Jumat, 17 Desember 2010

Meniti Jalan Cinta Para Pejuang

Oleh: Deti Kurniawati


Gampang simpati dengan lawan jenis, memendam perasaan suka secara diam-diam, tiba-tiba suka patah hati sendiri, itulah gambaran dunia percintaan saya saat remaja. Kalau sudah begini, pelampiasannya adalah menangis bombay ala film India dan menulis diary yang kalo dipikir ulang bikin senyum keki, malu sendiri. Dari zaman SMP, saya tahu kalo pacaran itu gak ada sejarahnya dalam islam, tapi melihat teman yang pacaran kadang-kadang iri juga. Kan enak tuh ke mana-mana ada yang nganter, kalo sedih ada yang bisa diajak berbagi, pokoknya waktu itu mikir enak aja kalo punya pacar.


Pacaran, pacaran, pacaran. Sepertinya virus cinta itu mewabah dari anak kecil hingga dewasa. Gak keren kalo gak punya pacar, gak akan nikah kalo gak pacaran, pokoknya yang gak punya pacar alias jomblo kesannya gak laku. Orang tua pun akan berlomba-lomba sibuk menjodohkan anak-anaknya demi membela kehormatan keluarga. Pacaran menjadi tren bahkan menjadi sebuah budaya.

Makin ke sini, hasrat ingin punya pacar lewat sudah. Nyatanya, punya pacar gak selalu semanis madu bahkan bisa jadi sepahit empedu. Ada yang MBA (married by accident), sakit hati karena pacarnya selingkuh, bahkan ada yang saling benci hingga memutuskan tali silaturahmi cuma gara-gara masalah sepele. Nyatanya, cinta tak selalu seindah yang kita bayangkan dan harapkan. Apakah cinta sesempit itu? Apakah cinta hanya ada pada sepasang kekasih: laki-laki dan perempuan? Apakah tak ada cinta lain yang lebih indah di dunia ini? Itulah beberapa pertanyaan yang selalu ada di benak saya tanpa pernah saya pertanyakan ke orang lain tapi saya mencoba mencari tahu jawabannya dengan cara membaca.

Awal tahun 2006, teman saya meminjamkan buku Agar Bidadari Cemburu karya Salim A. Fillah. Katanya bagus, saya baca aja. Tapi waktu itu gak ada yang mengena di hati. Sekedar baca, sesudah itu saya kembalikan ke pemiliknya. Maret 2008, di Islamic Bookfair Jakarta, seorang sahabat yang sama-sama maniak membaca merekomendasikan untuk membeli buku terbaru Salim A. Fillah. Apa istimewanya buku karya Mas Salim sampai mereka begitu memburunya? Waktu itu saya belum tahu dan akhirnya saya sadar betapa istimewanya karya beliau setelah berulang kali membaca Jalan Cinta Para Pejuang.

Buku bergambar tiga orang yang sedang menunggang kuda mengingatkan saya akan sebuah perjalanan hidup yang tak selalu mulus seperti yang kita harapkan. Bahwa hidup sejatinya meniti sebuah jalan, jalan yang indah dan selalu diridhai oleh-Nya yaitu jalan cinta para pejuang. Tapi kadang kita berulang kali salah jalan sambil terus berusaha mencari jalan yang tepat. Sekilas dari judulnya, saya pikir buku ini hanya akan mengulas hanya tentang cinta sepasang manusia. Tetapi dugaan saya ternyata salah. Buku ini membahas tentang dunia cinta yang lebih indah dan bukan hanya sekedar cerita cinta yang dibungkus romantisme belaka.

“Jika kita menghijrahkan cinta: dari kata benda menjadi kata kerja maka tersusunlah sebuah kalimat peradaban dalam paragraf sejarah. Jika kita menghijrahkan cinta: dari jatuh cinta menuju bangun cinta maka cinta menjadi sebuah istana, tinggi menggapai surga”

Alangkah indah konsep cinta yang Salim A. Fillah ungkapkan dalam buku tersebut. Bukan jatuh cinta tapi bangun cinta. Jatuh itu menyakitkan. Maka dengan konsep bangun cinta, cinta itu akan selalu meninggi setiap harinya, menjadikan orang yang membangun cinta itu lebih bersemangat  menjalani kehidupannya karena dia memiliki tujuan hidup yang jelas untuk orang-orang yang dicintainya. Cintanya akan selalu dipenuhi dengan kebarokahan, rasa syukur, dan keikhlasan terhadap apapun yang Allah berikan kepada umat-Nya.

Di terminal keberangkatan jalan cinta para pejuang, Salim A. Fillah menulis: Cinta adalah fithrah, alangkah indah dan bermaknanya ketika kita sukses menjadi tuannya cinta. Tuan yang dengan gagah mengendalikannya agar tak menjadi ekspresi syahwati sebelum Allah menghalalkan. Bukan tentang cinta yang lemah, yang cengeng, yang bonsai. Ini adalah cinta yang hidup, yang bersahabat, yang bermanfaat, yang kuat. Ini adalah cinta yang gempita, yang menggema, yang membebaskan. Ini adalah cinta yang suci, yang segar, yang menggugah, yang mengubah.

Begitulah seharusnya cinta yang sesungguhnya. Kitalah yang menjadi pengendali bukan kita yang dikendalikan oleh  nafsu cinta sesaat yang membutakan hati dan pikiran kita. Walau kadang jalan yang ditempuh salah arah, jika kita selalu dekat dengan-Nya, Dia akan memberikan petunjuk jalan yang benar. Jika ada jalan yang lebih aman dan lebih baik merayakan cinta selain pacaran, mengapa kita tidak memilih jalan itu. Toh, Allah sudah menentukan rezeki, jodoh, dan maut sebelum kita dilahirkan. Sampai saat ini, tentang jodoh saya tetap yakin tanpa pacaran pun kita akan tetap menemukannya. Karena hanya Allah lah yang Maha Tahu apa-apa yang kita butuhkan, bukan hanya sekedar yang kita inginkan. Kalaupun hingga hari ini kita belum menemukan pasangan kita, tentu Allah punya rencana yang lebih indah. Kita jadi memiliki banyak  waktu untuk mempersiapkan diri sebelum waktunya tiba.

Teruslah melanglang di jalan cinta para pejuang
Menebar kebajikan, menghentikan kebiadaban,
Menyeru pada iman
Walau duri merantaskan kaki,
Walau kerikil mencacah telapak
Sampai engkau lelah, sampai engkau payah
Sampai keringat dan darah tumpah
Tetapi yakinlah, bidadarimu akan tetap tersenyum
Di jalan cinta para pejuang

Cinta sejatinya adalah menebar kebaikan terhadap siapapun, kapanpun dan di manapun tanpa berharap menerima imbalan apapun. Berusaha selalu berada dekat dengan jalan yang Dia ridhoi, sesulit apapun jalan yang harus kita tempuh karena sabar dan ikhlas akhirnya selalu menghasilkan buah yang manis dengan keyakinan bahwa Allah tidak pernah melupakan janji terhadap umat-Nya. Dalam proses kehidupan, tentu banyak rintangan dan halangan yang menerjang. Tapi itulah kehidupan, justru dengan masalah lah eksistensi kita diuji.

Saya selalu senang membaca kalimat ini. Kalimat yang bisa mendefinisikan keindahan realitas hakikat cinta yang sebenarnya.
"Jika cinta adalah Matematika
Maka yang mencintai kita
Akan mengalikan kebahagiaan sampai tak hingga,
Membagi kesedihan hingga tak berarti,
Menambah keyakinan hingga utuh,
Mengurang keraguan hingga habis"

Dan akhirnya saya akan selalu rela menunggu untuk pasangan yang Dia pilihkan untuk menemani hari-hari saya nanti dengan terus berusaha memperbaiki diri, terus belajar tentang dunia rumah tangga, dan insyaaallah berusaha berbagi kebaikan sesuai kemampuan saya tanpa harus terjebak dalam budaya pacaran. 

Lajangwan & Lajangwati
Semoga kita semua tetap istiqamah meniti jalan cinta para pejuang.
Allahu Akbar!!!
 

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More