Rabu, 29 Desember 2010

Ada Hidayah Di Kampus

Oleh: Misyono

Di sore yang cukup cerah aku dengarkan nasyid syahdu tentang masa depan. Masa depan yang selalu menjadi misteri bagi setiap orang. Tetapi menjadi kenikmatan tersendiri, karena saat melihat film yang sudah kita tahu jalan ceritanya tentulah film itu menjenuhkan, tetapi sebaliknya ketika film itu belum kita tahu ending atau alur cerita berikutnya, tentulah akan semakin menarik. Dan begitulah hidup yang selalu menarik dengan adegan- adegan yang tak terduga. Mulai aku ketikan huruf demi huruf yang merangkai kata, kata-kata itu mencoba menjadikan sebuah kalimat yang menarik dan enak dibaca. Terkadang harus aku hapus sebuah kata dan aku ganti dengan kata lain yang lebih menarik. Meski masih menggunakan jurus sebelas jari (dua telunjuk), aku menikmati cerita yang aku tuliskan. Cerita nyata tentang sepanggal kisah yang tak pernah terlupakan, kisah hidupku di kampus yang memberikan banyak perubahan. Terinspirasi dari sebuah buku karya Salim A.Fillah.

Bagaikan Air di Daun Talas
Aku selalu yakin bahwa setiap kita adalah pemeran utama dalam cerita hidup kita masing-masing. Begitu pula cerita hidupku, dimana akulah tokoh utamanya. Layaknya sebuah sinetron maka akan ada pemeran pembantu, tokoh protaginis dan tokoh antagonis. Tokoh protagonis dalam hidupku tentunya mereka-mereka yang mengajak aku pada kebaikan dan tokoh antagonis mereka yang mengajak pada keburukan. Sehingga butuh sebuah penyaring agar senantiasa orang-orang protagonis yang ada di siktar kita.

Sayangnya penyaring dalam tubuhku sedang eror atau masih traubel sejak aku anak-anak, yang jelas bermasalah. Karena aku masih sulit membedakan mana yang protagonis dan mana yang antagonis. Yah, masih mencla-mencle, esuk dele sore tempe. Atau mudahnya belum punya pendirian, layaknya air di daun talas kalau kata guru bahasa Indonesia. Begitu mudahnya aku mengikuti perilaku teman-teman disekitarku. Saat temen-teman protagonis di sekitarku maka kebaikan-kebaikan yang aku kerjakan dan sebaliknya saat teman-teman antagonis yang mendampingiku maka keburukan-keburukan atau paling tidak hal sia-sia yang aku kerjakan.

Hidayah Itu Menghampiriku
Aku mulai merenung dan berfikir tentang mereka yang selama ini menjadi tokoh dalam cerita hidupku. Tersadar saat aku terima hasil dari perilakuku. Sempat membaik dengan indek prestasi di atas tiga pada semester dua, kini IPku cuma dua koma di semester tiga. Dan itu menjadi IP terendah selama aku kuliah. Mulai dapat aku bedakan mereka yang antagonis dan mereka yang protagonis. Teringat nasehat Rasul Muhammad SAW, ‘lihatlah seseorang dari teman bergaulnya’. Tak mungkin seorang preman bergaul dengan anak-anak pengajian dan hal yang mustahil mereka yang teman-temannya rajin ibadah menjadi ahli maksiat. Logika itu berlaku bagiku, saat teman-teman sekitarku baik insyallah aku menjadi baik dan saat mereka yang disekitarku berperangai buruk akupun terpengaruh.

Hingga suatu hari, saat adzan dzuhur berkumandang bertepatan dengan selesainya mata kuliah yang menegangkan. Kalkulus 1 yang diampu dosen yang mudah untuk membentak mahasiswa yang dianggap telmi (telat mikir). Tak heran banyak yang menghirup napas panjang saat perkuliahan berakhir.

Begitu juga denganku yang langsung merapikan buku-buku kuliah. Kulangkahkan kakiku keluar kelas dan di depanku kulihat temanku terburu-buru. “Nur, mau kemana?” Suaraku menghentikan langkahnya, Nur menjadi tokoh protagonis yang menjadi lawan mainku.
“Mau ke masjid dah adzan. Ikut yuk?” ajaknya sembari menungguku.
 “Loh kenapa ke MUA tidak dimushola MIPA saja?” MUA (Masjid Ulul Albab)  merupakan masjid besar UNNES (Universitas Negeri Semarang) tempat aku kuliah.
 “Ba’da dzuhur mau ada acara, ntar kamu ikut aja sekalian. Dah ‘ga ada kuliah kan?”.
“Iya sih, boleh deh. Emang acara apa?”
“Dah ikut aja, ntar kamu tahu sendiri.”
Maka berjalanlah kami, ane baru menyadari beberapa tahun kemudian disinilah awal hidayah yang Allah berikan.

Ba’da sholat dzuhur aku dikenalkan dengan seseorang yang ramah dan penampilannya sederhana. Ternyata beliaulah yang akan mengisi acara kajian pekanan yang dimaksud Nurwasito temanku tadi. Selain aku dan Nur masih ada tiga teman lainnya. Mereka menyebutnya tarbiyah.

Aku mengikuti acara kajian itu dengan seksama. Penyampaian sang ustad tidak terkesan menggurui, pemaparannya jelas dan mudah saya tangkap nlai-nilai yang disampaikan. Aku melihat buku yang beliau bawa dan sesekali dijadikan rujukan atau sekedar beliau buka. Buku yang bergambar seorang laki-laki yang sedang melinting bagian bawah celananya, dan di bawahnya tertulis SAKSIKAN BAHWA AKU SEORANG MUSLIIM. Entah ada perasan dari mana yang membuat hatiku bergetar membaca judul itu. Jadul yang menarik, pikirku dalam hati dengan sebuah hati yang mulai terbuka untuk bangga sebagai umat yang mulia.

Kalimat terakhir sang ustad masih terus terngiang, “Islam terlalu indah untuk tidak diperjuangkan”. Pertemuan itupun diakhiri dengan doa yang menyejukan, doa yang menyatukan hati-hati kami yang hadir. Semoga kami dikumpulkan lagi dalam kondisi lebih baik, dalam janah nan indah yang Allah janjikan untuk mereka para pejuang dakwah.

Mencoba Istiqomah
Istiqomah tidak hanya sampai hari ini, tidak esok, sebulan lagi atau satu tahun lagi tetapi sampai akhir hayat ini. Itu yang aku coba, meraih sesuatu mungkin sulit, tetapi mempertahankan sesuatu itu bukan perkara gampang. Banyak godaan dan cobaan menyertai komitmenku untuk menerapkan ajaran islam. Salah satunya tentang hubungan dengan lawan jenis. Aku yang dulu tidak tahu bagaimana ajaran islam mengatur hubungan dengan lawan jenis, menganggap hal yang biasa saat bersentuhan kulit dengan lawan jenis kita. Tetapi setelah kutahu bahwa lebih baik ditusuk kepala seseorang dengan tombak dari pada ia menyentuh yang bukan muhrimnya, maka aku mencoba menjaga diri. Sampai tidak jarang teman-teman kuliah yang akrab denganku meledek dengan sengaja menyentuhkan kulitnya pada kulitku. Tetapi dengan beberapa penjelasan, salah satunya bentuk pengormatanku pada para wanita dengan tidak menyentuhnya dan alsan bahwa aku siapkan tubuhku untuk wanita yang halal bagiku merekapun mulai mengerti.

Keistiqomahanku terjaga dengan rutinnya pertemuan untuk membina iman. Meski yang dulunya siang menjadi malam tetapi bila komitmen telah bersemayam maka hal itu tidak menjadi halangan. Aku ingat pesan ustadku, ‘akhi saat antum (kamu) dibilang sok alim, sebut saja mereka sok kafir’, yang diikuti suara tawa kami.

UKKI (Unit Kegiatan Kerohanian Islam) UNNES mengadakan bazar buku murah, dan aku dengan beberapa teman mampir untuk melihat dan membeli kalau ada yang bagus. Aku melihat buku cukup tebal yang pernah aku lihat, kebetulan tinggal satu dengan diskon yang lumayan maka aku putuskan untuk membelinya. Di sana tertera Salim A.Fillah, dengan gambar yang sama dengan yang dulu aku lihat  dan judul yang menggetarkan hati, SAKSIKAN BAHWA AKU SEORANG MUSLIM. Pada bagian bawah judul tertera, menjadi muslim adalah menjadi kain putih, lalu Allah mencelupnya menjadi warna ketegasan, kesejukan, keceriaan dan cinta rahmat bagi semesta alam. Aku jadi rindu pada pelangi itu, pelangi yang memancarkan celupan warna Illahi. Telah tiba saatnya, derai berkilau islam tak lagi terpisahkan dari pendar menawan seorang muslim dan Saksikan bahwa aku seorang seorang muslim.

Rasa banggaku sebagai muslim semakin meninggi setelah membaca buku tersebut. Komitmenku juga semakin kuat, untuk memperjuangkan islam, Islam Terlalu Indah Untuk Tidak Diperjuangkan.


0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More