Kamis, 13 Januari 2011

Waltinem

Oleh: Titis Anggalih

Ini kisah sewaktu Titis masih kecil. Si Titis kecil bersama Simbah Putri. Dulu sih Titis tidak tahu akan sedalam ini mengingatnya. Apalagi setelah membaca buku itu.Kan dulu belum ada buku itu. Lagian mana mau coba, Titis kecil membaca buku yang gambar depannya orang gede gitu (dulu Titis kecil sukanya komik Chinmi!). Alih-alih dibaca, kalau dulu Titis punya buku itu mungkin cuma akan diberikan pada Simbah. Simbah akan suka sekali kalau punya banyak kertas tidak terpakai.

“Biarpun kertas bekas, kalau masih bisa dimanfaatkan, ya dipakai. Bisa jadi rizki. Jangan mubadzir”, kata Simbah dulu mengajari Titis.

Oya, Simbah Putri kan tidak bisa membaca. Jadi, jangan salahkan Simbah kalau tidak bisa membedakan mana buku bermanfaat dan mana kertas bekas. Bagi Simbah sama saja itu. Iya, nantinya sama saja, untuk membungkus tempe atau bawang merah atau cabai.

Tapi bagi Titis, Simbah kelak adalah seorang penulis, sekalipun tanpa kemampuan baca tulis. Simbah kelak akan menulis di dalam lembaran-lembaran kertas warna-warni di dalam hati Titis. Dengan hiasan berbanyak bunga di mana saja sudutnya. Dengan pena kesahajaan dan tinta tulus doa juga tutur kata. Kelak, tiga belas tahun lagi, lembaran-lembaran wangi itu akan terjadi satu dalam ikatan rindu, yang hanya untuk Simbah.

Tapi kenapa mesti tiga belas tahun lagi? Kan itu berarti menunggu Titis dua puluh tahun usianya. Kan Simbah sudah baik pada cucu-cucunya sejak Titis kecil. Memangnya Titis yang sebelum dua puluh tahun itu kenapa?
Dalam hati, Titis pun menanyakan pertanyaan-pertanyaan serupa kepada dirinya sendiri. Hanya saja dengan intonasi berbeda. Intonasi menyalahkan dan ketukan penyesalan. Tiga belas tahun lagi.

“Ibuku dokter,” kata Wulan kepada teman-temannya. Saat itu jam istirahat sekolah. “Kalau Satria mengusili kita lagi, bilang saja pada ibuku, biar Satria disuntik! Biar kapok!”

Kemarin memang Titis berantem sama anak bernama Satria itu. Gemuk badannya, nakal sekali. Teman Titis banyak yang takut padanya. Meskipun sama-sama masih kelas dua, tapi Satria ini badannya mirip kelas enam saja. Yang berani melawannya ya baru Titis kemarin ini. Titis kecil tomboy sekali.

“Halah, coba bilang pada Oomku. Oomku itu tentara ya. Sekali tembak, selesai sudah!”, celetuk Ahmad. Dasar Ahmad, anarkis sekali. Memangnya apaan. 
“Ngapain bilang orang-orang. Cuma Satria aja, sendiri juga berani”, kata Titis, gerah teman-temannya pamer begitu.
“Ya jelaslah sendirian. Memangnya mau bilang sama neneknya titis di desa?”, timpal Adi. “Bisa-bisa dilempar bawang!”.
“Hah? Dilempar bawang?”, Ahmad bingung.
“Neneknya Titis itu jualan sayuran di pasar, nggak ngerti, ya?! Makanya hati-hati, Mad!”, disusul gelak tawa lebar-lebar (ingin sekali Titis menyumpalnya dengan sesuatu).

Titis melotot. Terbakarlah Titis. Maka meraih ransel Adi, kasar sekali meraihnya. Membawanya keluar kelas lalu memuntahkan isinya di depan pintu. Otomatis berserakan semua. Buku, pensil, penggaris, kertas-kertas (ada komik itu!), semuanya.

Wulan, Ahmad, dan Adi hanya bisa diam demi melihat pemandangan itu. Takut mereka. Titis yang marah saja berani melawan Satria, apalagi pada mereka? Mana berani mereka protes. Mana ada yang tahu Titis akan semarah itu dengan guyonan basi Adi itu, toh biasanya Adi tidak pernah sukses melucu.

Ah, bagi Titis, Adi baru saja melempar sebuah batu besar ke dalam danau yang tenang. Seketika mencipta gelombang besar kemarahan pada permukaan. Dan kalaupun permukaan itu kembali tenang nanti, tetap saja danau itu tidak akan sama seperti awalnya. Karena jadilah di dalam danau itu sebuah batu besar. Tidak tampak dari permukaan luar, namun batu itu tetap di dasar. Tidak sama lagi.

 “Titis masih marah? Iya, Adi menyebalkan. Tapi Titis jangan marah lagi ya. Di sini saja main-main”, rayu Wulan.

Ba’da dhuhur, sudah pulang sekolah ini. Keduanya asyik memainkan mainan bidak-bidak penguin di rumah Wulan. Kecil penguin ini, di bawahnya ada rodanya. Kalau diletakkan pada relnya, bidak penguin akan meluncur mulus. Memperhatikannya, lalu mempelajari cara kerja mainan itu membuat Titis sedikit abai pada insiden tas-berserakan-saat-istirahat itu.

“Iya, sudah nggak marah kok”, bohong ini.

Rumah yang bersih, tapi agak bau obat. Titis tidak merasa terganggu.

Sebenarnya, memang Titis dulunya sempat tinggal di desa beberapa tahun. Bersama Simbah Putri. Adi benar, Simbah memang jualan sayur di pasar. Selama ini Titis tidak merasa ada yang salah dengan itu. Tapi kenapa Titis tadi jadi sebal sekali? Atau bukan sebal barangkali. Atau malu?

Hanya, sejak kelas dua ini, Titis tinggal di kota karena ibu dan ayah harus bekerja. Ibu bekerja di luar kota malah. Titis dititipkan pada nenek dari ayah. Yang dimaksud Adi tadi adalah nenek dari ibu, yang di desa itu.

Lalu,
Tok. Tok. Tok. Suara pintu diketuk dari luar. Diiringi salam, Titis kenal suaranya., “Assalamu’alaykum”.
“Wa’alaykum salam”, jawab Wulan. Menghambur membukakan pintu.
Nenek rupanya, nenek dari ayah.
“Mbak Wulan, Titis main di sini? Dicari neneknya dari desa. Kalau ada, Titis pulang dulu”, kata nenek.

Apa? Nenek dari desa?
“Nggak mau! Sedang sibuk sama Wulan!”, Titis nongol dari dalam. 
“Lhoh, itu simbah datang jauh-jauh! Panas-panas! Dari pasar. Ayo!”
Dari pasar? Apa kata teman-teman kalau mereka tahu, coba?!
“Nggak mauu!! Rrgggh!”, Titis ngeyel.
“Ayyoooohh!”, nenek menyeret paksa Titis. Ikut juga akhirnya.

Rumah Wulan dekat, lima menit jalan kaki saja sudah sampai rumah. Sepanjang jalan pulang tadi Titis membisu, Nenek tidak tahu yang terjadi hari ini di sekolah. Perasaan Titis menjadi aneh. Ia sendiri tidak bisa menjelaskan. Jahat.

“Itu, salim sama simbah”, suruh Nenek saat sampai.

Melihat sosok itu. Kumal. Bau matahari. Pakai kebaya, batik. Ada keranjang anyam dari bambu di sampingnya, namanya keranjang bakul. Selendang di atas keranjang, selendang untuk menggendong bakul berisi macam-macam sayur. Ada yang tersulut lagi di dalam dada Titis. Lehernya seperti sakit menahan sesuatu. Menyalalah lagi.

“Nggak mau!! Mau main saja!! Huhh!”, Titis menjadi aneh. Berlari, tidak tahu ke mana. Ke rumah Wulan lagi barangkali. Tidak ada yang benar-benar mengerti perasaan Titis saat itu.

Hei Titis kecil, itu Simbah menjengukmu. Ingin tahu apakah kau di kota baik-baik saja. Sudah lama tidak bertemu Simbah, pasti Simbah kangen, kan? Itu, sebenarnya Simbah membawakanmu jajanan pasar kesukaanmu. Ada juga mangga. Ada juga pisang. Semua yang Titis suka. Tak lupa Simbah juga membawa sayur mayur agar diolah Nenek. Semuanya di dalam bakul Simbah. Simbah yang menggendongnya. Panas-panas begini. 
Berat? Tidak apa-apa, kan tadinya mau ketemu Titis..


Sejadinya, Titis ingin menangis.
Kalau ingat pernah meninggalkan Simbah seperti itu tiga belas tahun lalu, cukuplah Titis terima dibilang anak paling jahat sedunia.

Titis lupa, ya?
Kalau dulu Titis dimarahi Ayah, Titis selalu berlindung di balik Simbah. Simbah melindungi Titis biar tidak jadi dipukul Ayah pakai sapu lidi. Kalaupun jadi dipukul, yang kena Simbah jadinya.

Titis lupa, ya?
Dulu Titis suka sekali dibonceng pakai sepeda onta Simbah setelah Simbah pulang dari pasar. Lewat sawah-sawah. Simbah selalu membanggakan Titis kalau di jalan berpapasan dengan tetangga atau kenalan Simbah.
“Iya, ini cucu Simbah”, kata Simbah bangga.

Titis lupa, ya?
Dulu Titis kalau tidur di kamar Simbah, sering terbangun subuh-subuh, dan mendapati Simbah sedang khusyu’ solat Subuh. Titis pura-pura masih tidur itu, melirik sipit-sipit Simbah yang masih solat. Simbah takkan lupa menyebut Titis dalam pinta-pintanya.

Dan meskipun akhirnya Titis benar-benar tidur lagi setelah Simbah usai solat, Simbah tetap akan berangkat ke pasar pagi-pagi dengan berat hati. Karena meninggalkan Titis yang pulas tidurnya. Tidak dibangunkan, biar siang nanti tidak ngantuk di sekolah. Titis kan masih kecil, belum solat tidak apa-apa.

Titis lupa, ya?
Simbah selalu membawakan oleh-oleh kalau pulang dari pasar. Lelah Simbah hilang dengan ketemu cucu-cucunya. Titis juga selalu senang kalau Simbah pulang dari pasar. Menanti-nanti tidak sabar. “Simbah hari ini membawa oleh-oleh apa, ya?”, begitu Titis kecil selalu berharap.

Titis lupa, ya?
Saat Titis opname di rumah sakit, Simbah rela tidak berjualan hari itu agar bisa menjenguk Titis. Menjadi tamu pertama yang menjenguk Titis. Menjadi satu-satunya yang menangis saat menjenguk Titis. Titis tahu Titis yang sakit, memakai selang oksigen, terikat selang infus juga, tapi kenapa Simbah yang menangis?

Atau Titis lupa, ya?
Simbah selalu ingin Titis jadi anak baik. Patuh pada orang tua. Kalau sudah gede jangan sampai tidak solat. Ingatlah Allah, kalau minta tolong ya sama Allah. Simbah juga bilang, harta bukan segalanya. Kalau Titis besar nanti, jangan sampai harta melalaikan Titis. Meskipun jualan sayur di pasar, Simbah meneladani untuk tetap banyak bersyukur.

Titis, Simbah tidak berharap banyak. Simbah hanya ingin semuanya selamat. Dunia akhirat.

 “Women of Heaven”, Titis menggumam judul buku itu. Tiga belas tahun selepas insiden tas-berserakan-saat-istirahat. Tiga belas tahun selepas menyakiti hati Simbah.
Lamat-lamat Titis membacanya, sebelum tidur.

Ah, seandainya Simbah bisa membaca, buku ini mungkin akan Titis berikan pada Simbah (kalau sekarang diberikan bisa gawat, bisa dipakai untuk membungkus cabai lagi!).
Buku ini adalah tentang Simbah. Simbah yang meneladani sifat qana’ah Fatimah az-Zahra, yang menerima segenap keterbatasan bukan untuk diratapi, namun disyukuri.

“Bersikaplah ridha terhadap apa yang dibagikan oleh Allah, niscaya kamu menjadi manusia paling kaya” (H.R. Ahmad), dari Women of Heaven, halaman 95, buah tangan Ustadzah Evi Ni’matuzzakiyah.
  
Simbah, betapa Titis cucumu itu dibuat paham sekarang.
Titis ingin mengulang. Titis ingin tidak mendengarkan apapun yang orang lain katakan tentang Simbah. Titis sungguh tidak ingin meninggalkan Simbah saat itu.

Simbah, cukuplah Titis bangga selamanya menjadi cucu kecil Simbah. Memberantakkan cabai-cabai Simbah demi mencari oleh-oleh jajan pasar (maaf ya, Simbah). Dan cukuplah Simbah yang sederhana itu adalah Woman of Heaven-nya Titis.

Simbah percayalah, kalau sekarang Simbah main ke tempat Titis lalu ada teman-teman Titis juga sedang main, Titis akan dengan bangga menggandeng Simbah. Titis akan bilang kepada teman-teman Titis, “Ini Simbah Titis, Simbah Waltinem namanya”.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More