Jumat, 17 Desember 2010

Hidup Adalah Negosiasi: Melangkah Sunyi dalam Horizon tak Sempurna

Oleh: Ecep Heryadi


Membacanya sampai tuntas akan ditemukan saripati hidup sebagai insan yang sesungguhnya. Semoga bsia menginspirasi!

Kuliah atau menjadi mahasiswa, mungkin, bagi sebagian besar warga di kampungku ibarat mencipta dialektika asa didalam pusara mimpi di siang bolong. Bagi mereka, kata “kuliah” menjadi semacam kumpulan huruf yang gampang dieja namun sukar untuk diimplementasi. Mainstream, atau bahkan alam bawah sadar mereka tak hendak mampu menjangkau kata atau frase seperti “kuliah”, “bangku kampus”, atau bahkan “profesor”.

Iya, profesor, menjadi semacam kata asing namun entah mengapa sudah terasa begitu familiar dalam aras di ruang setengah sadarku. Kata itu, pernah terbaca secara tak sengaja tatkala memperhatikan running text atau teks berjalan di sebuah saluran televisi bertuliskan lengkap nama guru besar hubungan internasional Fisipol UGM, Prof. Dr. Amien Rais. Ketika itu, seorang wartawan tengah mewawancarai sang profesor  terkait demokrasi dan Islam. Sampai disitu, aku tak sadar apa artinya kata “profesor”.

Bagi mayoritas warga di kampungku, berpendidikan tinggi (apalagi sampai pergi ke kota) adalah bukan keharusan, karena dalam kesadaran dan logikanya, mengumpulkan rupiah dan kemudian menikah merupakan hal yang utama. Dalam ukurannya, presiden, menteri, duta besar atau jabatan apapun yang jauh dari jangkauan berfikirnya, dianggap telah ditetapkan di lauhul mahfudz sana (tak ada peluang untuk dinegosiasikan, atau bahkan di intervensi). Kodratnya si A menjadi presiden merupakan buah dari penurunan takdir, dan bukan hasil jerih payah. Dalam keadaan itu, aku tak bisa mendebat dengan rasionalitas apapun karena tahu sendiri, pandangan fundamental demikian selalu sulit untuk dibantah dan bahkan ditelikung karena beribu pembenaran telah disiapkan untuk pembelaannya.

Namun jauh dibalik lubuk yang terdalam, tertanam keyakinanku bahwa hidup itu sebenarnya bisa dinegosiasikan. Misteri masa depan yang menentukan kita dengan indikasi tindakan yang mengarah ke “terminal” yang akan dilalui 5 atau 10 tahun kemudian. Masa depan kita, ibarat lorong tak bercahaya yang sulit diukur dan diprediksi. Sampai akhirnya, tujuan akhir yang ingin kita capai sesuai dengan yang sejauh itu kita bayangkan merupakan buah negosiasi itu: berujar dalam hati (niat dan doa), menggerakkan bibir (mengungkapkan), dan mengerakkan seluruh instrumen tubuh (bertindak). Maka, hasil dari negosiasi itulah apa yang kita dapat kelak.

Kini tak terasa, empat tahun sudah aku meninggalkan segala rupa frame kampung yang telah aku tinggali dari mulai jasad ini dilahirkan. Ratusan kilometer jauhnya. Masih ingat, ketika itu, hanya suara burung titip anak yang mengantarkanku melangkahkan kaki hanya berbekal tekad dan impresi interview sang profesor beberapa tahun silam. Isak tangis dari beberapa kerabat tak menghambat kepergianku, dengan seulas senyum aku menegarkan dan berkata lirih: aku pergi untuk menegosiasikan hidup. Jadi, doakan saja!

Berdialog dengan Nasib
Andai saja, empat tahun silam sang novelis tenar Andrea Hirata telah menuliskan kisahnya dalam “tetralogi laskar pelangi” mungkin aku akan berkata menguatkan hati: Tuhan akan memeluk mimpi-mimpiku! Benar kawan, jika saja percaya aku pergi ke Jakarta, bermaksud kuliah, hanya berbekal uang untuk ongkos plus beberapa lembar uang cepe-an yang sengaja aku siapkan untuk diberikan kepada pengamen atau peminta-minta mungkin kau sendiri yang akan menyebutku gila. Tapi, aku merasa lebih baik disebut gila (dengan kenekatanku) daripada terbonsai dan terkerangkeng dalam dialektika berfikir mayoritas warga kampungku yang kaku dan “tragis” itu.

Hidup di daerah orang, terlebih seorang diri, “menjadikan hidup lebih hidup”. “terjebak” dalam suasana dan lingkungan yang baru lebih sulit dibanding ikut membantu uwak menuai padi matang di sawah orang untuk bekal makan selama sebulan. Berkenalan dan bercengkrama dengan banyak orang baru ternyata lebih sulit dibandingkan berdiskusi dengan mang Eros di saat meronda bareng. Jika menggunakan rumusan ekonomi pasti tak akan mempan, bahwa “dengan modal (baca: energi) yang kecil untuk memperoleh keuntungan maksimal”, menjadi berlaku kebalikannya. Aku harus lebih agresif (modal besar) untuk lebih mengenal banyak orang dengan berbagai laku dan karakternya. Harus diakui (walau tak seluruhnya) selalu saja timbul disparitas dan munculnya sikap egosentrisme tatkala “orang kota” berinteraksi dengan “orang desa”, walau akhirnya beberapa tahun sesudahnya sudah tak dirasakan lagi. Mungkin karena aku sendiri sudah dianggap bagian dari”nya”, padahal sekali orang kampung tetap orang kampung.

Sekali lagi, hidup di kota besar, dengan hanya bermodal nekad sedikit fulus, memerlukan pemikiran dan daya kontemplasi yang tak sederhana. Mungkin cukup dua bulan saja, aku bisa mengatasi masalah “memutus rantai disparitas” dengan orang-orang baru. Namun, hal-hal seperti kekurangan bekal makan, kelimpungan dulu saat bayar kost, sampai kebingungan ketika 2 hari lagi “vonis” tak boleh kuliah kalau bayar telat, menjadi rentetan menu sehari-hari yang memikirkannya harus sampai mengernyitkan dahi hingga bekerut-keriput. Ini bukan semata persoalan isi perut yang cukup diisi dua potong gorengan mas Samiaji, tukang nasi yang setia diutangin ketika masih tinggal di Asrama kampus, tapi jauh dari itu persoalan integritas dan harga diri jika harus berlaku “tangan dibawah” merengek minta dikirimkan bekal kepada keluarga di kampung. Jika itu yang terjadi, dimana jakunku akan disimpan sementara aku “minggat” dari kampung selain untuk mengejar asaku menjadi profesor, juga sekaligus membuktikan bahwa aku mampu menerjang “dogma-dogma” kaku warga kampungku yang tak mesti sekolah tinggi-tinggi.

Tulisan ini bukan hendak mendata keluh kesah atau kesengsaraan, namun bukankah pelajaran bisa didapat dari pengalaman (sekalipun pahit)? Nasib, bagi Mang Indi, pedagang bandros kawakan di kampungku, yang juga “rangkap jabatan” sebagai setengah paranormal, merupakan isyarat baku yang dikehendaki sang Pencipta. Baginya, pekerjaannya tak bisa ditawar (sekalipun dengan keris kecil yang sering dipamerkan kepada anak muda sebayaku karena konon bisa dijadikan aji pelet untuk memikat wanita), karena telah dinegosiasikan di alam ruh, bukan alam jasad. Sekilas memang nampak tak ada yang salah dengan statement-nya itu, namun ia kebingungan ketika aku sodorkan pertanyaan untuk membedakan antara takdir dan nasib.

Setidaknya, takdir merupakan ketentuan Tuhan yang ditetapkan sejak ajali dan manusia tak memiliki bargaining power untuk merubahnya. Namun, nasib dalam tinjauan terminologi merupakan sesuatu yang masih bisa untuk “didiskusikan”. Seseorang menjadi dokter atau menjadi penjual sate keliling masuk ranah nasib karena menjadi “penjual sate” atau “dokter” bukanlah belaku hukum statis, melainkan hasil dari choice, dimana manusia diberikan kesempatan untuk menentukannya. Tapi seseorang beranak empat atau beranak laki-laki merupakan takdir karena hak pemegang “lisensi” atau hak prerogatifnya hanya Tuhan yang berkuasa menentukan.

Berbekal dialog singkat itulah, plus sedikit pengetahuan, aku yang bodoh melangkahkan telapak kaki hendak mendialogkan nasib. Bahwa Tuhan yang Maha Agung dan Maha Mengetahui akan merespons indikasi dari upaya kita untuk mengajak-Nya berdialog, yakni dengan menjalankan puasa nabi Daud (meski dengan alasan untuk berhemat), meminimalisir waktu berpacaran (meski sama dengan maksud untuk berhemat), membuatkan makalah teman, memperbanyak waktu nongkrong di perpustakaan atau area-area diskusi daripada di kantin atau mall, sampai menjadi guru private di tiga tempat sekaligus sehabis pulang kuliah disaat teman-teman yang lain sedang asyik masyhgul dengan bermain play station, main futsal, atau bahkan merenda asmara.

Itulah bentuk mendialogkan nasib yang akan dilihat dan dinilai Tuhan sehingga (mudah-mudahan) menjadi penentu nasib kita kini, dan kelak.

Resiprokalitas Doa
Kalau ustadz Yusuf Mansur terkenal dengan konsepsi “the power of sedekah”, saya percaya dengan “the power of pray”. Berdoa adalah mendendang untuk menyampaikan harapan. Berdoa merupakan bait-bait sunyi pertanda kepasrahan dan kerendahan hati. Dan, berdoa merupakan penguat relasi-vertikal yang dibangun orang beriman dengan khaliknya. Terakhir, berdoa adalah permulaan dari keinginan (desire) yang dikabulkan.

Aku menyangka, Adam Smith yang menulis the wealth of nation tahun 1776 dan karyanya itu menjadi “masterpiece” dalam ilmu ekonomi, karenanya ada konsepsi the invisible hand atau tangan-tangan tak tampak yang berperan dalam melakukan intervensi terhadap pasar dan harga merupakan bentuk dari ketidakimparsialan usaha manusia dengan kehendak Tuhan. Makanya, disitulah letak dari urgensi berdoa itu.

Sebagai manusia beriman, aku percaya akan hadirnya resiprokalitas doa yang ditandai dengan indikasi-indikasi yang sulit dicerna secara logis. Misal, percaya atau tidak, ketika uang di dompet tinggal Rp 20.000 lagi, sementara honorku dari private masih dua minggu lagi, tepat setelah shalat shubuh dan berdoa, ada teman yang meng-sms mengabarkan tulisanku dimuat di salah satu koran. Senandung syukur terucap dibibirku seraya mengagungkan asma-Nya, bahwa: paling tidak dengan honor tersebut mampu memperpanjang masa hidupku sampai ada rezeki lain.

Atau, ketika menjelang lebaran idul fitri, disaat orang lain pulang kampung, aku sendirian di kostan (aku berniat untuk tak pulang kampung sebelum menjadi seorang sarjana), dimana kantongku menipis. Tak disangka menjelang shalat iedul fitri ibu kost datang dengan banyak membawakan makanan plus uang Rp 100.000 sebagai “upah”-ku karena telah menjadi amil zakat fitrah. Sekali lagi alhamdulillah.

Dan masih banyak bukti resiprokalitas doa yang patut disyukuri, walau tak jarang kita menjadi manusia yang takabur dan kufur.

Menjemput Dialektika Literatif
Membaca, yang merupakan upaya menjaring pengetahun, arena diskusi pasif dengan si penulis, dan obat penentram hati, entah mulai kapan tepatnya aku jalankan secara serius. Oh, aku baru ingat, ketika kesadaran dan mimpi bisa menjadi Amien Rais—profesor—muncul dan semakin terakumulasi secara dahsyat dan sampai “menggangu” pikiran bawah sadarku. Kadang, jika sudah “gila” aku sering lupa waktu dan tega mengkonversi waktu makan dengan membaca. Dari persoalan-persoalan ekonomi syariah, politik, hukum, sosial, budaya, dan belakangan aku rajin membuka lembar demi lembar pemikiran-pemikiran filsafat dari berbagai mazhab.

Baru-baru ini, aku sedikit gandrung dengan karangan Arthur Asa Berger bertajuk postmortem for a postmodernist yang membacanya seolah memasuki labirin, bongkar pasang logika, yang sengaja dikonstruksi dengan ending menggantung. Saya cuplikan sedikit pendapatnya Fredric Jameson (postmodernism and consumer society) yang juga menjadi bagian dari buku ini:

Postmodernisme, setidaknya dalam istilah yang saya pakai, juga merupakan konsep pembabakan yang berfungsi mengaitkan kemunculan bentuk-bentuk formal baru dalam kebudayaan dengan kemunculan tipe kehidupan sosial baru serta tahapan ekonomi baru, yang secara eufimistik disebut sebagai modernisasi, masyarakat konsumen atau masyarakat pascaindustri, masyarakat media atau masyarakat tontonan, serta kapitalisme multinasional.

Selain juga dua buku lainnya tentang teori hermeneutika dan Demokrasi Deliberatif yang diulas secara mendalam berdasarkan tesisnya Jurgen Habermas oleh Frans B. Hardiman. Sampai pada itu, seorang teman dekat mengingatkan bahwa aktifisme baca dan tulis ibarat orang yang makan (baca), harus ada yang dikeluarkan (tulis). Harus balance diantara keduanya. Kalau cuma terpaku baca saja, ibarat makan yang tak pernah dikeluarkan, akan terakumulasi dan menimbulkan penyakit.

Maka, tulisan pertamaku muncul di ruang pembaca harian Jurnal Nasional berupa kritikan tajam terhadap tayangan televisi. Tulisan kedua bertajuk “hentikan tangis di Gaza” kembali muncul menghiasi kolom Suara Mahasiswa Seputar Indonesia. Dan hampir setiap sebulan dua kali tulisan ringan di kolom “Hikmah” Republika semakin menambah kuantitas tulisan-tulisanku di berbagai media. Dari situlah, komitmen untuk banyak berinteraksi dengan buku plus juga bergaul dengan loper koran, aktifitas menulisku semakin membuncah. Sampai kini, dalam kurun setahun setengah sudah sekitar 60-an tulisan yang dipublikasikan di berbagai media, baik lokal maupun nasional. Sampai akhirnya suatu ketika, aku harus lunglai terjatuh dalam kecewa.

Seorang pembantu dekan (pudek) menolak permohonanku untuk masuk kuliah karena sudah telat tiga minggu belum bayar biayanya sehingga mewajibknku mengambil cuti selama satu semester. Dengan kecewa, aku merogoh uang hasil jerih payahku menulis di koran-koran, sampai dibela-belain meng-cut jatah makan dan beli buku, khusus untuk biaya kuliah itu. Huffh, inilah takdir, dan bukan nasib karena aku tak sanggup menegosiasikannya.

Yang jelas, secara pribadi bersyukur dan berterima kasih kepada Kang Zen yang telah menulis buku berjudul “SAMBUT” diterbitkan Pro-U Media, yang merupakan kependekan dari Strategi Ampuh Menyikapi Berbagai Ujian Tuhan karena telah mengajarkanku untuk menghadapi berbagai problematika hidup secara bijaksana dan elegan.

“Doorstoot Naar” Profesor
Sebelum lupa, saya ingatkan lagi bahwa “profesor” dengan berbagai derivasinya menjadi terma yang paling menarik pehatianku. Aku sadar dengan hasil test IQ-ku yang sulit untuk menuntun rajut-rajut relevansi dan menyeret bahkan memaksanya untuk, paling tidak, menyetuji bahwa aku kelak bakal menjadi profesor laiknya Amien Rais yang sering aku lihat di tv-tv. Namun, haruskah aku “mati” dengan keputusan tertulis test IQ itu, yang hanya mengganjar dengan skor 140-an (sebagai perbandingan Einstein dan Habibie ada di kisaran skor 160-an)? Bukan titel sebagai pemilik panggung akademis tertinggi yang secara hakikat aku kejar, namun membuktikan kepada—paling tidak--diri bahwa, sama halnya Saldi Isra yang diganjar “si anak petani menjadi profesor”, aku pun hendak menyemat, “anak kampung jadi profesor”. Mungkin hanya ilusi, tapi terkadang kenyataan bisa berawal dari ilusi, bukan?

Maka, sebagaimana judul bukunya Julius Pour, Doorstoot Naar Djokja, izinkahlah aku berperan menembus (berniat menjadi, to be) profesor (doorstoot naar profesor). Langkahkanlah kakimu walau dalam kesunyian dan dalam horizon yang tak sempurna.

Depok, 10 Dzulhijjah



 

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More