Rabu, 29 Desember 2010

Kalau Belajar Jadi Selezat Coklat


Oleh: Nurfitriyana Purnasari

Kutatap wajahku didepan cermin. Mataku sembab. Hidungku merah. Kepalaku pusing bukan main. Seharian aku mengurung diri di dalam kamar. Tak berhenti menangis terisak mendapati kenyataan bahwa aku tidak lolos dalam seleksi penerimaan mahasiswa/mahasiswi baru di sebuah perguruan tinggi negeri di kotaku. Selama ini aku sudah berusaha semaksimal mungkin. Mulai dari mengikuti berbagai macam program bimbingan belajar, try out, bahkan setiap hari aku belajar hingga larut. Optimisme yang tinggi membuatku tak pernah memikirkan kemungkinan bahwa aku akan gagal. Yang lebih menyedihkan lagi, ketika aku diberitahu bahwa 85% teman sekelasku berhasil lolos. Aku merasa diriku ini sangat BODOH.

Seperti biasanya, aku datang ke kampus, masuk kelas, dan duduk tanpa memperhatikan apa yang sedang dibicarakan oleh dosen didepan kelas. Sudah 3 bulan ini aku menyandang status mahasiswi di sebuah perguruan tinggi swasta. Kampus yang sama sekali tidak kuinginkan. Aku benar-benar tidak betah dengan lingkungan di kampusku. Oleh sebab itu, aku melakukan segala sesuatunya dengan setengah hati. Seringkali orang-orang disekelilingku berusaha memberi motivasi agar aku mau belajar tapi tiap kali itu juga upaya mereka sia-sia. Belajar. Sebuah kata yang membuatku malas, bad mood, dan bosan. Peristiwa beberapa waktu yang lalu sepertinya masih saja menghantuiku. Untuk apa aku belajar? Untuk apa aku bersusah-susah memahami dan menghafal materi? Kalau pada akhirnya aku gagal.

Siang itu, seusai kuliah di kelas pagi aku bersiap-siap untuk langsung pulang. Aku memang tidak pernah tinggal berlama-lama di kampus begitu jam belajar usai. Kalau teman-temanku sibuk dengan berbagai aktivitasnya di berbagai organisasi yang ada, aku lebih suka mengurung diri di dalam kamar. Entahlah, aku sama sekali tidak memiliki keinginan untuk bergabung. Sesampainya dirumah aku langsung mengambil handphone dari dalam tas karena sempat berbunyi ketika aku dalam perjalanan pulang. Kulihat ada 1 pesan masuk tampak dilayar handphone. Ternyata sms dari Fitri, teman baikku. Dia memintaku untuk menemaninya berkunjung ke Islamic Book Fair, sebuah pameran buku yang memang rutin digelar di daerah tempat tinggalku. Fitri bilang ia ingin membeli novel. Sekalian lihat-lihat katanya. Karena merasa malas datang ketempat seperti itu kuputuskan untuk menolak ajakan Fitri. Jangankan membeli novel ataupun buku-buku pengetahuan umum dan membacanya, membaca materi kuliah yang notabene wajib saja rasanya tidak berminat. Meski sudah kutolak ajakannya tampaknya Fitri tidak putus asa. Setelah setengah jam proses rayu merayu lewat sms, tiba-tiba Fitri sudah ada di depan rumahku. Dia tetap memaksaku untuk pergi. ”Kamu itu butuh refreshing Nis. Jangan ngurung diri dikamar terus”,katanya sambil mendorongku masuk agar segera bersiap.

Sementara Fitri tengah sibuk ditengah kerumunan orang yang sedang memilih-milih buku yang tersusun di rak, aku hanya berdiri dipojok stand sambil mengedarkan pandangan memperhatikan orang-orang yang berlalu lalang. Karena terlalu asyik, sepertinya Fitri lupa kalau dia datang bersamaku. Hampir dua jam aku menunggu, kakiku sudah mulai pegal-pegal. ”Nis, Nisa..!!” Tiba-tiba aku mendengar ada yang memanggil-manggil namaku. Setelah kutemukan sumber suaranya ternyata Fitri yang memanggilku. Fitri melambai-lambaikan tangannya, memberi isyarat agar aku segera mendekat. ”Ada apa?”, tanyaku setelah berada tepat disebelah Fitri. ”Liat deh buku ini. Kayaknya bagus deh”, katanya sambil menyodorkan sebuah buku. ”Bikin Belajar Selezat Coklat karya Fatan Fantastic dan Dinda Denniz”, gumamku. Fitri merekomendasikan aku untuk membeli buku itu supaya aku memiliki semangat untuk belajar. ”Seharusnya kamu itu menghargai perjuangan kedua orang tuamu yang bekerja banting tulang untuk membiayai kuliahmu. Bukannya malah bermalas-malasan. Toh nantinya ilmu yang kamu dapatkan juga kamu sendiri yang akan merasakan manfaatnya”. Waktu itu, aku cukup lama terdiam memikirkan kata-kata sahabatku itu.

Aku tercengang membaca barisan kata-kata yang ada di buku ”Bikin Belajar Selezat Coklat” bahwa manusia itu diberi keistimewaan. Otak yang ukurannya hanya sebesar buah anggur itu mampu mengendalikan seluruh perilaku dan kegiatan manusia. Allah telah mengatur sedemikian rupa bahwa dengan otak itu manusia dapat berpikir dan memperoleh ilmu. Pantas saja Allah memulai firmannya dengan Iqra yang artinya bacalah. Bahkan Allah SWT berjanji akan memuliakan orang yang berilmu.
”Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat” (Q.S. Al-Mujaadilah/58:11)
Tanpa terasa aku menitik air mata. Aku menyesal selama ini sudah menyia-nyiakan waktu dengan bermalas-malasan dan lalai untuk menuntut ilmu hanya karena kegagalan yang pernah kualami. Aku baru sadar bahwa orang itu harus rakus dalam mencari ilmu karena itu akan sangat bermanfaat, dunia dan akhirat. Ilmu itu bisa didapatkan dimanapun, tidak harus dibangku pendidikan formal. Apalagi harus di institusi tertentu.

Dari buku ”Bikin Belajar Selezat Coklat” juga aku mendapatkan informasi kalau stress akan berpengaruh pada daya ingat seseorang. Hal itu dikarenakan dampak racun yang ada pada neuron. Pantas saja sejak peristiwa yang membuat sangat sedih beberapa waktu lalu ingatanku sedikit menurun. Bisa jadi aku mengalami distress. Tapi sekarang semuanya sudah berubah. Perlahan aku mulai membiasakan diri untuk bersuci sebelum belajar. Suci yang dimaksud disini adalah mensucikan hati dan diri untuk menerima ilmu. Kemudian aku selalu memulai belajar dengan berdoa. Meminta agar Allah menambahkan ilmu dan memberi rizqi pemahaman. Setelah bersuci dan berdoa yang aku selalu mengulang-ulang membaca materi supaya lebih paham. Aku juga membuat jembatan keledai (mengaitkan materi yang sedang dipelajari dengan sesuatu yang familiar) untuk memudahkan dalam menghafal. Dengan beberapa”warisan” jurus-jurus sakti ala Bang Fatan dan Bang Denniz itulah aku mulai menikmati yang namanya belajar. Bener-bener deh, yang namanya belajar jadi selezat coklat. Alhamdulillah sejak saat itu indeks prestasiku terus meningkat. Bahkan dengan prestasi itu aku bisa memperoleh beasiswa. Setidaknya aku bisa memperingan beban biaya untuk membeli buku dan fotocopy bahan kuliah.Aku sangat bersyukur Allah memberiku kesempatan untuk memperoleh ilmu.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More