Kamis, 23 Desember 2010

Ketika Cinta Menyapa

Oleh: Miswadi

Matahari mulai turun keperaduannya, gelap mulai menyelimuti malam. Hujan rintik-rintik seperti ribuan jarum menusuk bumi, membuat awal malam itu terasa sunyi dan mengiris hati. Disebuah teras rumah nampak seorang pemuda yang sedang menatap lekat rintik hujan, Seperti ada mendung hitam menggelayut dilubuk hatinya. “Hujan, apakah kau merasakan getar hatiku…, ataukah justru kau sedang mengisyaratkan sebuah harapan, bukankah setelah gerimis akan datang pelangi yang indah,” gumamnya dalam hati. Perkenalkan, namaku Andra Putra Sorga. Mahasiswa semester akhir di fakultas Teknik dari sebuah kampus ternama di Solo.

“Hai Ndra…, Maghrib hampir habis waktunya, kapan kamu sholat?” teriak seseorang dari dalam rumah, yang ternyata sebuah kost-kost-san mahasiswa. Bersamaan dengan teguran itu, kilat menyambar membelah angkasa. Aku tergagap dan tersadar dari lamunan.

“Ya…ya…, ini juga mau berangkat ke Moshola!’ jawab ku sekenanya. Walau hujan telah berhenti, namun bagiku malam itu terasa mencekam dan hatinya tidak tenang. Ya, aku sedang diselimuti kabut masalah, tepatnya setelah ia menerima sepucuk surat dari seseorang yang mempunyai tempat khusus dihatiku.
“Sebelumnya maafkan diriku yang telah mengusik ketenangan hatimu. Sejak kehadiranmu, engkau sadari atau tidak telah membawa angin perubahan. Tidak saja bagi kampungku yang kini ramai dengan kegiatan ke-Islaman seperti pengajian remaja dan TPA. Tapi hadirmu telah menyegarkan kembali setangkai bunga yang hampir layu. Sejak lama ingin kukatakan sesuatu hal yang amat pribadi, tapi lidah menjadi kelu ketika berhadapan denganmu.

Mungkin lewat surat ini, bisa menggantikan suara hatiku. Pamaly! Ya benar, memang ini tabu. Tapi haruskah aku membeku dicekam ragu? Keluarga kami menantimu, agar taman rumah kami menjadi ceria kembali. Dan secangkir teh manis siap menyambutmu kembali. Atau bila engkau tidak datang segera, mungkin aku akan menempuh jalan sunyi, seperti Rabia’ah Al Adawiyah sang sufi yang cintanya tidak mau dibagi-bagi.
Akhirnya, maafkan diriku bila telah menerobos pagar-pagar tradisimu yang kuat memegang kebenaran. Maaf, bukan aku tidak tahu tradisi anak pengajian. Dari sikapmu selama ini yang amat menjaga jarak dalam pergaulan, aku tahu engkau seorang ikhwan1.

Tapi ini sebuah tantangan, sudikah engkau menerima amanah suci ini, menjaga hati dari segala fitnah dengan mengenapkan setengah agama.
Kucintai engkau dengan tanpa keraguan di dalamnya,
padahal kebanyakan cinta hanyalah fatamorgana.
Ingin kukatakan padamu dengan gamblang dan tulus
Cintaku padamu terukir zahir dan halus
(Dari Putri Dewiyanti di Tawangmangu)

Setelah memasukkan kembali surat itu ke-amplop dan menyimpannya kedalam laci, kurebahkan tubuhku di lantai. Nafasku naik turun terasa berat. Mataku masih menerawang jauh, kembali keperistiwa tepatnya sebulan yang lalu. Satu bulan yang berkesan dan penuh arti tersendiri….
1 Ikhwan (bahasa arab) artinya laki-laki.
Lazim dipakai untuk menyebut laki-laki yang aktif di organisasi keislaman kampus

***********************
Tiga minggu yang lalu……
Aku bersama 4 temanku sedang mengadakan penelitian di sebuah perkebunan teh di Tawangmangu. Kebetulan aku datang ke lokasi agak terlambat, sehingga teman-temanku sudah dapat kost duluan.
Tamangwangu, sebuah tempat dilereng Gunung Lawu sebelah barat yang sangat indah pemandangannya. Tempat ini dijadikan parawisata utama bagi masyarakat Solo dan sekitarnya, tidak jarang pula wisatawan dari luar daerah datang untuk menikmati indahnya kawasan yang berhawa dingin ini. Ada wisata pendakian gunung Lawu, ada Grojogan Sewu, bumi perkemahan serta pemandangan alamnya yang cantik. Bila malam hari, dari kejauhan kota Solo begitu jelas terlihat. Lampu-lampu jalan sepanjang Jl. Slamet Riyadi nampak berderet rapi berkelap-kelip, membuat betah siapapun yang menikmatinya.

“Gimana, masih ada tempat gak dikostmu?” tanyaku kepada Heri. ”Aduuh aku gak enak sama tuan rumah, kita ini sudah bertiga, soalnya kamarnya terbatas,” jawab Heri. “Baiklah kalau gitu, tapi aku nitip barang-barangku dulu ya!” “Oh.., bolehlah kalau hanya gitu, titipkan saja dikamarku. Nanti kubantu cari informasi rumah yang menerima sewa kamar untuk sementara.”

******
Lewat bantuan teman-teman, akhirnya aku mendapat rumah yang menyewakan sebuah kamar. Kebetulan rumah itu milik sebuah keluarga menengah yang rumahnya lumayan luas namun nampak asri dan rapi. Sebuah taman disamping rumah yang dihiasi bermacam-macam bunga dan kolam ikan, menjadikan rumah itu nampak seperti sebuah vila. Pak Bambang pemilik rumah itu, yang juga pensiunan pegawai Perhutani. Selain bersama istrinya, ia hanya ditemani putri sulungnya yang baru saja menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Kedokteran. Kini Pak Bambang untuk mengisi masa tuanya bekerja di sebuah perusahaan kebun teh milik sahabat lamanya.


******
“Her.., kenapa kamu tidak bilang-bilang, ternyata anak gadis Bu. Bambang itu kelihatannya seperti akhwat2 gitu. Kalau jalan nunduk dan jilbabnya besar warna gelap. Aku jadi nggak enak nih…?, cercaku kepada Heri yang pagi itu sama-sama ke kebun untuk melihat proses produksi teh. “We…, aku juga nggak tahu, kemarin yang ngasih info kan dari para pekerja di kebun teh Pak Didik ini. Tapi memangnya kenapa, yang penting saling menjaga adab, kan tidak menjadi masalah to…!”“iya sih, aku tahu, tapi aku kan jadi gimana gitu…! “He Ndra,, ada apa kamu ini, memangnya kamu…..“Ya ndak ada apa-apa” tukas Andra. “Tapi kemarin sewaktu komputer dia hang, aku diminta tolong memperbaikinya, Akhirnya aku jadi basa-basi bincang sana-sini. Aku takut lama-lama ini semua bisa menghanyutkan idealisme yang kita pegang kuat-kuat, bahwa kita tidak akan jatuh cinta sebelum ijab kabul. Sebab kita semua tahu, bahwa pernikahan bukan sekedar melembagakan cinta yang selama ini sudah terjalin. Seperti kebanyakan pemuda saat ini, mereka pacaran dulu baru menikah kemudian. “Memang kamu ada rasa, misalnya sering terbayang ketika malam tiba atau dada berdebar-debar saat berjumpa denganya? tanya Heri “Belum sejauh itu lah….”kita semua terdiam, kemudian tenggelam dalam kesibukan tugas-tugas penelitian yang menumpuk.

3Akhwat (bahasa arab) artinya wanita
Lazim dipakai untuk menyebut wanita yang aktif di organisasi keislaman kampus

*******
Seperti biasanya habis shalat dhuha, aku duduk diruang tamu sambil membaca koran harian. Tiba-tiba saja dikejutkan suara langkah mendekat. “Astaga, makhluk berjilbab itu tiba-tiba mendekat untuk mengantarkan secangkir teh manis dan makanan kecil ke ruang tamu”batinku. Rupanya ia melakukannya dengan terpaksa, mungkin karena disuruh ibunya, sehingga langkahnya begitu berat dan lambat. Gadis itu begitu anggun dan santun, dengan jilbab biru tua dipadu jubah yang serasi warnanya, ia seperti bidadari turun ke dunia. Ketika ia mau meletakkan minuman diatas meja tanpa sengaja mata kami berdua saling bertemu pandang, dan sebuah senyuman kecil terkembang dari bibir yang mungil itu. Namun, peristiwa indah itu hanya beberapa saat, karena Putri segera berlalu, nampak pipinya kemerahan menahan malu. Namun bagiku tatap mata dan senyum itu begitu mengesankan. Untuk beberapa detik aku masih terkesiap hingga tak kuasa berkata apa-apa. “Ku akui ini senyum yang indah, pesonanya tidak menggoda secara fisik tapi begitu dalam terasa di dasar hati. Tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Rasanya begitu dingin di jiwa,” batinku.

Kunikmati derita cintaku padamu, duhai pujaan!
Tak kan ku berpaling darimu, walau sekerjapun
Kalaulah orang menasihatiku Palingkan dirimu dari cintanya, sejenak Maka kan kujawab ia dengan kalimat, “…………….tidak!!

********
Sejak pertemuan dengan Andra, Putri memang lebih ceria. Hari-harinya dilalui penuh dengan semangat hidup yang berkobar. Namun kadang ia kembali gelisah, sejak ayahnya menanyakan kesiapannya untuk dinikahkan dnegan Didik, sang konglomerat muda pemilik perkebunan teh.
“Putri…, setiap orang tua pasti ingin anaknya bahagia. Ayahmu ini akan menjadi tenang bila engkau didampingi laki-laki yang bisa memberimu perlindungan lahir dan batin. Lihat saja nak Didik itu, masih muda tapi warisannya begitu banyak, tak habis dimakan tujuh turunan. Nduk…, kemarin baru saja aku ketemu nak Didik, ia kembali menanti jawabanmu. Ini kesempatan lho…, nduk, kamu tahu kan…, banyak gadis berebut cari simpatinya,” ungkap Pak. Bambang kepada Putri.


“Ayah…, Putri ini bukan tak ingin membahagiakan Ayah, tapi Putri juga punya hak menentukan kebahagiannya sendiri, dengan pilihan hati Putri. Bukan masalah sedikit atau banyak harta penyebab bahagia, tapi kecocokkan hatilah sumber bahagia itu. Maaf ya Yaah…, Didik walau memiliki segalanya, tapi Putri rasa ia kurang berkepribadian. Lihat saja gaya hidupnya yang suka pesta dan hura-hura. Apakah Ayah rela Putri hidup bersamanya,”jawab Putri hati-hati agar ayahnya tidak tersinggung.


*********
Pada suatu pagi, Heri tergopoh-gopoh menghampiriku, sepertinya ia membawa berita penting. “Ndra…, aku dengar dari para pekerja kebun teh, si Putri gadis yang telah menaklukkan hatimu itu, mau dijodohkan dengan Pak Didik pemilik kebon teh ini, karena untuk melanjutkan persahabatan antara ayah mereka berdua.” .
“Masya Allah, kok aku baru dengar. Kalau begitu aku jelas kalah saingan.”. “Ndra, kamu jangan gampang menyerah gitu. Sebelum janur kuning melengkung kamu harus berjuang, karena masih ada kesempatan.”
“Aduh Her.., bukannya aku tidak percaya diri, tapi aku harus tahu diri dong! Biarlah kalau memang Putri bahagia dengannya, sebab bagiku cinta itu tidak harus memiliki. Mencintai dan ingin memiliki adalah hal yang beda. Orang yang mencintai tidak harus memilikinya. Cinta yang dewasa bukan karena ingin merengkuh fisiknya, tapi jiwanya. Biarlah ia kunanti di pintu surga kelak, ku akan setia menunggunya. Toh kalau kita masuk surga apapun yang kita minta pasti kesampaian, nah akau akan minta bidadari yang seperti Putri,“ paparku, kucoba sedikit menghibur diriku sendiri walaupun ada sedikit kekecewaan

“Kamu sih tidak merasakan sendiri, bagaimana beban batin yang kualami ini. Ya…, bukan perpisahan yang kusesali, tapi kenapa kau memilihkan rumah itu untuk tempat kostku?, coba kalau aku tidak pernah bertemu dengannya, pasti tidak seperti ini kejadiannya.”
“Sudahlah tidak usah beretorika, kalau kamu benar-benar ksatria, luruskan saja niatmu. Cintailah ia kareana Allah bukan karena aksesoris luarnya, seperti karena ia cantik, putih, pakai kaca mata, tahi lalat di pipi, tinggi dan seorang dokter.
“Tapi Her…, kalau dihadapkan dua piliha antara aku dan Didik yang kaya itu, kira-kira ia pilih siapa ya?” “Andra…, Andra…, kamu tu belum bertarung kok menyerah. Menurutku, kamu punya nilai plus di mata si Putri, karena kamu seorang ikhwan. Dan Putri yang kamu yakini juga seorang sama halnya, tentu akan mencari pendamping yang sepadan. “ Baiknya segera minta pertimbangan ke orang yang faham akan hal tersebut, mas ihsan kufikir tahu masalah seperti itu”.
“Tapi, Her…, kalau menurut kamu, apakah Bang Ihsan mau membantu dan memahami kondisiku?”
“Saya yakin beliau sangat arif, sebab tidak ada duka didunia ini yang paling lara kecuali terpisahnya dua hati yang saling mencinta. Apalagi perpisahan itu karena dipaksa. Karena cinta sejati tidak akan pernah mati, selamanya rasa cinta itu akan tetap ada. Pernah kan kamu dengan kisah Salman Al-Farizi saat melamar seorang wanita anshor dalam buku Jalan Cinta Para pejuang5 yang merelakan ketika Abud darda ternyata yang dipilih oleh sang gadis?
“Ya, aku pernah baca dari bukunya Salim A Fillah. Tapi seandaianya cinta ini tidak kesampaian, bisakah aku seidealis seperti halnya Salman? Karena jalan keluar bagi yang terkena panah asmara hanya satu, bersatu jiwa dan raga dalam ikatan yang suci. Bila tidak, sakit dan pedihnya tiada terkira. Oleh karena itu, nabi menyejajarkan para pecinta yang sabar karena kuncup cintanya layu sebelum berkembang, sama seperti orang yang mati syahid,” tambahku, coba menenangkan jiwa ini lagi.
Ingin sekali kurobek hati ini dengan sebilah belati
Agar bisa kumasukkan kau dan kudekap sepenuh hati
Agar kau tak kan pernah berpaling ke lain hati
Sampai kiamat dan hari kebangkitan nanti

********
Didik adalah pewaris tunggal perkebunan teh Pak. Tirto yang juga sahabat ayahnya Putri, yaitu Pak. Bambang. Mereka telah bertekat untuk menguatkan hubungan persaudaraan yang sudah lama terjalin dengan saling berbesanan.
“Bu.., apa kamu sudah ngomong sama Putri, kalau nak Didik sudah menunggu sejak lama. Bahkan si Tirto sudah menanyakan terus kapan hari pernikahannya,” sapa Pak. Bambang kepada istrinya.

Ternyata dialog Bu. Bambang dan Pak. Bambang semalam didengar Putri. Hatinya seperti direjam-rejam saja mendengar itu semua. Ia sekarang sering murung dan mengurung dalam kamarnya saja. Apalagi setelah Andra telah kembali ke kampusnya. Ia seperti kehilangan cahaya, wajahnya yang berbalut sinar pesona seorang wanita jelita, kini muram, karena duka yang menikamnya.
Dan rindunya yang berdentam-dentam juga semakin menyiksa raganya. Memang diusia seperti dirinya, ia sudah pantas membangun maghligai rumah tangga.
Kuhitung hari-hariku sambil menanti
Kedatangan seorang saudara sejati
Bagi mereka yang mendengarnya
Denting-denting kesedihan sungguh terasa
Namun, di hari-hari berawan begini
Adakah harapan rembulan menampakkan diri…


*********
“Nduk…, aku belum bisa membujuk bapakmu”, bu Bambang memulai pembicaraan dengan putri. “Ia belum memiliki kekuatan hati untuk menolak pinangan nak Didik. Aku tahu dilema hatimu nduk…”. Apakah pemuda kemarin telah mencuri hatimu, kalaulah tidak ada permasalahan semacam ini, tentu aku lebih rela melepaskan engkau dengannya. Ia begitu simpatik, pendiam pembawaanya, halus bicaranya, ramah orangnya dan taat ibadahnya. Ia pemuda yang begitu sempurna.
Sayang…, ia telah pulang, tapi kamu nyatat nomer HP-nya to?”
Putri nampak tersipu-sipu, tapi matanya berbinar-binar penuh harapan. “Bu…, kalau memang kita berhutang, tolong berapapun nominalnya harus kita kembalikan, agar keluarga Pak Tirto tidak memandang rendah kita. Apakah ibu rela, bila saya hanya dijadikan tebusan atas jasa yang diberikan keluarga Tirto selama ini. Dimana harga diri kita Bu?
Harusnya ayah menyadari hal ini? “ tegas Putri berapi-api.
“Sudah nak, tapi oleh nak Didik uang itu dikembalikan lagi.
Tetapi ayahmu masih mencatat kok, berapa besarnya utang keluarga kita kepada mereka.
Namun masalahnya bukan itu saja nduk, Pak Tirto dan ayahmu adalah sahabat sejak lama, dan mereka ingin menyambung persahabatan itu dengan menyambungkan darah keturunan dengan menikahkan Didik denganmu, nduk?”
“Tapi, bu.., kita akan tetap baik kepada keluarga mereka. Kita tidak memutus silaturahmi, kita masih akan saling anjangsana. Tapi soal cinta tidak bisa dipaksa-paksa dan diatur-atur, walau seribu tahun kita beradaptasi, cinta suci itu tidak akan tumbuh, karena cinta adalah soal hati bukan masalah materi,” tambah Putri lagi.

Tiba-tiba, mereka berdua dikejutkan kehadiran Pak. Bambang masuk dalam kamar mereka. Setelah duduk dan mengatur nafasnya Pak. Bambang angkat bicara.
“Ya…, kita memang bukan keluarga yang begitu kaya, tapi kita tidak bisa dilecehkan. Pak. Tirto tidak mau menerima penjelasanku. Ia mengeluarkan bapak dari perusahaan kebun teh ini, yang sebetulnya aku sendiri yang membesarkannya. Emh..bisa apa si Didik itu, ia hanya main perempuan dan poya-poya kerjaannya. Dan lebih itu, aku tidak rela anak tercantikku jatuh dalam dekapan seorang brandalan. Bapak sudah ambil keputusan, tanah warisan samping rumah itu akan kujual, sudah ada yang menawar 1 M. Sebagian kita kembalikan ke Tirto, sisanya akan kuberikan untukmu nak.., jadikan modal untuk keluargamu kelak.
Kamu kan bisa buka praktek sendiri?”

Akhirnya Putri dan Bu. Bambang memeluk erat Pak. Bambang dengan berurai air mata. Ya air mata bahagia, bukan air mata duka. Di mata Putri, ayahnya ternyata seorang pahlawan keluarga, yang tak rela mengadaikan kehormatannya dirinya dengan dunia.
“Allahu Akbar! ya Allah…., aku bebas…, terimakasih Ya Allah!” teriak Putri dalam hati lega. Namun Putri kembali merenung, orang yang telah merebut simpatinya kini telah pergi.

**************
“Lagi ngelamun nich…, ayo ngelamunkan siapa, pasti gadis dilereng Lawu itu, ya?” sapa Heri
menyadarkanku dari lamunan panjang.
“Masuk kamar kok tidak salam, bikin kaget saja, ada pa Her kamu ke sini.”
“Oh.., ndak pa-pa, hanya ingin melihat kondisimu, aku perhatikan sepulang dari gunung Lawu kamu sering termenung, jangan-jangan kamu kesurupan, he..he…, gimana dah ada solusinya?”
“Aku sudah memutuskannya”.
“Besuk antarkan aku menemui keluarganya, dengan tekat bulat aku harus mengambil kesempatan ini, apapun yang terjadi.” Tegasku mantab.
“Luar biasa, terus terang aku iri denganmu. Kau kuliah dapat beasiswa, hampir jabatan strategis kampus pernah kamu pegang. Dan kini mau melamar seorang dokter, kau harus banyak bersyukur atas ujian yang indah ini Ndra?”
“Wah.., jangan gitu Her…?, semua orang punya kelebihan dan bagiku engkau juga memiliki banyak keistimewaan.

***********
Hari belum dimulai.
Jarum pendek pada jam dinding mengarah ke angka 3. Hari masih sore, aku barusan keluar rumah untuk pulang, sehabis melamar Putri.
Rupanya Disik tidak terima, ia marah dan tersinggung berat melihat Putri telah dilamar orang lain. Kemudian ia telah menyiapkan preman bayaran untuk mencelakai kami. Begitu sepeda motor kami menuruni sebuah jalan dekat jurang, tiba-tiba sebuah mobil Hartop melaju kencang, dan memang sengaja menyerempet sepeda motorku. Dan …”Allahu Akbaaarrr……….,” kami takbir berbarengan. Heri beruntung masih bisa meloncat kesamping, Heri hanya lecet-lecet.
Sedangkan Andra terjun bersama sepedanya masuk jurang. Sedang sopir mobil Hartop yang ternyata suruhan Didik, telah diamankan masyarakat sekitar.
Pelan-pelan kubuka mataku, samar-samar terdengar senandung lirih, ya, aku hafal suara itu. Senandung yang sering kudenagr dari ibuku, sewaktu masih kecil. Lama-lama suara itu menghilang,……. Ibu…
Di sebuah rumah sakit di kota Solo.

Aku ternyata mengalami luka parah, dan masih belum sadarkan diri. Sedangkan Heri rupanya hanya luka ringan, karena dengan gerak reflek ia masih sempat melompat ketika sepeda motor kami masuk ke jurang.
Keluargaku belum datang, maklum rumah jauh di Wonogiri. Heri menunggu dengan harap dan cemas di luar kamar. Sedangkan Putri, ditemani Yayuk menyusul ke rumah sakit.

Ketika jam jenguk tiba, ia diberi kesempatan masuk. Begitu masuk kamur ICU ia begitu terperanjat, seperti tidak yakin dengan pemandangan yang ia lihat.
Andra kepalanya gagar otak. “Assalamu a’laikum akhy…., semoga Allah menyembuhkanmu,” sapa Putri pelan. Kudengar suara itu.. seperti mulai kembali pulih kesadaran. Walaupun tidak begitu jelas siapa yang datang, tapi aku yakin pemilik suara itu adalah Putri.
Kemudian dengan terbata-bata menyampaikan sesuatu, sesuatu yang masih mengganjal di hatiku. Kucoba sekuat tenaga mengumpulkan energy, untuk menyampaikannya.
“Ya ukhty Putri…., kamu percaya kan bahwa jodoh, rezeki dan kematian adalah takdir ilahi. Aku berhenti sejenak, masih menahan rasa sakit di seluruh kujur tubuh.
Gigiku saling beradu, sesekali gigi atas menangkap bibir bawah untuk mencoba menghilangkan sakit yang tiada tara.
Tak terasa sebulir air mata mengalir dari pipi Putri, “Akhi…, jangan bicara dulu istirahat saja,” hibur Putri yang duduk agak mendekat pembaringan Andra. “Putri…, aku ingin menyampaikan sesuatu yang penting…….. “.

Bagaimana mungkin, disaat kritis dan tengah menahan sakit yang teramat sangat seperti itu, Andra masih sempat memikirkan kebahagiaan orang lain, seandaianya Tuhan berkehendak lain atas sebuah ajal.
Detik demi detik, menit pun berlalu. Kurasakan kondisi semakin parah saja. Heri akhirnya diperbolehkan masuk. Tanganku terasa dipegangnya, mata Heri berkaca-kaca. ”Bersabar dan bertahan ya ndra…, kamu pasti kuat.”
“Heri, kau adalah sahabatku yang selama ini banyak membantu. Kaulah yang mencarikan aku komunitas kebaikan, sehingga aku mengenal kebenaran.
” Kemudian Andra menoleh Putri dan berkata, ”Ukhty Putri…, jangan kau ragukan Heri, ia mungkin lebih pantas mendampingimu. Aku harap kalian berdua bisa bersatu meneruskan cinta suci karena ilahi, untuk membentuk peradaban mulia dan generasi robbani. Bukankah cinta suci itu berasal dari hati bersih yang dasar mencintainya karena kualitas keberagama-annya. Aku mohon engkau menerima Heri sebagai peng…, peng…, ganti…ku….., Allahu Akbar…, laa..ila ha..illallah…..”
Senandung itu kembali terdengar, bagai nyanyian syurga yang menyambut para penghuninya…
Wajah-wajah putih bersinar bergantian melintas di depan mataku…
Apakah ini akhir dari kehidupan
Untuk dimulai kehidupan selanjutnya…..
Heri dan Putri serentak mengucapkan,” inalillahi wainailahi roji’uun.”
Putri dengan kesedihan yang tak terlukiskan keluar kamar ICU, dan Heri masih mendekap erat sahabatnya, yang kini sudah tidak bernyawa..

************
“He…, ayo bangun Ndra…, kita baru sampai terminal Karanganyar. Kita masih ganti kendaraan sekali lagi untuk sampai di Desa Gondosuli Tawangmangu,” sentak Heri, sambil mengguncang-guncangkan bahuku yang masih tertidur pulas. Aku memang sangat kelelahan setelah semalam ia kesulitan memejamkan matanya. Makanya, begitu naik bus aku sudah tak kuasa menahan rasa kantukku.
kucoba membuka kelopak mata, namun tidak segera beranjak dari kursi bus Setya Rini, kurasakan apa yang baru saja kualami dan bersungut-sungut mengingat-ingat mimpi barusan. Wajahku memucat seperti ketakutan, kemudian kutarik nafas panjang sambil istighfar. Kini aku kembali lega, ternyata semua itu hanya mimpi saja.
Perjalanan satu setengah jam itu, telah membawanya kedalam petualangan mimpi yang membuatnya ngeri sekaligus menyadarkan diriku untuk instrofeksi diri.
“Astaghfirullah…! Ya Allah..!, aku berjanji bahwa aku akan mencintai Putri dalam rangka untuk taat kepada-Mu, bukan karena aksesoris luarnya, seperti karena ia cantik, putih, pakai kaca mata, tahi lalat di pipi, tinggi dan seorang dokter. Bukan karena itu, bahkan aku sekarang tidak peduli dengan semua itu, yang penting ia wanita yang bisa diajak menuju kebenaran. Berkahi kami ya…, rabbiii…,
“Ayo cepetan turun Ndra…, nanti terlalu lama keluarga Putri menanti,” tegas Heri.
Setelah turun dari bus, kutatap Heri lama. Kemudian tersenyum kecil, dan dalam hatinya berkata, ”Syukur…, tadi tidak jadi naik sepeda motor.”

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More