Rabu, 29 Desember 2010

Pengakuan Ratri

Oleh: Nurfitriyana Purnasari

Jam menunjukkan pukul 09.00, bel-pun berbunyi. Seperti biasa kalau sedang puasa sunah senin kamis aku hanya menghabiskan jam istirahat pertama dengan berdiam di kelas. Selain aku, ada 5 orang yang masih duduk. Ada Reza dan Andi yang asyik berbincang, ada Silvy yang sibuk dengan handphone-nya, dan ada Fatia yang sedang membaca. Saat kuperhatikan lebih seksama judul buku yang dibaca Fatia, aku jadi tertarik. Agar Bidadari Cemburu Padamu. “Memang bisa ya bidadari itu cemburu”, batinku. Karena penasaran, maka akupun bertanya pada Fatia. Dia bilang buku tersebut recomended untuk dibaca. Bahkan Fatia sampai berulang-ulang kali membacanya. Mungkin karena melihat ekspresiku yang sangat ingin tahu akhirnya Fatia menawarkan untuk meminjamiku buku tersebut.

Kuulangi sekali lagi membaca barisan kata-kata “wanita itu lebih unggul dari bidadari, karena shalat mereka, puasa dan ibadah mereka kepada Allah. Allah meletakkan cahaya di wajah mereka, tubuh mereka adalah kain sutera, kulitnya putih bersih, pakaiannya berwarna hijau, perhiasannya kekuningan, sanggulnya mutiara, dan sisirnya terbuat dari emas. Mereka berkata, “Kami hidup abadi dan tidak mati. Kami lemah lembut dan tidak jahat sama sekali. Kami ridha dan tidak pernah bersungut-sungut sama sekali. Berbahagialah orang yang memiliki kami dan kami memilikinya (HR. Ath Thabrani, dari Ummu Salamah) di buku berjudul Agar Bidadari Cemburu Padamu yang ditulis oleh Salim A. Fillah, hasil pinjaman dari teman sekelasku Fatia. Hatiku terasa bergetar. Aku bertanya kepada diriku sendiri, sudah cukup baikkah shalatku? Sudah cukup baikkah puasaku? Sudah cukup baikkah ibadahku? Sepertinya masih terlalu banyak kewjiban-kewajiban yang belum kupenuhi. Sementara, tiap detik, menit, jam, hari, bulan, dan tahun dosa-dosaku terus saja bertambah. Aku jadi merasa malu sekali kepada-Nya. Selama ini aku selalu meminta banyak hal, ini dan itu. Merasa tidak puas dengan apa yang sudah Allah berikan kepadaku. Aku juga lalai bahwa kehidupan didunia ini hanyalah sementara. ”Ya Rabb, aku memohon ampun atas segala dosa-dosaku”, isakku.

Sore itu seperti biasa, sembari menunggu waktu Isya tiba, aku melanjutkan membaca Al-Qur’an. Kebetulan surat yang kubaca adalah surat An-Nur. Karena waktu sebelum adzan masih beberapa menit, kusempatkan membaca arti dari ayat tersebut. Begitu sampai di ayat 31 mataku berkaca-kaca. Meski air yang memenuhi mataku semakin deras, aku berusaha menyelesaikannya. “Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita…” Aku kembali teringat barisan kalimat di buku Agar Bidadari Cemburu Padamu. Pertanyaan tentang shalatku, puasaku, ibadahku, kembali terngiang kepalaku.

Aku tahu bukan suatu hal yang mudah tetapi aku ingin segera memakai jilbab, menutup auratku, melaksanakan kewajibanku sebagai seorang muslimah. Aku ingin sekali menjadi golongan wanita yang bisa membuat para bidadari itu cemburu. Desember 2005, aku berdiri didepan cermin. Berusaha memakai jilbab yang kupinjam dari kakakku. Berbagai model kucoba, sudah jadi kemudian melepaskannya lagi. Waktu sudah menunjukkan pukul 07.00 WIB. Itu artinya sudah sejak 30 menit yang lalu aku berada disana. Setelah merasa cukup rapi aku bergegas mengambil buku-buku yang masih tergeletak diatas meja belajar dan memasukkannya kedalam tas. Sebelum keluar kamar kupandang sekali lagi wajahku dicermin. Ada sedikit rasa takut, membayangkan bagaimana reaksi teman-teman nantinya. Tapi aku sudah bertekad bahwa berbusana itu tidak sekedar untuk menutup tubuh tetapi merupakan identitas bagi diri seorang muslimah. Senyum puas pun menghiasi bibirku. Itulah aku dengan penampilanku yang baru. Hari itu memang hari pertama bagiku memakai jilbab ke sekolah.

Ada berbagai reaksi teman-teman yang menyambut begitu aku masuk kelas. Ada yang langsung mengucapkan selamat, ada yang memberikan dukungan, tapi ada juga yang berkomentar dengan wajah aneh mengenai keputusanku memakai jilbab. Menanggapi itu semua, aku hanya bisa tersenyum. Meskipun masih jauh dari sempurna dalam berjilbab, aku ingin mulai belajar untuk menjalankan kewajiban menutup aurat. Memperbaiki akhlaqku, Selain itu, aku juga ingin menghindari pandangan jahil kaum laki-laki. Bukankah Allah memerintahkan untuk menutup aurat adalah agar seorang perempuan senantiasa terjaga kehormatannya. Sungguh, Allah itu Maha Tahu apa yang terbaik bagi hambanya. Seperti firman Allah dalam surat Al-Ahzab ayat 59 “Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin : “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak lagi diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. Dan sejak aku memakai jilbab, kurasakan ketenangan selalu melingkupi hatiku. Subhanallah.

Pengakuan ini sama sekali tidak berniat mengatakan bahwa diri ini lebih baik tetapi setidaknya kisah ini bisa menjadi pelajaran.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More