Selasa, 28 Desember 2010

Pejuang Kampungan

Oleh: Ronal Suhendri

Kampung menjadi sumber utama hidupku, karena keceriaan anak desa, lantunan gemericik air sungai begitu mempesona. Belum lagi deburan angin, kicauan burung, dan semerbaknya harum bunga padi. Tapi kampungku paling pelosok Sumatera disebelah selatan, karena belum tersentuh ‘kelembutan’ teknologi dan hancur leburnya jalan setapak. Membuat kami harus berjuang keras demi sekolah.

Ketika usia 6 tahun. Memasuki tahun sekolah kami harus pindah dari kampung tercinta karena desa kami jauh dari sekolah dan untuk menempuh perjalanan kesekolah terdekat saja harus dicapai kurang lebih 5 jam ditambah lagi jalan yang begitu cantik nan eksotik khas untuk balapan offroad. Kami petani jeruk manis yang sering kebanjiran akibat luapan sungai Trikora. Keindahan desa kami seperti dalam sinetron, sejuk segar udara serta tanaman padi hijau terhampar bagai permadani. Orang kota pasti terpesona dengan alam desaku, plus tanaman jeruk para warga yang cantik, ranum dan kekuning-kuningan.

Tapi sayang denga ekonomi yang mapan anak desa belum terinspirasi untuk sekolah yang lebih tinggi, paling kenceng tamat SMA. Kondisi psikologis dan minimnya pengetahuan orang tua. Mereka merasa kasihan dengan anak yang harus jauh dari orang tuanya. Kondisi inilah yang membuat Bapak ingin pindah dari desa demi sekolah anak tercinta suapaya tidak terkontaminasi.

Desa Pinang sori jadi labuhan dan awal mula kami harus berjuang lebih gigih demi pendidikan dan membangun ekonomi keluarga, karena kami harus mulai hidup baru dikampung orang. Alhamdulillah umur 7 tahun aku masuk sekolah. Rumah kontrakan kami dekat parit. Madrasah Ibtidaiyah itu nama sekolahku. Bapak ingin kami semua sekolah berbasis Agama agar dapat memperjuangkan Islam. Karena Bapak mengenyam pendidikan apalagi soal agama minim pengetahuan. Bapak tidak tamat sekolah rakyat, usia 12 tahun harus sudah bekerja membanting tulang untuk menolong orang tua. Karena kejam dan deras arus pergaulan mengantarkan Bapak menjadi seorang preman dikota Medan. Sambu menjadi tempat bapak mencari uang. Sambu atau sarang manusia buas markas para preman di Medan.

Kehidupan kami pada awalnya begitu menyenangkan dan Bapak mulai berkebun jeruk untuk meningkatkan taraf pendapatan keluarga. Waktu terus bergulir hampir dua tahun Bapak harus mengeluarkan uang lebih banyak untuk biaya operasi ginjal adekku. Kehidupan kami mulai menurun secara ekonomi dari ngontrak satu rumah sekarang kami harus ngontrak didapur orang. Ibu membantu ekonomi keluarga dengan bekerja dikebun orang demi menyambung hidup, karena penghasilan Bapak sudah tidak mencukupi.

Kami sangat menikmati bisa membantu orang tua terutama saya, pulang sekolah harus membantu ibu mengambil daun pisang diladang orang yang hasil penjualan harus bagi 3 dengan pemilik kebun. Pekerjaan ini kami lakukan samapi aku tampat kelas 6 Ibtidaiyah dan kejadian yang membuat ibuku sangat trauma dan syok pada waktu kami pulang mengambil daun pisang yang letaknya disebrang sungai dengan luas 15 meter aku harus membawa daun pisang diatas kepala, ketika menyebarangi sungai tiba-tiba banjir datang karena hujan digunung. Aku masih kecil sehingga ketakutan melihat datangnya banjir, kondisiku masih ditengah sungai belum sampai kesebrang akhirnya ibu mengajak berlari namun banjir lebih dulu menyapuh kami dan aku terbawa oleh banjir. Ibu melihat kejadian itu terus menangis mencemaskan kondisiku dan InsyaAllah aku selamat karena tersangkut dipelepah pisang  yang tumbang dipinggir sungai.

Masuk sekolah Tsanawiyah. Ibu dan aku  beralih pekerjaan menjadi pencari batu kerikil dan pemecah batu sungai, sepulang sekolah. Pekerjaan ini saya jalani hingga tamat sekolah. Masa Aliyah kerjaku sebagai pembuat tempe, maklum kampung kami termasuk penghasil tempe untuk dijual kekota Sibolga.  Demi sekolah dan membantu orang tua, saya harus terus bekerja. Masa kecil kami tidak sama dengan anak yang se-umuran yang banyak bermain. Kesekolah kami lalui dengan jalan kaki berjarak 3 km pulang pergi. Satu hal yang membuat Bapak dan Ibu bangga, aku dan adik-adik selalu rangking 1 dan 2. Walaupun dari keluarga miskin tapi kami termasuk keluarga yang taat menjalankan perintah Allah SWT terutama sholat. Aku paling senang sholat di Masjid kampung yang jaraknya setengah kilo dari rumah. Masa sekolah sampai sekarang belum pernah ketinggalan sholat 5 waktu di Masjid, Insya Allah.

Dikampung masjid masih jarang menjadi tempat wisata sehingga terus sepi dari pengunjung untuk melaksanakan kewajiban dan mensyukuri nikmat. Hembusan angin pedesaan yang sejuk membuatku terus bersemangat untuk belajar demi meraih cita. Ketika Ibtidaiyah ane dipercaya untuk mewakili sebagai peserta lomba kaligrafi Islam. Begitu semangatnya maka frekwensi sholat ke Masjid makin tinggi dan hari-hari yang kulalui dengan debaran jantung, karena gembira dan tidak punya pengalaman bertanding. Kadang ada rasa gak percaya diri, sholat dan do’a memantapkan ane, untuk menjadi juara satu. Tiba masa pertempuran antar siswa dikabupaten. Seluruh lawan sudah siap dengan seluruh perlengkapan kaligrafi yang mahal dan bagus, kecuali ane sendiri yang membawa alat ala kadarnya cuma bawa kertas karton, pensil, rautan dan pensil gambar.

Pagi yang mencekam, kepala sekolah memberi injeksi ajaib melalui sebuah kata bahwa ia melihatku juara. Padahal aku tak pernah berlatih kaligrafi, kecuali hanya sekedar saja.. Namun dengan semangat yang berkobar dan dorongan kepala sekolah serta kekuatan do’a kuhadapi lomba dengan Basmallah. Hal yang mengherankan adalah aku lebih dulu siap dari seluruh peserta yang ada. Hasil kaligrafi dipamerkan diarena lomba. Ternyata hasil kaligrafi yang paling simpel dan lugu adalah punyaku. Hanya tulisan arab Bismillahirrohmanirrohim lurus dan diberi warna hijau, sementara dari peserta lain kaligrafi Bismillah ada yang berbentuk perahu, buah apel dan banyak lagi yang membuat anda takjub ketika melihatnya karena dikerjakan oleh anak kelas 6 Ibtidaiyah.

Waktu yang mendebarkan akan segera tiba, dimana dewan juri melakukan rapat untuk menentukan juara 1-3. Juri yang membuat setiap katanya mengerikan memberi sajak tegas bahwa keputusan dewan juri tidak dapat diganggu gugat. Perlahan  para juara di umumkan mulai dari juara harapan 1, 3, dan 2, namaku belum dipanggil. Ane merasa risau dan pasrah, ketika juri mengumumkan juara pertama jatuh kepada anak kami Ronal Suhendri, yah itulah namaku. Subhanallah, menangis itulah yang bisa kulakukan, karena mustahil rasanya. Ada peran tersembunyi ’the hand of God’ memberi keajaiban.

Rasa percayaku kepada Allah SWT semakin tinggi, disetiap sholatku selalu berdo’a untuk bisa kuliah. Dari segi ekonomi keluarga mustahil aku meminta bapak ibu, karena untuk makan sehari-hari saja kami harus hutang dikedai, tapi itu tak membuatku surut. Ketika Tsanawiyah juara 3 lomba sholat mayit antar kecamatan. Tiba masa ujia EBTANAS (evaluasi belajar akhir nasional) tingkat SMP/MTsN sederajat dan lagi-lagi Allah mengabulkan doaku. Aku tamat Tsanawiyah dengan NEM tertinggi satu Rayon. Maka kesempatan untuk masuk SMA N 1 semakin terbuka lebar, apalagi dalam papan pengumuman penerimaan murid baru di SMA dicantumkan NEM 33,50 s/d 29,00 langsung lulus tanpa test.

Hatiku bergejolak, teringat sebuah sekolah yang terletak dipemukiman non muslim dan berbatasan dengan kandang babi tetangga. Para guru yang mengajar berasal dari desaku yang mayoritas muslim. Aku sering berinteraksi dengan para guru yang dikirim dari medan ketika sedang sholat dimasjid. Madrasah Aliyah jadi pilihan sejati.

Ada peristiwa yang menggelikan ketika Aliyah. Saat sedang upacara bendera senin pagi, ane jadi pempinan upacara yang menyiapkan seluruh barisan, upacara telah selesai  dan barisan dibubarkan. Sebelum  bubar barisan kami dikejutkan oleh seekor babi besar yang masuk dalam barisan dan membuat kami ketakutan. Binatang itu masuk secara mengejutkan, maklum sekolah kami berbatasan langsung dengan kandang yang hanya dipagar pohon manggis. Bau tak sedap kotoran binatang menjadi aliran nafas kami.

Sebagai ketua OSIS dan dipercaya untuk selalu mengikuti perlombaan antar sekolah dalam pekan olahraga dan seni yang diadakan setahun sekali. Aku dipercaya mengikuti cabang olahraga dan cerdas cermat, alhamdulillah kami sering menang terutama lomba cerdas cermat. Karena membaca adalah hobbiku.  Membaca membuka wawasan dan harus menjadi kebiasaan “reading habit “ ( Prembayun Miji Lestari, Bikin Kamu Tergila-gila Membaca). kebiasaan membaca harus secepatnya bahkan lebih cepat dari virus dan itu harus ditularkan demi kemajuan desa.

Wisuda Aliyah kuputuskan untuk merantau ke Medan dengan harapan bisa merubah nasib. Kuliah adalah harga mati buat ane.  Namun ditahun 2003 ketika pertama kali dalam hidupku menginjak kota besar, berkibar  perang antara GAM dan TNI di Nanggroe Aceh Darusslam. Seluruh penduduk yang dari luar Medan wajib mempunyai KTP dan bagi warga pendatang yang belum punya KTP wajib dicurigai. Untung ada saudara yang menolong ane untuk membuatkan KTP walaupun tidak gratis.

Hampir putus asa, wala ta’jiz (jangan kamu merasa tidak mampu). Kisah Zaid bin Tsabit dan Osahara yang teguh untuk menggapai ilmu dan cita selalu penuh semangat untuk belajar. Ana dan antum semua harus punya semangat belajar yang super tangguh secara cerdas dan ikhlas ( Dwi Budiyanto. Prophetic Learning) .  Akhir juni 2003 aku mendapat telepon dari kampung bahwa ana salah satu yang terpilih mendapat beasiswa dari Bupati. Alhamdulillah, kata itulah yang terus menggema dalam lisanku. Sekolah  memberi alamat kantor wakil Bupati untuk mengurus bagaimana mengambil beasiswa dan memenuhi semua prosedur. Namum kenyataan tidak semudah yang dibayangkan,. Mereka yang yang ada diakntor  Bupati tidak mempercayaiku apalagi melihat penampilanku. Kejadian ini terus berulang sampai tiga hari, padahal ongkos dari desa ke kota sudah habis. Belum selesai urusan beasiswa,  dengan gontai ane berjalan kemasjid sambil melelehkan air mata tak kuasa rasanya menahan cobaan ini. Azan zuhur berkumandang sehabis sholat zuhur mencoba kembali datang ke kantor Bupati dengan harapan bertemu. Dalam sholat do’a ane khusyuk sekali dan teringat pesan guru ngaji ”man jadda wa jada” siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan berhasil. Inilah senjata terakhir yang ku punyai. Sampai dikantor Bupati  ane diterima oleh ajudan Bupati untuk menyampaikan maksud, Alhamdulillah beliau mengerti. Bersama dengan empat kawan kami akhirnya diberi beasiswa selama 4 tahun, langsung di daftarkan disebuah Universitas swasta yang terkenal di kota medan yaitu Universitas Muhammadiyah  Sumatera Utara (UMSU). Dua orang teman mengambil fakultas ekonomi, dua orang lagi fakultas agama Islam dan ane mengambil fakultas hukum supaya bisa membela yang lemah.  Tahun pertama kuliah beasiswa diberi penuh, pada tahun kedua diberi setengah selebihnya kami tidak lagi mendapat beasiswa yang dijanjikan.

Kuliah dikota Medan penuh tantangan, ane tinggal dirumah nenek. Rumah papan dan reot itulah tempat tinggalku bersama nenek yang bekerja sebagai tukang pijat dengan usia 75 tahun janda lagi. Untuk mencari uang makan dan memenuhi kebutuhan kuliah serta membantu nenek aku berjualan rokok asongan di terminal ba’da pulang kuliah. Masuk semester tiga aku harus ngontrak rumah bersama teman kuliah dengan cara patungan. Anak dan keluarga nenek tidak suka kepadaku, karena nenek begitu sayang padaku dan mau memberikan apa saja tanpa diminta. Kecemburuan saudaraku membuat aku jadi bahan fitnahan, mereka menfitnah ane pacaran sama nenek. Cerita ini menyebar disebuah gang kecil kami tinggal. Alangkah sedih tak kira perasaanku. Untuk menjaga perasaan semua saudara, maka kuputuskan untuk ngontrak rumah.

Lima kali pindah kontrakan selama lima tahun kuliah. Walaupun begitu aku terus belajar dan bekerja untuk memenuhi semua kebutuhan kuliah termasuk memenuhi perpustaan kecil dengan buku baru dan berkualitas, karena hobby membaca adalah kenikmatan. Semester empat aku mendapat beasiswa peningkatan prestasi akademik. Ada cerita menarik waktu  masih semester enam, karena keterbatasan yang kumiliki termasuk dari segi pakaian kuliah yang mewajibkan pakai kemeja dan celana keper. Setelah jam pertama kuliah, jedah istirahat 15 menit jadi ajang narik nafas dan ketika keluar kelas ada seorang teman yang memperhatikan dan mendekati dengan menyapa ”Ronal kalau kuperhatikan kau setiap jum’at sering pakai kemeja hawaii” saya langsung kaget dan terkejut badan karena masih ada teman yang perhatian terhadap kondisi pakaian. Tiga pasang pakaian untuk 6 hari kuliah selama 4 tahun. Ya, beginilah pengusaha  rokok asongan hasilnya tak seberapa.

Motto kuliah ” lebih baik beli buku daripada beli baju”. Alhamdulillah sampai wisuda sudah punya 200-an koleksi judul buku.

Rutinitas kuliah dengan hati yang gembira walau hanya naik sepeda. Kendaran istimewa yang kumiliki berjuluk kereta angin. Begitu orang Medan bilang. Tapi itu tak menyurutkan citaku. Tahun 2005 saya termasuk 1 dari 25 peserta study banding ke Universitas Malaya, Malaysia. Awal 2008 proposal penelitianku  untuk lomba karya ilmiah tingkat nasional di Lampung dibiayai.  Memasuki semester tujuh pihak Kampus meminta saya untuk jadi icon mahasiswa sukses dari kampung yang dimuat oleh majalah kampus sebagai sumber inspirasi, mereka menulis “rela bersepeda demi kuliah”, begitulah bunyi headlinenya. Alhamdulillah akhirnya apa yang kulakukan dengan bekerja keras, sabar, jujur dan ikhlas bisa memberi inspirasi bagi banyak orang. Sehingga banyak orang kampung kami yang berlomba untuk menguliahkan anaknya dan perubahan terus terjadi hingga sekarang.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More