Rabu, 12 Januari 2011

Lovely Present For Lovely Persons

Oleh: Nuraini Latifa

“Lovely Present for lovely persons......”. Kata-kata ini membuat tersipu siapapun yang membacanya. Kata yang tertera di sampul depan buku berwarna merah cabai dengan gradasi dan garis lintang emas tersebut tak ayal akan membuat spesial siapa pun yang menyentuhnya. Kata-kata tersebut tidak memakan banyak ruang namun cukup menjadi penyelaras dengan berada di sudut kiri atas sebuah buku yang berjudul “Barakallahulaka, Bahagianya Merayakan Cinta”. Yap selamat tersipu kembali saat membaca judul buku tersebut. Belum dibuka saja, buku itu sudah dua kali membuat saya tersenyum. Selanjutnya, membaca buku ini akan menciptakan senyuman yang sangat nyata bagi anda, seperti halnya terjadi pada saya.

Pertengahan tahun ini nampaknya menjadi awal bagi saya untuk merajut penyadaran diri menuju kedewasaan. Mendadak saya memikirkan hal-hal lama yang menjadi bahan gurauan dengan sahabat yaitu, masa depan dengan sepaket problematikanya. Nopember 2010 ini saya berusia 24 tahun. Beberapakali saya diprotes beberapa sahabat, bahwa deretan umur hanyalah angka. Bagi mereka inti masalah dalam menuju kedewasaan dan membangun masa depan adalah kualitas, bukan kuantitas.

Bagi saya, kuantitas tidak bermakna sempit. Justru tiap kali memikirkan mengenai kuantitas umur , maka setiap kali pula saya mengingat rendahnya nilai kualitas yang saya miliki. Meskipun saya terus memikirkan cara untuk meningkatkannya. Saya sadari betul semua ini memang rahasia Allah. Oleh karena itu saya merasa tidak bersalah tiap kali berbicara mengenai hari esok. Bagi saya, hari esok yang ada hanya bayangan, terkaan-terkaan, dan rencana-rencana. Tentu saja membutuhkan kekuatan yang tidak sedikit sekadar untuk mengingatnya belum lagi melakukannya. Berkenaan dengan rencana-rencana hidup, saya yakin tidak sedikit orang memberikan fleksibilitas terhadap komitmen-komitmen yang telah direncanakan, hal ini berlaku pula pada saya.

Namun tahun ini saya memberanikan diri, memaksa agar tidak memfleksibelkan banyak hal, dan berusaha siap atas berbagai macam konsekuensi. Satu bulan yang lalu saya memberanikan mengundurkan diri dari pekerjaan yang awalnya nampak menguntungkan. Akan tetapi, saya harus mengakui secara jujur bahwa pekerjaan ini bukan sesuatu yang saya senangi dan minati. Meskipun terlepas dari sekadar bukan minat dan tidak senang, pekerjaan yang saya tekuni saat ini rasanya tidak memberikan keberkahan. Akhirnya, saya seringkali resah danuring-uringan tak menentu dalam menjalankannya. Alasan ini menjadi penting dalam tiap tindakan saya, walau sering kali saya merasa beruntung memiliki pekerjaan ini, namun saya merasa sangat tersiksa di dalamnya. Seringkali saya berpikir, “Ya Allah, tidak bersyukurkah saya?”.

Kesyukuran adalah hal yang sangat penting yang sangat saya yakini. Bukan hanya sekadar main-main, tetapi sungguh sangat yakin. Inilah yang kemudian membawa saya pada salah satu keyakinan yang lain, “Karir hanyalah salah satu dari sekian masalah yang semrawut bagi pikiran saya.”

Umur 24 tahun dan sebagai anak pertama di keluarga, pasti sudah terbayang apa yang menjadi tuntutan –menikah. Orang tua sudah mulai gencar menasihati seolah-olah tahun depan sudah akan menikah. Dekat dengan masalah klimaks dengan pekerjaan, saya pun sedang menghadapi peliknya usaha menuju jenjang pernikahan, yang akhirnya kandas dan berakhir dengan berusaha ikhlas melihat dia dengan pilihannya. Yah hal semacam ini bukan yang pertama buat saya, sudah dua kali undangan mampir ke rumah dan mengingat akan masa lalu. Masa lalu yang saat ini memohon restu saya melalui sebuah undangan pernikahan.

Bukan suatu hal yang mudah untuk berulang kali berusaha untuk mengikhlaskannya dan berusaha memupuk terus keyakinan bahwa Allah telah siapkan pula bagi saya takdir yang terbaik. Menerima undangan hanya tahap awal, yang sulit adalah ketika harus menghadiri undangan dan bertemu dengan keluarga mempelai. Tapi sungguh Allah Maha Baik, dengan membaca basmallah dan beristigfar saya dapat melaluinya dengan cukup baik. Bukan hanya undangan dari masa lalu yang hadir, tetapi juga undangan dari sahabat dekat, saudara dan tetangga yang selalu berujung pada pertanyaan orang-orang, “Kapan nyusul?”, saya pajang wajah manis menahan hati yang teriris (do i make a rhymeJ). Pertanyaan klasik standar, tetapi sering membuat saya gelisah. Sampai saya sering kesal tanpa kejelasan, saya sering mengandaikan ini dengan, “Oh mungkin sama saja kali yah dengan orang yang belum lulus kuliah, tapi terus-terus ditanya, kapan lulus?”, hehe,, sedikit membuat saya tersenyum karena masih bisa mengelus dada dan berkata, ah masih ada temannya, bukan saya saja kok yang belum menikah(sekadar memberikan ketenangan pada diri hihihi).

Setelah yakin mengundurkan diri guna memperbaiki kualitas hidup, tak lama kemudian saya mengakhiri kontrak dengan perusahaan. Meski sudah menyusun rencana usai pengunduran diri, tetapi ternyata tidak semudah yang saya kira. Beruntung saya berkomunikasi dengan dekan tempat saya kuliah dulu, dan saya mengajukan usulan untuk menjadi asistennya. Alhasil usulan ini diterima, jadilah seminggu dua kali saya kembali ke kampus, dengan sesekali saya ke perpustakaan menyusun materi. Bersyukur sekarang saya punya banyak waktu bersilaturahim dengan banyak orang. Namun tetap saja saya belum berhasil mencetak pola pikir saya, seperti apakah saya ke depan. Bukan hanya tiap kali ditanya mau kapan menikah dengan orang yang seperti apa pun saya tidak memiliki bayangan sedikitpun. Kegagalan demi kegagalan yang terlewati menakuti saya untuk membuat kriteria. Huft,,,, Ya Allah,,,, kira-kira pendamping seperti apa yang cocok untuk hambaMu ini. Bingung, kosong, dan ragu dengan kriteria yang lama telah saya bangun.

Perlu diinformasikan sebelumnya, setiap kali saya menghadapi berbagai masalah, salah satu solusi biasanya saya membaca buku yang berkaitan dengan masalah yang sedang saya hadapi. Saya memiliki beberapa buku yang memang selalu saya baca berulang-ulang saat saya menghadapi permasalahan yang saya rasa sejenis. Alhamdulillah dengan metode ini sampai saat ini ampuh mengusir gundah gulana yang ada. Kegundahan yang sama seperti yang saya rasakan saat ini. Ditengah kegundahan keraguan membangun kembali kriteria pasangan hidup, pandangan saya tertuju pada sebuah buku merah gradasi pink ramai di tengah lemari. Buku itu masih bagus, masih baru tepatnya, hadiah dari sahabat. Buku berjudul “Barakallahulaka, Bahagianya Merayakan Cinta” karangan Salim A. Fillah. Menatap buku ini saya merasa lucu. Sebab, sebelum membacanya beberapa bulan yang lalu saya menghadiahkan buku yang sama pada seorang sahabat yang sedang menghadapi masalah yang juga membuat hari-harinya menjadi haru biru. Terakhir saya dengar buku tersebut telah sampai ke Abudhabi dibawa oleh kakak perempuannya yang telah lama menikah dan dikaruniai 3 orang anak. Letak kelucuan yang saya maksud adalah setelah membaca buku ini hingga selesai sahabat saya sering bercerita pada saya bahwa buku ini sungguh inspiratif dan berpengaruh kuat sekali kepada dirinya. Selain itu ia pun merasa memiliki langkah yang jelas dan beralasan tiap kali mengambil keputusan guna menyelesaikan permasalahannya. Namun keterangan sahabat saya tersebut tidak lantas membuat saya penasaran untuk membaca dan mendalami buku ini. Hingga tiba saatnya – yaitu, saat ini – saya berhadap-hadapan dengan buku ini penuh penasaran dan pengharapan. Seolah kali ini sang buku memprotes and said “You need me girl, don’t you know that?”,, haha,, saya tertawa lagi.

Tiga lembar pertama saya buka, langsung bertatap muka dengan puisi yang ditulis dengan hati dan penuh rahmah, hingga siapapun pasti dapat merasakan ketulusannya. Puisi yang ditujukan penulis pada istrinya – bayangkan istrinya! Ia menjadikan istrinya penting dalam aktivitas kesehariannya salah satunya dalam kecintaannya dalam menulis. Puisi tersebut diantaranya berbunyi “....ikrar cinta kita, adalah prasasti yang terukir di atas manikam, jagalah Allah, maka Allah akan menjaganya sampai kelak aku memohon pada Nya agar aku meletakkannya sebagai liontin di kalungmu saat perjalanan berakhir di Syurga, Aku Mencintaimu.....”. masya Allah sang suami bilang Jagalah Allah, dan dengan bangga ia menuliskan nama sang istri “untuk Dwi Indah Ratnawati”, seolah hendak berkata dengan bangga, bahwa dia istriku dengan salah satu ridhonya maka buku ini dapat sampai ke tangan anda. Dan keberkahannya dapat menyampaikan Energi yang sangat positif yang langsung tertancap pada diri saya.

Di awal-awal buku ini banyak membuat pertanyaan yang ditujukan pada pembaca, khususnya pada saya. Saya merasa seperti sedang diwawancara oleh alam bawah sadar saya sendiri, seolah saya memang baru pertamakali memaknai logika macam ini. BARAKAH, masha Allah, betapa dahsyat kekuatan dari kata-kata ini dalam hidup saya saat ini. Buku ini membuat saya memaknai betapa penting mendapatkan keberkahan dalam tiap tindakan. Sifat keberkahan dari sebuah hal bersifat berkesinambungan. Bila ada salah satu rangkaian tindakan yang salah atau kurang tepat maka dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan nilai-nilai keberkahan di dalamnya. Saya selama ini selalu berpikir bagaimana mendapatkan ini dan itu, dan setelah saya mendapatkannya, saya bahagia, sukses. Namun kadang lupa, apakah berkah telah menyambangi kesuksesan saya.

Keberkahan yang diungkap buku barakallahulaka indahnya merayakan cinta, seolah menampar saya, bahwasanya,,, cinta yang patut dirayakan adalah cinta yang barakah yang diberikan oleh Allah, dengan begitu keberkahan cinta tersebut akan membawa kebahagiaan pada sang empunya dan makhluk Allah yang berada di sekitarnya. Apabila kita menikah dan diberkahi Allah, lalu Allah menumbuhkan cinta, cinta bersemayam di hati dua insan, dan Allah memberkahi rasa cinta tersebut, maka alangkah beruntungnya mereka, bersama dapat mereguk cinta yang produktif. Dalam buku ini juga tertera, cinta yang indah adalah membangun, bukan menjatuhkan, maka mari bangun cinta, dan berhati-hatilah dengan jatuh cinta, subhanallah,,, di tengah galaunya hati, serasa mendapat oase sejuk dengan meja kecil berisikan segelas jus jeruk dengan bongkahan es yang meleleh, membasahi kerongkongan dan ahh,,,, alhamdulillah.

Di dalamnya digambarkan banyak hal yang harus disiapkan dalam menempuh kehidupan berdua, saling menerima sifat, pekerjaan dan juga keluarga masing-masing yang kerap menjadi masalah utama keributan-keributan kecil yang dapat menggunung bahkan bukan hal tak mungkin berakhir pada yang terburuk, perceraian –naudzubillah. Dalam buku ini dibahas seperti apa sebaiknya sang suami dan sang istri bertutur dan bertindak, dibahas dengan bahasa yang sangat rinci dengan perbandingan yang sangat realistis. Sungguh, saya sampai-sampai berharap andaikan calon suami saya pun membaca buku yang sama, seperti halnya saya. Maka dengan begitu tentulah ia akan mau belajar memahami seperti apa perempuan. Dari buku ini pula, saya tahu seperti apaframework hidup saya. Pekerjaan yang saya harapkan seperti apa dan calon suami idaman itu yang seperti apa. Bukan calon suami idaman menurut saya seperti apa, tetapi seperti apa islam menganjurkan laki-laki untuk menjadi suami idaman. Dan hal ini akan menjadi tolok ukur saya dalam berdoa kepada Allah. Hal yang sangat membekas dalam diri saya, buku ini sangat jauh dari pembenaran terhadap laki-laki maupun perempuan. Justru dalam buku ini saya melihat ikhtiar yang tulus dari penulis untuk merajut benang biru dan benang merah hingga menjadi rajutan yang indah dipandang dan dirasakan.

Pada bagian bilik ketiga, buffet pertama, dan bagian ini sangat mengesankan menurut saya. Penyadaran bahwa jangan terlalu berharap pada manusia adalah sesuatu yang bersifat global, bukan hanya pada suami atau istri, tetapi pada manusia secara umum. Pertama sadarlah dan pandanglah manusia adalah makhluk yang dinamis, masha Allah semua orang mungkin berubah, yang baik menjadi kurang baik atau sebaliknya. Dalam hal ini saya jadi mengingat perkataan seorang sahabat, bahwa setiap orang memiliki potensi sangat besar untuk berubah menjadi baik dan buruk. Kedua, bebaskan diri dari prasangka. Ya ampun berapa kali saya merasa tercekik hanya karena prasangka, benar atau salahnya malah tidak terlalu sakit ketimbang prasangka yang sering membuat saya resah. Bahkan tidak jarang kita pun memprasangkai hari esok, padahal Allah telah mengingatkan, bahwa Ia adalah seperti prasangka hambanya, subhanallah. Ketiga, Nilailah apa adanya, be objective!!!!, saya seringkali tidak terima atas sesuatu atau bahkan seseorang atau bahkan menambah-nambahkan omongan padahal saya tidak tahu pasti, ah dasar manusia. Dan keempat, beranilah mengambil sikap yang tepat. hal ini yang sering menjadi sumber 1001 kebodohan saya sebagai manusia terbentuk, memupuk, dan mengeras bagai karang dalam karakter. Tidak berani mengambil sikap yang tepat, kadang lebih memilih di zona aman, takut sakit hati atau terlalu takut menghadapi kenyataan membuat saya tidak mampu berpikir jernih dalam mengambil keputusan, astagfirullah, padahal Allah juga jelas berkata, “..la takhof wa la tahzan innalahaa ma ‘ana...” (Q.S. At Taubah ayat 40) jangan takut dan jangan bersedih Allah bersamaku. Saya kembali tertampar jatuh dengan point keempat ini, sambil berlinang air mata seolah benar ada kisah sedih – yah saya memikirkan diri saya – saya melanjutkan ke point kelima, yaitu, Berpegang pada standar ilahiyah, Ya Allah,,,, kenapa aku begitu pusing memikirkan apa yang hendak aku lakukan, apa yang harus aku bangun sebagai kriteria, padahal Islam telah mengaturnya. Saya menangis sesak membaca penjelasan poin kelima, betapa saya selama ini amat sangat payah!!. Berkarakter lemah hingga tak mampu berperang melawan diri sendiri. Dan yang terakhir poin keenam, hal ini mampu meredakan tangisan saya, seolah menjadi pendingin setelah gerakan inti pada senam kebugaran yaitu, kosongkan diri dari tujuan kotor.Nah, inilah awal dari keberkahan tiap tindakan dimulai. Sungguh apa yang ada di dada-dada manusia adalah rahasia Allah dan kita, Allah Maha Tahu tentang saya, karena itu saya mulai mengakui bahwa kegagalan dan belum sampainya saya pada tahap yang selanjutnya dalam kehidupan, besar kemungkinan karena kekeliruan niat atau kelemahan saya mewujudkan niat dalam bentuk tindakan yang matang penuh strategi dan ikhlas menerima hasil akhir. Dalam hal karir, jodoh maupun kehidupan sehari-hari dan hubungannya dengan orang-orang terdekat.

Setelah membaca buku ini, saya sadar bahwa keridhoan dan keberkahan Allah dibutuhkan dalam setiap tindakan saya. Dan yang paling amat sangat dekat yang saya lakukan guna menggapai ridho dan berkah-Nya adalah, meraih ridho dan berkah dari kedua orangtua saya, yang alhamdulillah masih diberikan kesehatan oleh Allah. Saya benar-benar berharap bahwa dosa-dosa dan kekhilafan saya dapat diampuni Allah, dan memulai hari dengan niat ingin mencari bukan hanya ridho tetapi juga berkah-Nya. Barakallahu Laka Bahagianya merayakan CINTA.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More