Rabu, 29 Desember 2010

Catatan Satu Tahun di Cianjur : Kesendirian Yang Tak Sendiri

Oleh: M. Dien al-Qayyimi

Namaku adalah M.Dien Al-Qoyyimi. Saya adalah mahasiswa di Ma’had Aly an-Nu’aimy. Di sini ada program khidmah masyarakat setelah belajar selama empat semester. Saat pertama kali mendengar kabar bahwa saya akan ditempatkan di Cianjur, ada sedikit rasa kecewa karena tidak sesuai dengan keinginan yang dicitakan, kalau bisa ditempatkan di luar pulau jawa, bahkan dikirim ke papua sekali pun. Tak ada alasan pasti untuk menolak ditempatkan di Cianjur, karena memang yang ada sami’na wa atho’na, syi’tum am abaitum, kurang lebih begitu yang sering diucapkan DR.Taufiq.

Sebenarnya juga tidak ada perasaan kecewa yang terlalu besar karena memang sudah menjadi tradisi saya selalu mengembalikan segala hal pada Allah. Jauh sebelum mendengar keputusan itu, do’a yang senantiasa saya panjatkan adalah “Ya Allah pilihkan yang terbaik untukku!”.  Jadi ketika mendapat keputusan seperti itu, keyakinan saya itu pasti yang terbaik yang telah Allah tentukan untuk diri ini.

Tibalah di mana saat saya untuk berangkat ke Cianjur. Selain diputuskan saya sendiri untuk mahasiswa angkatan ketiga yang diletakkan disana, keberangkatan saya pun ternyata hanya seorang diri. Memang sih, saya berangkat berdua sama Fitriyadin, tapi memang hampir tak ada yang melepas keberangkatan saya ke Cianjur.

Pertama Kali Di Al-Musyarrofah
Setelah hampir kurang lebih tiga jam melakukan perjalanan menuju tempat khidmah, sampailah kami di Pondok Pesantren Modern Al-Musyarrofah. Pemandangan yang disaksikan pertama kali adalah sebuah papan reklame besar yang terletak diseberang jalan raya bertuliskan “Rumah Makan Ikan Bakar Alam Indah 3”.

Di depan gang terdapat pamflet bertuliskan Pondok Pesantren Modern Al-Musyarrofah. Kemudian dengan rasa penasaran karena tidak terlihat sama sekali tanda-tanda adanya pesantren yang berdiri, saya bertanya sama Fitriyadin dimana letak pesantrennya. Ya disini, jawabnya. Ternyata tempat ini baru didirikan. Saya adalah generasi tahun kedua. Dari sinilah saya sudah ancang-ancang bahwa ini bukan perjalanan yang mudah. Bukan putus asa tetapi supaya diri ini bisa bertahan dan kalau bisa untuk beberapa tahun yang akan datang.

Hari-hari pertama di Musyarrofah merupakan hari-hari yang dipenuhi kebingungan. Hampir tidak ada orang yang berbahasa Indonesia, setiap orang bicara dengan bahasa Sunda. Sulitnya berinteraksi dengan orang-orang membuatku diam. Padahal sebagai orang baru, seharusnya diri ini bersosialisasi agar mempermudah dalam berinteraksi di kemudian hari.

Jeritan Hati Sang Bujangan
Ditempatkan di daerah yang masih tradisional, punya kesan tersendiri. Selain bingung menghadapi sikap orang-orang yang yang masih memegang kuat adat para sesepuh, juga harus meluruskan akidah yang masih terkontaminasi dengan akidah paganis. Di samping masih banyak hal yang perlu didiskusikan lagi.

Tidak hanya sampai disitu, ada satu hal yang paling mengusik relung hati ini. Masalah klasik tetapi kontemporer. Tradisional namun modern, yaitu mu’amalah yang tidak syar’i antara laki-laki dan perempuan.

Ada yang perlu dikemukakan dalam hal ini. Sebagai informasi yang pertama, tempat di mana saya mengajar dalam rangka khidmah tersebut, miskin guru yang berpengalaman dan kompeten. Bukan apa-apa, tetapi memang demikian halnya. Selain karena mereka masih baru selasai sekolah menengah atas atau setingkatnya, juga kondisi psikologis mereka yang masih labil. Maklum, masih dalam masa remaja disuruh pula mengajar anak-anak yang menginjak usia pubertas. Kalau hanya disuruh mengajar yang sejenis, mungkin masih bisa dikontrol meskipun sedikit susah, tapi juga disuruh mengajar yang lawan jenis. Apa kata dunia? Kita bisa menebak akibat yang ditimbulkannya.

Inilah mungkin masalah yang cukup berat buat saya pribadi. Apalagi memang murid yang perempuannya gararelis. Terus terang ini mungkin masalah yang saya besar-besarkan. Tapi memang beginilah saya, lelaki yang lemah melihat wanita cantik. Jadi mungkin saya tidak mau menyalahkan orang lain yang bisa lebih bersikap profesional, tidak mencampurkan urusan pribadi dengan kepentingan umum.

Di sisi lain, internal diri, saya bingung bagaimana meminimalisir mu’amalah ikhtilath di antara asatidz. Informasi yang kedua, jadi komposisi guru-guru pengabdiannya adalah terdiri dari tujuh orang, empat orang laki-laki dan tiga orang perempuan. Yang usianya rata-rata 18 tahun, sedang saya sendiri berumur 21 tahun. Alamak kata orang Medan. Oleh karena semuanya masih dalam satu lingkungan, jadi hampir semua aktifitas yang berhubungan dengan dapur dikerjakan bersama. Istilah mereka para asatidz, “jama’atun rahmah”.

Untuk yang kesekian kali, saya bingung bagaimana mengatasi masalah internal diri saya. Satu sisi, saya harus menumbuhkan kekuatan ruhiyah para santri. Akan tetapi di sisi lain, saya sendiri bermasalah dalam masalah ruhiyah. Mungkin karena dasar kelemahan dalam diri ini, tapi juga mungkin karena efek negatif yang ditimbulkan dari ikhtilat yang terlalu sering tanpa ada filternya.

Menghadapi semua itu, saya banyak berpikir dan berprasangka. Mengapa saya yang dikirim kesini? Mengapa saya sendiri disini? Saya berusaha menghibur diri dengan banyak-banyak menanamkan keyakinan bahwa ini semua ada hikmah yang bisa saya petik.

Saya hampir frustasi dan memutuskan untuk meninggalkan tepat itu. Dalam benak saya, adalah hak kebenaran untuk disampaikan dengan benar dan dilakukan dengan cara yang benar. Jadi hemat saya, percuma saja saya mengajarkan pada mereka hal-hal baik untuk dilakukan dan sesuatu yang harus ditinggalkan sebagai seorang yang telah mengaku bahwa “Tidak ada tuhan yang disembah melainkan Allah”. Tapi ternyata mereka mendapati para pengajar mereka melakukannya. Belum lagi masalah tidak adanya kordinasi yang jelas antara sesama pendidik. Hal ini membuat saya banyak berpikir apa yang harus saya lakukan agar khidmah selama setahun ini ada yang dihasilkan walaupun dalam keadaan yang minim.

Membaca buku Zero to Hero memberi inspirasi pada saya, akhirnya saya putuskan untuk tetap berada disitu. Dengan tujuan yang tidak muluk-muluk, semoga dengan keberadaan saya bisa memberi mereka para santri perbandingan. Terlepas dari saya manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan dan dosa. Tetapi saya berusaha seoptimal mungkin agar mereka bisa membedakan antara yang mana yang pantas untuk ditiru serta digugu dan yang tidak pantas . Jadi dalam setiap kesempatan saya tetap mengarahkan mereka agar tidak meniru yang salah dari guru-guru mereka, karena guru juga manusia yang bisa lupa dan salah. Tapi tirulah nabi yang sudah mendapat rekomendasi dari Allah yang Maha Pencipta, jadi hal itu mutlak harus kita percaya. Kemudian juga masalah-masalah yang lain yang berhubungan dengan akidah tauhid, dampak dari mengikuti adat yang tidak ada sumbernya.

Saya juga meyakini, menyelesaikan masalah bukan dengan menghindarinya. Sebab di tempat lain juga masalah pasti ada. Karena hidup adalah seni menyelesaikan masalah yang kita hadapi. Sebagaimana Allah mengajarkan kehidupan diciptakan untuk menguji siapa yang terbaik amalnya. Jadi semua ini, saya anggap sebagai pelajaran hidup yang penuh dengan hikmah. Harapan saya, semoga menjadi amal jariyah yang tetap mengalir ke diri ini, walau-pun jasad sudah dimamah bumi.

Ujian Dari Keteguhan
Ada sedikit persoalan yang saya hadapi berkaitan dengan masalah barjanzi. Informasi ketiga, barjanzi merupakan salah satu agenda resmi mingguan yang ditetapkan oleh mudir bagian kepesantrenan, yang dilaksanakan setiap malam jum’at oleh seluruh santri putra dan putri serta ustadz dan ustadzah di satu ruangan yang tidak ada hijab antara laki-laki dan perempuannya. Saya tidak ingin membahas masalah khilafiyahnya, tetapi kalau memang ritual itu bukan kewajiban dari Allah maka mengapa harus marah kalau saya tidak ikut acara yang bagi saya tidak ada gunanya kalau diadakan setiap minggu karena masih banyak kegiatan yang bermanfaat. Disinilah mulai terjadi masalah yang hampir membuat saya pergi karena sikap yang ditunjukkan pada saya disebabkan keengganan saya untuk mengikuti aturannya.

Kesendirian Yang Tak Sendiri
Terkadang saya merasa bahwa sayalah yang mendapat tempat paling tidak enak. Tapi pikiran itu memang harus dibuang jauh-jauh. Memangnya siapa saya dibandingkan dengan kaum Muslimin yang ada di Palestina? Bukankah mereka lebih menderita dari pada saya? Siapa yang lebih menderita saya atau orang-orang yang untuk mendapatkan makan sekali sehari saja susah? Saya lumayan tetap bisa makan tiga kali sehari walaupun dengan lauk seadanya. Juga ternyata ada diantara saudara yang dikirim ke daerah timur yang harus kehilangan laptopnya gara-gara tenggelam di laut ketika menuju tempat khidmahnya di pulau terpencil. Disana juga ada saudara yang ternyata harus menerima lima puluh ribu saja per bulan. Lebih beruntung saya masih dapat seratus ribu per bulan. Serta masih banyak lagi yang lebih menderita dibandingakan dengan saya yang sok merasa menderita.

Ada satu hal yang penting untuk saya ceritakan yang mengandung banyak ‘ibrah dan makna insya Allah. Ada seorang anak bayi yang baru berumur kurang lebih satu tahun lebih sedikit, menurut cerita yang saya dapatkan. Abdullah Makki namanya. Dia memang lahir di arab saudi. Kedua orang tuanya bekerja di Arab Saudi. Nasibnya tak seberuntung kita. Dia ditinggalkan oleh ibu bapanya dalam usia kurang lebih dua bulan. Si bayi ini dirawat oleh orang pesantren. Menurut yang merawatnya kedua orang tuanya tidak pernah mengirimkan uang untuk biaya hidup anaknya. Yang namanya dirawat oleh yang bukan orang tuanya, tentu tidak seperti anak bayi yang dirawat langsung kedua orang tuanya.

Tidak bisa disalahkan, kalau si bayi begitu sering dibentak oleh yang merawatnya. Sebab bersedianya dia untuk merawat si bayi yang sama sekali tidak diperdulikan oleh kedua orang tuanya merupakan suatu kebaikan. Ketika pertama kali mendengar kisah si bayi, saya sangat merasa kasihan.  Saya pernah membelikannya susu bayi. Tapi setelah saya cek ternyata si bayi tidak suka susu. Ia lebih memilih minum teh dari pada minum susu. Tak ada batasnya memang syukur yang harus kita persembahkan pada Allah swt. karena selautan syukur kita hanyalah cukup untuk setitik nikmat-Nya.

Kesendirian yang saya rasakan sebenarnya bentuk dari lemahnya tekad di diri ini. Kalau mau lebih mensyukuri nikmat tentu tidak ada yang harus dikeluhkan. Inilah mungkin sebab begitu banyak keluhan saya utarakan walaupun tidak sampai keluar dari hati. Padahal kita paham dengan ajaran yang telah Allah firmankan dalam Al-Qur’an, bahwa diantara sifat bawaan manusia adalah berkeluh kesah. Tapi hal itu tidak ada pada orang-orang yang sholat. Mereka yang senantisa sholat. Sholat dengan khusu’ sebagaimana ciri orang yang beruntung.

“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, Dan apabila ia mendapat kebaikan ia Amat kikir, Kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat,Yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya”. (QS.Al-Ma’arij :19-23)

Ternyata ini salah satu hikmah yang saya dapatkan. Kesadaran akan pentingnya rasa syukur merupakan anugerah dari Allah. Inilah juga yang menjadi energi utama untuk tetap terus melanjutkan khidmah saya di tempat ini. Juga karena kesadaran ini yang terus menambah kekuatan untuk tetap melakukan kebaikan-kebaikan di tengah kondisi yang serba minim. Sebenarnya saya juga masuk ke pesantren yang tidak jauh berbeda keadaanya dengan tempat khidmah saya ini. Ketika  masuk kesana, usia pesantren saya baru menginjak tahun ke tiga, hanya saya lebih beruntung bisa mendapat asatidz yang betul-betul menjadi qudwah buat para anak didiknya. Oleh sebab itu saya bertekad, sebisa mungkin saya tidak akan memberikan contoh yang buruk untuk santri-santri di tengah keterbatasan saya yang lemah kalau melihat wanita cantik. Sebisa mungkin saya hindarkan urusan rasa yang bisa mengham-bat saya untuk terus menularkan kebaikan-kebaikan pada mereka.

Yang tak terlupa juga adalah saya senang bisa mendapatkan teman-teman halaqah yang bisa menularkan energi kebaikan yang ada dalam ruhiyah mereka. Walaupun mungkin, dalam kapasitas ilmu syar’i mereka biasa saja, tapi selalu ada energi baru ketika saya bertemu mereka. Saya banyak belajar dari mereka berbagai hal mengenai kehidupan yang semakin tidak relevan dengan akidah tauhid. Saya menyesal tidak bisa satu tahun penuh bersama mereka karena sekitar dua bulan sebelum selesai khidmah ada pertukaran murabbi. Jadi kami semua dipisah menjadi tiga atau empat halaqah yang berbeda.

Energi dari Jalan Cinta para Pejuang
Maha benar Allah dengan segala firman-Nya. Tidak ada Balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula). Tidak ada yang percuma kalau semua dikerjakan dengan ikhlas, insya Allah. Itulah salah sumber energi dari sekian banyak sumber energi untuk memompa semangat saya untuk terus menularkan kebaikan pada segenap manusia terlebih untuk saudara-saudara seiman.

Ternyata begitu berat bagi para santri untuk melepaskan kepergian saya. Dalam benak yang paling dalam kalau bisa saya tidak meninggalkan mereka. Secara jelas memang mereka tidak berani untuk mengeluarkan pernyataan untuk menahan kepergian saya. Kecuali hanya satu orang. Yang lain hanya berani bertanya apakah saya akan terus mengajar disana. Setelah saya jawab insya Allah tidak, mereka diam. Tapi saya yakin mereka begitu menginginkan saya untuk terus melanjutkan, dilihat dari ekspresi wajah dan tingkah laku mereka. Para guru pun mengharap kalau bisa saya tetap melanjutkan paling tidak setahun lagi.

Sebenarnya dari hati yang paling dalam, saya pun ingin menambah masa keberadaan saya disana. Selain sebab yang diceritakan diatas, ada alasan yang paling fundamental mengapa saya harus pergi. Jadi dengan bersedih hati memang saya harus meninggalkan mereka.

Bagaimana pun saya bukan orang Cianjur, cepat atau lambat pasti saya harus pulang ke kampung halaman. Dari pada lambat lebih cepat lebih baik. Dan alasan yang paling utama adalah soal keluarga saya. Yang saya pahami kita disuruh untuk memelihara diri sendiri dan keluarga dari api neraka. Nah, saya tahu kondisi keluaga, maka saya lebih memprioritaskan keluarga untuk diajak agar betul-betul dalam mengaplikasikan ajaran tauhid.

Yang saya pesankan pada mereka adalah tetaplah berada dalam satu jalur agar kita tidak benar-benar berpisah. Jalur yang telah ditempuh oleh para rasul, nabi, syuhada dan orang yang shalih. Jalur yang senantiasa kita minta paling sedikit tujuh belas kali sehari semalam. Perpisahan yang sebenarnya adalah ketika ada diantara kita yang masuk neraka. Maka berusahalah semaksimal mungkin agar kita bisa berkumpul kembali di surga. Setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Oleh sebab itu, teruslah belajar akan kebenaran maka kita akan tahu siapa yang sebenarnya orang benar. Berdo'alah pada Allah agar kita diberi kekuatan untuk bisa mengikuti kebenaran itu.


0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More