Senin, 27 Desember 2010

Jalan Yang Terpilih

Semua orang pasti pernah merasakan nikmat cinta. Dan bila salah meramunya akan menjadi racun pada diri kita. Nestapa yang menggerogoti kebahagiaan hidup kita. Belenggu yang merantai cara pandang kita ke depan hanya dengan nama si dia yang membayang di setiap udara yang kita tatap. Hingga menutupi kebesaran cinta Allah yang abadi.

Konflik sang hati dengan pemiliknya. Obrolan di layar-layar chat untuk mencari sebuah kebenaran dan tujuan hidup didasarkan dengan cinta. Tetapi cinta seperti apa yang akan dipilih. Di sini akan dipaparkan sebuah kisah dari hasil chat yang berisi obrolan tentang pesan-pesan tentang tanya yang membutuhkan jawaban dan penjelasan.

“Sekitar setahun lalu aku beranikan diri untuk mengungkapkan perasaanku. Tidak sama seperti kebanyakan orang yang memakai trik-trik murahan. Atau janji-janji gombal. Cukup sederhana kunyatakan cinta dengan cara dan gaya yang berbeda. Meskipun, tidak dapat aku pungkiri sekarang, cara dan gaya yang kuperbuat dulu tidak bisa dibilang benar.”

Sampai kalimat itu, larik-larik kalimat yang kamu tulis terhenti, dalam layar chat tidak ada penambahan kosakata untuk sesaat. Beberapa menit kemudian,

“Maaf, ada sedikit gangguan. Sampai mana tadi? Hemm…”

Seolah-olah kamu sedang mengingat-ingat di seberang sana. Meskipun aku tidak dapat melihatmu. Aku tahu kamu sedang berpikir keras, bagaimana cara menceritakan kisah itu dengan baik terlepas dari kurang lebih kalimat yang kamu tulis di chat.

“Dulu aku merasa bingung. Saat di ujung kalimat terakhirku. Ketika aku harus memutuskan akan dibawa kemana obrolan itu. Mengarah ke satu hubungan yang resmi dalam konteks umum seperti pacaran atau hubungan lain yang lebih serius, pernikahan mungkin. Aku menimbang-nimbang cukup lama. Beberapa detik, aku menyadari kalau aku begitu gegabah melakukan obrolan seperti itu dengannya. Tetapi, terlanjur sudah. Nasi sudah menjadi bubur. Dan perasaan cinta ini yang mendorongku melakukan ini. hey…kamu masih di seberang sana bukan? Menyimak setiap kata yang kutulis?”

Kamu mungkin merasa bercerita sendiri tanpa ada tanggapan dariku. Aku jawab ucapanmu di chat, ”ya, aku menyimak dengan baik.” Lalu, kamu pun melanjutkan untuk memenuhi kotak chat dengan kisahmu.

“Kalau berbicara tentang pacaran. Aku yakin dia akan menolakku mentah-mentah. Lagipula aku juga tidak terlalu berminat dengan pacaran. Dirinya memiliki kepribadian yang islami. Dan pastinya anti pacaran. Jadi, aku menanyakan padanya,’Bagaimana caranya ta’aruf? Apakah harus datang ke orang tua langsung, murobbi, atau siapa?’ Aku benar-benar belum punya ilmunya waktu itu. Maka dari itu aku menanyakan padanya. Aku ingin tahu cara-cara yang benar. Tetapi, dari sinilah aku merasa caraku ini salah. Dia terlihat bingung. Tepatnya, kami sama-sama bingung. Aku memberinya waktu tujuh hari untuk menjawab sebuah pertanyaan terakhir untuknya,’ Bagaimana kalau aku ingin ta’aruf dengannya sekarang? Apakah bersedia?’ begitulah…”

Untuk kedua kalinya tiba-tiba obrolan di chat berhenti cukup lama. Saat aku merespon balik, tidak ada tanggapan. Mungkin ada gangguan lagi. Di saat itu aku melirik di rak buku koleksiku. Berpikir, mengingat-ingat adakah buku yang cocok untuk jawaban pertanyaan kamu di awal padaku sebelum kamu memulai cerita tentang kisahmu dengannya, ”aku harus bagaimana menyikapi semua ini? sikapku padanya tepatnya. Aku tidak bisa bersikap biasa saja karena dirinya bukan orang yang biasa-bisa saja di hatiku. Tolong berikan solusi untukku?”

Sebuah solusi, katamu. Otakkku bekerja cukup keras untuk memikirkan solusi itu. Aku mengambil satu buku koleksiku berjudul Nikmatnya Pacaran Setelah Pernikahan karya Salim A. Fillah. Seringnya aku menyebut buku itu NPSP. Aku ingat buku ini kubaca saat semester tiga. Buku yang kudapat dari seorang sahabat sebagai hadiah milad. Sudah dua tahun tidak tersentuh. Dan kini, kubuka lagi tiap lembarnya berharap ada solusi di sana. Mencari bahasan yang pas dengan kisahmu.

Rabbi, selamatkan saudaraku yang kucintai dari sahabat yang dicintainya, dengan cintaMu

Baru saja membaca kalimat pertama yang di bab 3 buku itu, muncul pesan chat darimu.

“Maaf, ada gangguan lagi.” Jelasmu padaku. Lalu kamu meneruskan kalimatmu di chat. Dan aku melanjutkan membalik-balik buku NPSP.

“Aku lanjutkan ceritanya. Hemm… jawaban darinya. Dia menjawab dari berbagi versi. Versi dari orang tuanya, versi murabbinya, dan versi dirinya sendiri. Maaf, aku tidak bisa menceritakan detilnya. Pada akhirnya kami memutuskan untuk bersikap biasa-biasa saja dan menjaga hati masing-masing. Aku pikir selesai sampai di situ. Tetapi, tidak. Tidak bagiku. Kamu tahu kan, aku sedang mengerjakan skripsi. Aku mulai berorientasi padanya untuk mencapai kelulusan. Dan hasilnya, Allah menjawab, sampai sekarang aku belum bisa menyelesaikan skripsiku. Aku menyadari niat awalku salah, bukan karenaNya tetapi karenanya. Kamu paham kan?”

Aku mengangguk. Aku tahu kamu tidak akan melihatku mengangguk. Itu hanya gerakan refleks. Karena saat bersamaan aku sedang membalik-balik halaman buku NPSP, di halaman 52 aku terhenti dengan bahasan yang sama seperti yang kamu katakan. Untuk memastikan kamu tahu anggukkanku aku membalasnya di pesan chat, ” iya.” Jawabku pendek, menunggu kamu melanjutkan lagi ceritamu.

“Sampai di sini apa kamu sudah dapat menangkap dan menemukan solusi untukku?” kalimatmu penuh harap. Tetapi, aku masih bingung harus memberikan solusi apa. Maka aku memintamu melanjutkan ceritamu lagi.

“Baiklah, aku lanjutkan. Kurang lebih sudah satu tahun berlalu. Aku dan dirinya benar-benar mengikuti perjanjian kami dulu untuk bersikap biasa saja. Tetapi, biasa di sini mungkin tidak biasa menurutmu. Entahlah. Aku selalu menanyakan kabar kampus ke dirinya. Aku jarang ke kampus masalahnya. Setiap ngobrol di telpon dengannya pasti lama. Dan pasti ada saja yang diobrolin. Mungkin karena itu aku merasa cocok dengannya. Begitulah. Ditambah lagi, belum lama ini aku diminta menjadi tutornya. Aku tidak ada maksud apa-apa saat mengiyakan permintaannya. Mungkin ada sedikit harapan. Sungguh aku berusaha profesional. Jarak yang mendekatkan kami membuatku terus berharap ada satu jalan untuk kami. Aku semakin bingung. Jadi, menurutmu bagaimana?”

Sekarang giliranku menanggapi semua ceritamu yang panjang. Sejujurnya aku tidak tahu harus dimulai dari mana. Kalimat pertama yang tertulis di chat,

“Aku beranggapan mungkin itu masalah jarak atau rasa sukamu yang masih melekat erat di hati. Aku hanya tahu dari pihakmu. Aku tidak tahu pemikiran orang yang kamu suka. Mungkin dirinya merasa tidak ada perasaan apa-apa. Siapa yang tahu? Makanya, tidak ada alasan untuk menjaga jarak denganmu. Karena memang tidak ada apa-apa diantara kalian, menurutnya mungkin. Tetapi, kalau dilihat dari sudut pandangmu. Kamu masih menaruh harap padanya. Kamu masih mencari-cari sebuah jalan untuk menuju ke arahnya dengan cara yang diridhoiNya. Masalahnya kamu belum tahu jalan yang seperti apa yang harus kamu lewati untuk mendapat ridhoNya.”

Aku terhenti sejenak, kehabisan kata-kata.

“Aku ulas lagi pernyataamu, takut salah. Cara kamu mengungkapkan perasaanmu dengan menanyakan padanya cara menjalin hubungan dengan seseorang yang diawali dengan ta’aruf itu bagaimana bukan? Tepatnya seperti apa ta’aruf itu yang benar? Kamu tidak bertanya apa dirinya menyukaimu atau tidak. Kamu beranggapan bila dia mau berta’aruf denganmu artinya dirinya memiliki rasa yang sama. Ada yang kamu lupa, jarak ta’aruf ke pernikahan tidaklah lama. Harusnya seperti itu. Aku tidak begitu yakin. Maaf pengetahuanku terbatas. Dipikir dengan logika saja, bila ta’aruf itu sampai tahunan, menurutmu apa bedanya dengan pacaran?”

Kamu tidak merespon pertanyaanku, maka aku melanjutkan tanggapan-tanggapanku yang tersalur di pesan chat,

“Aku tidak bisa memberikan satu solusi dalam satu kalimat. Aku harap kamu bisa menangkap dari setiap ucapanku. Aku tidak bisa menghalangimu untuk tidak menyukainya. Rasa suka itu fitrah dan sangat manusiawi. Tidak bisa ditolak atau dihindari bila sudah hinggap di hati. Tetapi, kita bisa menata perasaan ini dengan cara yang benar. Bisakah kau percaya padaNya dan pasrah atas kehendakNya?”

Beberapa saat aku berhenti mengetik di key board, menunggu balasan darimu. Mungkin kamu sedang mencermati setiap kata yang kutulis. Kuteruskan lagi penjelasanku saat tak ada tanda-tanda kamu membalas.

“Sekarang mari kita berandai-andai. Aku tahu tidak baik sering berandai-andai. Ini hanya sebuah pengandaian untuk satu penjelasan untukmu. Andaikan tiba-tiba saja dirinya dikhitbah orang lain terlebih dulu. Bisakah kamu mengikhlaskannya? Tidak ada yang tahu masa depan akan bagaimana? Siapa itu jodoh siapa? Tidak ada yang tahu kecuali Yang Maha Tahu. Intinya, kamu harus melepaskan perasaan itu. Kembalikan pada kehendak yang di Atas. Kalau masalah sikap, berusahalah sebiasa mungkin. Jangan spesialkan dirinya. Mungkin jaga jarak itu perlu untuk menjaga hati kalian. Apa puas dengan penjelasanku?”

Beberapa detik kemudian akhirnya kamu merespon balik,

“Belum puas!!! Tetapi, aku mengerti apa yang kamu maksud dari penjelasan panjang lebarmu itu. Hahahaha. Terimakasih.”

“Sama-sama.” Ucapku di pesan chat.

Aku berpikir tidak mungkin hanya dengan penjelasan pendek ini kamu akan paham 100%. Di ujung chat sebelum kamu mengucap salam perpisahan. Kuberikan dua saran yang mungkin akan membantumu memahami dilema dalam dirimu.

“Oya…kalau kamu belum puas bertanyalah pada orang yang lebih banyak ilmunya. Dan baca buku-buku islami. Kalau mau baca aja buku NPSP.”

“NPSP?” tanyamu.

“Nikmatnya Pacaran Setelah Pernikahan. Di buku itu banyak penjelasan yang tidak dapat aku jelaskan di sini. Dengan membacanya sendiri kamu mungkin bisa lebih memahaminya.

Jalan yang dipilih dari salah satu tokoh dalam kisah itu adalah menghindari sebuah nikmat semu seperti pacaran. Banyak yang tidak diketahui manusia. Maka, dengan bertanya berharap mendapat jawaban entah itu dari seseorang atau dari sebaris kalimat dalam buku atau pun kitab.

“…boleh jadi kalian membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagi kalian. Dan boleh jadi kalian mencintai sesuatu, padahal ia amat buruk bagi kalian. Allah Maha Mengetahui sedang kalian tidak mengetahui.” (Al Baqarah 216)

Alpokad, diantara bisingnya suara kran air
09:14, 21 November 2010

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More