Kamis, 30 Desember 2010

Saya Miskin Memang Tidak Bisa?

Oleh: Najamuddin Muhammad

“Kemajuan diperoleh bukan dari keberhasilan, melainkan dari kegagalan demi kegagalan”
(Zaianl Arifin Thoha)

Penggalan kalimat itu ada di barisan paling tengah di antara sekian banyak kalimat-kalimat motivasi lainnya. Dengan kertas yang agak kumuh tertempel di dinding sebelah timur, yang diapit oleh karya opini, resensi dan puisi. Sebagian santri ada yang tidur, ada yang membaca buku dan dua orang sedang berada di depan komputer dengan sangat serius menatap monitor yang berwarna kecoklat-coklatan itu. Tempat yang tak terlalu besar ini cukup berserakan dengan beberapa buku dan koran-koran. Konon dari pelbagai cerita teman-teman, tempat ini menjadi markas para penulis yang saban hari biasa tayang di media lokal atau pun nasional.

Itulah awal saya menginjakkan kaki di kota Gudeg ini pada tahun 2006, tepatnya daerah Minggiran MJ II/1482 Jogyakarta. Bagi saya, Jogjakarta adalah kota yang selalu diimpi-impikan mulai duduk di bangku MA (Madrasah Aliyah). Kota ini terkenal sebagai kota pelajar yang melahirkan banyak intelektual kelas atas dan juga dikenal sebagai kota budaya yang melahirkan banyak budayawan. Terlepas dari benar tidaknya untuk kontek saat ini, tapi alasan itulah yang membuat saya kepincut untuk merantau dari Madura ke Jogjakarta dan memilih pondok pesantren Mahasiswa Hasyim Asy’ari sebagai tempat singah pertama untuk memulai proses kepenulisan.

Ketika pertama kali tiba di pondok pesantren Hasyim Asy’ari, semangat menulis saya begitu meluap-luap. Rasanya saya ingin merajai di semua media. Dengan bekal seadanya saya mulai belajar menulis opini dan resensi untuk dikirim ke media lokal atau pun nasional. Hanya saja untuk menembus media massa tak mudah yang saya bayangkan. Lebih dari 40 tulisan saya telah kirimkan tapi tak ada satu pun yang dimuat. Saya tak ingin menyerah dengan semua itu. Tiap malam saya harus menulis dan mengantri giliran komputer. Kurang lebih dua puluh santri yang semuanya berproses dalam dunia kepenulisan dan komputernya hanya dua. Antrian panjang mengingatkan saya ketika ada orang yang ingin menerima bantuan zakat.

Saban hari nyaris salah satu tulisan teman-teman ada yang tayang, baik di koran nasional atau pun lokal. Ketika teman-teman membawa kabar bahwa ada yang dimuat, jantung saya selalu berdecak-decak. Tapi bukan nama saya yang disebutkan. Sebagai tradisi penting di komunitas ini, tiap ada yang dimuat ada syukuran dengan beberapa bungkus es teh dan sebatang rokok yang dibuat untuk join. Dan bagi yang dimuat ada pajak 20 % untuk pondok yang digunakan untuk beli beras dan di makan bersama. Tak ada cerita satu orang kenyang dan yang lain kelaparan. Teman yang satu dengan yang lainya ibarat satu tubuh yang kalau sakit bagian tubuhnya akan merasakan sakit secara keseluruhan. Semua yang tinggal di komunitas ini tak ada yang minta kiriman orangtua. Saya benar-benar belajar kebersamaan dan kemandirian dari komunitas ini.

Sebagai anak baru yang tak pernah menyumbang sumbangan untuk makan bersama karena tulisan belum pernah dimuat, saya mulai gelisah untuk mencari pekerjaan sampingan selain menulis. Saya memutuskan diri untuk jualan Susu Murni dengan modal dari pengasuh Zainal Arifin Thoha. Saya jualan susu murni dan buku-buku terbitan KUTUB bersama teman saya dipinggir jalan, di daerah pondok Krapyak. Ini jualan paling unik yang pernah saya alami, bisa Anda bayangkan sebuah gerobak yang bertuliskan Susu Murni ternyata didalamnya jualan buku, gorengan, rokok dan kopi. Usaha ini ternyata umurnya tidak panjang. Kami rugi karena teman-teman sendiri banyak yang hutang sehingga modal kian hari kian berkurang.

Dengan sangat terpaksa kami harus gulung tikar dan banting setir untuk mencari pekerjaan sampingan demi menopang hidup di Jogjakarta. Saya tak mungkin mintak kiriman terhadap orang tua, disamping ekonomi pas-pasan saya sudah berjanji bahwa tak akan pernah mintak kirimian kecuali Doa dan yang terpenting lagi saya sudah hampir sampai tiga bulan tinggal di komunitas ini. Bagi santri yang sudah lebih dari tiga bulan maka dilarang keras untuk mintak kiriman dengan alasan apapun. Santri diwajibkan mandiri dengan cara apapun yang penting halal. Itulah peraturan pertama dalam komunitas ini. Ada banyak teman yang tidak tahan dengan peratran ini sehingga mereka keluar dengan sendirinya. Seleksi alam berlaku di komunitas ini.

Di tengah situasi itulah saya mulai memutuskan diri untuk jualan koran di Perempatan Lampu Merah, Dongkelan. Tiap pagi selepas subuh saya berangkat mengambil koran di agen dan menjualnya hingga jam 9 siang. Hasil jualan koran lumayan banyak dibanding dengan hanya jualan Susu Murni, karena jualan koran tak ada yang berhutang. Menjual koran bagi saya ada dua keuntungan, disamping dapat uang tiap hari aku selalu baca berita aktual dan mengecek tulisan yang dimuat. Ini membantu proses kreatifitas kepenulisan saya dalam wilayah opini yang kadang selalu berburu dengan parkara yang aktual.

Jualan koran hanya menjadi penopang hidup saya. Tujuan utama saya tetap menulis dan menulis. Sudah dua pekan lebih saya berjualan koran dan kurang lebih tiga bulan di pondok ini tapi tulisan tetap tak ada yang nongol. Saya hampir putus asa pada saat itu karena berjungkir balik baca dan menulis tapi tulisan saya belum ada yang dimuat. Pada saat ini saya benar-benar merasa lumpuh dan tak bertenaga lagi untuk menulis. Bahkan saya sempat terbayangkan untuk tidak berproses lagi dalam jagad kepenulisan, tapi ingin berbisnis. Bayang-bayang itulah yang sealu menghantui hari-hari saya ketika sudah tinggal beberapa bulan di Jogjakarta tapi belum ada satu tulisan pun yang dimuat.

Yang paling merasa tertampar di tengah situasi yang bimbang itu, saya ditelpon oleh salah satu keluarga dari rumah dan mereka dengan sangat mengejutkan menyuruh saya pulang ke Madura. Keluarga tahu bahwa saya jualan koran di perempatan lampu merah dan jualan Susu Murni sehingga mereka menyuruh saya pulang dibanding dengan bekerja serabutan yang tidak jelas itu. Saya berusaha meyakinkan mereka bahwa pekerjaan ini hanyalah sebagai penopang untuk hidup dan saya meyakinkan mereka bahwa saya akan tetap menjadi penulis dan kuliah dengan biaya sendiri. Setelah itu saya mengalami tekanan psikologis yang berat. Semangat menulis kembali berangsur pulih dengan tekanan dan tuntutan sosial keluarga.

Pasa suatu hari yang cerah, setelah saya datang dari jualan koran, Jamil, teman se Asrama yang kuliah di Fakultas Dakwah Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta itu tiba-iba datang dengan membawa sebuah buku berjudul Zero to Hero, mendahsyatkan pribadi biasa menjadi luar biasa (Jogjakarta, Pru-U Media, 2006). Buku yang ditulis oleh Solohin Abu Izzudin itu tiba-tiba disodorkan pada saya dan menyuruh saya untuk meresensinya. Saya baca buku itu dengan seksama dan teliti. Tanpa terasa saya membaca buku itu dari jam sembilan hingga dua siang.

Buku itu bagaikan cambuk yang selalu menyakiti tubuh dan hati saya yang selalu dihantui rasa pesimisme dan takut akan kegagalan. Dalam buku itu saya banyak dibawa ke hutan belantara para kehidupan tokoh-tokoh dunia yang selalu dihadapkan dengan kegagalan demi kegagaan tapi mereka bangkit dan terus bangkit dari keterpurukan. Dalam buku itu aku banyak diperkenalkan secara lebih jauh makna kegagalan bagi orang yang berproses dengan tamsil yang malang melintang di dalamnya serta bagaimana cara mengambil hikmah dibalik semua kegagalan itu. Membaca buku itu saya banyak dibawa berjalan-jalan untuk menghampiri kisah inspiratif para tokoh dunia.

Blly P.S Lim, motivator kelas dunia yang berbasis di Malaysia, pernah menanyakan kepada peserta training-nya suatu masalah yang cukup menarik, “Mengapa orang akan tenggelam bila jatuh dalam air.”, beragam jawaban dilontarkan tapi tak satu pun yang dapat diterima Lim. Akhirnya Lim memberitahu jawabannya, “Seseorang tenggelam karena dia menetap disitu (suatu tempat) dan tak menggerakkan dirinya ke tempat lain”. Jawaban ini bagi saya mengandung filosofi cukup kuat untuk dijadikan pegangan dalam hidup ini. Dalam menempuh kehidupan ini seseorang dituntut untuk selalu bangkit setiap kali mengalami kegagalan dan jatuh, apalagi haya sekedar keteledoran.

Pesan pertama yang saya tangkap dalam pernyataan ini bahwa kita harus bergerak dan tak boleh berdiam termangu di suatu tempat untuk menunggu keajaiban. Hidup ini dinamis sehingga saya harus bisa mengejarnya. Hidup ini teka-teki sehingga saya harus memecahkannya dan hidup ini pertempuran sehingga saya harus berjuang untuk menjadi pemenang di medan pertempuran. Saya tak ingin menjadi pecundang dan penghianat yang berhenti di tengah-tengah medan perjuangan. Tidak penting apakah saya nanti menang atau kalah. Yang terpenting adalah berjuang dan tak mundur dari medan pertempuran hidup ini.

Pertempuran dalam medan kehidupan ini tak banyak ditentukan oleh kegagahan fisik dan kekayaan harta seseorang. Orang yang yang gagah secara fisik dan mampuni secara ekonomi bukan jaminan untuk mengantarkan seseorang pada puncak kesuksesan. Dengan ekonomi yang pas-pasan dan kegagahan apa adanya, tapi mempunyai karakter yang tak mudah menyerah terhadap keadaan dan selalu bergerak dinamis dan progresif, maka itu adalah modal utama. Itulah pikiran saya di sela-sela merenung sejenak dengan lembaran buku yang masih terbuka.

Saya melanjutkan membuka lembaran demi lembaran. Pada Bab ketiga dalam buku itu Solihin, sebagai penulis, menganalisis esensi dai kegagalan sekaligus memotret beberapa tokoh yang malang melintang dengan kegagalan yang pada akhirnya dapat mendaki puncak kesuksesan, layaknya Alber Einstein, Helen Keller, doktor yang buka dan tuli, dan bisu serta Thomas J. Watson. Rahasianya cukup menarik, mereka menyikapi kegagalan secara arif dan bijaksana, layaknya Watson pendiri IBM yang memiliki prospek cerah. Seorang eksekutif tersebut melakukan kesalahan transaksi yang merugikan perusahaan jutaan dollar. Watson memanggil eksekutif muda itu ke kantornya. Spontan eksekutif muda itu berkata, “Anda meminta saya memundurkan diri bukan”. “Anda jangan cemas, kami baru saja menghabiskan jutaan dollar untuk mendidik Anda” ucap Wantson terhadap eksekutif muda itu. Sungguh ini luar biasa pengalaman yang menelan jutaan dollar dianggap sebagai kegagalan yang harus diambil hikmah untuk bangkit kembali.

Ketika membaca buku itu saya langsung teringat dengan pesan yang tertera di dinding Pondok yang ditulis oleh Zainal Arifin Thoha (Alm) “Kemajuan diperoleh bukan dari keberhasilan, melainkan dari kegagalan demi kegagalan”. Ya…kegagalan yang sering saya anggap sebagai duri ternyata pada esensinya itu bisa menjadi obor untuk melangkah lebih maju di kegegelapan hidup ini. kegagalan secara tak langsng adalah proses pendidikan mental dan karakter seseorang untuk menjadi orang yang sukses dan maju. Tak ada cerita orang yang sukses dalam hal apapun tak pernah mengalami kegagalan. Justru kesuksesan itu diperoleh dari kegagalan demi kegagalan. Persoalannya saat ini adalah sejauh mana kita tetap tegar dalam menghadapi kegagalan itu.

Menariknya dalam buku itu saya tak hanya dihadapkan dengan tokoh-tokoh Barat, tapi penulisnya juga mampu menghadirkan para cendekiawan muslim sebagai penyemangat, layaknya kisah Al-Ghazai, Imam Malik, Imamm Syafi’I, Ali Bin Abi Thalib dan sederetan tokoh-tokoh muslim lainnya. Tiap-tiap bab dalam buku itu selalu dibuka dengan kata-kata mutivasi dari tokoh muslim atau pun para tokoh barat yang siap membangkitkan, mencambuk dan menggugah motovasi yang kendur yang tersimpan dalam diri saya.

Saya begitu menikmati membaca buku itu. Dari sekian banyak buku yang saya resensi, buku itulah yang saya baca secara tuntas dan kadang diulang-ulang. Kebiasaan buruk saya kalau meresensi buku paling dibaca pendahuluan, daftar isi dan bab yang paling berkaitan dengan tema utama buku yang bersangkutan. Sangat berbeda dengan buku itu. Ini bukan lagi persoalan teoritis yang kadang sangat menjenuhkan bagi saya. Tapi ini persoalan inspirasi hidup, panggilan hidup dan totalitas dalam menjalankan apa yang telah diinginkan tanpa harus mundur selangkah pun.

Dari saking menikmatinaya baca buku itu, saya selesaikan selama dua hari. Kadang-kadang saya membolak-balik setiap bab untuk membaca ulang beberapa kata motivasi. Saya menemukan semangat, motivasi dan cara pandang baru dalam menghadapi kegagaan. Saya merasa bahwa apa-apa yang telah selama ini dianggap kegagalan bagi saya ternyata tak sebanding separuh pun dari beberapa kegagalan yang pernah dialami banyak tokoh terdahulu. Dan kegagalan yang selama ini saya anggap duri ternyata itu bisa menjadi obor. Buku itu telah membuka diri saya tentang apa itu hakekat kegagalan dan bagaimana cara menyikapinya seacar arif dan bijaksana.

Setelah membaca buku itu saya termotivasi lagi untuk belajar menulis. Buku itu langsung saya resensi dengan sangat menjiwai di banding dengan tulisan-tulisan sebelumnya. Saya menyadari ini karena bersangkut paut dengan kondisi riil yang saya alami dalam hidup ini. Dan beberapa minggu kemudian, tepatnya pada hari Minggu 9 April 2006 di pagi yang buta, saya menemukan keajaiban yang mulai saya tunggu-tunggu selama kurang lebih tiga bulan. Resensi buku Zero to Hero itu ternyata dimuar di harian Seputar Indonesia pada resensi utama di rubrik resensi dengan judul Kiat Menjadi Manusia Luar Biasa. Lebih lucu lagi saya yang menulis resensi itu dan saya pula yang menjualnya di perempatan lampu merah Dongkelan. Ini sungguh sejarah yang tak akan pernah saya lupakan.

Mulai saat itulah optimisme mulai tumbuh untuk menghadapi pergolakan hari esok tanpa harus dihantui rasa gagal. Saya yakin bahwa tak aka ada yang sia-sia dalam setiap proses kehidupan ini. Semuanya pasti ada mamfaat yang dapat dipetik. Mungkin banyak parkara yang selama ini kita anggap kegagalan, padahal itu mengandung hikmah apabila dipelajari secara lebih terinci Yang terpenting bagi saya bukan persoalan sukses atau gagal, tapi ini persoalan sejauhmana kita memaknai dan mengambil ibrah dalam setiap proses untuk menuju hidup yang lebih baik.


0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More