Rabu, 29 Desember 2010

Saya baru dapat Askeskin tahun ini, tidak ada biaya Dok sebelumnya

Oleh: Dody Hendro Susilo

Jam 11.16, siang itu di poli Bedah Umum dan Digestif . Tempat saya bekerja di Rumah Sakit Umum milik Pemerintah terbesar di Jogja, minggu ini. Bersama dengan seorang dokter muda dan seorang traine spesialis bedah lainnya. Dengan satu berkas rekam medis pasien yang masih tersisa, menunggu untuk dipanggil dan di periksa.

“Pak Slamet.” Teriak saya di luar ruangan untuk memanggil pasien berikutnya,

Kemudian ada seorang lelaki berdiri berdiri. Berjalan menuju ruangan poli ditemani dengan seorang wanita yang lebih tua di belakangnya. Dia datang dengan sederhana, dengan langkahnya dan sikapnya yang menunjukkan bahwa ia sudah lelah dengan hari ini.

Ketika sudah duduk, di meja pemeriksaan, di hadapan saya telah duduk seorang lelaki muda yang tampak tua lusuh oleh zamannya sendiri, kelihatan kurus, dengan tulang pipinya yang menonjol, berkulit kecoklatan, berpakaian hem kotak-kotak biru, dan bercelanakan kain panjang hitam. Ia mengenakan sebuah tas ransel yang membuat ia kelihatan kecil bila dibandingkan tas ranselnya yang besar.

Sedang disampingnya duduk seorang ibu berjilbab merah jambu yang membuatnya kelihatan muda, memakai pakaian lurusan sambil membawa tas kecil seperti kebanyakan ibu lainnya di salah satu sisi tangannya. Keduanya tampak berkeringat dan lekat dengan debu, seperti kebanyakan orang-orang yang naik angkutan umum.

Sembari kedua orang itu duduk terdiam dan mengelap mukanya dengan handuk kecil yang di bentuk seperti sebuah sapu tangan. Saya mulai membaca rekam medis nya sebelum bertanya lebih lanjut, untuk mengetahui perjalanan penyakit pasien ini sebelumnya. Rekam medis nya bermula pada tahun 2006 dan kemudian loncat ke pertengahan 2009.

“Bagaimana mas Slamet, ada yang bisa saya bantu?”
“Begini Dok, mau nanya tentang operasi anak saya, mau nyambung usus katanya.” Jawab wanita disampingnya.
“Ibu, Ibunya?”
“Iya Dok.”
“Bagaimana cerita nya Bu?”
“Ini Dok, anak saya operasi 4 tahun yang lalu, waktu itu umurnya 21 tahun, katanya operasi di usus atau anusnya gitu. Dan sekarang datang mau nanya kapan mau disambung, karena katanya mau disambung. Saya kontrol baru bulan juni kemarin Dok”

Kemudian saya lihat, di rekam medis yang awal, ditulis diagnosisnya adalah atresia ani, atau bahasa awam nya adalah ketiadaan lubang anus, atau lubang anus yang tidak pada tempatnya. Biasanya pada lelaki terbentuk hubungan (fistule) ke saluran kencing. Aneh kalau dia atresia ani bagaimana dia buang air besar selama dua puluh satu tahun ini. Tapi apapun jawabannya, yang pasti dia telah dilakukan operasi untuk memperbaikinya, dan akan dilakukan operasi berikutnya untuk menutupi operasi pertama karena anusnya yang telah terbentuk. Tapi pada mas Slamet ini, ia baru datang 3 tahun kemudian, untuk follow up tindakan berikutnya.

Sontak traine spesialis bedah di samping saya bertanya,
“Bu, kok baru datang tahun ini? Surat pengantar pulangnya mana yang dulu?”
“Iya Dok, maaf.” Katanya sambil menyeka matanya dengan handuk kecil tadi. Ia tampak menahan sesuatu didalamnya.
“Saya baru dapat Askeskin tahun ini, tidak ada biaya Dok sebelumnya.”

Dak, seperti ada sebuah jarum kecil yang menusuk dalam nurani saya, mendengar penjelasan ibu tadi. Sontak. Air mata keluar dari mata saya, namun kemudian saya tahan cepat-cepat. Memalukan memang, seorang lelaki yang menangis karena hal ini, tapi setidaknya kita masih bersyukur apabila kita menangis karena ini. Karena Allah tidak menjadikan hati kita seperti batu, yang bebal akan apa yang dilihatnya.

Kita mungkin memiliki karakter, bahasa, rasa atau kultur yang berbeda. Tapi kita tentu masih memiliki nurani yang sama. Ketika kata tak mampu terucap, maka bahasa hati lah yang bermain. Nurani lah yang berkata.

Ketika orang lain menganggapnya adalah bagian dari kehidupan. Saya berani berkata bahwa ini tidak seharusnya terjadi. Kami pernah berdebat berdiskusi panjang tentang ini di pergerakan mahasiswa, tapi usul yang kami rancang, hanya mampu menjadi bahan lemparan ke atas mimbar ilmiah.

Miris mendengarnya, mungkin ini yang dirasakan oleh 76.4 juta penduduk miskin kita yang menanti di depan ruang-ruang para pemimpinnya untuk mendapatkan surat keterangan tidak mampu. Yang mampu berobat hanya saat ketika mereka mendapatkan jatah untuk diakui sebagai orang miskin. Padahal masih ada 30-an juta warga miskin lainnya yang tidak terdata karena pendataannya yang tidak tepat waktu.

Angka-angka itu mungkin hanyalah sebuah kuantifikasi tanpa makna yang kita anggap sama dengan angka-angka yang kita lihat lainnya, satu, dua, tiga atau bilangan lainnya. Tapi menjadi sebuah rasa yang membuat kepasrahan akan keadaan sebagai satu-satunya jawaban yang kita lihat ketika kita menjadi salah satu didalamnya.

“Jalan cinta para pejuang adalah jalan dimana kita mendengar kan suara nurani. Bukan untuk mendayu dayu atau melankolik. Tetapi untuk bersikap tepat pada suatu saat, sepenuh jiwa, sepenuh raga.” (Sallim A Fillah, Jalan Cinta Para Pejuang)

Begitupun sebagai seorang Dokter yang akan dipercaya pasien sebagai problem solver, kami tidak boleh ikut larut dalam permasalahan pasien, tapi harus menghasilkan sebuah solusi objektif untuknya. Karena kami dituntuk untuk ber Empati, bukan sekedar ber Simpati.

“Baiklah Bu, tapi bukannya harusnya ini masuk ke bagian Bedah Anak?” Tanya Traine Bedah di samping saya
“Iya Dok, saya juga sebelumnya selalu juga seperti ini, selalu ke Bedah Umum dulu, kemudian diberi surat rujukan intern, baru ke Bedah Anak.”
“Apaan ini, sebentar Bu, saya tanyakan ke bagian Bedah Anak. Kalau begini terus, ibu kehabisan waktu disini, padahal bisa langsung ke Bedah Anak.” Ungkap Traine Bedah di samping saya sembari keluar menuju ke Poli Bedah Anak.
“Ibu dari mana Bu?” Tanya saya sambil menunggu Traine Bedah nya datang. Ketika memulai komunikasi, saya sering memulai dengan darimana ia berasal, dengan tujuan membangun hubungan sambung rasa yang kuat dengan komunikasi kultur kedaerahan. Semua orang tentu akan merasa senang apabila ia ditangani dengan orang yang memiliki latar belakang tempat tinggal ataupun budaya yang sama dengannya. Minimal mengetahu secara garis besar profil daerah mereka.

“ Dari Temanggung Dok.”
“ Oh Temanggung, deket Sindoro Sumbing nggeh Bu. tempat teroris kemarin ketangkap itu ya?? Siapa namanya Yo?” Tanya saya kepada teman saya, sesama dokter muda di meja sebelah.
“Siapa ya? Lupa aku..”
“Hyahh.. sama-sama lupa.. Siapa ya?”
“Iya siapa ya?” Tanya ibu itu kepada anaknya dan kemudian menjawab ia tidak tahu juga.

Yah, wajar menurut saya, mungkin dalam fikiran mereka, adalah bagaimana caranya supaya bisa makan hari itu, bukan membicarakan tentang kondisi bangsanya. Yang mereka tidak mengerti, 54 tahun bangsa ini merdeka, tapi masih banyak kata miskin di negeri ini.

“Kalau mas Slamet bagaimana keadaannya sekarang mas?”
“Alhamdulilah, Baik Dok.” Jawabnya dengan senyum sumringah menghiasi wajahnya. Senyumnya ini seperti mengirim pesan, bahwa Ia tegar dan ia tak akan menyerah dengan keadaannya sekarang.
“Wah seneng mas dengarnya” Walau saya tahu arti kata “baik” memiliki seribu makna bagi pasien, mungkin ia mengatakan sebenarnya, atau itu hanyalah sebuah klise agar Ia dinyatakan sehat.

“Berangkat jam berapa mas dari Temanggung?”
“Jam setengah 7 Dok dari sana.”
“Wah pagi juga ya Bu. Harus naik bus umum ke Magelang, kemudian dari magelang pindah bus ke Jogja, turun terminal Jombor naik Bus lagi.”
“Iya Dok”

Sebuah perjalanan yang jauh dan melelahkan, naik motor saja mungkin menghabiskan waktu satu setengah jam hingga dua jam, apalagi naik angkutan umum. Belum lagi menunggu di setiap terminalnya. Ditambah sampai Rumah Sakit harus mengurus berbagai administrasi dan baru sampai bertemu tengah hari. Padahal waktu pelayanan akan segera tutup.

“Jadi ini sudah sering kesini sebelumnya ya Bu selama 6 bulan ini. Selalu masuk sini dulu (Bedah Umum) baru ke Bedah Anak ya Bu?”
“Iya Dok.”

Wah Birokrasi Rumah sakit memang terkadang membingungkan dan menyulitkan, padahal ini pasien bisa langsung saja menjalani rawat jalannya di Bedah Anak, tanpa melalui Bedah Umum terlebih dahulu. Pada awalnya memang semua pasien bedah masuk ke Bedah Umum, akan tetapi hanya pada saat kunjungan pertama saja, karena selanjutnya dari Bedah Umum akan di rujuk ke Sub Unit lainnya yang sesuai dengan penyakitnya.

Poli Bedah Umum memang seperti pintu masuk untuk memasuki Rumah yang bernama Bagian Bedah, yang didalamnya memiliki poli-poli (Sub Unit lainnya) seperti poli Bedah Urologi, Bedah Syaraf, Bedah Plastik, Bedah Anak, dan lainnya.

“Ibu, lain kali bilang langsung ke perawat nya. Bilang kalau Ibu adalah pasien Bedah Anak, bukan Bedah Umum, kalau Ibu tidak bilang, maka ibu ke sini terus. Ibu buang-buang waktu disini, apalagi Ibu jauh-jauh dari Temanggung. Ibu harus bilang ya Bu”

Tekan saya pada akhir bicara. Karena pasien-pasien askeskin biasanya adalah pasien dari kalangan bawah, yang hanya menerima keadaannya. Dilempar sana dan sini. Dalam pikiran mereka, tidak ernah terlintas sebuah pikiran untuk melawan keadaannya.
Kemudian datang Traine Bedah ke ruangan kami,

“Bu, ini tadi saya dari Poli Bedah Anak. Ini mas Slamet pasien Bedah Anak. Ibu kesana aja, bilang ma perawatnya. Ya Bu Ya.” Dengan suaranya yang keras.
“Iya Dok” Jawab Ibu itu sembari Ia beranjak dari tempat duduknya, dengan di ikuti anaknya.
“Jangan lupa Bu, lain kali bilang ke perawatnya ya.” Pesan saya sambil Ibu dan anaknya tadi meninggalkan ruangan.

Kemudian saya pergi ke luar bersama dengan Dokter muda lainnya menuju meja administrasi untuk menanyakan apakah ada pasien berikutnya atau tidak. Kemudian saya bertemu dengan Ibu dan Anak tadi yang sepertinya sedang kebingungan.

“Bagaimana ini Pak, ini pasien, pasien Bedah Anak, bukan pasien Bedah Umum.” Tanya saya kepada seorang pegawai administrasi disana
“Iya Dok, tapi disini rujukannya dari sana adalah pasien Bedah Umum. Kalau dari Bedah Umum mau dirujuk ke Bedah Anak ya tidak apa-apa. Tapi harus ada surat rujukan internanya.”
“Oh gitu, kalau gitu kita buat surat rujukan interna nya Pak.” Jawab teman Dokter muda saya.
“Tapi Pak, kalau begini, dia nanti setiap datang ke sini. Selalu datang ke poli Bedah Umum terus dong Pak? Masalah tidak akan pernah selesai”
“Iya Dok, lah ini kartunya tulisannya “BU”(ed. Singkatan untuk Bedah Umum).” Katanya sambil menunjuk kartu registrasi pasien yang sebelah atasnya tertempel sebuah kertas kecil yang bertuliskan “BU”.
“Lalu, Bagaimana caranya supaya tulisannya jadi “BA” (ed. Singkatan dari Bedah Anak) Pak? Supaya tidak harus ke Bedah Umum terus Pak.”
“Ya rujukannya di ubah Dok, dia ngurus dari Puskesmasnya untuk nulis Bedah Anak bukan Bedah Umum. Kemudian dia pergi ke Rumah Sakit sana untuk minta surat rujukan dari rumah sakit ngubah yang sama. Lalu baru ke Sardjito lalu daftar di Pendaftaran.”

Argghhh… Ribet sekali

B.I.R.O.K.R.A.S.I Y.A.N.G M.E.M.A.T.I.K.A.N
Padahal hanya mengubah satu huruf dari “BU” ke “BA”. Tapi proses yang dilalui sangat panjang. Harus ini dan itu. Dan saya yakin, jika yang datang adalah seorang parlente yang bajunya tergosok rapi kelihatan mewah dan berjam tangankan merek terkenal, tentu ceritanya akan berbeda. Kalau begini pasien bisa lebih sakit bukan karena ketidaksediaan pengobatan yang ada, tetapi panjang waktu yang harus ia jalani hingga Ia mendapatkan pengobatan yang tepat.

Apalagi untuk kondisi ekonomi mas Slamet dan Ibunya, yang biaya pulang pergi sekali saja, sudah cukup untuk makan mereka selama 3-4 hari.

“Ada apa ini?” sela seorang perawat senior yang datang ke tempat kami.

Kemudian saya menjelaskan kondisinya kepada perawat tadi, dan meminta bantuannya untuk memudahkan mas Slamet. Disini saya memainkan negosiasi saya kepada Kepala Ruangan, sering kali saya menempatkan bagaimana jika pihak lawan berada pada posisi yang sama, dan tidak ada jalan keluar yang lebih baik selain jalan keluar yang ditawarkan.

“Oalah itu masalahnya. Yoh sini mana kartunya?” katanya meminta kartu yang dipegang oleh ibu mas Slamet
“Mana etiketnya untuk ganti kartu.” perintahnya pada pegawai administrasi tadi

Kemudian ia menuliskan huruf “BA”, 2 HURUF SAKTI yang akan mengubah nasib mas Slamet, yang tidak akan terombang ambingkan lagi untuk mendapatkan pelayanan yang sesuai. Setelah menulis 2 HURUF SAKTI tadi, kemudian perawat senior tadi menempelkan ke kartu registrasi mas Slamet. Dan membawa rekam medic nya menuju poli Bedah Anak.

“Ayo Bu. Ikut Saya. Supaya cepat diperiksa.”

Sebuah ajakan penuh harapan yang membuat ruangan di siang itu terasa menjadi sejuk.

“Sadarkah Anda bahwa birokrasi bisa membunuh”
-Jeff Imelt-
(CEO General Electric)

Birokrasi memang penting, apalagi untuk sebuah organisasi besar seperti sebuah rumah sakit. Birokrasi adalah suatu akibat dari suatu sistem yang menghendaki adanya suatu keteraturan. Dimana sistem ini adalah sesuatu yang dibuat oleh manusia. Oleh karenanya, seharusnya manusia lah yang mengendalikan sistem, bukanlah sebaliknya.

Ketika kita terbiasa hidup dalam suasana yang rutin, kita mulai menjadi robot yang bergerak secara mekanistik, tanpa perlu lagi berpikir dan menggunakan nurani atau perasaan. maka ini akan menjadi boomerang yang berbahaya bagi suatu sistem. Yang membuat organisasi itu menjadi lamban dan tidak mampu beradaptasi secara cepat.

Seperti sebuah mesin, mesin ini sudah karatan namun dipaksa untuk bekerja cepat, ketika daya tahan komponen mesin itu melampaui batasnya maka mesin itu akan rusak dengan sendirinya. Menjadi rusak. Menjadi seonggok tumpukan besi bekas yang tidak berguna.

Seperti sebuah cerita diatas, birokrasi yang mematikan, untuk mengganti sebuah huruf dari “BU” menjadi “BA”, membutuhkan langkah system yang panjang. Padahal kerugian yang ditimbulkan dari asas kemanfaatan bagi kesehatan pasien dan secara ekonomi dari waktu dan sumber daya, lebih banyak kerugiannya daripada kemanfaatan yang dimunculkan. Oleh karenanya, kita butuh “orang-orang jalan pintas”, yang mampu menerobos system yang kaku dan ribet, seperti perawat senior tadi.

Hanya membutuhkan sebuah pena dan etiket baru, menuliskan “BA”, kemudian menempelkannya di kartu.
Tidak perlu ke Puskesmas untuk minta surat rujukan baru
Ke Rumah sakit daerah
Dan mendaftar lagi ke Rumah Sakit Rujukan.
Mungkin tidak hanya sekali kita mengalami hal seperti ini.

Sebuah gerakan yang dibangun atas dasar nurani kebaikan, akan mengalami penurunan ruh gerakan akibat adanya birokratisasi. Semangat untuk menolong orang lain, memudahkan dalam segala urusannya, menjadikannya lebih baik telah terbatasi dan terkotakkan dalam aturan formal yang telah kita buat tanpa kita sadari.

Saya percaya, apa yang kita dapat adalah resultante dari apa yang kita perbuat kepada orang lain,dan ikhlas adalah konstanta pelipat gandanya. Kita di permudah karena kita mempermudah urusan yg lain. Kita di persulit karena kita menyulitkan urusan yang lain juga. Sesungguhnya setiap kebaikan sebesar biji dzarrah pun akan dihitung, bahkan keburukan.

Kita bukanlah sebuah robot mekanistik yang bergerak sesuai aturan/tradisi/birokrasi yang telah ada, tapi kita adalah manusia yang memiliki pikiran dan hati, untuk menimbang keuntungan dan kerugian berdasarkan situasi dan kondisi kekinian yang kita hadapi.

Karena, masih ada 76,4 juta pasien askeskin kita, yang berada di luar sana, yang menjadi sakit dan bertambah parah bukan karena penyakitnya, karena system birokrasi yang sangat mebutuhkan pikiran-pikiran pendobrak dan “jalan pintas’ untuk menjadi system yang lebih baik. Lebih sederhana. Lebih tepat. Dan lebih manfaat.

Ingatkah engkau ketika Baginda Rasul Muhammad, di akhir kematiannya, berkata
"Ummatii,ummatii, ummatiii? " - "Umatku, umatku, umatku"
Dan maukah kau menjadi pewaris cinta Muhammad , untuk tetap mencintai ummat ini?

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More