Senin, 20 Desember 2010

Bingkisan Revolusioner (Gersang, Kenangan dan Kemenangan)

Oleh: Erna Dwi Susanti

Satu cinta di bumi revolusioner, hangatkan ukhuwah ini….
Lambat laun, seberkas cahaya kehangatan mulai menyisir lembaran dan ruangan hati ini, tertahan dari kepenatan, tandus, gersang dan pilu. Tertahan, diam dan tak kuasa untuk keluar. Mungkin dalam jutaanm decade akan terus terpenjara dan tetap terdiam di sini, dalam pintapun tiada suara yang mau menyambut asa. Diam, kelabu, haru dan membilu…. Entah berakhir kapan,

Bandung, 17 Oktober 2010,
Berangkat hari ini dan dari sini,
“Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia kami hidupkan dan kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yanmg dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar darinya? Demikianlah kami jadikan orang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan?”

Sakit, terhantam keras dan kuat dada ini, apakah terus akan teraliri darah kepasrahan dalam jiwa, hanya iya dan kadang tidak, tergantung pada pesanan keadaan. Lemah munkin emang pondasi yang selama ini aku pakai, aku adalah sesosok manusia biasa, sesosok manusia wanita yang memiliki kodrat tak berdaya. Mendengar tanpa berfikir panjang apalagi samapi mampu menolak. Hanya mendengar kemudian untuk taat. Terus tanpa aku tahu kapan berhenti. Layaknya satu patung buaya yang dibawa ke padang pasir, di tengah gurun sahara, bukan tempat yang tepat dan ideal/ hidup ditemani kaktus berduri tajam, air yang sekedar untuk menyegarkan dahaganya kulit tak kutemukan, saat lelap pasrah menunggu ajal beberapa rombongan ratang mengantarkan satu gelas air dan disiramkan kesekujur tubuhku. Aku merasakan kesegaran itu. Terik matahari tak sebanding dengan percikan air itu, kembali akupun harus kembali pada kepasrahanku, tinggal, berlinang dengan air mata buayaku. Terus dan tanpa tahu kapan akan berhenti….

Inilah aku saat detik penghujung sembilan belas tahunku. Berjuang menuju kebebasan dan melepaskan belenggu-belenggu yang merantaiku, perbedaan cara pandang. Satu belenggu yang aku rangkai sendiri, penolakan demi penolakan yang aku berikan akhirnya tersusun menjadi penghalang dan pengikat kakiku. Aku terantai dalam waktu yang lama sampai aku menyerah, aku pilih untuk diam. Namun tanpa ada perombakan untuk menjalin satu anyaman peradaban baru. Diam di tempat sampai nanti, dan kini mungkin sedang terjatuh. Kekuasaan, pentingkah itu? Iya emang banyak orang di luar sana yang memperebutkan kekuasaan dengan segala macam cara. Kekuasaan untuk kemenangan. Dengan kekuasaan orang bilang kita bisa berkuasa, bertitah laksana raja, pamor ada pamrih kaya. Mantap. Tapi tidak jika aku dalam saat ini, tak ku dapatkan semua itu, hanya tengadahan tangan, pasrah dan meminta belas kasihan. Karena aku hanya seorang “pasif-an”

Hati yang menjadi kering dan tandus, mungkin tinggal terdetiki untuk menghela nafas panjang kemudian diam tak bergerak mengakhiri segalanya. Hm.. segar, aroma kedamaian membawa dada pada setitik rongga kelegaan, aku tak terperdaya karena aku pastikan ini takkan bertahan lama, seperti yang aku rasakan saat  menjadi seekor buaya yang terbang merasakan nikmatnya kesegaran segelas air, Cuma sebentar dan akupun terjatuh lagi. Aku sudah merasakan kebal.

Namun ini beda!! Terasa di hati ini kenikmatan yang tak kunjung berakhir, sedetik, semenit, sejam, sehari hingga pada saat ini. Aku masih merasakan aroma lembut kenikmatan itu. Alhamdulillah. Apakah aku sedang bermimpi, tapi aku berfikir tidak. Aku dalam keadaan yang sadar. Temanku membenarkan, “kamu tidak sedang bermimpi na’, tidak, kami berdua ada di sini, yang akan membantu perjuanganmu, menemani langkah pasti untuk menemukan kemenangan, ayo kita bergerak saling mengingatkan dan menguatkan” (teringat lekat ucapan mereka). Bismillah., aku tersenyum bahagia, namun itu tidak berlangsung lama, sepekan setelah itu, kuterima sepucuk surat dari keduanya beserta satu bingkisan kecil “ukhty, afwan waktu kami di kota anti hanya sampai hari kemarin, doa’akan kami bisa selamat sampai tujuan, ini satu pengikat hati dan semoga bisa menjadi wasilah dan teman dakwah anti. Wassalamu’alaykum wr.wb” aku kaget, temanku yang telah berjanji setia akan menemaniku secepat itu mereka pamit dengan sepucuk surat pergi meninggalkan aku, menuju ke daerah asalnya. Ngawi, Jawa Timur.

Tahukah apa bingkisan itu? Ya, satu buah buku, sebuah buku yang mereka tinggalkan untukku, dengan cover hitam elegan, dihiasi satu mangkuk berdesign manusia yang saling bergandengan dengan tiga macam buah di dalamnya. D-A-L-A-M  D-E-K-A-P-A-N  U-K-H-U-W-A-H. Buah karya Salim A. Fillah. Apa maksud mereka? Mereka tahu masalah ku saat ini adalah dalam kegoncangan, hatiku yang sedang terasa sendiri dalam jalan ini. Tapi justru buku tentang ukhuwah yang ditinggalkan untukku, dengan harapan untuk menemaniku di jalan juang ini. Apa maksud mereka? Aku tak mengerti…..

Lembar demi lembar aku baca buku itu, aura beda, dengan semangat yang naik turun, karena berawal dari tiada greget aku dengan buku itu, aku berfikir biasa-biasa saja. Tapi takjub, airmata yang beberapa waktu ini segan untuk tercucur, dengan ringan mengalir membasahi  pipi ini. Lunak tapi membekas, sakit teramat ketika aku mendalaminya.

Aku saat ini tinggal di kota Bandung, tertakdirkan masuk kuliah di sini, aku menghimpunkan diri dalam barisan dakwah kampus, aku merasakan kekeringan di sini. Aku sendiri, diam tanpa memberi kontribuusi banyak di wajihah ini, untuk islam tentunya, aku berbeda dengan kebanyakan, dan inilah aku merasa sulit menyatu dengan mereka. Problematika yang sangat polemic, satu demi satu bergilir datang menyapaku, tidak segera beranjak setelah menyapa, namun mereka ijin padaku untuk menemani keseharianku. Sampai akhirnya aku terbiasa hidup berdampingan dengan masalah, dan aku selalu membesarkan masalah-masalah itu. Aku sangat tersiksa dengan ini.

Salim A. Fillah, menuntutku memahami bijak hidup ini, sahabat dan ukhuwah. Yang selama ini aku menjadikannya sebagai suatu yang biasa. Tapi saat itu paradigmaku terkoyak 180 derajat berbalik arah. Semoga ini adalah perubahan kearah yang jauh lebih baik. Amin, tanpa terang apa maksudnya.
Pukulan pertama yang aku rasakan dari teguran halusnya, saat aku baca 1/3 bagian awal dalam dekapan ukhuwah saat itu aku merasakan totalitas jiwaku tercambuk kesakitan, membangkitkan dari sangat dalam. “Ini adalah sihir yang nyata”, gumamku. Ada banyak kisah yang mebuatku sampai malu, tak berani aku bersenandung sinis di hadapan mereka. Dan mungkin tepatlah, inilah aku seorang yang tak mampu memahami mereka, orang-orang yang hidup di sekitarku sekarang. Dalam keadaan hingar bingar aku merasakan keheningan kosong. Tepat sasaran, aku terpukul dengan kata penulis “hati yang gersang mewujudkan satu ukhuwah yang serampangan” begitulah inti kisahnya. Malu sejadi-jadinya.
Hiruk pikuk saat di tinggal sendirian….

Aku harus memulainya dari nol,memulai dari awal. Ini merupakan satu amanah yang cukup besar. Amanah yang tidak sembarangan, tak pernah aku meminta namun di saat seperti inilah aku harus membuktikan bahwa amanah ini berada di orang yang tepat. Aku di temani teman perjuangan yang cukup militan. Kami merangakak bersama, mulai meniti karier dan mengenali ladang dakwah kampus kami dari nol. Berawal dari satu kejadian yang sangat tidak elok bila dijadikan sebab pecahnya ukhuwah ini, hanya karena pandangan berbeda dan kesalah pahaman antar kelompok. Senior kami meninggalkan kami. Bukan untuk menganggapnya sesat tapi kami mengadakan pencarian sebuah kebenaran sebagai wujud rasa cinta kami pada mereka. Namun semua disalah artikan, tiada memberi arti justru ternilai sebagai boomerang bagi kami. Terputuskan, mereka meninggalkan kami, dengan berorientasi pada kesibukan tapi juga wallahu’alam bishshowab bagaimana kebenarannya.

Sapaan hangat tak pernah kami dapatkan dari mereka, salampun sudah tak pernah. Aku yang berdiri bersama dengan teman-temanku merasa sangat malu, apakah hati ini telah benar-benar gersang? Sampai tak mampu lagi untuk menumbuhkan benih persaudaraan? Seoptimal mugkin aku memberikan senyuman indah ke mereka, kaena hanya dengan satu senyuman tulus saja akan mapu meluluhkan satu hati yang mendendam karena emosi bukan? Aku mempercayai itu. Aku tercambuk. Namun untuk menjalin kembali benang-benang yang telah putus itu harus ada satu pihak yang mengalah. Orang Bugis mengatakan Teppetu maompengnge, teppollo masellomoe. Aku mencobanya, semoga ini menjadi wasilahku untuk kembali merasakan nikmatnya bersama dengan mereka, kakak senior akhwatku.

Teguran Salim A. Fillah mengoyakku kembali…(pukulan kedua)
Aku baru tersadarkan di  akhir waktu ini, aku dianugerahi teman yang dengan mereka bias kami saling menguatkan. Kami tidak ada yang sempurna , maka dari itu kami ada untuk saling melengkapi. Jika mau sedikit membuka cermin peradabanku, satu cermin temanku mengeluh dan cerita di beberapa waktu lalu, hanya rasa malu lagi yang akan muncul. Aku bukanlah seorang wanita yang penyabar, layaknya Asiyah, rekan dakwahku yang menduduki PJ Bengkel Kreasi Muslimah,aku sangat jarang bisa seperti dia, dan egoku kerapkali menganggap aku tidak nyaman dengannya, dia terlalu menerima keadaan, tidak mau berontak saat tak sesuai. Dengan Beyi Gau seorang aktivis, ibarat sahabat Rasul dia adalah Umar. Seorang akhwat yang tegas, keras, aku merasa tidak cocok dengannya. Sangat berbanding jauh dengan aku yang seperti ini. Aku tidak bisa menyesuaikan dengannya. Aku memilih yang lain, tak ada beda, ku temui seorang kawanku Ummy Syifa, pribadi yang sangat ramah, supel dan santun, dewasa dan ke-ibuan, aku tak bisa menyeimbanginya. Aku memilih untuk meninggallkannya, mencari teman yang sesuai, satu, dua, tiga sampai beberapa aku tak menemukannya. Dan wajarlah aku merasa sendirian. Aku tersadarkan kemarin ketika satu judul subbab yang masih cukup terekam dalam ingatanku..”setiap orang memiliki ukuran yang berbeda” dari isi dan judul kisah itu aku menemukan satu makna, bahwa mereka semua ada untuk melengkapiku, aku membutuhkan sarana belajar, dan salah satunya itu dari mereka. Indah. Saat aku mulai sedikit memahaminya.

Aku adalah pribadi yang sering mengeluh, merasa sudah tetrlampau capek berjuangg di jalan ini, letih tapi terasa tanpa hasil. Kembali dengan diriku yang seperti itu aku malu sejadinya, pukulan lembut ketiga pun dating kembali, apa ini? QS. Yusuf ayat 86 mengajarkan aku dibarengi satu kisah anak kecil yang mengeluh tentang celana panjang hadiah dari ibunya. Sampai hasil yang jeleklah yang ia dapatkan, terasa mengajak aku berfikir sembari menginsyafi semua ini, perjuanganku di jalan ini sama sekali tiada apa-apanya dibandingkan dengan yang lainnya. Mereka, rekanan dakwahku dengan semangat membaja ikhlas, bersinergi, menyampaikan seayat demi seayat kalam Illahi. Dan aku yang baru menyampaikan satu ayat merasa paling luar biasa, dan saat panen hasil, tiada memuaskan aku mengeluh. Rabb aku malu. Sering juga terbesit rasa kecewa akan keadaan yang aku terima, penolakan keras dari teman yang aku ajak baik, cercaan dan makian dari orang yang tidak senang dengan apa yang aku sampaikan, namun saat itulah aku tersentak oleh sepenggal kisah seorang ayah yang tinggal bersama anaknya dalam kondisi yang pas-pasan. Ujian demi ujian datang, mereka dicerca masyarakat sekitar dan hanya ada satu kalimat yang terlontar selalu darinya “kami tak tahu, ini rahmat atau musibah. Kami hanya berprasangka baik pada Allah”. Sangat jauh dibandingkan dengan aku, dari sinilah aku mulai berikrar tidak akan rajin mengeluh, berputus asa bahkan kecewa, karena itu hanya akan menyiksa diri dan bathin ini, aku juga mulai belajar untuk berkata dan menanamkan kuat dalam dada ini “aku tak tahu, ini rahmat atau musibah. Aku hanya berprasangka baik pada Allah”. Pukulan ketiga

Pukulan keempat, di sini aku amat dan sangat menikmatinya. Aku tak henti-hentinya bersyukur. Sebuah syair yang menguatkan hati ini untuk tegas melangkah, di awal bahasan tentang senyum pegertian.
Dalam dekapan ukhuwah kita tersambung
Bukan untuk salaing terikat membebani
Melainkan untuk saling tersenyum memahami
Dan saling mengerti dengan kelembutan nurani.

Ya, untuk tersenyum memahami, di satu organisasi inilah aku melanjutkan pembelajaranku untuk kembali memahami kehidupan masyarakat, atau belajar dalam sebuah miniatur kehidupan. Di sini kami menghimpun diri dalam satu barisan yang berasal dari berbagai macam latar belakang termasuk harakah maupun pergerakan. Kami dulunya adalah satu kesatuan yang kokoh, tapi badai usil tiba-tiba menerjang bahtera keluarga Muslim ini. Berbedaan itu menjadi satu jurang yang memisahkan. Wajarlah menjadikan aku menjadi diam. Kami sedikit retak, badai itu tidak berhembus kemudian pergi begitu saja. Tidak, tidak demikian. Badai itu meminta satu dari kami, meminta cinta kami, cinta yang ada sebagai perekat kehangatan ukhuwah. Akhwat. Dari satu unsur ke unsur lain, dari satu harakah ke harakah lain. Keegoisan yang saat itu bicara. Keegoisan dengan membawa bendera masing-masing. Satu dirasakan berkuasa, satu terbuang dan satu tertindas.

Gersang, kering dan sangat tandus. Itulah yang kami rasakan. Organisasi terasa hampa. Perselisihan senantiasa ada, bukan mulut yang bersilat namun hati yang dengan sendu bersuara. Sakit. Berada di posisi ini, dan itulah mungkin hatiku. Hanya diam sebagai manifestasi yang nampak dari luar. Kondisi seperti ini menyiksaku, menahan tawa lepasku dalam iringan waktu. Karena tak akan mungkin aku bisa berjalan dalam keadaan yang menghimpit seperti ini. Saat aku bergerak, banyak suara yang terdengar bahwa aku ingin memperlebar jurang pemisah itu. Namun kalau aku hanya diam tak akan pernah bisa, karena pasti aku hanya akan stagnan, diam di tempat. Siang itu, suatu siang yang mungkin kondisiku sedang dipuncak  kulminasi ketegangan, aku menghubungi ketua umum organisasiku, memintanya untuk memfasilitasi dengan men-tabayu-nkan aku dengan seorang akhwat yang darinya aku mendengar beberapa isu yang cukup meresahkan. Saling serang. Menjatuhkan. Dan berakhir dengan perdamaian. Dalam tabayun emosi belum sepenuhnya terkontrol, keluarlah kallimat yang seharusnya tiada pantas untuk terlontar buat saudara seiman.

Sesal. Merasa diri paling hina,….Ukhty maafkan-lah ana…
 Astaghfirullah al adzim. Hamba berlindung pada Mu ya Rabb, hamba malu.benarkah hati ini telah gersang? ”Dan ya Rabb,hamba di sini atas kehendakMu, semuanya adalah kehendakMu. Illaku yang satu, tempat mengadu, berlindung dan berharap. Himpunan barisan kami yang penuh retak ini ya Rabb…. Terukir belum sempurna, dengan kesemppurnaan padaMu Rabb ijinkanlah bahu-bahu ini menyatu, membangun satu ukhuwah beradab, satu ukhuwah peradaban cinta. Penuh motivasi dan kekuatan. Sebuah ukhuwah yang hangat, mesra, indah dan menggelora. Persaudaraan yang suci, sebening prasangka, persaudaraan yang memiliki tanggap yang tinggi, sepeka nurani; persaudaraan yang menentramkan karena dihiasi dengan sebuah dekapan semangat, sampai kami bisa menikmatinya menuju kenikmatan denagn berbagi. Hingga dengan ikhlas kami bersama, berdekap dan merangkul kokh, sekokoh janji. Segala ujian ukhuwah  dengan ijinMu akan kami hadapi dengan tegar dan senyuman, karena inilah wujud sayangMu.’Aku tak tahu, ini rahmat atau musibah, Aku hanya berprasangka baik pada Allah”


0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More