Jumat, 17 Desember 2010

“Lima Menit Pertama”

Oleh: Dwi Murdaningsih

Saya tidak ingat sejak kapan saya mulai suka menulis. Tapi kalau kebanyakan orang bilang, orang yang tidak suka bercerita cenderung akan suka menulis. Itu berlaku untuk saya. Saya termasuk orang yang tidak begitu suka menceritakan hal-hal yang saya alami seharian, dan saya punya satu alasan yang bagus kenapa saya begitu. Saya memiliki wajah yang sangat tidak ekspresif, itu alasannya. Bagi teman-teman yang sudah lama mengenal saya, muka saya hampir selalu sama saja di setiap situasi. Mau sedih, senang, bingung, jangan pernah mengaharapkan ada perubahan air muka. Stay cool, tenang jangan heboh…itu prinsip saya.

Saya mulai suka menulis sejak saya menyadari bahwa tulisan kadang lebih bisa bercerita, lebih bisa mengekspresikan suasana hati. Hal ini bisa dibuktikan dengan banyaknya orang yang bercucuran mengeluarkan air mata ketika membaca sebuah novel sedih. Perasaan sedih bahkan bisa lebih terdramatisir oleh tulisan.

Satu hal yang tidak bisa saya lupakan tentang pengalaman pertama saya menulis adalah ketika masih duduk di kelas 3 SMA. Seorang guru bahasa Indonesia saya mengajukan kontark belajar yang unik selama satu tahun mengajar.

Guru kami mengajukan ritual yang kami sebut sebagai “lima menit pertama”. Sungguh sebuah aktivitas yang sangat membosankan ketika itu. Namun, Subhanalloh, kadang manusia memang baru bisa mengambil sebuah pelajaran dari setiap kejadian bertahun-tahun sejak peristiwa itu terjadi. Sekarang, saya melalukan aktivitas yang serupa dengan nama yang berbeda “ dua puluh menit semalam”. Untuk bapak Ashief, terimakasih telah mengajari saya cara menulis.

***
(Banjarnegara, 2006)
Pak Ashief, itu nama guru bahasa Indonesia kami. Beliaulah pencetus gerakan “5 menit pertama”. Kontrak belajar kami selama duduk di kelas 3 IPA 4 dulu adalah 5 menit pertama masuk ke kelas akan kami gunakan untuk menulis. Menulis apa saja, boleh menulis tentang perasaan yang kami alami hari itu, menulis kejadian kemarin, atau jika kami kehabisan bahan tulisan yang bagus, maka kami akan mengomel-ngomel tentang guru di sekolah dan pelajaran yang membosankan.

Masih tentang Pak Ashief, sepertinya beliau memang punya metode sendiri bagaimana cara mengajar pelajaran bahasa Indoenesia. Tidak melulu belajar mengenai pola kalimat aktif pasif, makna dari sebuah kosa kata, beliau mengajarkan kami bagaimana cara membaca puisi, cara berbicara di depan umum dan yang lebih penting beliau mengajari kami bagaimana cara melatih untuk membiasakan diri menulis. Sebentar saja, hanya 5 menit ketika belajar bahasa Indonesia di kelas.

“Saya yakin, suatu hari ada diantara murid saya yang akan menjadi penulis besar. Saya yakin suatu hari aka nada manfaat dari kegiatan ini. Memang bukan sekarang, tapi Insyaallah bertahun-tahun lagi. Semua penulis berawal dari latihan menulis seperti yang sedang kita lakukan sekarang”, kalimat yang dilontarkan dengan sederhana ini terdengar menjadi alasan yang cukup rasional untuk mendasari ritual 5 menit pertama. Kami pun mengamini saja tanpa protes

Bagi saya, 5 menit pertama ketika pelajaran bahasa Indonesia adalah bukan 5 menit yang menyenangkan. Lebih tepatnya lagi, pelajaran bahasa Indonesia tidak pernah saya rasakan sebagai pelajaran yang  harus ditekuni dengan serius. Bahasa Indonesia adalah jam pelajaran santai, tak harus berfikir keras dan bisa diikuti dengan sesuka hati, sedangkan menulis adalah aktiviats yang memerlukan begitu banyak energi.

 Sebagai siswa yang mengambil jurusan IPA, bahasa Indonesia termasuk pelajaran yang ringan, tidak perlu mengeluarkan banyak energi untuk analisis, untuk memahami, untuk menghitung, hanya perlu sedikit konsentrasi agar tidak terasa mengantuk ketika di kelas. Tapi, ritual “5 menit pertama” seolah menjadikan pelajaran bahasa Indonesia menjadi pelajaran yang lebih sulit dibandingkan kimia.
***
Dalam sesi pelajaran bahasia Indonesia yang lain, pak Ashief menyuruh kami berdiri di depan kelas menyebutkan cita-cita selama 5 menit. Saya tidak tahu kenapa pak Ashief begitu suka dengan angka 5. Tidak terbiasa berbicara di depan kelas, membuat saya cukup grogi ketika menceritakan rencana hidup saya jalan panjang. Lagipula, saya termasuk orang yang tidak bisa berfikir jauh samapi bertahun-tahun ke depan. Saya hanya bisa merencanakan apa yang akan saya lakukan hari ini atau paing cepat selama 1 tahun ke depan. Itupun hanya rencana-rencana standar.
Ketika maju di depan kelas dan menceritakan tentang cita-cita, ringan saja. Sambil mengalir saya menceritakan bahwa tahun depan saya akan mengambil kuliah di jurusan kimia, jurusan yang saya ambil sekarang dan selebihnya saya hanya mengada-ada ingin menjadi seorang penulis atau wartawan.

“Kata-kata itu sebagian dari doa”,  itu yang selalu dikatakan ibu saya agar saya selalu berkata yang baik. Saya tidak pernah berfikir bahwa apa yang saya alami sekarang bisa jadi merupakan buah perkataan saya dulu. Kecintaan saya terhadap menulis bisa jadi mulai tumbuh sejak saya mengungkapkan dengan asal bahwa saya ingin menjadi penulis. Wallohu a’lam, saya begitu mencintai menulis.

***
(Solo, 2009)
Suatu siang, di book fair di Solo, bertemulah saya dengan “Inspiring Words for Writers” tulisan Ustad Fauzil Adhim. Melihat judul, saya langsung terlarik.  Nafsu menulis saya sedang memuncak tak tertahankan. Lembar demi lembar saya baca, semakin memotivasi saya untuk menulis lebih banyak.

“Setiap tetes tinta seorang penulis adalah darah bagi perubahan peradaban”. Perubahan, wow…keren banget, bagaimana mungkin hanya sebuah tulisan bisa membawa kepada perubahan? Hmm…tentu saja, yang membawa perubahan zaman pra-sejarah dan zaman sejarah adalah tulisan. Amazing, itu baru hal yang sederhana, belum mencakup perubahan lain yang lebih dahsyat. Perubahan umat, itu yang sedang umat Islam usung, dan saya ingin menjadi salah satu pemainnya.

 “Aku tidak melihat mata pisau yang lebih tajam melebihi goresan pena seorang penulis. Maka, perhatikanlah ke arah mana ujung penamu membawa gejolak perubahan.” Kalimat ini semakin menyadarkan saya bahwa begitu banyak cara untuk berjuang, dan hari ini Insyaallah saya telah memutuskan jalan mana yang saya pilih sebagai alat perjuangan. Menulis. Ya, saya berazam menjadi pejuang pena.

Perubahan peradaban melalui tulisan. Arah perubahan itulah kita yang memegang kendali. Menulis dengan hati, edit dengan rasio. Harus berhati-hati ketika menulis karena kalau salah menulis sedikit saja akan berakibat fatal bagi peradaban. Jika orang yang membaca tulisan justru menangkap hal yang negatif, bisa jadi kita turut memikul dosa pengikutnya sebagaimana pembunuhan pertama yang dilakukan oleh Qobil ketika zaman nabi Adam dulu, maka perlu hati-hati agar tulisan tidak membawa kemadhorotan.

Satu hal yang sering saya lupakan ketika menulis adalah kelurusan niat ketika menulis. Terkadang sering merasa keren ketika tulisan berhasil menembus koran, namun sebuah kalimat milik Ustad Fauzil Adhim benar-benar menohok saya, “Hari ini, ketika hampir seluruh hajat hidup kita dikuasai Yahudi, masihkah kau sibuk bergenit genit menulis hanya untuk mendpatkan tepuk tangan?”, Astagfirullohaladzim…sebuah nasihat pendek yang menjadi awalan ketika menulis, jangan pernah menulis hanya untuk mendapatkan tepuk tangan. Menulis sebagai wasilah perjuangan, bukan pujian semata. Biarlah Allah, Rosul dan orang muslim yang menilai.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More