Kamis, 30 Desember 2010

Di Semester Empat Aku Menikah ^____^

Oleh: Rahayu Sulistio Rini

Berawal dari sebuah SMA di salah satu kota Jogja, kutemukan sebuah cinta. Cerita panjang  ini berawal dari hampir 3 tahun yang lalu, ketika aku masih memakai seragam putih-biru mudaku. Sedikit bercerita tentang sekolah tua nan penuh wibawa ini. Aku suka sekali menyebutnya kampus cemara dengan pohon-pohon cemara yang tinggi menjulang, kampus kehidupan tempat aku belajar banyak hal, dimana ketika ada orang yang melangkahkan kaki di dalamnya, pasti akan dengan mudah ia temukan aura berbeda di sana. Ada sebuah pesona tersendiri dari kampus cemaraku. Ada siswi –siswi berjilbab lebar, berwajah cantik nan meneduhkan. Juga ada siswa-siswa santun yang menjaga pandangan mata. Subhanallah, di sinilah kutemukan cinta. Dan disinilah kutemukan jalan sebuah hidayah dariNya.

Sejak masih SMP aku suka sekali membaca, dan berawal dari sebuah buku aku berazzam untuk segera berjilbab. Dan ketika masuk SMA, sudah resmi kukenakan baju takwa itu. Dan di SMA ini, azzamku semakin bulat dan kuat, bahwa aku ingin menjadi seorang muslimah yang baik, menjadi seorang akhwat shalihah, yang layak dicinta olehNya.

Kelas satu SMA bagiku adalah masa-masa di mana aku belajar beradaptasi dengan lingkungan yang masih begitu asing bagiku. Dengan kultur yang tak kutemui di sudut manapun aku berada sebelumnya. Di sana aku belajar, bagiamana berinteraksi dengan benar, antara laki-laki dan perempuan. Bagaimana menjadi seorang muslimah yang baik, yang tak hanya berkomitmen dengan jilbab saja, tapi juga berkomitmen untuk senantiasa memperbaiki akhlaknya.

Dan perjalananku di mulai dari kelas satu waktu itu. Tiap peristiwanya masih tersimpan rapi dalam baris-baris kalimat beberapa buku diaryku yang sampai saat ini masih tersimpan dalam lemari buku. Masih lekat dalam ingatanku ketika akhir tahun 2005 itu, ada seseorang yang berusaha mendekatiku. Seorang lelaki yang sangat jauh lebih tua dariku, dia menawarkan sesuatu bernama pernikahan, mungkin, tapi entahlah karena kini aku tak yakin dulu itu yang ia inginkan. Dan harus kuakui karena kedekatan kami waktu itu membuatku cukup rancu menilai diriku sendiri, benarkah hubungan seperti ini yang kuharapkan? Hubungan tanpa kejelasan? Aku yang saat itu masih belum genap 16 tahun, tentu saja menjadi begitu ragu. Beruntung sekali, ada seorang kakak kelas yang kumintai nasihat waktu itu, memberikanku sebuah buku.

Siang itu, di lantai 2 masjid Al Uswah, aku duduk termenung di hadapan seorang akhwat seniorku. Mengalirlah cerita-ceritaku, dan beliau dengan penuh kesabaran menasihatiku tanpa membuatku merasa menjadi terpojokkan. Lalu kemudian ia berkata,
” Dek, kamu harus tegas dek, katakan saja padanya bahwa hubungan ini tidak baik, toh kamu baru kelas satu SMA, masih ada 3 tahun lagi yang harus kamu jalani kan? Kalau memang jodoh pasti ndak akan kemana kok”
Lalu, ia ulurkan padaku sebuah buku yang masih sangat kuingat sampai saat ini. Tentang indahnya sebuah pernikahan, ”Nikmatnya Pacaran Setelah Pernikahan” karya Ust. Salim A. Fillah. Dan dari situlah ku tekadkan, bahwa memang hanya dengan suamikulah nanti akan kubagi segala rasa ini.

Satu masalah berlalu. Kulalui hari-hariku seperti biasa. Kesibukan sekolah membuatku sedikit melupakan secuil rasa sakit akibat masalah itu. Organisasi, belajar, syuro, semuanya kulakoni dengan baik sampai tahun 2006 itu. Tapi, tentu saja masalah tak berhenti sampai di situ, ketenangan hati yang baru saja kuraih kala itu tiba-tiba berantakan lagi karena kehadiran seorang ikhwan. Entahlah, dulu aku sangat membenci perasaanku sendiri, perasaan bahwa aku takut melukai, perasaan tak enak kalau harus galak di depan seorang ikhwan. Dan memang, kata teman-temanku hatiku ini terlalu rentan dengan yang namanya ”cinta”. Padahal aku tahu, jelas-jelas itu bukan cinta.

Seperti biasa sepulang sekolah aku mampir ke salah satu ruang di dekat lapangan basket sekolah. Ruang kecil yang hanya berukuran 3x4 meter itu sudah dipenuhi oleh beberapa teman yang sedang membahas perlombaan yang akan kami ikuti. Sebuah ruang, di mana 1 tahun setelah kejadian ini aku bertemu dengan suamiku. Tak hanya kami anak-anak kelas satu, tapi ada beberapa alumni dan kakak kelas di situ, dan di situ aku mengenal seseorang yang cukup baik dan shalih menurutku. Tak ada yang salah di awal perkenalan itu. Semuanya tampak normal. Tapi, seperti yang sudah kutakutkan dari semula, terjadilah hal itu. Entah kenapa, aku berpikir lagi, apa yang salah denganku ini? Hingga ada lagi lelaki yang harus memberikanku perhatian di luar kewajaran. Tapi, aku belajar dari pengalaman sebelumnya. Dan akhirnya, sebelum terjadi sebuah kesalahpahaman, dengan cepat kukatakan ”tidak”. Kalimat itu menjawab pertanyaan yang ia katakan di telepon malam sebelumnya, entah sebenarnya aku bingung dengan apa yang ia tawarkan, apakah menjadi calon istrinya? Menjadi pacarnya? Atau menjadi teman dekatnya? Entahlah, tapi jawabanku tetap sama. Dan akhirnya semua berjalan seperti biasa.

Sungguh, indah sekali ketika aku bisa melalui dua hal itu. Dan aku semakin bersyukur karena aku juga belajar semakin banyak. Tahun 2007 adalah tahun terberat bagiku. Dengan banyaknya agenda organisasi, amanah – amanah yang kudapatkan, dalam sehari tak terhitung ada berapa rapat dan pertemuan yang harus kudatangi waktu itu. Tetapi, kesibukan itu tak lantas membuatku berhenti membicarakan tentang nikah muda. Sejak kelas 2 SMA, entah kenapa aku tertarik sekali dengan bahasan itu. Ditambah lagi dengan teman-teman yang juga punya pemikiran yang sama. Masih kuingat ketika aku berkumpul dengan beberapa orang akhwat. Waktu itu aku hanya melongo mendengarkan cerita mereka. Dalam hati, aku sangat iri pada mereka. Di usia mereka yang belum genap 17 tahun, sudah ada seorang ikhwan yang datang menyatakan niat baik untuk mengkhitbah mereka. Dan agaknya, aku adalah salah satu akhwat pemimpi di antara teman-teman sekelasku, bermimpi akan ada sesosok ikhwan yang juga datang kepadaku waktu itu.

Tapi mimpi itu bukanlah suatu hal yang hanya kututup rapat-rapat. Mimpi itu kutuliskan dalam lembaran catatan hatiku. Dalam sebuah buku bersampul hijau muda bergambar bunga. Tertulis di sana 1427 H,saat aku masih kelas 2 SMA. Tertulis rapi dalam buku itu target hidupku 5 tahun yang akan datang, dan salah satunya adalah menikah. Bila dihitung dari waktu itu, berarti di semester 6 targetku menikah. Tak hanya itu, di dinding kamarku juga tertempel sebuah kertas berisi target hidupku dan salah satu isinya adalah kapan aku akan menikah.

Manusia boleh bermimpi, tapi bukankah hanya Allah saja yang menentukan hasilnya? Teringat perkenalan dengan seorang ikhwan di awal tahun 2007 itu. Perkenalan singkat tetapi membawa sebuah cerita panjang yang sampai saat ini membuatku merasa sangat bersyukur karena telah Allah pertemukan dengannya. Ia seorang ikhwan yang kukenal di ruang tempatku sering beraktivitas organisasi. Di awal perkenalan itu, tak ada yang aneh dengannya, hanya saja aku mengagumi pribadinya. Komunikasi itu ada karena ketika itu ia membantuku dalam sebuah perlombaan, dimana aku diamanahi sebagai sie acara waktu itu.

Lalu? Apakah berhenti sampai di situ? Tentu saja tidak. Karena ketika aku naik kelas tiga, masih kuingat sekali peristiwa di akhir tahun 2007. Siang itu, ia menyatakan sebuah niatnya, untuk menjadikanku calon istrinya. Pernyataan yang sungguh tak kuduga sebelumnya. Entah apa yang membawanya sampai ia bisa menyatakan itu padaku. Waktu itu, aku butuh waktu beberapa menit untuk mencerna tiap perkataan yang ia ucapkan. Dan butuh waktu beberapa menit lebih lama, untuk mengembalikan kesadaran diriku bahwa aku harus menjawab pertanyaan itu.

Ketika itu, aku berkata padanya, ”afwan mas,aku ndak mau menunggu dan ditunggu,kalau njenengan sudah benar-benar siap,monggo silahkan mencari akhwat lain yang juga sudah siap,karena menunggu 2 tahun itu bagiku waktu yang ndak sebentar, dan aku ndak tahu apa yang akan terjadi selama 2 tahun itu”. Dan ia mengerti maksudku. Setelah itu, silaturahmi masih tetap terjaga dengan baik, hanya saja beberapa bulan lamanya kami tak pernah berkomunikasi lagi, lebih tepatnya aku memutuskan silaturahmi dengannya. Memang kuakui aku sangat tak bijak sekali waktu itu. Aku sibuk dengan sekolahku, dan mungkin ia sibuk merampungkan kuliahya dan bersiap melalui serangkaian acara penempatan kerja.

Kesibukanku tak lantas membuatku lupa akan obsesiku untuk nikah muda. Aku sering sekali mengunjungi perpustakaan sekolah yang semakin lama koleksi bukunya semakin banyak dan bagus. Dari semua koleksi buku di sana, entah kenapa aku suka sekali membaca buku tentang cinta, novel cinta, apalagi tentang pernikahan. Suatu siang, kuambil sebuah buku bersampul merah tua, masih dengan penulis yang sama dengan buku yang kubaca dulu sebelumnya. ”Bahagianya Merayakan Cinta” tertulis besar disampulnya. Aneh sekali, harusnya saat itu aku sibuk membaca buku untuk persiapan ujian nasional karena aku sudah kelas 3 . Tapi, entah kenapa bagiku buku tentang pernikahan jauh lebih menarik untuk di baca. Dan karena membaca buku itulah keingiananku untuk segera menikah semakin kuat saja. Karena aku ingin, menjadi lebih terjaga hatinya.

Akhir tahun 2008 akhirnya silaturahmi tersambung lagi. Senang sekali waktu itu, aku mendapatkan kabar bahagia darinya,bahwa ia sudah mendapatkan seorang calon istri. Aku hanya bisa mendoakan semoga tiap ikhtiarnya berjalan dengan lancar. Tapi ternyata tidak, karena awal tahun 2009 ia memberiku kabar bahwa ikhtiar itu harus berhenti di tengah jalan. Tapi aku tahu, ia bukanlah sosok yang mudah putus asa. Akhirnya aku mendapatkan kabar bahagia untuk kedua kalinya, bahwa ia sudah mendapatkan pengganti akhwat sebelumnya. Doaku masih tetap sama. Semoga yang terbaik selalu untuk mereka.Tapi, entah apa yang terjadi aku tak tahu, karena ikhtiarnya yang kedua ini ternyata belum juga membuahkan hasil.

Sampai akhirnya, Ramadhan 1429 H yang lalu ia katakan kembali pertanyaannya waktu itu sama seperti 2 tahun yang lalu. Dan akhirnya untuk kali ini, tak  ada lagi alasan bagiku untuk menolak seorang ikhwan sebaik dirinya. Hanya berselang 10 hari dari setelah itu, ia sekeluarga datang ke rumah untuk mengkhitbahku. Lalu segeralah ditentukan kapan akad nikah akan dilaksanakan. Dan di semester empat aku menikah. Tepat sehari setelah ujian tengah semester terakhirku. Dua minggu lamanya UTS, dan sehari berikutnya akad nikah itu dilaksanakan. Sudah tak dapat lagi kulukiskan perasaanku waktu itu. Dan tentang ujianku, aku merasa itu adalah ujian paling mendebarkan dalam hidupku karena hari-hari itu adalah hari-hari dimana aku menunggu detik-detik bergantinya statusku, dari anak orang lalu kemudian menjadi istri orang. Lebih tepatnya aku menjadi istri seorang ikhwan baik nan shalih.

Sekelumit kisah yang bagiku penuh dengan selaksa makna. Karena dari sini aku belajar banyak hal. Tentang rahasia jodoh kita, tentang arti sebuah kesabaran dan kesungguhan sebuah ikhtiar. Aku jadi paham, bahwa sejauh dan selama apapun kami terpisah ketika Allah telah mengikatkan sebuah benang merah pada kami, maka ketika tiba saatnya pasti kami akan dipertemukan kembali. Tak peduli sudah berapa orang yang kami temui, karena dari pertemuan-pertemuan itu pasti ada hikmah yang bisa diambil. Aku jadi mengerti bahwa ikhtiar itu butuh kesungguhan, butuh pengorbanan, juga kesabaran, hingga ketika ikhtiar itu berbuah manis kita bisa bersyukur lebih banyak.

Di semester empat aku menikah, ketika usiaku belum genap 20 tahun dan usianya baru saja 24 tahun. Usia yang masih sangat muda kata orang-orang. Tapi bukankah kebaikan itu akan membuahkan kebaikan yang jauh lebih banyak. Karena bagi kami menikah adalah ibadah yang membuat hati kami jauh lebih tenang. Dan kini dapat kurasakan indahnya pacaran setelah pernikahan. Ada sebuah pengalaman yang agak lucu bagiku, tapi sempat membuatku sebal. Suatu siang kami sempatkan jalan-jalan berdua di sebuah book fair, dan aku senang sekali menggandeng tangannya kemanapun kami pergi. Tapi agaknya ada orang-orang yang menatap kami dengan pandangan penuh selidik sambil memandangi tangan kami. Mungkin mereka pikir, kami ini adalah ikhwan akhwat aktivis pacaran, memang betul tapi tentu saja kami sudah mendapatkan surat izin pacaran dari KUA setempat. Mungkin di luar sana masih ada orang yang belum terbiasa dengan nikah muda, apalagi pacaran setelah akad nikah, tapi justru itulah yang membuat kami bersemangat untuk mengatakan pada mereka bahwa menikah di usia muda dan pacaran setelah akad nikah itu jauh lebih indah.

Bahagia sekali ketika kami bisa merayakan cinta. Karena Allah yang membuat hati-hati kami saling mencinta. Kini dengan menjadi istrinya, aku tengah berusaha membuat agar bidadari cemburu padaku, seperti judul buku yang kubaca sejak SMA dulu ”Agar Bidadari Cemburu Padamu”. Sudah kuazzamkan dalam hati, bahwa aku harus bisa menjadi seorang istri shalihah, seorang istri yang mampu menjadi penyejuk hati suamiku. Dan aku memang harus belajar jauh lebih banyak lagi, karena ada banyak ilmu yang belum kupahami. Aku ingin sekali menjadi perhiasan dunia terindah yang ia miliki saat ini, juga menjadi seorang ummi yang baik untuk jundi-jundi kecil kami nanti.

Ya, di semester empat aku menikah. Dua semester lebih cepat dari mimpiku sebelumnya. Aku tersadar bahwa Allah teramat sayang padaku, setelah berbagai peristiwa, akhirnya Allah mempertemukanku pada imamku, seseorang dimana kulabuhkan berbagai perasaan di hatiku, juga seseorang dimana baktiku tertuju demi menggapai ridho Rabbku. Alhamdulillah, dan aku sangat bersyukur dengan pernikahan ini. Sudah kutemukan teman perjalanan, yang akan semakin meneguhkanku di jalan ini. Jalan dimana ada barisan-barisan orang beriman. Dan dengan pernikahan ini ingin kami gapai sebuah ketakwaan.

Terhitung hampir 8 bulan pernikahan kami, sejak 10 April 2010 lalu. Suatu anugrah terindah bagiku adalah ketika aku menjadi seorang istri. Semoga selalu ada berkah dalam tiap perjalanan kami, selalu ada Allah dalam tiap ikhtiar kami menshalihkan diri demi menjemput anugrah berupa jundi-jundi kecil yang sudah sangat kami rindukan.

Satu hal yang saat ini membuatku selalu yakin, bahwa Allah selalu punya skenario terindah dalam hidup tiap manusia. Hingga seharusnya tak ada lagi kata bosan dan putus asa mendera ketika separuh agama ini belum tergenapkan. Karena aku yakin sekali, di belahan bumi sana sudah Allah siapkan ikhwan dan akhwat shalih sebagai penggenap dien itu. Tugas manusia adalah berikhtiar menjadi sosok yang demikian shalih hingga ketika tiba saat yang tepat nanti Allah mempertemukan dalam sebuah pertemuan indah itu.


0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More