segala usaha, ia pun dapat menyelesaikan skripsinya. Sayangnya, ia telah melebihi batas waktu yang telah di tentukan oleh jurusan. Ia sangat khawatir kalau-kalau ia tidak bisa ikut ujian yang artinya ia harus menunda hingga semester depan alias molor satu semster. Ia segera menemui ketua jurusan. Namum draft skripsinya tidak diterima dengan alasan telah melebihi batas waktu yang telah di tentukan oleh jurusan. Hamdan tidak lantas berputus asa. Ia tetap yakin bahwa Allah SWT akan memberikan jalan kepada setiap hambanya yang sabar dan tak mengenal putus asa.

Hari itu sehari sebelum menjelang ujian skripsi. Langit tampak cerah, matahari bersinar tajam, menembus rongga-rongga ranting dan dedaunan pohon di sekitar kampus. Angin berhembus sepoi-sepoi.Tidak seperti hari-hari sebelumnya, banyak mahasiswa yang berduyun-duyun mengumpulkan draft skripsi. Hanya Hamdan seorang melangkahkan kaki menuju gedung fakultas. Dengan tergopoh-gopoh Hamdan menuju lantai dua gedung C2. Ia segera menemui asisten Dekan III, ia segera mengutarakan maksudnya. “Assalamualaikum”. Walaikumsalam, silakan masuk”, jawab seorang yang berambut cepak, berkumis tipis, memakai kacamata lensa cembung, yang tak lain ialah assisten Dekan III, pak Beni namanya. “Ada apa dik”, tanya pak Beni. “ Ini pak, saya kan mau mengumpulkan draft skripsi saya untuk ujian besok. Tapi tidak diterima pak karena sudah melebihi batas waktu”. “ Kenapa sampai melebihi batas waktu yang di tentukan?”, Tanya pak Beni. “ Ayah saya sakit keras pak, dan di rawat di rumah sakit. Sehingga saya juga sibuk mengurus ayah saya”, jawab Hamdan. “Apakah sudah selesai skripsinya?”. “ Sudah pak”, jawab Hamdan dengan penuh harap.“Coba mana draftnya?” segera Hamdan mengeluarkan empat bendel draft skripsi. “ Ini pak”. “ Ini memang sudah selesai dan siap untuk di ujikan. Akan saya buatkan surat rekomendasi untuk bisa ikut ujian besok”, respon pak Beni.

Pak Beni segera mengetikkan surat rekomendasi dan menyerahkannya kepada Hamdan. “ini surat rekomendasinya”, kata pak Beni. “Alhamdulillah, terimaksih pak”, sahut Hamdan sambil meraih secarik kertas itu. “Iya, semoga sukses ujiannya besok”. Hamdan menyalami pak Beni sambil megucapkan terimaksih dan salam. Pak Beni memang terkenal orang yang sangat pro mahasiswa. Segala kebutuhan mahasiswa yang menyangkut akademik akan segera ia bereskan.

Di hari penentuan itu, skripsi Hamdan diuji oleh tiga dosen penguji. Beberapa mahasiswa yang kebetulan ujian pada hari itu, keluar dari ruang sidang dengan bermacam-macam ekspresi. Ada yang keluar ruang sidang langsung meloncat bahagia, ada yang keluar sidang langsung menangis, dan ada yang biasa-biasa saja. Itulah ekspresi mahasisiwa yang baru aja di sidang skripsinya. Entah mereka bahagia sudah bisa ujian atau karena telah di hujani pertanyaan sehingga tidak bisa menjawab. Sementara itu, “ Muhammad Khoirul Hamdan”, nama Hamdan telah di panggil masuk ruang sidang. Di dalam ruang sidang telah duduk tiga orang penguji yang siap “menghajarnya”. Setalah presentasi, pertanyaan demi pertanyaan di lontarkan oleh ke tiga dosen penguji. Hamdan pun menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Ujiannya cukup lama untuk ukuran skripsi mahasiswa strata satu, kurang lebih lebih hampr dua jam Hamdan di hujani pertanyaan yang berat dari dosen pengujinya. Setelah ujian selesai, ia dinyatakan lulus dengan predikat pujian. Ia pun bersyukur atas apa yang telah ia usahakan selama ini. Ternyata Allah SWT selalu menolong hambanya dalam kesulitan.

Sementara itu, sakit yang di derita oleh ayah Hamdan belum juga menunjukkan tanda-tanda akan sembuh. Sampai hari menjelang wisudanya ayahnya belum juga sembuh. Hingga akhirnya wisudanya tanpa di hadiri oleh ayahnya. Ia sangat sedih. Biar bagaimanpun ayahnya lah yang selalu mendorongnya untuk bisa kuliah dengan biaya seadanya. Namun ia tetap bersykur atas apa yang Allah berikan. Bisa bisa lulus tepat waktu adalah kebahagian tersendiri baginya karena selain tidak akan merepotkan orang tuanya lagi, ia juga bisa fokus merawat orang tuanya terutama ayahnya yang sedang sakit keras.

Setelah wisuda, kegundahan muncul di hati Hamdan. Bayang-bayang pernikahan selalu muncul dalam benaknya. Umurnya telah menginjak angka 27 tahun. Ia memang tidak langsung kuliah setelah lulus SMA, di bekerja mengumpulkan biaya untuk kuliah, hingga usia ke 23 ia baru bisa mendaftar kuliah dengan biayanya sendiri, hasil jerih payahnya selama empat tahun. Selama kuliah, ia sangat sibuk dengan aktifitas dakwah dan organisasi. Hingga akhirnya ia tidak sempat memikirkan masalah menikah. Ia bingung harus bagaimana, ayahnya yang sakit seolah-olah berpesan agar ia cepat-cepat mencari pendamping hidup agar menjadi teman untuk berbagi suka maupun duka.
Hari itu, langit biru sudah tertutup gelapnya malam, suara kendaraan berlalu lalang di jalan, penuh sesak, bau asap knalpot mobil dan motor menusuk hidung. Hamdan dengan hati-hati mengendarai sepada motor tuanya, menuju rumah seorang Ustad. Malam itu waktunya Hamdan liqo’ (kajian) ke Ustadnya, ustad Baihaqi. Wajah Hamdan menampakkan kegundahan yang amat dalam. Matanya menatap mushaf Al-Quran, duduk bersila mengahap ustadnya. Di sebelahnya ada beberapa teman yang juga siap menerima materi dari ustad Baihaqi. Seorang Murrabi layaknya orang tua sendiri, tak pelak yang menjadi kegudahan Hamdan pun di ketahui oleh Murrabinya. Tiba-tiba Ustad Baihaqi bertanya, “ Hamdan, apakah ada sesuatu yang mengganggu hatimu?” “Tidak ustad”, jawabnya sampil menggelengkan kepala. “Apakah antum ingin menikah?” Hamdan pun bingung, kenapa ustadnya bisa tahu akan perasaanya tentang pernikahan. Ia lalu menjawab “ Tapi sepertinya ana belum siap, Ustad”, sambil menunjukkan ekpresi menyembunyikan keinginan yang sebenarnya.“ Gerangan apa yang membuatmu belum siap?” Hamdan terdiam sejenak. Seakan malu akan mengatakannya. Tanpa di jawab, lalu ustadnya melanjutkan. “Bukankah jika engkau menikah itu sama dengan menyempurnakan agama Allah dan tentu Allah akan memberikan jalan ke suatu ikatan yang suci lagi mulia itu?” lalu Hamdan menjawab, “ Tapi Ustad, ana belum bekerja”. Apakah Allah akan menyia-nyiakan hamba-Nya yang telah menyempurnakan agama Allah? Sekali-kali tidak. Jika engkau menikah maka Allah akan membukakan rezeki yang tidak engkau sangka–sangka, asalkan antum mau berusaha dan tetap sabar”.

Tak sepatah katapun muncul dari mulut Hamdan mendengar ucapan ustadnya. Ia mengingat-ingat beberapa buku yang pernah ia baca, “Nikmatnya Pacaran Setelah Pernikahan, Jalan Cinta Para Pejuang, dan Segenggam Rindu untuk Istriku” yang intinya sama dengan apa yang ustadnya katakan. Hamdan memang gemar membaca buku-buku terbitan ProU Media karena buku-buku yang diterbitkan penuh dengan makna dan kebaikan bagi setiap yang membacanya. Baginya membaca sama dengan makan dan minum, satu hal yang pokok. Tidak heran ia memiliki setumpuk buku terbitan Pro-U Media.
“Antum segera buat proposal nikah aja. Nanti ana akan sampaikan ke Murrabiyah teman ana” Hamdan tidak punya pilihan lain, selain menjawab iya. “Baik Ustad, liqo’ minggu depan InsyAllah akan ana serahkan ke Ustad”. “ Tafadol, ana tunggu. Semoga Allah memberikan kemudahan kepada antum”. “Jazakallah Ustad”, seraya beranjak dari tempat duduknya. Dan langsung berpamitan dan mengucapkan salam.

Keesokan hari, Hamdan segera membuat proposal pernikahan. Hatinya bahagia sekaligus sedih. Ia kembali teringat ayahnya yang sedang sakit keras di rumah sakit. “Akankah jika aku menikah nanti juga tidak bisa di hadiri oleh ayahku?”, dalam benaknya ia bertanya. “Ya Allah berilah kemudahan dan pertolongan-Mu kepada hamba-Mu yang lemah ini. Hanya pertolongan-Mu lah sebaik-baik pertolongan”, sambil meneteskan air mata ia berdoa di kesunyian malam.

Di malam Liqo’ itu, malam yang sangat cerah, langit bertabur bintang, gemerlap lampu ibukota yang menantang dan suara kendaraan berlalu lalang, melintsi jalan-jalan aspal hitam legam. Di dalam rumah itu, “ Bagaimana proposalnya, sudah jadi?”. “ Sudah ustad” , jawab Hamdan. Tiba-tiba ustadnya mengeluarkan beberapa lembar kertas yang ada tulisannya, tampaknya semacam biodata seseorang, proposal nikah. “Ini ana bawakan satu proposal dari akhwat. Antum baca dan segera putuskan secepatnya”. “Iya Ustad, ana akan baca dan nanti kalau sudah selesai ana beri tahu”.

Sesampainya di rumah, di bacanya nama wanita itu tertulis, “Sarah Anandya Qurrota’ayunin”. Bergetarlah hati Hamdan membaca nama itu. Nama yang sangat indah dan mempesona. Ia lanjutkan membacanya hingga selesai. Tapi, Hamdan tidak langsung memutuskan menerima atau menolak proposal itu. Ia sholat istikhoroh selama satu minggu berturut-turut.Tujuanya ialah untuk memperolah petunjuk dari Allah dan mendapat kemantapan hati. Setelah ia merasa mantap, ia segera mengirim pesan singkat ke Murrabinya. “Saya sudah mantap Ustad”. Tidak sampai satu menit ponsel Hamdan bergetar, muncul tulisan di ponselnya “satu pesan baru di terima” dari ustad Baihaqi,” Ok, akan segera ana proses.”

Dimulailah proses ta’aruh itu. Antar Muraabi dan Murrabiyah sudah saling berkomunikasi dan masing-masing sudah mengatur jawal pertemuan ke orang tua calon mempelai wanita. Suatu saat Hamdan dan Murabbinya berniat mengunjungi rumah calon memepelai wanita. Namun karena pada saat ia itu hanya memiliki uang duapuluh lima ribu rupiah. Ia bingung akan di belikan apa sebagai oleh-oleh ke orang tua calon mempelai wanita. Tanpa pikir panjang, sang Murrabi memberinya uang untuk di belikan oleh-oleh yang pantas untuk di bawa ke rumah orang tua calon mempelai wanita. Sampai hari itu pula ia belum bisa melihat wajah calon istrinya secara langsung, hanya dari foto yang di lampirkan di proposal nikah. Itupun hanya foto hitam putih ukuran 3x4 yang tampaknya sudah cukup lama di simpan.

Setelah proses ta’aruf yang berlangsung selama kurang lebih satu bulan, hari pernikahannya pun ditentukan. Namun ia sedih karena pernikahannya tidak di hadiri oleh ayahnya karena sekit keras yang diderita. Bahkan akhirnya ayahnya meninggal selang beberapa minggu ia menikah. Namun setidaknya Hamdan telah melegakkan hati ayahnya, telah menikah sebelum ayahnya meninggal.

Hamdan menikah dengan wanita sholihah, seorang guru Madras Ibtidai’yah (setingkat SD) di Surabaya, yang sudah berpenghasilan dan dapat mencukupi kebutuhan keluarganya. Wanita sholehah cantik jelita dengan segala kelembutan hati dan kebaikan akhlaknya. Ia menikah tepatnya awal tahun 2007, hanya selang beberapa bulan setalah ia lulus dari kuliahnya. Kini, Hamdan telah dikaruniai dua orang putri yang lucu-lucu dan pintar. Ia juga sedang merintis sebuah usaha kayu dan Alhamdulillah sekarang ia telah mampu membeli sebuah kendaraan truk untuk kegiatan usahanya. Subhanallah, sungguh Allah telah memberikan jalan kemudahan bagi setaip hamba-Nya yang sholeh dan sholihah dan kepada setiap hamba-Nya yang selalu istiqomah berdakwah di jalan-Nya untuk bisa memperoleh kebahagian hidup di dunia dan akhirat.

Cerita ini di ambil dari kisah nyata, jalan pernikahan seorang Ustad yang tinggal di Surabaya. Nama2 tokoh di samarkan.)

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More