Rabu, 29 Desember 2010

Bukan Bisnis Dan Numpang Makan Gratis

Oleh: Yusnita

Manajemen Keluarga Sakinah, karya Drs Muhammad Thalib. Begitulah judul salah satu buku pemberian kakak perempuan saya. Dari judulnya saja sudah bisa ditebak garis besar isi buku yang dituliskan pengarang, yaitu bagaimana konsep yang jelas mengenai keluarga sakinah yang penuh berkah. Kembali teringat buku terbitan Pro-U Media ini ketika banyaknya undangan pernikahan yang keluarga saya terima. Biasanya undangan tersebut datang dari tetangga sekitar, sahabat atau kerabat jauh yang sudah lama tak bersua, tapi masih menjaga silaturahim dengan keluarga kami.

Awalnya saya kurang berkenan jika menghadiri suatu undangan pernikahan. Alasannya hanya dua, yaitu terkadang kebersihan tempat tidak memadai, sampah berserakan yang bercampur dengan genangan tumpahan air minum dan sisa hidangan yang tidak segera dibersihkan, sehingga membahayakan keselamatan orang-orang. Dan masih adanya hiburan musik dangdut yang pakaian penyanyi wanitanya, maaf, sangat seronok.Tapi, alhamdullilah ada juga yang menyuguhkan hiburan berupa nasyid atau shalawat, setidaknya orang-orang yang hadir lebih terjaga hati, mata dan telinganya dari hiburan yang kurang baik.

Ada sebuah pernikahan yang begitu membekas di hati, di penghujung tahun 2006. Mempelai perempuannya, sebutlah Mbak Dewi (nama samaran), Mbak Dewi mengenal saya dan keluarga cukup baik, Mbak Dewi ini pintar, ramah dan Insya Allah solehah. Ia beruntung mendapatkan rizki dari Allah SWT, yaitu seorang pendamping yang berakhlak baik. Setelah proses ta’aruf yang tidak lama, keduanya sepakat untuk membina sebuah keluarga.

Sehari sebelum pernikahan, saya dan adik datang ke rumah Mbak Dewi, dengan maksud memberikan bantuan semampu kami. Disana sudah berkumpul beberapa remaja masjid yang sudah kami kenal. Pembagian tugas dimulai, yang akhwat memasukkan kue-kue ke dus kecil untuk dibagikan pada kerabat dua mempelai di acara akad nikah. Untuk ikhwan membereskan serta mengatur kursi dan tenda yang tidak terlalu besar. Agak terkejut juga ketika melihat teman-teman ikhwan menghias pelaminan, pelaminan yang ada di depan saya hanya dihias dengan kertas karton dan kertas berwarna yang sudah dibuat menjadi aneka bunga, ditempelkan di atas kain warna putih panjang yang sudah digantung di tembok. Tidak ada pelaminan penuh bunga asli dan pernak-perniknya, hanya ada enam kursi dibungkus kain putih yang layaknya kita temukan di restoran. Dua kursi untuk mempelai, sisanya untuk orang tua masing-masing. Ibu-ibu PKK sibuk menyiapkan hidangan di dapur untuk para undangan. Sesekali canda tawa mengiringi selama bekerja, sampai waktu menunjukkan pukul sebelas malam, dan kami mohon diri untuk pulang.

Esok harinya akad nikah dilakukan di masjid terdekat. Mbak Dewi terlihat cantik dan anggun memakai gamis putih dengan potongan sederhana berikut jilbab lebarnya yang menutup rapat, dan make up yang tidak berlebihan. Selama acara berlangsung tempat ikhwan dan akhwat dipisahkan dengan hijab. Keadaan ini memang masih jarang ditemukan, seringnya antara ikhwan dan akhwat bercampur-baur (ikhtilat) atas nama efektif dan efisiensi biaya. Pernikahan berlangsung khidmat, acara demi acara terlalui. Akad nikah berlangsung lancar diiringi hamdalah dari kerabat dan tamu. Pembacaan surat Ar Rahman dari mempelai pria, lantunan ayat demi ayatnya mengalir tanpa kendala. Suasana hening, semua menyimak, semua mencoba menghayati, bagaimana Allah SWT menciptakan segala sesuatu dengan segala perhitungan, Dan Allah SWT berfirman : “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan ?”, ayat ini terus di ulang-ulang dalam surat Ar Rahman, dan hati ini merasakan rasa syukur yang dimiliki masih terlampau kerdil, menginginkan sesuatu yang belum dimiliki, melupakan yang sudah dimiliki. Tiba-tiba hati pun menjadi ‘basah’ tak tertahan, basah sebagimana air mata yang mengalir dengan sesal di kedua pipi.

Saya salut dengan Mbak Dewi dan suaminya, dalam usia yang terhitung muda bertekad untuk membentuk sebuah keluarga. Mendengar cerita dari seorang teman, biaya pernikahan ditanggung oleh mereka berdua dari tabungan masing-masing, meraka tidak mau merepotkan kedua orang tua. Padahal yang saya tahu, Mbak Dewi baru diterima bekerja di sebuah departemen dan suaminya masih kuliah di sebuah perguruan tinggi, sambil melakoni bisnis kecil-kecilan.

Masalah untuk berumah-tangga demikian pelik, anehnya justru kita sendiri yang membuat pelik (baca:masyarakat). Besarnya biaya membuat sebagian ikhwan atau akhwat lebih baik menunda pernikahan, entah sampai batas waktu yang ditentukan. Ada juga yang menyegerakan dengan resiko mengambil dana pinjaman, atau dibiayai oleh orang tua. Padahal melaksanakan pernikahan tidaklah selalu harus mewah, melainkan sesuai dengan kemampuan. Drs Muhammad Thalib dalam buku Manajemen Keluarga Sakinah menuliskan, bahwa dalam menetapkan maskawin, harus benar-benar memperhatikan kemampuan calon suaminya. Sedangkan calon istri yang baik ialah yang tidak memberatkan calon suaminya dalam menetapkan maskawin atau mahar. Tapi kemudahan pemberian mahar ini masih kalah telak dengan yang namanya gengsi. Gengsi kalau pernikahan putra-putrinya sangat sederhana, ala kadarnya. Khawatir dibicarakan yang kurang baik oleh tetangga di sana-sini, padahal dilangsungkan secara sederhana atau’wah’ sekalipun, masih saja mulut-mulut ini ‘gatal’ untuk tidak menggunjing, menggunjing tentang mempelainya cantik atau ganteng, hidangannya kurang enak atau sudah habis, dan keseluruhan acara. Dari acara pernikahan itulah saya mendapat istilah baru, mulai dari baik modal dan perbaikan gizi.

Drs Muhammad Thalib mengungkapkan bahwa hanya pernikahan inilah salah satunya cara yang sah membentuk hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam membangun suatu masyarakat peradaban. Tujuan pernikahan bukanlah untuk berbisnis, bukan tempat numpang makan siang yang enak, bukan untuk pamer kekayaan atau pamer diri. Naudzubillah min dzalik.

Masihkah kita mengeluh sampai di rumah, hanya karena hidangan tuan rumah tidak sesuai selera kita?, marilah kita tafakuri sebuah hadits dari Anas bin Malik, beliau berkata “Sesungguhnya Nabi SAW mengadakan walimah ketika menikah dengan Shaffiyah dengan makanan gandum dan kurma” (HR. Ibnu Majah). Dalam buku Manajemen Keluarga Sakinah disebutkan bahwa walimah adalah makan bersama yang dilakukan setelah dilangsungkannya akad nikah. Walimah berbeda dengan resepsi pernikahan yang kita kenal sekarang. Jadi walimah hanya merupakan makan bersama yang dihadiri oleh orang-orang yang turut menyaksikan akad nikah dan biasanya hari atau saat walimah itu dilakukan sesudah pengantin melakukan akad nikah, yaitu pada hari dan jam yang sama.

Harus mulai dirubah persepsi kita, tradisi atau budaya yang sudah menyebar di masyarakat mulai dari diri sendiri, apalagi yang tidak sesuai dengan Al Qur’an atau dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Menikah bukan untuk berbisnis, sekedar makan atau perayaan dengan hingar-bingar tak jelas. Dengan menikah pulalah umat islam membangun sebuah peradaban besar dengannya lahir dan tumbuh generasi qur’ani, dari ayah dan ibu yang soleh dan solehah, dan dimulai dari sebuah rumah tangga yang islami.

Baarokallohulaka wabaroka ‘alaika wajama’a bainakumaa fiikhoir (Semoga Allah memberi berkah kepadamu baik dalam kondisi senang dan susah dan mengumpulkan kalian berdua di dalam kebaikan), doa untuk kedua mempelai ini menurut saya kado pernikahan terindah yang tidak dapat digantikan oleh apapun. Doa yang tulus, mengalir dari hati berharap keduanya selalu senantiasa berada dalam kebaikan dan lindungan Allah SWT yang tiada putusnya. Kebaikan untuk kedua mempelai, keturunannya, keluarga bahkan masyarakat luas.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More