Senin, 20 Desember 2010

Tinta-tinta Cerah Kehidupanku

Oleh: Erna Dwi Susanti

Tinta-tinta Cerah Kehidupanku
Kampus Revolusioner, Bandung, 10 November 2010

Akhwat pejuang islam, perindu surga, pengkokoh kenikmatan.....
Bersama kalian semua terukir. Indah. menyejukkan.
Banyak yang mengajarkan aku, hati-hatilah dalam bergaul. Termasuk dalam mencari teman dan menjalin satu hubungan. Karena ingatlah ketika kita berteman dengan seorang penjual minyak wangi maka kita juga akan terbawa wangi olehnya dan saat kita berteman dengan seorang pandai besi kita juga akan kebawa aroma besi bakarnya. Maka dari itu berhati-hatilah manakala kita mau berteman dan mencari lingkungan. Begitu pula satu penuturan yang ku dapatkan kesekian kali dari buku ini. Buku yang ku anggapnya cukup menggugah. Satu monumental dari pakarnya, Salim A. Fillah, dalam dekapan ukhuwah. Hm merasa luar biasa dari yang biasa. Ada yang bilang gak ada yang spesial, tapi justru aku dapatkan pengalaman dan hakikat diri dari suatu ukhuwah. Satu citra sejati darinya. Aku yang pada mula adalah tiang pribadi yang sangat tidak merasa enjoy dengan arti persaudaraan, tapi dari sini aku merasa ada satu dan dua sampai kini tiada terkira berapa jumlah warna yang menghiasi hidup dan kehidupan ini….

Pertama kurasai kehangatan itu,
Wuih mantap!!! nasehat-nasehat Salim, saat kita udah mengupayakan untuk memiliki satu persaudaraan, atau tepatnya satu ikatan ukhuwah yang tidak banyak menuntut, yang disertai dengan keloyalitasan, rasa saling memiliki dan rasa saling memahami di sanalah akan mampu kita merasakan kehangatan dari ukhuwah itu sendiri. Saling melengkapi dan saling menguatkan, ini lah yang aku dapat dan aku rasa. Sempurna… Akhwat nan sholihah, terimakasih untuk kalian yang telah memberi warna cerah di kehidupanku, banyak aku tertempa sampai mental ku sedikit lebih terjaga, dan akhirnya aku indah karena kalian telah menorehkan warna-warna itu. Layaknya pelangi…
Teringat satu kata yang ku kirim lewat SMS ke teman-teman terdekatku;
Kenapa pelangi itu indah?
Karena paduan warna-warnanya yang satu,
Kenapa hujan itu rata?
Karena kesimponian yang erat dan senada,
Kenapa syair itu menyihir jiwa?
Karena ketulusan dan keikhlasan yang ada di dalamnya.

Hari yang biasa menjadi luar biasa, ketika aku mulai melegalkan diriku untuk menjadi satu bagian dari mahasiswi Bandung. Aku merasakan satu kenikmatan. Hidup bersama dalam satu keluarga. Keluarga Mahasiswa Muslim STKS Bandung. Aku di sini bersama mereka, orang-orang pilihanNya. Yang senantiasa menguatkan satu sama lain. Bukan keluarga karena terikat satu hubungan darah merah atau biru, namun satu keluarga yang terikat dalam darah Islam. Hmmm,Saling melengkapi. Dari sinilah sense of belonging  itu hadir. Rasa saling memiliki.

Terayun langkah malas gontai menuju kampus revolusioner ini. Terombang dan terambing oleh penghayatan perasaan. Aku, tidak sepenuh hati membawa diriku mengais ilmu di sini. Karena bukanlah satu pilihan. Keadaan dan tuntutan yang membawaku ke sini. But aku harus memaksakannya. Berawal dari nol.
Hidup di tanah orang tidak enak, harus banyak beradaptasi, memahami sampai bisa menghargai, karena jika tidak demikian kita dikatakan gagal dalam bermasyarakat. Social disfunction. Ketidak-berfungsian social. Sampai akhirnya raga dan jiwa ini aku paksa, harus dan wajib aku berubah. Merubah kebiasaan dan karakter. Egois…. Meraka, para akhwat telah membawaku banyak berubah, aku merasa malu… tidak bisa seperti mereka..

Aku bukanlah akhwat yang ramah, layaknya Beni Puspita, seorang akhwat yang membuatku luar biasa, akhwat yang ramah dan senantiasa memberikan senyuman terindah buat saudarinya, satu senyuman yang membuat hati ini rindu manakala sehari tak bersua dengannya. Apakah aku bias juga memberi arti sepertinya? Tatapan saying yang senatiasa terpancar darinya, memberikan belaian cinta, teduh syarat makna dan hakikat kehangatan. Ukhty,, aku iri padamu.

Aku bukanlah akhwat lincah layaknya Lilis, seorang akhwat yang membuatku takjub. Dalam penampilan yang biasa-biasa saja, namun penuh dengan semangat juang. Satu semangat yang tak kenal henti, teguran yang senantiasa terdengar buat hampir semua rekanan dakwahnya. Ukhty, alangkah ringannya hatimu untuk semua ini? Aku merasa tersaingi olehmu…!!

Aku bukanlah akhwat yang sabar, sepenyabar Siti Nafsiah, seorang akhwat yang santun tutur katanya, perangai yang menentramkan, kedewasaannya yang senantiasa meluluhkan emosi yang sedang labil. Wajarlah ketika angkatan kami memanggilnya dengan panggilan Ummi. Yah, sesosok pribadi yang menentramkan. Aku merasa malu, jauh 180 derajat dengan diriku. Ukh, ajarilah aku menjadi sepertimu. Yang dalam keadaan sakit tetap tenang, sabar, semoga anti segera diberi kesembuhan. Amin..

Aku bukanlah akhwat yang berhati tegar, setegar Rena Anggareni, dalam lingkungan yang sering berubah tetap mampu mempertahankan prinsipnya. Ukhty, dirimu menjadi tempat bertanya para akhwat, tempat bertukar pikiran. Aku merasa sangat kecil jika disandingkan denganmu ketika diskusi. Kapan aku bias sejajar denganmu dalam satu waktu dalam diskusi.?

Aku bukanlah akhwat yang serajin Hilda Fauziyah Laily, yang rajin dan sangat pandai mengatur waktunya. Senantiasa meluangkan waktu untuk tetap dan terus mengkaji Islam. Dalam keadaan hujan yang sangat deras tetap meng-azzam-kan kuat pada diri untuk ngaji. Tapi tanpa melalaikan kewajiban lainnya. Ukhty,,engkau sangat anggun dengan balutan jubah hijaumu. Kapan aku bias serajin dirimu?

Aku bukanlah akhwat yang selembut Anisa Amalya Mukti, seorang akhwat yang sangat lemah gemulai, pintar dan sangat mampu berfikir panjang dalam menyikapi keadaan. Bijaksana. Ukhty, dengan segenap kelebihanmu itu, aku sering menjadi iri padamu, kapan aku bias menjadi sepertimu?

Aku bukanlah akhwat yang teruji layaknya Irmawati, seorang akhwat yang tetap bersemangat dalam kuliah, senantiasa meningkat kesholihannya, tegar dalam setiap masalah-masalahnya. Ukhty….aku iri padamu.
Aku bukanlah akhwat yang tegar dan tangguh, layaknya Andi Beri Gau, seorang akhwat asli dari Bugis, Makassar. Pribadinya yang tegas, dengan yakin dia katakan yang salah itu salah dan yang tidak itu tidak. Tanpa meragukan bagaimana-bagaimananya, dia begitu berani, mungkin ini karena kesempurnaan pemahaman ikrarnya, tiada Illah yang berhak disembah kecuali Allah semata. Insya Allah.Seorang akhwat yang luar biasa pengertian dan sangat tanggap akan kondisi temannya. Kalah jauh aku disandingkan dengannya. Ukhty, tularkanlah semangat dan rasa tanggapmu pada ana…

Aku bukanlah akhwaty yang rajin dan sekritis mbak Aldila dalam menyikapi keadaan. Sesosok akhwat yang sangat rajin dalam mengerjakan tugasnya, sangat ingin perfect dalam pengerjaannya. Dan senantiasa mengkritisi keadaan yang ada di organisasi dengan penalaran dan logika yang sangat tepat. Mbak, aku ingin sepertimu, tidak seperti aku yang saat ini, yang terkesan mendengar dan taat aja. Ajarilah aku untuk itu mbak…..

Aku bukanlah akhwat yang selapang Dhelta Wilis Sam Prabawati, seorang akhwat yang paling muda di antara kami, teman satu kost, tapi justru dia yang sering memberikan aku nasehat akan kehidupan. Aku seringkali bercerita dan mengeluh padanya, tapi luar biasa dia sangat bijak dalam bernasehat. Ukhty, dari manakah Engkau dapatkan kedewasaanmu itu? Aku iri….

Aku bukanlah akhwat yang se-supel mbak Umatun Karomah, seorang akhwat yang easy going bias dengan mudah beradaptasi dengan lingkungannya, tidak suka ambil pusing dengan apa yang diteriakkan lingkungan akan dirinya, kalau teriakan itu emang tiada sesuai dengan keadaannya. Mbak engkau membuatku senantiasa sibuk memikirkan apa yang menjadikan engkau bias sampai seperti ini, sama halnya dengan Dhelta, engkau begitu mudah untuk memahami orang lain dan berbaik sangka pada mereka, mbak, kapan aku bisa menjadi dirimu?

Aku bukanlah akhwat yang selembut perasaannya, layaknya Siti Solihat, seorang akhwat yang mudah tersentuh perasaannya. Lebih terkesan tanggap. Hatinya tidak sekeras hatiku, ukhty… aku ingin sepertimu. Karena aku juga tetlah merasa jenuh dengan hati yang seperti ini. Hati yang keras membeku dan membatu. Ukhty saying ajarilah aku bagaimana cara melunakkan hati.

Aku bukan akhwat yang sholihah kuat, se-sholihah mbak Siti Faozah, akhwat pekalongan yang mebgenalkan dan mengajarkan aku bagaimana mengisi hari untuk senantiasa istiqomah menjaga hati. Menjaga hati agar tidak terkotori. Mbak yang sangat istiqomah dalam penjagaan ibadah-nya. Mbak aku ingin sepertimu, aku iri…

Aku bukanlah akhwat yang bertanggung jawab tinggi layaknya uni Dona Octia Dasril, yang saat amanah dating padanya dengan sigap dan penuh tanggung jawb dia laksanakan, tanpa banyak mengeluh dan mengeluh. Senantiasa menjadi pihak menentram di antara kami ketika kami bermasalah. Ukhty, apa aku juga bisa menjadi sepertimu, tidak seperti ini, seorang akhwat yang hanya mengeluh dan merasa capek dalam menjalankan hidup. Aku malu…

Aku bukanlah akhwat bersuara emas, begitru indah manakala melantunkan kalam illahi. Menjadikan hati yang mendengar menjadi tergetar dan sangat tentram. Ukhty aku ingin bisa sepertimu….
dan sejuta teman yang sangat lebih lainnya, hadir mengiringi dan menemani perjalanan panjangku....

Aku iri pada mereka. Aku hanya secerca kecil di antara kalian, yang tidak tampak. Ya..hanya kata-kata itulah yang tepat menggambarkan keseharianku dulunya, aku menjadi tersibukkan dengan keadaan yang seperti ini. Mereka aku anggap sebagai sainganku, dan seharusnyalah aku lebih baik dari mereka. Egois memang. Karena itulah aku. Itu dulu aku rasakan, sekarang perlahan perasaan itu mulai beranjak surut, satu, dua dan seterusnya. Perlahan meninggalkanku dengan pemahaman baru. Dalam dekapan ukhuwah disini aku banyak diajari, ”kita memiliki ukuran yang berbeda” ya, aku sepakat akan itu semua. Aku baru menyadari bahwa mereka tercipta dengan satu kelebihan dan kekurangan masing-masing. Seringkali aku merasakan iri pada kelebihan mereka, tapi sangat-sangat jarang aku bersyukur atas apa yang ada pada diriku. Sering mengeluh….

Pantaskah seperti ini disebut akhwat yang militan. Aku merasakan luar biasa di sini. Dengan keanekaragaman yang ada tersebut aku merasakan indah, mereka mewarnai hariku. Meraka yang memiliki beberapa sifat dan sikap yan tidak aku miliki menjadikan aku lebih sadar, bahwa mereka ada di sampingku untuk memfasilitasi aku belajar dari ereka. Sampai akhirnya kau merasa kan itu. Aku merasa bahagia dengan sungguh.

Ukhty, aku terima semua ini, karena kita hanya sekedar manusia biasa bukan manusia yang sempurna, bukan manusia yang tercipta dari besi atau baja, tapi dari sari pati tanah. Janganlah kalian pergi, ayo kita buat satu bangunan kokoh dengan satu ukhuwah yang terukir undah di jalan Nya. Jalan yang oleh sebagian orang dianggap jalan yang ekstrim, jalan yang menspesialkan diri. Karena emang pada hakikatnya kita dalah orng-orang special dan orang-orang terpilih itu. Salinglah member warna. Warna cerah di kehidupanku….

Surat cintaku untukmu saudariku:
“Kita berhimpun untuk satu tujuan, kita hadir dengan berbagai perbedaan, bukan untuk saling menuntut dan mengalahkan tapi untuk mengawalinya. Aku butuh kalian. Kita saling melengkapi, kita tercipta dengan ukuran yang beda, tiada kesempurnaan tanpa kita ada ikhtiar untuk mengawali bangunan itu hari ini. Rasa cinta melebihi kebencian ini. Aku merindukan kalian. Poleslah kembali warna-warna cerah yang pernah kalian torehkan dalam diriku, agar aku bisa bersinar kembali, memberikan kecerahan, gemerlap dan kilau buat kalian. Denikian pula buat kalian. Ukh, dekaplah jiwa-jiwa ini dalam satu uhkuwah, kita hangatkan dengan gelora semangat kita”. Allah telah mempersatukan kita.


0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More