Rabu, 12 Januari 2011

Atas Nama Cinta

Oleh: Wahtini

Alangkah istimewanya Allah menciptakan manusia. Bermula dari setetes air menjelma menjadi segumpal darah, lalu Dia sempurnakan menjadi bentuk yang berbeda sesuai kehendak-Nya. Alangkah istimewanya Allah menciptakan manusia, di tengah jasad kasarnya Allah menyisipkan sebentuk hati yang teramat lembut tempat jiwa bersemayam, tempat nurani mengaca diri, tempat mekarnya perasaan cinta, kasih, dan sayang. Alangkah istimewanya Allah menciptakan manusia.

Tersedu gadis itu di sebuah malam yang sunyi, antara perasaan kalah dan harap yang membumbung tinggi. Kalah oleh keadaan yang tidak berpihak pada perasaannya kini. Harap akan datang keajaiban yang membuat mimpinya menjadi nyata. Kalah atas perasaan yang kini merajai seluruh hidupnya, mendetak dalam jantungnya, mengalir dalam darahnya, menghembus dalam tiap nafasnya. Harap pada pertolongan Allah yang Maha Kuasa, pada takdir baik dan buruk-Nya, pada terkabulnya doa-doa.

Perasaan itu terlanjur hadir. Menyusup ke ruang hatinya, diam-diam, tanpa salam. Ia jatuh cinta, teramat dalam. Bukan siapa-siapa. Lelaki itu sederhana. Lelaki sederhana dengan segunung perhatian.

Sesama aktivis mahasiswa di sebuah universitas di Jogja, yang sama-sama tersentuh oleh dakwah, keduanya tenggelam dalam kepadatan aktivitas yang menyita waktu, menguras tenaga dan pikiran, tak jarang menderaikan air mata. Raina dan Abdullah. Amanah masing-masing sebenarnya tidak menuntut banyak pertemuan atau interaksi berlebihan. Hingga setengah tahun kepengurusan, di sebuah agenda besar Raina sebagai penanggung jawab merasakan titik terberat sepanjang amanahnya. 

Lalu datanglah perhatian-perhatian itu. Secuil demi secuil. Sejengkal demi sejengkal. Bertubi-tubi. Raina yang secara umur lebih muda merasakan mendapatkan sandaran, tempat bertanya, rumah berkeluh, dan ruang berbagi cerita. Mula-mulanya ia tak menyadarinya. Dia hanya merasa nyaman karena ada yang memperhatikan.

Selepas agenda itu, ada yang tumbuh di hati Raina. Mekar tak terbendung. Mendesak tak tertahankan. Membuatnya tersenyum-senyum sendiri. Memaksa jantungnya berdebar-debar tiap kali memandang sesosok Abdullah, bahkan sekadar membanya pesan-pesan singkat penyemangatnya.

Ramadhan berlalu dalam bunga-bunga kasmaran. Bukan kasmaran atas nikmat ibadah kepada Sang Pemilik Hati, namun kasmaran pada lelaki sederhana yang tanpa disadari semakin hari semakin memikat hatinya. Raina dan Abdullah tetaplah belum dewasa, yang terlalu dini untuk membingkai rasa di antara mereka dengan ikrar suci di pelaminan. Bukannya mereka tidak sadar akan kenyataan itu, hanya mereka belum memiliki keberanian untuk bertanggung jawab atas cinta yang telah terlanjur semerbak. Meski mereka tidak pernah membahasakannya, tapi mereka sama-sama merasakannya.

Senja itu Raina tergugu. Di tangannya tergenggam segepok buku, Jalan Cinta Para Pejuang. Ia meniti tiap katanya, tiap barisnya, bait demi bait membungkam segala egonya. Menemukan setitik demi setitik kesadaran. Berlembar-lembar kesadaran merasuki akalnya. Beruntun menusuk-nusuk. Tak tahu dari mana asalnya, ia terluka oleh rasa bersalah yang keras mendera. Merenggut paksa bunga-bunga hatinya. Menorehkan luka yang berdarah-darah. 

Hari-hari berlalu, menenggelamkannya dalam haru biru. Sunyi merenggut hati. Kesadaran itu bercahaya, namun ia merasa terlalu silau hingga matanya sakit dan kepalanya berat. Apakah hatinya terlalu gelap hingga selama ini begitu terlena dalam buaian perasaan yang tak sanggup ia taklukkan?

“Tuhanku, aku ingin menikah...” rintihnya dalam do’a. 

Ah, Raina tak mengerti bahwa tak semua hati berani bertanggung jawab atas perasaan yang tumbuh disana. Abdullah yang dewasa tentu berpikir rasional. Tak mungkin ia menikahi Raina sementara ia belum bekerja, seperti pandangan sebagian orang – bekerja tetap. Maka tak sepatah kata pun keluar dari mulut Abdullah. Ia tak berani menjanjikan. Ia tak kuasa menyanggupi membingkai bunga dalam vasnya. Tapi ia juga tak rela melepas perasaan itu. Sedangkan Raina, ia terjebak pada rasa bersalah yang meresahkan. Ia aktivis dakwah (pun Abdullah). Ia paham ada yang salah. Dan ia ingin terbebas dari rasa bersalah itu.

Setiap kita harus bertanggung jawab atas perasaan kita sendiri. Kata-kata Salim A. Fillah itu teramat menghantuinya. Juga belajar dari Ali bin Abi Thalib, jika kau memiliki perasaan cinta pilihlah, untuk membingkai dalam ikatan agama, atau jika tak mampu relakan untuk melepaskannya. Tentang kebarokahan pernikahan yang dilandasi taqwa, bukan sekadar mendapatkan apa yang kita inginkan namun bagaimana kita mendapatkannya akan sangat berpengaruh pada keberkahan hidup di masa depan. Tentang cinta yang bersujud di mihrab taat, tentang semua... Kesadaran itu mendesak masuk, merebut seluruh perhatiannya.

Walau tak bisa dipungkiri ia sebenarnya juga terjebak dalam pemberontakan batinnya sendiri. 
Kami sama-sama mengharap surga. 
Kami saling mencintai karena Allah.
 (walau ia ragu akan kebenarannya) Jadi apa yang salah? 
Cinta kan fitrah. Rabbi, Engkau yang menciptakan kami dengan Engkau bekali rasa ini, mengapa kami yang salah?


Di sisi lain ia memikirkan lelah hatinya yang tak jelas ujungnya. Lelah saling menunggu, lelah saling membagi, lelah saling menyayangi, sementara mereka tetap tidak berhak! Raina mau tak mau dipaksa sadar tentang ‘hubungan terlarang’ itu. Astaghfirullah...
Maka ia menguatkan diri. Dalam derai air matanya ia tuliskan sebuah surat. Surat cinta kepada Abdullah, lelaki sederhana yang sekian waktu telah memenuhi relung hatinya.

Mulanya ia katakan tentang rasa bersalah yang mengungkung batinnya. Lalu ia hubungkan dengan aktivitas dakwah mereka, hingga sampailah ia pada pengakuan rasa itu. Dan sebuah sikap tentang pilihan sikap untuk melepaskan perasaan itu. Diakhiri dengan kepasrahan dibingkai sikap berprasangka baik kepada Allah, siapapun jodoh yang Dia takdirkan kelak.

Ia telah mengambil keputusan itu. Keputusan berat yang menyita seluruh jiwa raganya. Melepaskan perasaan yang telah mendarah daging selaksa mencerabut pohon dengan akar yang terhujam dalam dari tanah tempat ia berpijak. Sakit. Luka. Dan bersimpah darah dan air mata. 

Raina sadar, di seberang sana Abdullah pasti sangat terluka membaca suratnya. Ia pun rela bila harus dicaci maki atas keputusannya itu. Bagaimanapun Raina telah yakin ini adalah bentuk tanggung jawabnya. Dalam tiap doanya ia memohon, semoga tidak terputus ukhuwah dan silaturahim di antara mereka. Namun ia tetap berusaha ikhlas bila keputusannya berdampak buruk pada ikatan persaudaraan mereka. Ia hanya berusaha memilih yang terbaik, setelahnya ia berprasangka baik kepada Allah, sang Penggenggam Alam Raya. 

Atas nama cinta-Mu, ya Rabb, ku kembalikan hati ini kepada-Mu. Jagalah, agar saat kami kembali menghadap-Mu kelak, ia tetap suci hanya untuk-Mu. Lirih doanya mengalun..

Tak sampai berganti bulan ujian itu menyapa kembali. Bukan Abdullah, kali ini seorang ikhwan shalih, sangat shalih bernama Azzam. Raina yang patah hati (bagaimanapun luka itu masih berdarah tersentuh sedikit saja) dipertemukan dengan Azzam yang secara psikologis sangat berbeda dengan Abdullah. Berkebalikan dengan Abdullah yang dewasa, Azzam di balik keshalihannya terkesan manja, melankonik, dan rapuh. Di situlah sisi kelembutan Raina sebagai seorang perempuan justru semakin diuji. 

Mereka tinggal beda daerah dan baru bertemu satu kali dalam sebuah forum, namun berbagai permasalahan yang diperbincangkan baik lewat handphone maupun internet dalam banyak hal telah mempertemukan mereka dalam diskusi-diskusi panjang dan melelahkan.

Berbilang bulan, perasaan itu bersemi. Raina berusaha sekuat hati menolak, menutupi, dan menyembunyikan sisi hatinya sendiri. Tak bisa dipungkiri sisi hatinya berkata ia ‘mengasihi’ Azzam. Sekuat apapun perasaan itu ditutupi, toh, Raina tak bisa menyembunyikan perasaannya jua. Raina lagi-lagi harus kalah dengan perasaannya. Perasaan yang lebih lembut. Bukan jatuh cinta, namun lebih pada perasaan mengasihi dan menyayangi. Perasaan lembut yang sulit dikenali, yang tak cukup hanya diwakili dengan ‘jatuh cinta’.

Ada banyak kemustahilan mengiringi kisah perasaan mereka bila mesti dilanjutkan ke jenjang pernikahan. Mereka tinggal berjauhan, sama-sama belum lulus, sama-sama aktivis, dan belum mandiri secara finansial. Yang mengenaskan adalah mereka sama-sama belum dewasa! Perbedaan latar belakang, cara berpikir, hingga selera mestinya cukup bagi mereka untuk memutuskan berhenti saja. Tapi, nyatanya perasaan yang terlanjur berbunga itu tak mudah dicabut begitu saja.

Raina menangis. Perasaan itu tumbuh untuk kedua kalinya, lebih dalam. Akankah ia pangkas dan biarkan meranggas? Ah, kejamnya dunia.

Rasa cintanya kali ini lebih mengiris. Sebuah rasa yang jauh tidak realistis. Ada banyak kesangsian atas keberlanjutan cinta mereka. Jika dilanjutkan mungkin akan lebih mengenaskan. Teman-teman yang pasti mencibir. Orang tua juga belum tentu membolehkan, bahkan orang tua Raina (walaupun belum tahu) pernah memberi sinyal untuk menikah dengan ‘tetangga’ saja. Di sisi lain mereka hidup dalam sebuah jamaah dengan seperangkat etika, jika memaksa – apa kata dunia? 

Perasaan bersalah semakin dalam. Raina terjebak pada pertanyaan-pertanyaan, dugaan-dugaan, dan prasangka berlebihan. Ia menghakimi dirinya mengapa memberi kesempatan perasaan itu tumbuh lagi. Ia mencaci maki dirinya yang tidak mampu menjaga diri. Ia mencerca dirinya telah membuat orang lain jatuh hati. Ia mengata-ngatai dirinya yang tak pandai menahan diri. Raina tenggelam dalam resah tak berkesudah.

Sekali lagi Raina meraih buku Salim A. Fillah itu. Berharap dengan membacanya ia akan segera membuat keputusan, yang mungkin sama dengan sebelumnya. Terbata-bata ia membacanya. Mengulang masa setahun yang lalu, kala membaca buku itu diiringi derai hatinya. Kini luka itu lebih dalam. Justru di tengah kemustahilan perasaan itu lebih mengakar. Raina mencintai Azzam lebih dari karena dia butuh sandaran, namun justru keinginan untuk membahagiakan.

Akhirnya Raina menyerah. Dia kalah oleh kegentaran dan ketakutan menghadapi masa depan. Raina menyerah. Ia tenggelam dalam ketidakpastian dan kebingungan yang ia ciptakan. Sementara Azzam, di tengah sikap manjanya ternyata menyimpan keberanian bertanggung jawab atas perasaan mereka.

Raina benar-benar menyerah. Namun di tengah kemenyerahannya itulah ia justru merasakan kepasrahan total kepada Allah atas nasibnya. Sebuah penerimaan yang lebih lapang. Tak menuntut apa-apa. Tak hendak meminta lebih banyak kesempatan. Pada sebuah titik, ia seolah mendapat ilham tak terduga. Kali ini ia merasakan semangat yang berbeda. Tidak seperti dulu. Bukan hendak melepaskan perasaan itu, bukan hendak mencabutnya, bukan hendak menghapuskannya. Justru kini, ajaibnya, semangat yang muncul adalah ia bertekad memperjuangkannya. 

Ya Rabb, jika ini yang terbaik bagiku, di tengah ketidakcocokan dan segala perbedaan, di tengah segala ketidakmungkinan dan kemustahilan, jika ia terbaik bagiku ya Rabb.... aku akan berjuang!
 Derai air matanya menderas mengiringi takbirnya.

Cinta selalu menghadirkan energi tak terkira. Ia melimpahimu kekuatan tak terduga. Ia mampu membawamu terbang tinggi meski tanpa sayap atau pesawat. Ia selalu menemukan cara untuk menjadi berarti bagi sesuatu yang dicintainya.

Cinta selalu menghadirkan tenaga luar biasa. Ia tak menangis meski terluka menganga. Ia tak mengeluh walau jarak tempuh teramat jauh. Ia tetap teguh dalam azzam yang kukuh, memberikan yang terbaik, dan membahagiakan sesuatu yang cintainya. 

Memperjuangkan cinta adalah kehormatan. Karena cinta memang selalu menuntut pengorbanan. Maka atas air mata dan darah yang tumpah di medan cinta, ia menjadi wangi kesturi yang memenuhi rongga dada. Ia menjadi hujan yang menumbuhsuburkan kebahagiaan. Ia menjadi mahar untuk mencapai Cinta yang Sesungguhnya.
Cinta menganak pinak dalam karya. Cinta berkembang biak dalam kerja. Cinta tak butuh janji. Cinta selalu memberi bukti. Bagi seorang pecinta sejati, tak ada yang tak mungkin!

Di jalan cinta para pejuang, kita belajar bertanggung jawab atas setiap perasaan kita. Sekali lagi Raina menggumankan kalimat itu. Kali ini dengan ruh yang berbeda, lebih menggelora.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More